Suara tembakan bergema di udara, mengiris malam yang sunyi. Nafasnya tersengal, tubuhnya tertatih di lorong sempit yang dipenuhi darah dan bau mesiu. Tangannya menekan luka di perut, mencoba menahan aliran cairan hangat yang terus merembes keluar.
"Apa aku akan mati di sini?"
Pikiran itu melintas di benaknya saat langkahnya melemah. Misinya telah gagal. CAI (Central Agency of Intelligence) memercayainya untuk menyusup, mengumpulkan informasi, dan keluar tanpa jejak. Tapi kali ini, ia yang menjadi target. Mereka sudah tahu siapa dirinya sejak awal.
Tubuhnya ambruk. Matanya berusaha tetap terbuka, tetapi kesadarannya memudar. Dari kejauhan, suara langkah kaki mendekat. Wajah musuhnya kabur di antara cahaya redup dan darah yang mengalir ke pelupuk matanya.
“Tidurlah dalam damai, agen…”
Suara itu adalah hal terakhir yang dia dengar sebelum peluru terakhir menghujam dadanya.
...***...
Saat ia membuka mata, hal pertama yang ia rasakan adalah udara hangat yang menyentuh kulitnya. Cahaya keemasan menyusup di sela dedaunan hijau yang menjulang tinggi. Angin sejuk berembus, membawa aroma tanah basah dan bunga liar.
Matanya membelalak. Ini bukan tempat di mana ia seharusnya berada.
Di mana gedung-gedung beton dan suara lalu lintas? Di mana laboratorium, senjata, dan layar komputer yang biasanya memenuhi dunianya?
Ia mencoba duduk, namun segera menyadari ada yang aneh. Tubuhnya terasa ringan, tetapi ada sesuatu yang berubah. Rambut panjang tergerai melewati bahunya, jatuh lembut hingga menyentuh tanah. Ia menatap tangannya, jari-jarinya ramping dan lebih halus dari sebelumnya. Saat ia menyentuh wajahnya, kulitnya terasa lebih lembut.
Jantungnya berdebar saat ia mencari sumber refleksi. Air jernih di dekatnya menunjukkan wajah yang asing… tetapi sekaligus familiar.
Rambutnya berwarna perak kebiruan, panjang dan berkilau seperti sutra. Matanya berwarna emas pucat, bersinar seperti matahari fajar. Wajah itu… bukan miliknya. Namun, di saat yang sama, ia mengenali bentuknya.
Ia menelan ludah. "Apa yang terjadi padaku?"
Ia menoleh ke bawah, melihat tubuhnya terbungkus kain tipis berwarna putih gading. Kulitnya lebih pucat dari biasanya, tetapi tetap memiliki sedikit rona emas khas manusia. Lalu, sesuatu yang lebih mengejutkan muncul dalam pandangannya.
Telinga.
Panjang. Lancip.
"Elf?"
Dunia seakan berputar. Ia menyentuh telinganya, mengelusnya perlahan untuk memastikan ini bukan ilusi. Tetapi semuanya nyata.
Ia mencoba mengingat hal terakhir yang terjadi. Ia ingat misi, ingat gagal, ingat tubuhnya tertembak. Ia seharusnya mati.
Tetapi sekarang…
Ia tidak hanya hidup, ia hidup dalam tubuh yang bukan miliknya.
...***...
Kakinya beranjak, berusaha berdiri meski masih goyah. Hutan di sekelilingnya tampak asing. Pepohonan tinggi menjulang, berkilauan seakan memancarkan cahaya mistis. Burung-burung dengan bulu keperakan beterbangan, dan suara aliran sungai terdengar dari kejauhan.
Bukan hanya tubuhnya yang berubah, tetapi dunia ini juga bukan dunia yang ia kenal.
Ia mulai berjalan, mencoba memahami situasinya. Langkahnya masih ragu, tetapi instingnya tetap terasah. Dalam pikirannya, hanya ada satu pertanyaan:
"Jika aku bukan lagi diriku yang dulu… lalu siapa aku sekarang?"
Jawaban itu datang lebih cepat dari yang ia kira.
