NovelToon NovelToon

Dosa Yang Kucintai

1. Impulsif

Hania berlari di tengah keramaian kota, napasnya tersengal-sengal, jantung berdebar kencang. Air matanya bercampur dengan keringat yang mengalir deras di wajahnya. Rambut panjangnya yang biasanya teratur kini terurai berantakan, terhempas oleh angin dan gerak tubuhnya yang panik. Namun, dia tak peduli. Matanya hanya tertuju pada satu sosok, Bryan. Pria itu berjalan menjauh dengan tenang, menggenggam tangan seorang wanita cantik, Clara.

“Bryan! Tunggu! Jangan pergi!” Teriakan Hania pecah, nyaris tenggelam oleh deru kendaraan dan hiruk-pikuk kota. Ia mempercepat langkah, hampir tersandung trotoar, tapi terus mengejar. Setiap langkah terasa berat, seperti melawan arus waktu yang ingin memisahkannya dari pria yang pernah menjadi segalanya.

Bryan berhenti sejenak, menoleh dengan ekspresi dingin. “Apa lagi, Hania? Sudah cukup! Aku sudah bilang kita selesai!”

Hania tak peduli. Ia meraih lengan Bryan, cengkeramannya kuat, seolah takut kehilangan lagi. Suaranya meninggi, penuh amarah dan kepedihan. “Kau meninggalkanku untuk perempuan itu? Aku lebih baik darinya! Aku yang selalu ada untukmu, mendukungmu, merawatmu saat kau sakit, bahkan membiayai kuliahmu ketika kau kesulitan!”

Bryan tertawa sinis, tatapannya menusuk. “Aku tak pernah memintamu melakukan semua itu, Hania. Itu keputusanmu sendiri. Berhenti mengungkit masa lalu hanya untuk membuatku kembali. Aku sudah tidak mencintaimu.”

"Tidak! Kau bohong!" Hania menggenggam lengan Bryan lebih erat, air matanya mengalir deras. Hatinya menolak menerima kenyataan pahit itu.

"Lepaskan!" Bryan mendengus kesal, menepis tangan Hania dengan kasar hingga ia terjatuh ke trotoar.

"Bryan..." Hania memandangnya dari bawah, tubuhnya terhempas ke lantai dingin. Tatapannya dipenuhi keterkejutan dan luka. Tangannya gemetar, mencoba meraih sesuatu, mungkin sisa-sisa harga dirinya yang kini berserak bersama kenyataan pahit. "Kau benar-benar... tega..."

"Cukup, Hania! Jangan memaksa aku mencintaimu! Dan berhenti menggangguku! Aku hanya mencintai Clara!" Teriak Bryan sebelum berbalik, meninggalkan Hania yang terisak sendirian. Clara yang berdiri di sampingnya tersenyum sinis, matanya penuh kemenangan.

“Bryan! Kau benar-benar kejam!” Hania berteriak dengan suara bergetar, matanya merah karena tangis dan amarah. “Kembalikan mobil yang aku berikan padamu! Dasar brengsek tak tahu diri!”

Mengabaikan rasa perih di kakinya yang terluka akibat terjatuh, Hania terus berlari mengejar Bryan yang tengah tergesa-gesa menyeberang jalan. Matanya memancarkan amarah bercampur tekad, seperti kobaran api yang tak bisa dipadamkan.

Dunia di sekitarnya serasa memudar, suara klakson, deru kendaraan, dan kerumunan orang tak lagi berarti. Dengan napas tersengal, Hania menerobos jalan tanpa menoleh ke kiri atau kanan. Tangis yang membakar dada dan amarah yang membutakan pikirannya telah menghapus segala pertimbangan.

Hania tidak rela Bryan menggunakan barang pemberiannya bersama wanita lain, seolah kenangan mereka tak pernah berarti. Setelah mencampakkannya seperti sampah, Bryan masih berani mempertontonkan keegoisannya. Hania hanya memiliki satu keinginan, mengambil kembali apa yang pernah menjadi miliknya.

"Tiiinn!”

