"Saga, ayo kita putus," ucap Rhea tiba-tiba. Dia sudah berpacaran dengan Sagara sejak kelas XI dan kini selang waktu satu tahun tanpa masalah yang serius, tiba-tiba Rhea meminta putus.
Sagara terkejut. Dia menoleh ke belakang, ingin memastikan apakah dia tidak salah dengar. “Apa?"
Namun, di saat yang sama, sebuah truk besar melaju dari arah berlawanan. Sagara, yang refleks menoleh ke Rhea, tidak melihat bahaya itu datang. Saat suara klakson truk membahana, baru dia sadar. Dia sangat panik dan membanting setang motor ke samping. Ban kehilangan keseimbangan, dan dalam sekejap, mereka terlempar ke aspal.
Tubuh Sagara menghantam keras ke jalanan bersamaan dengan motornya, sementara Rhea jatuh dalam posisi yang aman. Dia melihat Sagara yang kesakitan sambil memegang bahunya.
"Saga!" Rhea berusaha membantu Sagara. Dia sangat menyesal, seandainya dia tidak meminta putus dengan Sagara di jalanan, hal ini pasti tidak akan terjadi.
Beberapa orang mulai berkumpul dan menarik motor sport Sagara yang menindih tubuhnya. Seketika Rhea memeluk Sagara dan menangis. "Maaf. Ini semua salahku."
"Bukan. Ini bukan salah kamu," kata Sagara dengan suara yang sangat pelan kemudian dia jatuh pingsan.
...***...
"Tulang bahunya patah, harus segera dioperasi!"
Rhea hanya mengikuti di belakang brankar yang didorong dengan kencang oleh suster dan juga dokter. Dia semakin merasa bersalah karena ternyata luka Sagara separah itu.
Dia hanya melihat ruang operasi itu tertutup dari kejauhan. Tepat di depan pintu ruang operasi itu ada kedua orang tua Sagara yang saling berpelukan sambil menangis.
Rhea tidak berani mendekat. Dia hanya berdiri dan terdiam di kejauhan sampai operasi itu akhirnya selesai. Setelah dokter berkata bahwa operasinya berhasil, barulah Rhea pergi dari tempat itu.
Rhea berjalan pelan menaiki tangga darurat menuju lantai atas. Rasa bersalah dan semua rahasia yang dia simpan dari Sagara membuatnya tidak sanggup lagi menjalani hidup.
Akhirnya dia sampai di atap, angin malam menerpa tubuhnya. Rhea terdiam sejenak, lalu dia mengambil ponselnya dan mengirim pesan pada saudara satu-satunya yang dia miliki.
Apapun yang terjadi padaku, jangan salahkan Sagara.
Setelah pesan itu terkirim, Rhea meletakkan ponselnya di atas kursi yang rusak. Dia berjalan mendekati pagar pembatas. Tangannya meraih besi itu, jari-jarinya menggenggam erat sebelum perlahan menaikinya.
Dari atas, dia menatap ke bawah. Jalanan tampak begitu jauh.
Jika dia melompat, semua rasa bersalah ini akan hilang, kan?
Sagara tidak perlu melihatnya lagi dan Sagara tidak perlu tahu rahasia yang telah dia sembunyikan selama ini.
Tanpa ragu, Rhea menutup matanya dan melepaskan genggamannya. Tubuhnya jatuh ke udara, tenggelam dalam kegelapan malam.
...***...
Vera mengernyitkan dahinya menatap pesan dari adiknya. "Apa yang dimaksud Rhea?" Vera segera menghubungi Rhea tapi tidak diangkat.
Setelah mendapat kabar bahwa Rhea mengalami kecelakaan, Vera segera pulang dari tempat kosnya untuk menemui adiknya. Vera adalah seorang mahasiswi semester dua yang berkuliah di kota tetangga.
Setelah dua jam perjalanan, dia akhirnya sampai di rumah sakit. Vera turun dari taksi online dan berjalan menuju halaman rumah sakit. Tapi di samping rumah sakit itu banyak orang berkerumun. Vera penasaran dan berjalan mendekat.