Saat ia berjalan melewati hutan, memori asing mulai mengalir masuk. Kenangan yang bukan miliknya—tetapi juga terasa akrab—berusaha merasuk ke dalam pikirannya.
Nama.
Status.
Dosa.
Ia bukan sembarang elf. Ia adalah Seraphina Duskbane, seorang setengah-elf, anak hasil hubungan terlarang antara seorang bangsawan manusia dan seorang elf agung. Darahnya adalah aib bagi kedua ras, terlalu manusia bagi para elf, tetapi terlalu mistis bagi manusia.
Dan yang lebih buruk lagi… ia bukanlah karakter utama dalam dunia ini.
Ia adalah antagonis utama, seorang wanita yang ditakdirkan untuk mati dengan tragis di tangan sang pahlawan.
Tubuhnya terasa membeku. Ia mengenal nama itu. Seraphina Duskbane adalah karakter dalam kisah yang pernah ia baca. Seorang wanita kejam, haus kekuasaan, dan penuh kebencian yang akhirnya dihancurkan oleh protagonis.
Tetapi sekarang, ia ada di dalam tubuh itu.
Ia mengepalkan tangan. Takdir ini bukanlah sesuatu yang akan ia terima begitu saja.
"Jika dunia ini ingin menjadikanku musuh, maka aku akan menjadi musuh yang tidak bisa dihancurkan."
.
.
.
Seraphina Duskbane berdiri tegak di tengah hutan yang sunyi, pikirannya berputar seperti badai.
Mengapa ia terbangun dalam tubuh ini? Dan yang lebih penting, bagaimana mungkin tubuh ini kosong hingga ia bisa menempatinya?
Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Jika ini adalah dunia dalam kisah yang ia kenal, maka berarti segala sesuatu yang terjadi memiliki pola yang bisa dipahami. Dalam novel, Seraphina Duskbane dikenal sebagai sosok antagonis yang kejam dan haus kekuasaan, seorang wanita setengah-elf yang menentang takdirnya dengan segala cara. Namun, meskipun dikenal jahat, tidak banyak yang tahu alasan mengapa Seraphina menjadi seperti itu.
Seraphina mengerutkan kening. Novel yang ia baca hanya menampilkan sudut pandang protagonis. Tidak ada satu pun bagian yang mengungkapkan bagaimana Seraphina merasakan hidupnya sendiri.
"Jika aku ada di sini sekarang… lalu di mana Seraphina yang asli?"
Seketika, rasa dingin menjalar di tubuhnya. Ia mulai merasa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar reinkarnasi biasa.
Jika tubuh ini kosong saat ia terbangun, maka ada dua kemungkinan: entah Seraphina Duskbane memang telah mati dan tubuh ini dibiarkan tanpa jiwa… atau Seraphina dengan sengaja meninggalkan tubuhnya.
Pikiran itu membuat Seraphina tercekat. Mengapa seseorang memilih meninggalkan tubuhnya sendiri?
Kemungkinan itu membawa pertanyaan baru. Apakah Seraphina Duskbane benar-benar sosok yang sejahat yang dikatakan dalam kisah tersebut?
Seraphina memejamkan mata dan mencoba menyelami ingatan tubuh ini. Ia berharap ada sesuatu yang tertinggal—sebuah jejak, perasaan, atau memori yang bisa membantunya memahami nasib pemilik tubuh ini sebelumnya.
Pada awalnya, yang ia rasakan hanyalah kegelapan. Lalu perlahan, suara samar mulai muncul.
"Aku… lelah…"
Suara itu terdengar seperti bisikan. Lirih. Putus asa.
"Aku tidak ingin terus berjuang hanya untuk berakhir terbunuh…"
"Jika ada yang bisa menggantikanku… jika ada yang bisa melawan takdir ini… ambillah tubuh ini."
Seraphina membuka matanya dengan napas memburu. Ia merasakan gelombang emosi yang begitu kuat mengalir dalam dirinya. Ini bukan sekadar teori—Seraphina yang asli memang telah menyerahkan tubuhnya.
Mungkin ia tidak membenci dunia ini, tapi dunia ini telah terlalu lama membencinya.