Tiba-tiba, suara klakson panjang memecah udara. Hania terpaku di tengah jalan, tubuhnya membeku seolah tak mampu bergerak. Sorot lampu mobil yang melaju kencang menghantam pandangannya, membuat tangannya refleks terangkat menutupi mata, meskipun ia tahu itu tak akan menyelamatkannya.

Di balik kemudi, Ziyo mencengkeram setir dengan panik. Matanya membelalak, mencoba menginjak rem, tapi Hania muncul terlalu tiba-tiba. “Astaga! Tidak!”

BRAKK!

Mobil Ziyo membanting setir, menghindari Hania. Namun dari arah berlawanan, sebuah truk besar melaju kencang. Tabrakan tak terhindarkan. Mobil Ziyo terpelanting. Kaca depan pecah. Logam berderak keras. Asap mengepul dari mesin yang hancur.

Hania jatuh terduduk di aspal. Tubuhnya gemetar, mata terpaku pada kekacauan yang baru saja terjadi. Ia menutup mulutnya dengan tangan, tapi tangis histeris meluncur keluar.

Sementara itu, Bryan yang berada di mobilnya hanya beberapa meter di belakang kecelakaan itu melajukan kendaraannya dengan cepat. “Kita pergi sebelum semuanya menjadi kacau,” ucapnya pada Clara. Wanita itu hanya mengangguk, masih terkejut. Ia tidak sempat melihat mobil yang baru saja bertabrakan dengan truk karena saat kejadian, ia baru saja masuk ke dalam mobil dan sibuk memasang sabuk pengaman.

Hania berdiri mematung di tepi jalan. Sirene ambulans memecah keheningan malam. Ia menyaksikan paramedis mengeluarkan tubuh seorang pria dari mobil yang ringsek. Sosok itu adalah Ziyo, pengemudi mobil yang tak sengaja ia jebak dalam tragedi ini. Wajahnya berlumuran darah, tubuhnya penuh luka.

“Apa yang sudah kulakukan?” bisik Hania, rasa bersalah menghantam dirinya seperti ombak yang tak berujung.

Hania menggigit bibirnya. Jantungnya berdebar keras. Ia ingin lari, ingin bersembunyi dari kenyataan ini, tapi matanya tak bisa lepas dari sosok pria tak berdaya itu. Dia merasa seperti tercekik oleh rasa bersalah yang tak tertahankan.

Sirene ambulans mulai menjauh. Dengan langkah cepat, Hania mengekor dari belakang, memastikan ia tak kehilangan jejak. Dia tak tahu mengapa, tapi dia merasa harus memastikan pria itu baik-baik. Mungkin ini caranya menebus kesalahan, atau mungkin hanya pelarian dari rasa bersalah yang menghantuinya.

***

Lorong rumah sakit terasa dingin dan sunyi. Hania menyusuri koridor dengan langkah pelan, tangannya gemetar memegang dinding untuk menahan tubuhnya yang hampir limbung. Dari kejauhan, ia melihat tim medis mendorong brankar masuk ke ruang gawat darurat. Jantungnya berdegup kencang, napasnya tersendat.

"Apa yang sudah kulakukan?" pikirnya, rasa bersalah menghantam seperti gelombang yang tak berkesudahan. Ia tidak berani mendekat, hanya mengamati dari sudut gelap koridor. Setiap detik terasa seperti abadi, menunggu kabar tentang nyawa yang mungkin ia hancurkan.

Beberapa jam berlalu, dan akhirnya seorang dokter keluar dari ruang operasi. Hania bersembunyi di balik tiang, memerhatikan diam-diam. Dokter berbicara dengan seorang perawat, wajahnya serius. Ekspresi dokter itu cukup untuk membuat hatinya mencelos.

“Kondisi pasien sangat kritis,” kata dokter dengan suara berat. “Luka di wajahnya membutuhkan operasi rekonstruksi, dan ada kerusakan permanen pada retina matanya. Saat ini ia mengalami kebutaan. Selain itu, kedua kakinya patah akibat benturan keras. Akan butuh waktu lama untuk pemulihan, dan tidak ada jaminan ia bisa berjalan kembali.”