"Ada apa?" tanya Vera pada salah satu orang yang bergerombol sambil memegang ponsel untuk merekam.
"Ada yang bunuh diri, melompat dari atap gedung. Dia siswi SMA. Dengar-dengar baru mengalami kecelakaan dengan pacarnya."
Mendengar hal itu, jantung Vera berdetak dengan kencang. Dia mendekat dan membuka koran yang menutupi tubuh itu. "Rhea!" Seketika Vera menangis tersedu sambil menggoyang bahu Rhea agar kembali bangun tapi sia-sia. "Kenapa kamu ninggalin kakak, kamu satu-satunya keluarga yang aku punya."
Semakin histeris, dua orang perawat berusaha menjauhkan Vera dari Rhea. Hingga akhirnya Vera jatuh pingsan karena perasaannya benar-benar terguncang.
...***...
"Rhea!" Sagara membuka kedua matanya dan melihat kedua orang tuanya yang berdiri di dekat brankarnya. "Rhea, bagaimana kondisinya?" tanya Sagara dengan panik karena barusan dia bermimpi, Rhea pergi untuk selamanya dari dunia ini.
Kedua orang tuanya hanya diam sambil mengusap rambut Sagara. Mereka juga baru mendengar kabar jika Rhea meninggal karena bunuh diri.
"Setelah kecelakaan, Rhea masih sadar. Dia memelukku. Mama dan Papa tidak menyalahkan Rhea kan? Dimana Rhea sekarang?" Sagara semakin khawatir melihat wajah mamanya yang tidak bisa menahan tangis.
"Saga, jangan pikirkan Rhea. Kamu istirahat dulu. Kamu baru selesai operasi dan efek obat bius kamu belum sepenuhnya hilang," kata Shaka berusaha menenangkan putranya.
"Aku harus menemui Rhea, Papa. Aku mimpi buruk." Sagara berusaha bangun tapi papanya terus menahannya karena Sagara tidak boleh terlalu banyak bergerak dahulu pasca operasi.
"Jadi kamu pacar Rhea!" Vera masuk ke dalam ruang rawat Sagara meskipun seorang pria sudah berusaha menahannya. Wajahnya sangat sembab dan air mata itu tidak bisa berhenti mengalir. Dia baru sadar dari pingsannya dan langsung mencari keberadaan Sagara. "Apa yang sudah kamu lakukan sama Rhea sampai dia mengakhiri hidupnya seperti ini."
"Maksudnya?" Sagara berusaha bangun meski lengan dan bahunya terasa sangat sakit.
"Rhea sudah meninggal karena melompat dari atap gedung rumah sakit ini. Apa yang sudah kamu lakukan pada Rhea sampai dia memutuskan mengakhiri semuanya."
"Sudah. Ini bukan salah Saga." Novan terus berusaha menahan tubuh Vera agar menjauh dari Sagara.
Novan adalah kekasih Vera yang seorang guru dan mengajar di sekolah Rhea. Selama Vera kuliah di luar kota, Novan bertugas mengawasinya tapi dia tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya pada Rhea karena kesibukannya mengajar di kelas XII. Dia juga merasa bersalah karena telah gagal menjaga Rhea.
"Rhea ... gak mungkin!" Sagara turun dari brankar hingga infus di tangannya terlepas. Dia berjalan tertatih sambil menahan rasa sakit.
"Saga, Papa ambilkan kursi roda kalau kamu memang ingin melihat Rhea."
Sagara hanya menggelengkan kepalanya. Dia terus berjalan menuju kamar mayat. Ingin rasanya dia tidak percaya dengan kabar itu tapi saat dia masuk ke dalam kamar mayat itu, dia melihat Rhea yang terbujur kaku dengan darah yang masih merembes di kepalanya. Beberapa petugas sedang membersihkan darah itu. Dia semakin mendekati Rhea dan mengguncang bahunya.