Seraphina Duskbane yang dulu pasti sudah mencoba segala cara untuk melawan takdirnya. Tetapi ketika semua jalan tertutup dan tidak ada pilihan lain selain mati, ia memilih jalan lain, menghilang, dan membiarkan seseorang yang lebih kuat mengambil alih.
Dan orang itu adalah dirinya.
Seraphina mengepalkan tangannya. Ia bisa merasakan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kebencian atau ambisi. Ada kesedihan yang terpendam dalam diri pemilik tubuh ini.
"Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini," pikirnya. "Jika kau menyerahkan tubuhmu kepadaku, maka aku akan memastikan bahwa dunia ini tidak akan bisa menghancurkan kita lagi."
Tatapan matanya berubah dingin. Ia tidak tahu berapa banyak musuh yang harus ia hadapi atau berapa banyak rahasia yang harus ia bongkar, tetapi satu hal pasti:
Seraphina Duskbane tidak akan lagi menjadi korban dari permainan ini.
Ia akan mengendalikan takdirnya sendiri.
Seraphina Duskbane berdiri di tengah hutan yang sunyi, angin malam membelai kulitnya yang kini terasa asing. Kesadaran bahwa tubuh ini bukan miliknya semakin kuat, namun ia juga menyadari satu hal lain—sekarang tubuh ini adalah miliknya.
Jika ia ingin bertahan hidup dan memahami dunia yang kini menjadi rumah barunya, ia harus tahu segalanya tentang Seraphina Duskbane.
Siapa dia? Apa yang telah dilakukannya? Mengapa ia sampai menyerahkan tubuhnya?
Tanpa informasi, ia hanya akan menjadi bidak dalam permainan yang tidak ia mengerti.
Seraphina mulai bergerak. Hutan ini tampak luas, tetapi ia harus menemukan petunjuk yang bisa membantunya mencari jejak kehidupannya sebelumnya.
Langkah pertama: mencari tempat tinggal Seraphina yang asli.
Jika ia seorang bangsawan seperti dalam cerita yang ia baca, maka seharusnya ada tempat yang bisa ia tuju. Namun, apakah ia masih diterima di sana atau justru dianggap sebagai pengkhianat, itu adalah pertanyaan lain.
Seraphina menghela napas dan menajamkan pendengarannya. Telinga elf yang kini dimilikinya memberinya kepekaan lebih terhadap suara-suara di sekitarnya. Di kejauhan, samar-samar ia menangkap suara gemericik air.
Sungai.
Jika ada sungai, maka ada kemungkinan desa atau pemukiman berada di dekatnya.
Seraphina berjalan dengan hati-hati, memastikan tidak ada bahaya di sekitar. Ia masih belum tahu apakah dunia ini penuh dengan monster atau tidak, tetapi ia tidak ingin mengambil risiko.
Setelah beberapa waktu berjalan, ia tiba di tepi sungai yang jernih. Airnya mengalir tenang, memantulkan cahaya bulan di permukaannya. Ia berlutut dan melihat bayangannya sendiri di air—mata emas itu menatapnya kembali.
"Seraphina Duskbane... aku akan mencari tahu siapa dirimu sebenarnya."
Setelah membasuh wajahnya dan minum sedikit air, ia melanjutkan perjalanan. Namun, sebelum ia sempat pergi lebih jauh, suara gemerisik terdengar dari balik pepohonan.
Seraphina segera bersembunyi di balik semak-semak, matanya tajam meneliti arah suara itu berasal.
Beberapa detik kemudian, sekelompok pria muncul dari balik pepohonan. Mereka mengenakan baju besi ringan dan membawa pedang di pinggang mereka. Simbol di dada mereka menggambarkan sebuah lambang yang ia kenali dari cerita—Kerajaan Eldoria.
"Prajurit kerajaan?"
Seraphina menyipitkan mata. Apa yang mereka lakukan di sini?
"Apakah kau yakin dia masih hidup?" salah satu pria berbicara dengan nada merendahkan.
"Kita tidak bisa mengabaikan kemungkinan itu," jawab pria lainnya. "Tubuhnya tidak ditemukan, dan meskipun dia jatuh dari tebing, kita tidak bisa memastikan kematiannya tanpa bukti."