Dunia Hania seakan runtuh mendengar itu. Matanya membelalak, tubuhnya melemas hingga ia harus bersandar pada dinding. "Wajahnya rusak, buta, dan lumpuh? Semua ini... karena aku." Pikiran itu terus berulang di kepalanya seperti gema tak berujung.

Hania menutup mulutnya, menahan tangis. Dia tahu ini semua salahnya. Dan sekarang, dia harus hidup dengan konsekuensinya.

Dengan langkah pelan, Hania menjauh dari lorong itu. Dia tahu ini baru awal. Akan ada banyak hal yang harus dia hadapi, rasa bersalah, penyesalan, dan mungkin juga pengampunan. Tapi untuk sekarang, dia hanya bisa berdiri di sana, menyaksikan kehancuran yang dia ciptakan.

Dengan tekad yang muncul entah dari mana, Hania memutuskan untuk tetap tinggal di rumah sakit ini. Ia tak tahu apa yang membuatnya ingin memastikan keadaan pria itu. Rasa bersalah, mungkin. Atau ada sesuatu yang lain? Ia tidak tahu pasti.

Yang jelas, ia berjanji pada dirinya sendiri, "Aku akan memastikan dia baik-baik saja, tanpa seorang pun tahu aku di sini."

***

Di salah satu sudut rumah sakit, seorang pria dengan masker, topi, dan kacamata hitam berbicara pelan pada seorang perawat yang tampak gugup.

"Bagaimana keadaannya?" tanyanya, suaranya rendah namun tajam.

Perawat itu melirik sekeliling sebelum menjawab, "Dia masih hidup, tapi kondisinya sangat parah. Dengan luka seperti itu... Saya rasa dia akan mengalami trauma fisik dan mental yang mendalam."

Pria itu mengangguk kecil, senyum tipis terlihat di balik maskernya. "Kalau begitu, biarkan saja. Waktu dan rasa putus asanya akan menghancurkannya lebih baik daripada yang bisa kita lakukan. Lagipula, aku tidak ingin menanggung risiko jika terlalu jauh."

Perawat itu menelan ludah, terlihat ragu. "Tapi... bagaimana jika dia pulih dan mencurigai sesuatu?"

Pria itu mendekat, suaranya semakin dingin. "Tidak akan. Dia tidak punya bukti. Jangan bertindak gegabah, atau kau sendiri yang akan terkena akibatnya."

Dengan itu, pria itu berbalik dan pergi, meninggalkan perawat itu dalam ketakutan.

...🔸"Jangan habiskan waktumu mengejar seseorang yang tidak pernah berbalik melihatmu....

...Lebih baik berjalan sendirian daripada berduaan, tapi merasa kesepian."🔸...

...🍁💦🍁...

.

To be continued

2. Keluarga

Pagi itu, lorong rumah sakit terasa lengang. Seorang wanita berusia sekitar tiga puluh lima tahun melangkah cepat menuju ruang ICU. Penampilannya cantik dan elegan, namun wajahnya sedikit pucat, menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. Wanita itu adalah Diva, ibu tiri Ziyo. Di sebelahnya berjalan seorang remaja lelaki berusia tiga belas tahun, Zian, adik tiri Ziyo.

"Ma... Kak Ziyo nggak apa-apa, 'kan?" suara Zian terdengar pelan, nyaris bergetar. Matanya memandang Diva dengan penuh harap, seolah mencari jawaban yang bisa menenangkan hatinya.

Diva menoleh, tangannya dengan lembut merangkul bahu Zian. "Kita harus berdoa, Sayang. Kakakmu kuat, dia pasti bisa melewati ini," jawabnya lembut, meskipun matanya memancarkan kesedihan yang sulit ia sembunyikan.

Setelah mencapai pintu ICU, seorang dokter keluar dengan wajah serius. Diva segera menghampirinya, pandangannya tegas meskipun tangannya sedikit gemetar. "Bagaimana kondisi anak saya, Dok?" tanyanya, suaranya terdengar penuh kecemasan.