"Rhea, kenapa kamu melakukan ini? Nggak apa-apa kalau kamu mau putus denganku, tidak seharusnya kamu mengakhiri hidup kamu seperti ini. Rhea ....." Sagara sudah kehabisan tenaga. Ruangan itu seperti berputar dan dia jatuh pingsan lagi.
"Saga!" Shaka segera menahan tubuh putranya. Dia mengangkat tubuhnya dan dia turunkan di brankar dorong lalu suster dan dokter segera mendorongnya kembali ke ruangan.
Novan terus menahan tubuh Vera agar tidak terjatuh. Dia membawanya keluar dari kamar mayat itu agar tidak mengganggu petugas medis. "Sudah, jangan salahkan Saga. Aku yakin ini bukan salah Saga. Dia tidak mungkin menyakiti Rhea karena setahuku Saga sangat mencintai Rhea."
"Lalu kenapa Rhea bunuh diri? Aku harus mencari tahu penyebab yang sebenarnya."
💕💕💕
Sagara sudah hadir .... Ini kakaknya Selena ya. Untuk ceritanya Selena nanti perlahan aku tamatkan.
Jadikan favorit ya, jangan lupa like dan komen...
"Kamu kakaknya Rhea?" tanya Shaka. Dia kini duduk di dekat Vera yang masih duduk di depan kamar mayat menunggu Novan menyelesaikan urusan administrasi dan proses pengantaran.
Vera tak menjawabnya. Dia hanya menatap kosong pintu yang sekarang tertutup.
"Saya turut berduka cita. Saya yakin, ini juga bukan mau Saga. Dia sekarang juga sangat hancur, jadi saya mohon jangan terus menyalahkan Saga. Saya akan membayar semua biaya pemakaman."
Vera menghapus air matanya lalu menatap pria paruh baya yang ada di dekatnya dengan tajam. "Memang Bapak tahu dengan apa yang sudah dilakukan Saga? Kenapa Bapak yakin? Bagaimana kalau Saga-lah penyebab Rhea bunuh diri! Jangan dipikir, Bapak sudah membiayai dan saya akan memaafkan Saga. Tidak akan! Saya ingin Saga tanggung jawab! Saya akan laporkan pada polisi agar kasus ini diusut."
Shaka menarik napas panjang dan menghembuskannya. "Silakan jika kamu ingin melaporkan Saga pada polisi. Ini murni kecelakaan. Di saat Rhea bunuh diri, Saga juga belum sadarkan diri. Bahkan kondisinya sekarang juga semakin memburuk. Daripada kamu sibuk mencari kesalahan Saga, lebih baik kamu cari kesalahan adik kamu. Mungkin kesalahan sebenarnya ada pada adik kamu." Kemudian Shaka berdiri dan pergi dari tempat itu karena dia tidak ingin semakin terpancing emosinya. Dia sangat mengenal putranya, dia tidak mungkin menyakiti hati seorang perempuan.
Vera masih tidak bisa berpikir jernih. Dia kini beringsut duduk di lantai. Seandainya waktu bisa diputar, dia tidak akan menerima beasiswa kuliahnya dan harus meninggalkan adiknya sendirian. Baru satu tahun kuliah, dia benar-benar sudah kehilangan adiknya. "Maafkan aku, tidak bisa menjaga kamu. Aku akan mencari, siapa yang telah melukai hati kamu lalu aku akan membalasnya."
...***...
Setelah pemakaman adiknya selesai dan berulang kali Vera pingsan, dia kini duduk di kamar adiknya sambil menatap buku-buku Rhea yang sedikit berantakan. Dia sudah memeriksa ponsel Rhea dan tidak ada apapun selain obrolan grup kelas dan pesan dari Sagara.
"Apapun yang terjadi jangan salahkan Saga. Kalau kamu masih mencintai Saga, kenapa minta putus." Vera mengambil buku Rhea dan mengeceknya satu per satu. Dia harus mencari sesuatu. Siapa tahu Rhea menulis buku harian.