Seraphina menahan napas.
Mereka sedang mencari dirinya.
Atau lebih tepatnya, Seraphina Duskbane yang asli.
"Jadi… aku jatuh dari tebing sebelum tubuh ini kosong?" pikirnya. "Apakah itu yang terjadi? Apakah Seraphina memilih mati dengan cara itu?"
Jika tubuhnya tidak ditemukan, itu berarti mereka masih menganggapnya sebagai ancaman.
Seraphina mengepalkan tangan. Ini adalah petunjuk penting. Jika ia jatuh dari tebing, berarti ia berada di tempat yang cukup tinggi sebelumnya—mungkin kastil, menara, atau tempat tinggal bangsawan. Itu berarti kemungkinan besar Seraphina masih memiliki hubungan dengan keluarga kerajaan atau bangsawan lainnya.
Ia harus mencari tahu lebih banyak, tetapi sekarang bukan waktu yang tepat untuk menghadapi para prajurit itu.
Dengan gerakan ringan, ia berbalik dan bergerak menjauh dari mereka, menyelinap di antara pepohonan dengan kecepatan yang mengejutkannya. Tubuh ini mungkin baru baginya, tetapi ia bisa merasakan kekuatan alami dalam darah elf yang mengalir di dalamnya.
Ia tidak hanya lebih cepat, tetapi tubuh ini juga terasa lebih fleksibel dan gesit.
Setelah cukup jauh, ia berhenti dan mengatur napas.
Sekarang ia memiliki dua informasi penting:
Seraphina jatuh dari tebing sebelum tubuhnya kosong.
Prajurit kerajaan masih mencarinya, yang berarti ia masih dianggap sebagai ancaman.
Ia harus menemukan tempat di mana Seraphina tinggal sebelum kejadian itu terjadi. Jika ia benar-benar bangsawan, maka seharusnya ada catatan tentang dirinya.
Tetapi ada satu pertanyaan besar yang belum terjawab:
Apa kesalahan yang telah dilakukan Seraphina hingga ia dikejar oleh kerajaan?
Seraphina menyeringai tipis.
"Aku akan mencari tahu. Dan ketika aku sudah memiliki semua informasi…"
"Aku akan menentukan bagaimana caraku melawan."
.
.
Seraphina mendaki perlahan, napasnya sedikit memburu. Udara dingin mulai menusuk kulitnya saat ia mencapai ketinggian yang lebih tinggi.
Gunung ini tidak terlalu terjal, tetapi cukup melelahkan bagi seseorang yang belum terbiasa dengan tubuh barunya. Ia menyadari sesuatu yang menarik—meskipun tubuh ini memiliki stamina luar biasa, ototnya tidak terlalu berat. Sepertinya, tubuh elf ini lebih mengandalkan kelincahan daripada kekuatan mentah.
Saat ia terus berjalan, matanya menangkap sesuatu di kejauhan.
Di antara pepohonan pinus yang menjulang tinggi, terdapat sebuah bangunan kecil yang tampak terlantar. Gubuk kayu tua, dengan dinding yang sedikit lapuk dan atap yang ditumbuhi lumut.
Seraphina menyipitkan mata.
"Seseorang tinggal di sini?"
Tapi setelah beberapa saat mengamati, ia tidak melihat tanda-tanda kehidupan. Tidak ada asap dari cerobong, tidak ada suara langkah kaki, dan tidak ada hewan peliharaan yang biasanya menjaga tempat tinggal seseorang.
Dengan hati-hati, ia berjalan mendekat, memastikan tidak ada perangkap atau bahaya yang mengintai.
Pegangan pintu terasa kasar di tangannya. Saat ia mendorong pintu itu perlahan, engselnya berderit pelan, membuka jalan bagi kegelapan di dalamnya.
Seraphina melangkah masuk.
Di dalam, gubuk itu lebih kecil dari yang ia kira. Hanya ada satu ruangan utama dengan perabotan sederhana—sebuah meja kayu yang penuh debu, kursi reyot, dan tempat tidur jerami yang sudah usang. Rak kayu di sudut ruangan memajang beberapa botol kaca dan kantong rempah-rempah kering.