Dokter itu menghela napas berat sebelum menjawab. "Kondisi Ziyo masih kritis. Kami sudah melakukan operasi untuk menghentikan pendarahan dan memperbaiki tulang yang patah. Namun, dia mengalami trauma yang sangat parah, dan saat ini belum sadarkan diri. Kami juga menemukan kerusakan pada matanya... ada kemungkinan ia kehilangan penglihatannya secara permanen."

Diva tertegun. Matanya membesar, dan tangannya yang masih berada di bahu Zian mencengkeram lebih erat, seolah berusaha mencari kekuatan dari kehadiran putra bungsunya. "Tidak... tidak mungkin," gumamnya lirih, suaranya bergetar. Ia menggeleng pelan, menolak mempercayai apa yang baru saja ia dengar.

"Ma, Kak Ziyo bakal sembuh, 'kan? Dia nggak apa-apa, 'kan?" Zian bertanya lagi, suaranya terdengar semakin gemetar. Matanya yang mulai berkaca-kaca menatap ibunya dengan penuh harap.

Diva menarik napas dalam-dalam dan membungkuk di hadapan Zian. Dengan lembut, ia memegang kedua pipi anak itu, memaksa Zian untuk menatapnya langsung. "Kakakmu kuat, Zian. Kita harus percaya bahwa dia akan sembuh, ya? Kamu juga harus kuat untuk Kak Ziyo. Dia pasti ingin melihat kita tetap tegar."

Zian mengangguk kecil, meskipun air matanya mulai mengalir. "Aku janji akan kuat, Ma," ujarnya pelan.

Diva menegakkan tubuhnya, menatap dokter dengan mata yang masih memerah. "Tolong lakukan yang terbaik untuk anak saya, Dok. Apa pun yang diperlukan, saya akan tanggung biayanya. Tolong selamatkan dia."

Dokter itu mengangguk dengan simpati. "Kami akan melakukan yang terbaik, Nyonya. Saat ini, Ziyo membutuhkan istirahat penuh. Kita hanya bisa menunggu perkembangan selanjutnya."

Diva mengangguk pelan, menahan air mata yang hampir tumpah. Setelah dokter pergi, ia berdiri di depan pintu ICU, memandangi ruangan di mana tubuh Ziyo terbaring tak berdaya. Tangannya menyentuh kaca pintu, dan dari bibirnya terucap doa yang pelan namun penuh harap.

Di sudut lain koridor, Hania berdiri diam, mengamati kejadian itu dari jauh. Matanya menatap Diva dan Zian dengan penuh tanda tanya. "Siapa mereka? Apakah itu keluarganya?" pikirnya. Perasaan bersalah yang terus menghantui membuatnya ingin mendekat, tetapi ia merasa tidak punya hak. Satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah mengamati dalam diam, berharap pria yang ia lukai bisa segera pulih.

Sementara itu, Diva menghapus air matanya dengan saputangan, menguatkan diri di depan Zian. Senyum tipis terlukis di wajahnya saat ia merangkul anak itu. "Ayo, kita tunggu kabar baiknya bersama. Kita harus tetap di sini untuk Kak Ziyo," katanya dengan suara penuh kasih sayang, menciptakan gambaran sempurna seorang ibu yang penuh perhatian.

Namun, di balik senyumnya yang lembut, ada sesuatu yang tersembunyi, sesuatu yang ia jaga rapat-rapat dari dunia, bahkan dari Zian.

***

Waktu terus berputar, perlahan menggiring langit menuju malam. Lampu-lampu di lorong rumah sakit memancarkan cahaya temaram yang terasa semakin menyesakkan suasana. Di depan ruang ICU, Diva masih duduk menunggui Ziyo. Di sampingnya, Zian tampak tertidur dengan kepala bersandar di bahu ibunya. Namun, tidurnya gelisah. Sesekali, remaja itu membuka mata, seakan takut kehilangan waktu untuk melihat kakaknya.