Saat Vera membuka laci, dia terkejut melihat alat tes kehamilan dan hasilnya positif. Ada hasil print USG juga atas nama Rhea dan usia kandungan sudah berumur 10 minggu.
"Siapa yang menghamili Rhea?"
Vera memukul kepalanya sendiri karena tidak sadar dengan ucapan dokter semalam yang mengatakan bahwa Rhea mengalami pendarahan di alat vitalnya. "Apa Saga tidak mau tanggung jawab? Atau ada seseorang yang telah memaksa Rhea?"
Vera terus memikirkan cara untuk mengetahui semua kebenaran.
"Vera, kamu tidak apa-apa kan?" Ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Dia berdiri dan membuka pintu itu.
"Vera, kenapa pintu depan tidak kamu tutup? Ini sudah malam," kata Novan dengan khawatir. Dia sengaja datang ke rumah Vera untuk memeriksa kondisi Vera dan benar saja, pintu rumah itu masih terbuka hingga malam telah larut.
"Mas Novan, aku ingin menyelidiki masalah Rhea. Aku akan menyamar dan masukkan aku di kelas Rhea yang satu kelas dengan Saga. Aku yakin, teman-teman Rhea tidak ada yang mengenalku karena setahu mereka kakaknya adalah kamu."
Novan mengernyitkan dahinya mendengar permintaan Vera. Dia memegang kedua bahu Vera dan menatapnya. "Vera, biarkan adik kamu tenang di sana. Mungkin saja Rhea merasa bersalah karena telah membuat Saga terluka parah."
Rhea menggelengkan kepalanya. "Aku yakin, alasannya bukan hanya itu." Kemudian dia menunjukkan hasil tes kehamilan dan juga foto hasil USG. "Ini, Rhea hamil 10 minggu. Aku ingin tahu, siapa yang sudah menghamilinya?"
Novan terkejut melihat hasil tes itu.
"Aku kira, Rhea bisa menjaga diri setelah berusia 17 tahun, makanya aku menerima beasiswa itu dan kuliah di luar kota tapi ternyata ..." Vera menghentikan perkataannya dan kembali terisak.
Novan memeluk Vera dan menenangkannya. "Aku juga tidak tahu tentang itu. Maaf, aku gagal menjaga Rhea."
Vera menggelengkan kepalanya. "Ini bukan tanggung jawab kamu, tapi aku. Jadi, aku ingin memastikan, siapa yang telah menghamili Rhea. Aku tidak ingin hidupnya bahagia di atas penderitaan Rhea. Kamu bisa bantu aku kan?"
Novan melepas pelukannya dan duduk di sofa. "Besok aku akan coba bilang sama Pak Hendra. Semoga saja Pak Hendra mau membantu. Tapi kamu juga harus hati-hati, jangan bertindak gegabah karena di sekolah itu banyak anak geng motor, mereka juga terkenal nakal."
"Apa Saga juga salah satunya?"
"Iya, tapi dia baik. Bagaimana cara kamu menyelidikinya? Apa kamu serahkan saja padaku biar aku bekerjasama dengan guru BK."
Vera menggelengkan kepalanya. Dia tetap kekeh ingin menyelidikinya sendiri. "Biarkan aku saja. Aku akan mendekati mereka, setelah itu aku akan membuat mereka hancur."
...***...
"Rhea ...." Sagara hanya menatap foto yang ada di ponselnya. Saat hari pemakaman Rhea pun, dia tidak bisa datang karena belum sadarkan diri setelah pingsan kedua kalinya.
Kini sudah dua minggu berlalu, kondisinya perlahan sudah pulih meskipun dia masih harus memakai penyangga di tangannya.
"Saga, ayo Papa antar ke sekolah." Shaka mengambil tas sekolah putranya lalu mereka berjalan keluar dari kamar. "Dua minggu lagi motor kamu sudah selesai diperbaiki tapi kamu masih tidak boleh bawa motor sampai tiga bulan," kata Shaka sambil berjalan bersama putranya keluar dari rumahnya.