Tidak ada tanda-tanda kehidupan dalam waktu lama.
Seraphina menghela napas.
"Setidaknya aku bisa berlindung di sini untuk sementara."
Ia menutup pintu dan berjalan ke rak untuk memeriksa isi botol-botol itu. Beberapa di antaranya tampak seperti ramuan herbal, sementara lainnya mungkin adalah bumbu dapur yang sudah lama mengering.
Perutnya mulai menggeram.
Ia melirik ke sudut ruangan dan melihat sesuatu yang menarik—seikat jamur liar dan beberapa ubi yang ditumpuk di dalam keranjang.
Meskipun tubuh ini bukan miliknya sejak lahir, ingatan dari kehidupannya dulu tetap melekat. Ia ingat bagaimana bertahan hidup dalam kondisi ekstrem saat menjalani pelatihan di CAI.
Seraphina mengambil beberapa kayu dari sudut ruangan dan mulai membuat api di perapian kecil. Butuh beberapa saat sebelum api akhirnya menyala, memberikan kehangatan yang sangat dibutuhkannya.
Ia menusuk beberapa potong ubi dengan ranting dan memanggangnya di atas api.
Saat ubi itu mulai matang dan mengeluarkan aroma manis, Seraphina menatap nyala api dengan pikiran yang mulai berkecamuk.
Ia sekarang memiliki waktu untuk berpikir lebih dalam.
Mengapa Seraphina yang asli menyerahkan tubuhnya?
Apakah ia melakukannya dengan sengaja? Ataukah ini adalah akibat dari sesuatu yang lebih besar?
Dan jika tubuh ini benar-benar miliknya sekarang, apa yang harus ia lakukan?
Seraphina menggigit bibir.
"Aku tidak bisa sembarangan bertindak."
Ia tidak tahu siapa yang bisa dipercaya, siapa yang menjadi musuh, dan siapa yang ingin menghabisinya. Tapi satu hal yang pasti:
Kerajaan masih menginginkan dirinya mati.
Jika prajurit yang ia temui sebelumnya masih mencarinya, itu berarti ada sesuatu yang belum selesai. Mungkin Seraphina yang asli terlibat dalam sesuatu yang besar, sesuatu yang bisa mengguncang dunia ini.
Dan ia—Seraphina yang baru—harus mencari tahu sebelum orang lain menemukannya lebih dulu.
Saat ubi panggangnya matang, Seraphina mengambilnya dari atas api dan mulai makan perlahan. Rasanya sederhana, sedikit manis dengan aroma kayu bakar yang samar.
Makanan pertama dalam kehidupan barunya.
Saat ia mengunyah, matanya menatap ke luar jendela kecil gubuk. Salju tipis mulai turun, menutupi dedaunan dan tanah di luar dengan lapisan putih yang lembut.
Di dunia ini, ia sendirian.
Tapi itu tidak berarti ia lemah.
"Seraphina Duskbane... Aku akan menemukan jawaban tentang dirimu. Dan aku akan menentukan nasibku sendiri."
Ia menyandarkan punggungnya ke dinding kayu, menikmati kehangatan api, dan bersiap untuk perjalanan panjang yang menantinya.
Seraphina Duskbane berdiri di tengah hutan sunyi, angin pagi bertiup lembut melewati rambut peraknya. Sinar matahari yang menembus dedaunan menciptakan bayangan samar di tanah, memberikan suasana yang hampir mistis.
Setelah malam yang cukup tenang di dalam gubuk, ia menyadari sesuatu yang penting: tubuhnya ini belum siap menghadapi dunia luar.
Meskipun ia memiliki kecepatan dan kelincahan alami sebagai keturunan elf, ia masih bisa merasakan kelemahan dari sisi manusianya. Elf sejati memiliki daya tahan tinggi, refleks luar biasa, serta energi sihir yang mengalir dalam tubuh mereka. Namun, ia tidak memiliki keistimewaan seperti itu sepenuhnya.
Ia harus menyesuaikan diri.
Ia harus mengasah tubuh ini menjadi senjata yang sempurna.