Malam semakin larut, Diva mengusap lembut kepala Zian. "Zian, Sayang, sudah malam. Besok kamu harus sekolah. Pulang, ya? Biar Mama di sini menemani Kak Ziyo," bujuknya dengan suara lembut.

Zian menggeleng keras. "Aku nggak mau pulang, Ma. Aku mau di sini sampai Kak Ziyo sadar," jawabnya, matanya penuh tekad meskipun tubuh kecilnya tampak lelah.

Diva menarik napas dalam, berusaha tetap sabar. Ia memegang kedua bahu Zian, menatap anak itu dengan pandangan penuh kasih sayang. "Zian, Kak Ziyo pasti nggak akan suka kalau kamu begini. Kakak selalu bilang kamu harus istirahat cukup supaya bisa belajar dengan baik, 'kan? Kalau kamu sakit karena kurang tidur, Kak Ziyo pasti sedih."

Mendengar itu, tekad Zian mulai goyah. Matanya berkaca-kaca, tetapi ia tetap ingin bertahan. "Tapi... aku mau ada di sini kalau Kak Ziyo sadar, Ma," ujarnya pelan, suaranya nyaris pecah.

Diva mengelus pipi Zian dengan lembut, memberikan senyum menenangkan. "Kalau Kak Ziyo sadar, Mama pasti langsung kabari kamu. Kamu percaya 'kan sama Mama?" tanyanya, memastikan.

Zian terdiam beberapa saat, lalu akhirnya mengangguk dengan berat hati. "Oke, Ma. Tapi Mama janji, ya? Janji langsung kabarin aku," katanya dengan nada memohon.

"Janji," jawab Diva tegas, lalu mengecup kening anaknya. "Sekarang, ayo pulang. Supir sudah menunggu."

Dengan langkah enggan, Zian berdiri. Ia menoleh sekali lagi ke arah pintu ICU, seperti berharap bisa melihat kakaknya meski hanya sekejap. Setelah itu, ia berjalan meninggalkan lorong bersama supir yang menjemputnya. Sebelum benar-benar menghilang di tikungan, Zian berbalik dan melambaikan tangan kecilnya ke arah Diva. "Mama, jangan lupa kabarin aku, ya!" serunya sekali lagi.

Diva melambaikan tangan, menunggu sampai bayangannya lenyap dari pandangan. Begitu Zian pergi, ia menghela napas panjang, seolah beban di dadanya sedikit berkurang. Namun, sorot matanya kembali suram saat ia memalingkan wajah ke arah pintu ICU.

Seorang perawat yang sedari tadi memerhatikan interaksi itu mendekat. Wanita itu tersenyum kecil. "Anak Anda sangat menyayangi kakaknya. Saya jarang melihat adik yang sepeduli itu," komentarnya sambil mencatat sesuatu di papan data pasien.

Diva tersenyum tipis, mengangguk pelan. "Iya, Zian memang sangat menyayangi Ziyo. Bahkan, kadang-kadang dia lebih patuh pada kakaknya daripada pada saya," ucapnya dengan nada lembut, seolah tak keberatan dengan kenyataan itu.

Perawat itu tersenyum, lalu pamit untuk melanjutkan tugasnya. Diva kembali duduk, tatapannya kosong mengarah ke kaca pintu ICU. Di ujung koridor, Hania tetap berdiri diam, menyaksikan semua itu dari kejauhan. Ia tidak mendekat, hanya memerhatikan setiap gerak-gerik Diva dengan perasaan tak menentu. Ada sesuatu tentang wanita itu yang membuat Hania merasa harus tetap berjaga. Ia tak tahu mengapa, tetapi naluri itu terlalu kuat untuk diabaikan.

Sementara itu, Diva menyandarkan punggungnya ke dinding, menutup mata sejenak. Senyum lembut yang tadi ia tampilkan di depan Zian kini memudar. Di balik wajah yang penuh kasih, ada rahasia kelam yang ia simpan rapat-rapat, sebuah kebenaran yang tak boleh terungkap, tidak sekarang. Tidak di saat semuanya masih kacau seperti ini.