Sagara menggelengkan kepalanya. Sepertinya setelah ini, dia tidak akan menaiki sepeda motor lagi. Membayangkan sepeda motornya saja, dia kembali teringat kenangan buruk itu. "Aku tidak akan memakai sepeda motor lagi."
Shaka menghentikan langkah kakinya di dekat mobil lalu membuka pintu untuk putranya. "Ya sudah, Papa akan belikan mobil buat kamu. Setelah tangan kamu sembuh, kamu segera buat SIM. Untuk sementara, biar Arif yang menjadi sopir pribadi kamu selama Papa sibuk."
Sagara hanya menganggukkan kepalanya lalu masuk ke dalam mobil itu. Sejak duduk sampai mobil itu berjalan, Sagara terus menatap kosong jalanan yang dia lalui.
"Saga, jika ada apa-apa, kamu bilang pada Zavin saja. Papa juga sudah pesan sama dia untuk menjaga kamu," kata Shaka.
"Aku bisa jaga diri sendiri," kata Sagara. Setelah mobil itu berhenti, Sagara mencium tangan papanya lalu turun dari mobil. Dia berhenti sejenak menatap gedung sekolahnya. Dia memikirkan bagaimana menghadapi berbagai pertanyaan nanti.
Perlahan, Sagara melangkah masuk ke halaman sekolahnya.
"TIINNN!!!"
Suara klakson terdengar keras di belakangnya. Sagara menghentikan langkah kakinya dan menatap seorang siswi yang mengendari motor sport melaju menuju tempat parkir.
Siswa lain yang melihatnya langsung berkerumun dan berbisik karena baru kali ada siswi yang mengendarai motor sport.
Gadis itu turun dari motornya dan melepas helmnya. Rambut sebahu itu berkibar tertiup angin. Dia menebarkan senyuman manisnya lalu menatap Sagara yang berdiri mematung.
Saga, kamu pasti tidak mengingatku. Kita hanya bertemu sekali dan hanya beberapa detik karena kamu langsung pingsan. Apalagi penampilanku sekarang sudah berubah.
Kemudian Vera berjalan mendekati Sagara. "Hai, bisa tunjukkan kelas XII-B dimana?"
"Hai, bisa tunjukkan kelas XII-B dimana?" tanya Vera. Dia sengaja mendekati Sagara dan memang berniat untuk menggodanya. Meskipun dia tahu, dia sangat berbeda dengan Rhea yang feminim.
Sagara tak menjawabnya. Dia melangkahkan kakinya melewati Vera begitu saja.
Vera mengikuti langkah kaki Sagara di belakangnya. "Gue tanya, kenapa gak jawab?'
"Saga!" Zavin berlari menghampiri Sagara. Dia menarik tangan Vera agar menjauh dari Sagara. "Siapa lo? Jauh-jauh sana, Saga gak mau diganggu."
Vera hanya mencibir. "Dih, cowok-cowok aneh." Kemudian dia melihat Novan yang melambaikan tangan ke arahnya di depan ruang kepala sekolah. Dia segera melangkah mendekat dan masuk ke dalam ruangan itu.
"Jadi, kamu kakaknya Rhea?" tanya Pak Hendra, selaku kepala sekolah di sekolah itu. Kebetulan sekali Novan memang cukup dekat dengan Pak Hendra jadi mereka bisa bekerjasama dengan baik.
"Iya, saya kakaknya Rhea," jawab Vera sambil menganggukkan kepalanya.
"Kamu mau menyelidiki penyebab Rhea bunuh diri? Penampilan kamu sekarang memang sangat berbeda saat saya bertemu waktu melayat dua minggu yang lalu, sudah pasti semua teman Rhea tidak akan ada yang mengenal kamu. Rhea juga sangat tertutup, teman-temannya hanya tahu Novan-lah walinya di sini."