Seraphina menarik napas dalam dan mulai merenggangkan otot-ototnya. Ia memutuskan untuk memulai dengan dasar—keseimbangan, kecepatan, dan kekuatan.
Melatih Keseimbangan dan Kelenturan
Ia menaiki sebuah batang kayu yang tumbang di dekatnya, berdiri dengan satu kaki sambil menutup matanya.
Dalam kehidupan sebelumnya sebagai agen CAI, ia telah menjalani berbagai latihan fisik yang melelahkan. Tetapi tubuh ini berbeda. Ia perlu memahami titik keseimbangannya yang baru.
Angin dingin bertiup kencang, namun ia bertahan. Sedikit demi sedikit, tubuhnya mulai terbiasa. Ia menekuk lutut, berpindah ke kaki lainnya, lalu mulai berjalan di atas batang kayu itu seolah-olah sedang menari di atas tali tipis.
Tubuh elf ini memang lebih ringan dan fleksibel dibandingkan tubuh manusianya dulu. Setelah beberapa menit, ia merasa cukup nyaman dengan gerakannya.
Latihan Kecepatan dan Ketangkasan
Seraphina kemudian turun dan mulai berlari melewati hutan, menghindari cabang-cabang rendah dan melompati akar pohon besar.
Pada awalnya, langkahnya sedikit kaku, tetapi semakin lama ia berlari, tubuhnya mulai memahami ritmenya sendiri. Ia melompati bebatuan, meluncur di bawah dahan pohon, dan bergerak dengan gesit di antara pepohonan seperti bayangan.
Sesuatu dalam tubuhnya bereaksi secara alami.
"Jadi ini insting elf?" pikirnya.
Ia mulai menambah kecepatan. Hembusan angin yang menerpa wajahnya semakin kuat, tetapi ia tidak merasa lelah. Bahkan, tubuhnya terasa lebih bebas dibandingkan sebelumnya.
Namun, satu hal yang masih kurang—daya tahannya belum cukup untuk bertahan dalam pertarungan panjang.
Meningkatkan Kekuatan
Ia berhenti di dekat sebuah pohon besar, menekan kedua tangannya ke batang pohon itu, lalu mulai melakukan push-up dengan satu tangan.
Tubuh elf mungkin lebih gesit, tetapi ia masih membutuhkan kekuatan fisik yang cukup untuk bertarung dalam jarak dekat. Jika ia hanya mengandalkan kecepatan, lawan yang lebih kuat bisa dengan mudah menjatuhkannya dalam satu serangan.
Seraphina menambah intensitas latihannya—push-up, sit-up, squat, dan berbagai teknik lainnya untuk membangun kekuatan.
Setiap otot dalam tubuhnya terasa mulai terbakar, tetapi ia terus memaksakan diri.
Hanya dengan tubuh yang kuat, ia bisa bertahan.
Hanya dengan kekuatan, ia bisa menaklukkan dunia ini.
Setelah beberapa jam berlalu, Seraphina akhirnya terjatuh ke tanah, terengah-engah.
Ia menatap langit yang mulai berubah warna menjadi jingga.
Tubuhnya masih jauh dari sempurna, tetapi ia bisa merasakan peningkatan yang signifikan.
"Ini baru permulaan."
Di dunia ini, hanya ada satu aturan: Jika kau ingin bertahan, kau harus lebih kuat dari mereka semua.
Seraphina menarik tudung jubahnya lebih rendah, menyembunyikan wajahnya saat melangkah pelan ke dalam pedesaan yang tampak seperti bagian dari dongeng.
Bangunan-bangunan tua berdiri dengan kokoh, dihiasi ukiran-ukiran unik yang tampak berpendar saat terkena cahaya bulan. Jalanan berbatu yang ia lalui dipenuhi berbagai makhluk—bukan hanya manusia, tetapi juga ras lain yang hanya pernah ia dengar dalam mitologi.
Elf berambut keemasan melintas dengan anggun, makhluk bertanduk kecil berdagang rempah-rempah di sudut jalan, sementara seorang pria besar dengan kulit kebiruan tertawa terbahak-bahak di depan kedai minuman.
Namun, yang paling mencuri perhatiannya adalah para penyihir.