***

Tiga hari kemudian.

Hania berdiri di balik kaca ruang ICU, mengintip dari celah kecil. Wajahnya pucat, tangannya gemetar menggenggam gagang pintu.

Sosok Ziyo terbaring di atas tempat tidur ICU, tubuhnya dikelilingi oleh kabel-kabel medis yang tersambung ke berbagai mesin. Kepalanya diperban tebal, menutupi hampir seluruh wajahnya, sementara kedua kakinya tergips hingga paha. Mesin ventilator mengeluarkan suara ritmis, menandakan bahwa napasnya masih bergantung pada alat itu.

Hania memejamkan mata, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdegup keras. Namun, saat kembali menatap, rasa bersalah menyerangnya seperti gelombang besar. “Ini salahku,” bisiknya pelan, air mata mulai menggenang di matanya.

Namun, ia tak berani masuk. Tidak sekarang. Langkah kaki terdengar mendekat, semakin jelas. Dua sosok perempuan muncul di ujung koridor. Hania buru-buru mencari tempat untuk bersembunyi, tubuhnya gemetar. Namun, saat ia mengintip dari balik pilar, pandangannya terpaku.

Darahnya berdesir. Napasnya tertahan. Matanya membelalak tak percaya saat mengenali salah satu dari mereka.

"Tidak. Ini tidak mungkin. Dia... di sini?"

...🔸"Penyesalan adalah guru yang baik, tetapi jangan biarkan ia menjadi penjara yang mengurungmu. Belajarlah, lalu melangkahlah."🔸...

...🍁💦🍁...

.

To be continued

3. Memutuskan Pertunangan

Jantung Hania berdebar kencang ketika ia mengenali sosok itu. Rasa benci dan amarah bercampur dalam dadanya, membuatnya sulit bernapas."Clara? Gadis yang membuat Bryan meninggalkanku? Apa yang dia lakukan di sini?" batinnya.

Clara berdiri di depan kaca ruang ICU, matanya menatap Ziyo yang terbaring lemah di dalam ruangan, tapi wajahnya datar, tanpa ekspresi empati. Di sebelahnya, Rita, mamanya, berdiri dengan sikap yang jauh berbeda. Wanita paruh baya itu terlihat lebih tenang, tapi matanya penuh keprihatinan, seolah mencoba menyembunyikan kesedihan yang mendalam.

Hania menunduk, bersembunyi di balik dinding, tetapi tetap mendengarkan. Ia tidak bisa meninggalkan tempat itu. Sesuatu dalam dirinya memaksa untuk tetap tinggal.

“Kasihan sekali dia…” bisik Rita dengan suara lirih, memecah keheningan di antara mereka. Tangannya menyentuh kaca, seakan ingin memberikan kekuatan pada pemuda yang pernah begitu baik pada keluarganya.

Clara mendesah pelan, ekspresi datarnya tak berubah. "Kasihan?" gumamnya, nyaris seperti sindiran. "Aku rasa… aku lebih kasihan pada diriku sendiri."

Rita menoleh dengan alis berkerut. "Clara, apa maksudmu bicara seperti itu?"

Clara mengalihkan pandangannya, seolah tak peduli. "Ma, aku hanya bicara jujur. Mama tahu ini bukan hidup yang kuinginkan."

Rita memandang putrinya dengan tajam, tetapi tetap berusaha menahan emosinya. Hati kecilnya terluka mendengar kata-kata Clara, tapi ia menenangkan dirinya. “Clara, Ziyo--"

Belum sempat Rita menyelesaikan kalimatnya, pintu ruangan ICU itu terbuka, seorang dokter muncul dari balik pintu.

Rita melangkah mendekati dokter dengan langkah ragu, lalu berbicara dengan nada cemas yang sulit ia sembunyikan. “Bagaimana kondisinya, Dok?”