Vera hanya menganggukkan kepalanya.
"Saya beri petunjuk siswa yang pernah terlibat dengan Rhea. Saga, selaku pacar Rhea dan Dwiki."
Vera mengernyitkan dahinya. "Dwiki?"
"Iya, dia siswa nakal di sekolah ini. Banyak pelanggaran yang telah dia lakukan. Dia pernah bertengkar hebat dengan Saga karena memperebutkan Rhea, sekitar satu setengah tahun yang lalu."
Novan terkejut mendengar hal itu. Dia tidak pernah tahu masalah itu. "Saya tidak pernah mendengar hal itu."
"Waktu itu Anda sedang pembekalan materi di luar kota lalu izin cuti dalam waktu yang cukup lama."
Novan menganggukkan kepalanya. Ya, dia kini mengingatnya.
"Baik, terima kasih atas informasinya," kata Vera.
"Jika kamu mengetahui kasus pelanggaran di sekolah ini selain masalah adik kamu, langsung kamu laporkan saja pada pihak sekolah."
"Baik, terima kasih." Kemudian Vera keluar dari ruangan itu bersama Novan. Mereka berjalan menuju kelas XII-B dimana kelas Sagara berada.
"Ingat, selama di sekolah kamu harus memanggilku, Pak," bisik Novan.
Vera tersenyum kecil. Dia tidak menyangka bisa melihat Novan setiap hari. "Baik, Pak Novan."
Vera melangkah ke dalam kelas XII-B dengan percaya diri. Pandangannya menyapu seluruh ruangan, memperhatikan wajah-wajah yang kini menatapnya dengan rasa penasaran. Beberapa murid berbisik satu sama lain, menebak-nebak siapa gadis baru yang tiba-tiba muncul di kelas mereka.
Di belakangnya, Novan berdiri dengan tangan di saku celana, menatap para murid dengan tatapan serius. “Perhatian semuanya,” katanya tegas. “Hari ini, ada murid baru yang akan bergabung di kelas ini. Silakan perkenalkan diri.”
Vera tersenyum kecil sebelum melangkah ke depan kelas. Dia menghela napas sejenak, memastikan suaranya terdengar santai.
“Halo, semuanya. Nama aku Vera.” Dia melirik sekilas ke arah Sagara, yang duduk di bangku dekat jendela dengan ekspresi dingin. “Aku baru pindah ke sini, jadi mohon bantuannya.”
Beberapa murid masih berbisik, tapi tidak ada yang mengajukan pertanyaan.
Setelah memperkenalkan diri, Vera berjalan ke barisan tempat duduk, sengaja memilih bangku kosong di sebelah Sagara. Namun, begitu dia menarik kursinya untuk duduk, Sagara tiba-tiba berdiri.
Semua mata langsung tertuju padanya.
Sagara menoleh ke arah seorang siswa lain yang duduk di barisan lain. “Evan, tukar tempat denganku.”
Evan, yang sedang sibuk membaca bukunya, menoleh dengan bingung. “Hah?”
“Pindah ke sini,” ulang Sagara, kali ini dengan suara yang keras dan dingin.
Evan mengangkat bahu, tampak tak ingin berdebat dengan Sagara. Dengan malas, dia mengemasi barang-barangnya dan berjalan ke tempat duduk di sebelah Vera. Sagara, tanpa bicara langsung mengambil kursi Evan dan duduk di tempat baru, jauh dari Vera.
Vera mengangkat alis, menyadari bahwa Sagara benar-benar ingin menghindarinya. Namun, bukannya tersinggung, dia justru tersenyum kecil.
“Menarik,” gumamnya pelan.
Evan, yang kini duduk di sebelahnya, meliriknya dengan penasaran. “Dia kenapa?"
Vera menoleh ke arahnya dan tersenyum. “Kok lo tanya sama gue. Lalu gue tanya sama siapa? Gue kan baru di kelas ini." Vera mengeluarkan buku tulisnya. Sesekali dia melirik Evan yang kembali membuka buku pelajarannya. Dari penampilan Evan, dia bisa menebak bahwa Evan adalah murid teladan yang pintar. Dia rapi dan memakai kacamata meskipun kacamata itu tak mengurangi ketampanannya.