Di tengah pasar malam yang ramai, seorang wanita bersorban hitam mengangkat tangannya ke udara. Dalam sekejap, bola api muncul di telapak tangannya, kemudian meluncur ke atas dan meledak seperti kembang api. Kerumunan bersorak kagum, sementara Seraphina menatapnya dengan mata membulat.
Jadi ini dunia sihir yang sebenarnya?
Seraphina teringat kembali bahwa dalam kisah yang ia ketahui, tubuh yang kini ia tempati seharusnya adalah seorang penyihir yang kuat. Namun, dalam cerita aslinya, Seraphina Duskbane jatuh ke dalam perangkap protagonis dan kehilangan kekuatannya.
Kini, ia berada di dunia ini lebih awal dari takdir yang seharusnya terjadi. Itu berarti ia memiliki kesempatan untuk mengubah segalanya.
Ia mengepalkan tangannya.
"Kalau aku ingin bertahan, aku harus belajar sihir juga."
Mencari Sumber Pengetahuan
Seraphina berjalan lebih dalam ke desa, memperhatikan setiap sudut. Ia tidak bisa langsung bertanya kepada seseorang mengenai sihir—itu akan mencurigakan.
Sebaliknya, ia mulai mencari tempat yang biasanya menjadi sumber ilmu dalam dunia seperti ini: Perpustakaan, toko buku sihir, atau akademi penyihir.
Ia melangkah ke gang sempit dan menemukan sebuah papan kayu dengan lambang bintang sihir. Di bawahnya, tertulis kata-kata dalam bahasa yang samar-samar bisa ia pahami:
"Toko Grimorium – Menjual Buku dan Alat Sihir"
Tempat itu terlihat seperti toko buku tua dengan jendela berkabut dan lilin yang menyala di dalamnya. Seraphina melirik sekeliling sebelum masuk, lalu membuka pintu dengan hati-hati.
Denting lonceng kecil terdengar.
Di dalam, rak-rak tinggi penuh dengan buku tebal berjilid kulit. Aroma tinta dan debu bercampur dengan wangi herbal yang terbakar di sudut ruangan.
Di balik meja, seorang wanita tua dengan mata tajam memperhatikannya.
"Baru pertama kali ke sini?" tanya wanita itu dengan suara serak.
Seraphina hanya mengangguk, mencoba menjaga sikapnya tetap tenang.
"Sedang mencari sesuatu?"
Seraphina berpikir sejenak. Ia tidak bisa meminta buku sihir tingkat tinggi. Itu akan mencurigakan. Jadi, ia memutuskan untuk mulai dari dasar.
"Aku ingin memahami dasar-dasar sihir," jawabnya singkat.
Wanita itu mempersempit matanya, lalu menunjuk rak di ujung ruangan. "Di sana ada buku untuk pemula. Tapi ingat, sihir bukan sekadar membaca dan menghafal. Kau harus memahami bagaimana mengalirkannya."
Seraphina mengangguk lagi, lalu berjalan ke arah yang ditunjuk.
Di antara tumpukan buku, ia menemukan beberapa yang menarik:
"Dasar-Dasar Manipulasi Mana"
"Elemen dan Afinitas Sihir"
"Pengantar Ilmu Rune"
Ia mengambil ketiganya dan membawa mereka ke meja.
Wanita tua itu menyeringai. "Sepertinya kau benar-benar serius belajar, anak muda."
Seraphina tidak menjawab. Ia hanya menyerahkan beberapa koin perak yang ia temukan dalam kantong baju Seraphina Duskbane.
Sang wanita menerima pembayaran itu dengan anggukan puas. "Hati-hati dengan sihir, Nak. Kalau kau tidak bisa mengendalikannya, ia bisa menghancurkanmu."
Seraphina hanya tersenyum tipis.
"Jangan khawatir. Aku tidak akan dihancurkan oleh apapun."
Dengan buku-buku itu di pelukannya, ia bergegas keluar dan kembali ke gubuknya.
Malam ini, ia akan mulai mempelajari dunia barunya dengan serius.
Dunia yang dipenuhi sihir, tempat di mana ia harus menjadi yang terkuat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!