Dokter menghela napas, seolah tak ingin menyampaikan kabar buruk itu, namun tetap menjaga profesionalismenya. “Ini adalah kecelakaan serius, Nyonya. Wajahnya mengalami kerusakan parah, kedua matanya kehilangan fungsi penglihatan, dan kakinya patah. Kami telah melakukan yang terbaik. Untuk saat ini, kondisinya sudah stabil, meski sempat berada dalam kondisi kritis.”

Clara berdiri di dekat pintu, tatapannya kosong. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, namun ekspresinya tetap dingin, bahkan nyaris datar. Hanya ada sedikit kerutan di dahinya, bukan karena kekhawatiran, melainkan lebih pada rasa tak nyaman yang semakin menghimpit. Beban emosional ini terasa seperti rantai yang tak bisa ia lepaskan, dan ia mulai merasa sesak dalam situasi yang ia anggap sia-sia.

Di sisi lain, Rita, yang berdiri di dekatnya, menatap dokter dengan wajah penuh kepiluan. Matanya yang berkaca-kaca jelas menunjukkan rasa sakit yang ia rasakan. Namun, justru reaksi ibunya ini membuat Clara semakin muak. Semua ini, menurutnya, sudah terlalu melelahkan.

Ia merasa seperti terperangkap dalam perang panjang yang tak pernah memberinya kemenangan, hanya kekalahan yang semakin menggerus dirinya. Dalam diam, ia menelan keengganannya sendiri, sementara pikirannya terus mencari jalan keluar.

“Apakah ada yang bisa kami lakukan, Dokter?” tanya Rita dengan suara lembut namun tegas, tangannya erat menggenggam tasnya seolah mencari pegangan.

Dokter menghela napas, matanya penuh empati. “Untuk saat ini, fokus kami adalah stabilisasi. Proses pemulihan akan sangat bergantung pada perawatan intensif dan dukungan moral dari keluarga. Kami akan melakukan yang terbaik.”

Clara menghela napas pelan, sebelum akhirnya bertanya, “Jadi, apa kondisinya akan membaik?” Suaranya terdengar datar, tanpa emosi, lebih seperti formalitas daripada kekhawatiran. Bibirnya mengatup rapat, menahan rasa jenuh yang kini semakin sulit disembunyikan.

Dokter menghela napas pelan. “Kami belum bisa memastikan, tapi kemungkinan itu ada. Yang penting sekarang adalah dukungan dari orang-orang terdekatnya.”

Clara menghela napas panjang, lalu mendorong pintu kaca ICU dan melangkah masuk tanpa menunggu jawaban lebih lanjut. Setelah dokter pergi, Rita mengikutinya dengan langkah hati-hati, wajahnya penuh kekhawatiran.

Hania mengintip dari balik sudut lorong, jantungnya berdebar kencang. Ia melihat Clara dan ibunya masuk ke ruangan Ziyo. Rasa ingin tahu yang bercampur dengan rasa bersalah menyelimuti hatinya. "Apa yang dilakukan Clara di sini? Apa hubungannya dengan Ziyo?" Pikirannya berkecamuk.

Begitu berada di samping ranjang Ziyo, mata Clara langsung menatap wajahnya yang sebagian besar tertutup perban. Tubuhnya yang dulu tegap dan penuh energi kini terlihat rapuh dan tak berdaya. Clara mendengus pelan, lalu memalingkan wajahnya dengan ekspresi jijik.

“Kondisinya sangat serius,” gumam Rita dengan nada khawatir, tangannya menyentuh ujung ranjang. “Kita harus bersabar, Clara. Ziyo membutuhkan kita.”

Clara mengerutkan kening, matanya memancarkan kejengkelan yang tajam. “Membutuhkan kita? Maksud Mama, aku harus duduk di sini sepanjang waktu, menjaga dan merawat dia?”

Rita mengangguk pelan. “Dia tunanganmu, Clara. Ini adalah tanggung jawabmu. Dengan kamu di sisinya, dia pasti akan merasa lebih baik.”

Clara mendengus sinis, lalu tertawa pendek tanpa humor. “Tanggung jawab? Mama ingin aku mengorbankan waktuku, energiku, bahkan hidupku untuk dia?”