Novan segera memulai mata pelajarannya hari itu. Dia menatap Vera yang terus menatap gerak-gerik Sagara. Akhirnya dia berjalan mendekati Vera. "Vera, di sekolah kamu sebelumnya apa sudah sampai pada materi Limit Fungsi?"
Mendengar pertanyaan itu, seketika Vera mendongak. "S-sudah, Pak."
"Ya sudah, pinjam catatan saja pada Evan. Evan adalah siswa terpintar di kelas ini."
Evan tersenyum mendengar pujian itu.
"Yang lainnya, kalian tiru Evan. Harus rajin belajar karena sembilan bulan lagi kalian akan menghadapi ujian kelulusan," kata Novan sambil berjalan ke depan kelas.
"Iya, Pak," jawab seluruh murid secara bersamaan.
Vera masih saja tertawa kecil. Baru kali ini dia melihat Novan mengajar secara langsung. Ternyata di sekolah Novan memang sangat tegas. Pantas saja dia terkenal dengan julukan guru killer.
Senyumnya berhenti saat dia mendapat satu senggolan dari Evan. "Kalau lo gak memperhatikan, nanti Pak Novan hukum lo."
Vera hanya tersenyum menatap Evan lalu menggeser buku tugas Evan. "Semua materi ini sudah gue pelajari." Dia segera menyalin soal ke bukunya lalu mengerjakannya dengan cepat.
Evan hanya terbengong melihatnya. Dia tidak menyangka ada yang mengalahkan kecepatannya dalam mengerjakan soal Matematika. "Nggak! Ini gak boleh dibiarkan. Gue gak boleh kalah sama lo." Kemudian dia mulai mengerjakan soal itu dan seperti beradu balap dengan Vera.
Vera hanya menyunggingkan senyumnya. Meskipun aku tidak terlalu pintar, tapi aku sudah menuntaskan semua materi ini.
...***...
"Lo gak ke kantin?" tanya Evan pada Vera saat istirahat berlangsung.
Vera hanya menggelengkan kepalanya. Dia terus menatap Sagara yang hanya duduk di kelas sendirian. "Cowok itu kenapa dingin sekali?" tanya Vera berpura-pura tidak tahu.
"Dia baru saja kehilangan pacarnya," bisik Evan. "Mereka berdua kecelakaan tapi entah kenapa ceweknya justru bunuh diri di rumah sakit. Entahlah, apa permasalahan mereka."
Karena tidak ada respon dari Vera, Evan akhirnya berdiri. "Ya udah, gue mau ke kantin." Kemudian dia keluar dari kelas.
Vera masih saja menatap Sagara.
Iya, aku akui dia sangat tampan. Apa jangan-jangan Rhea pemuja ketampanannya sampai rela melakukan apapun dan melindunginya. Wah, aku harus segera menyelesaikan masalah ini.
Vera berdiri dan akan mendekati Sagara tapi langkahnya berhenti saat ada seorang pria dengan seragam yang berantakan dan slayer yang mengikat kepalanya berjalan cepat mendekati Sagara. Tiba-tiba saja dia menarik kerah Sagara. "Berani sekali lo datang ke sekolah ini! Setelah lo membunuh Rhea! Lo mau mencari korban lagi!"
Sagara menepis tangan Dwiki dengan satu tangannya. "Gue mau sekolah atau tidak, itu bukan urusan lo!"
Sepertinya, dia yang namanya Dwiki. Wah, benar-benar seorang preman.
Dwiki mengepalkan tangannya dan akan melayangkan satu tinjuan ke wajah Sagara tapi Vera dengan cepat menahannya.
"Cemen! Lo punya dua tangan tapi mau lawan cowok yang sedang berkabung dan punya satu tangan sehat."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!