Rita terdiam, menatap Clara dengan keterkejutan yang sulit ia sembunyikan. Tapi Clara belum selesai. Ia memandang Ziyo dengan tatapan dingin. “Lihatlah dia, Ma! Tak berdaya seperti ini, dan aku harus menyerahkan hidupku untuk seorang pria yang bahkan tidak membuatku bahagia? Aku tidak mau! Aku tidak peduli lagi!”

Ziyo mendengar setiap kata yang keluar dari mulut Clara dengan jelas, meski matanya tetap terpejam. Suara itu menusuk seperti pisau tumpul, bukan karena ia mencintai Clara, melainkan karena setiap kata yang terucap membenarkan apa yang selama ini ia rasakan: Clara tak lagi ingin bersamanya.

Ia ingin marah, ingin membuka mata dan menyela pertengkaran itu, tapi ia menahan diri. Ada sesuatu yang lebih penting dari sekadar menyuarakan emosinya. Ia ingin tahu sejauh mana Clara bisa berkata tanpa kepura-puraan.

“Apa yang kau bicarakan Clara? Kau adalah tunangannya. Kau harus menemani Ziyo di saat-saat seperti ini,” suara Rita terdengar tegas, penuh tuntutan. Ziyo hampir bisa membayangkan wajah sahabat mendiang ibunya itu, memancarkan kekecewaan yang coba ia sembunyikan di balik nasihat keibuannya.

Namun suara Clara terdengar berbeda, dingin, kaku, seperti seseorang yang berbicara pada orang asing. “Ma, aku tidak mau melakukan ini.”

Tidak mau melakukan ini. Kata-kata itu menggema di kepala Ziyo, membuatnya terdiam di bawah selimut tipis rasa penyesalan dan ironi. Ia tahu ini akan terjadi. Ia tahu Clara telah berubah sejak lama. Tetapi mendengar Clara mengatakannya dengan suara lantang, rasanya tetap menyakitkan. Bukan karena hatinya yang hancur, tetapi karena ia tahu Clara tidak akan pernah berani mengatakannya jika ia tidak dalam kondisi seperti ini.

Clara mendesah, seolah menumpahkan beban yang selama ini ia tahan. “Aku ingin memutuskan pertunangan kami.”

Ziyo merasakan napasnya tertahan, meski ia tetap berusaha menjaga tubuhnya tak bergerak. Ia ingin tersenyum sinis, tetapi rasa pahit di dadanya terlalu kuat untuk dirayakan. "Lucu," pikirnya dalam hati. Clara akhirnya berkata jujur, sesuatu yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya.

Ia tak mencintai Clara. Tidak pernah. Hubungan ini hanyalah sebuah kompromi, kompromi yang ia lakukan untuk menghormati ibunya dan sahabat ibunya, Rita. Wanita itu memperlakukannya seperti putra kandungnya setelah kematian ibunya, mengisi kekosongan yang sempat menghantui hidupnya. Ziyo tahu ia tidak bisa mengecewakan Rita, tidak setelah semua perhatian dan kasih sayang yang ia terima darinya.

Namun sekarang, mendengar Clara dengan tegas ingin memutuskan hubungan mereka, Ziyo merasa seperti beban berat yang selama ini ia pikul perlahan diangkat dari pundaknya. Ironisnya, bukannya lega, ia justru merasa kalah.

"Apa ini karena wajahku? Tubuhku yang tak lagi sempurna? Atau sebenarnya kau hanya menunggu alasan untuk pergi?" gumamnya dalam hati.

Ia tahu jawabannya. Clara mungkin sudah lama tak ingin bersamanya. Kecelakaan ini hanya mempercepat keputusan yang sebenarnya sudah ada di dalam hati wanita itu.

“Clara!”

...🔸"Kamu terlalu berharga untuk disia-siakan oleh seseorang yang tidak bisa melihat betapa dirimu istimewa."🔸...

...🍁💦🍁...

.

To be continued

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!