"Ayah... Ayah... Bangun Ayah!" Gendhis meraung histeris, tubuhnya lunglai di samping pusara ayahnya. Bismo, dengan wajah yang tak kalah sendu, mencoba menenangkan adiknya.
"Gendhis, sudah... Ikhlaskan Ayah," ucap Bismo, suaranya bergetar.
"Bagaimana bisa aku ikhlas, Mas? Ayah pergi secepat ini, aku belum sempat membalas semua kebaikannya," isak Gendhis, air matanya terus mengalir membasahi pipinya.
Bismo memeluk erat adiknya, mencoba menyalurkan kekuatan. "Ayah sudah tenang di sana, Gendhis. Kita harus kuat, kita harus melanjutkan hidup untuk Ayah."
Gendhis masih menangis dalam pelukan kakaknya. Kepergian ayahnya adalah pukulan berat bagi mereka. Ayah mereka adalah sosok yang sangat mereka cintai dan hormati. Beliau adalah tulang punggung keluarga, sosok yang selalu ada untuk mereka dalam suka maupun duka.
"Mas janji akan selalu ada untuk kamu, Gendhis. Mas akan menjadi pengganti Ayah untuk kamu," ucap Bismo, dengan suara yang penuh tekad.
Gendhis mengangguk lemah. Dia tahu, hanya kakaknya yang sekarang ia punya. Bismo adalah satu-satunya keluarga yang tersisa setelah kepergian ayah mereka.
"Ayo kita pulang, Gendhis. Kita harus mempersiapkan segala sesuatu untuk tahlilan Ayah," ajak Bismo, mengusap lembut rambut adiknya.
Gendhis mengangguk dan mengikuti langkah kakaknya. Mereka berjalan bergandengan tangan, meninggalkan pusara ayah mereka dengan hati yang hancur.
Beberapa hari kemudian
Suasana rumah duka masih terasa kental. Keluarga, kerabat, dan teman-teman almarhum Haris Bimantoro berkumpul untuk mengikuti acara tahlilan. Gendhis dan Bismo menyambut kedatangan para tamu dengan senyum yang dipaksakan.
Di tengah keramaian, Gendhis melihat seorang wanita paruh baya yang berdiri di sudut ruangan. Wanita itu tampak sedih,seperti yang pernah ia lihat sebelumnya. Gendhis mencoba mengingat-ingat, dan tiba-tiba ia teringat. Wanita itu adalah mantan sekretaris ayahnya.
Gendhis menghampiri wanita itu. "Tante, kan? Mantan sekretaris Ayah?" sapa Gendhis, dengan sopan.
Wanita itu tersenyum. "Iya, Nak Gendhis. Saya turut berduka cita atas kepergian Pak Haris," ucapnya, dengan nada yang tulus.
"Terima kasih, Tante. Tante kenal baik dengan Ayah?" tanya Gendhis, penasaran.
"Tentu saja. Saya sudah bekerja dengan Pak Haris selama bertahun-tahun. Beliau adalah orang yang sangat baik, jujur, dan bertanggung jawab," jawab wanita itu, dengan nada yang penuh hormat.
Gendhis terdiam sejenak. "Tante, apa Tante tahu sesuatu tentang kecelakaan yang menimpa Ayah?" tanya Gendhis, dengan hati-hati.
Wanita itu tampak ragu sejenak. "Sebenarnya, ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan, tapi saya tidak tahu apakah ini waktu yang tepat," jawabnya, dengan nada yang bimbang.
"Tante, tolong ceritakan semuanya. Aku berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Ayah," pinta Gendhis, dengan suara yang memohon.
Wanita itu menarik napas dalam-dalam. "Baiklah, Nak Gendhis. Saya akan menceritakan semuanya."
****
Savilla, mantan sekretaris Haris, menarik napas dalam-dalam sebelum memulai ceritanya. "Nak Gendhis, sebenarnya ada hal yang selama ini saya simpan rapat-rapat. Saya tahu ini mungkin akan sulit diterima, tapi ini adalah kebenaran yang harus kamu tahu," ucap Savilla, dengan suara yang bergetar.
Gendhis menatap Savilla dengan tatapan yang penuh pertanyaan. "Katakan saja, Tante. Aku siap mendengarkan apapun," jawab Gendhis, dengan suara yang mantap.
Savilla mengangguk. "Beberapa hari sebelum kecelakaan, Pak Haris mendapat informasi bahwa ada seseorang yang mencoba untuk sabotase mobilnya. Orang itu ingin mencelakai Pak Haris," kata Savilla, dengan nada yang serius.
Gendhis terkejut mendengar perkataan Savilla.
"Apa? Sabotase? Siapa yang berani melakukan itu pada Ayah?" tanya Gendhis, dengan nada yang marah.
Savilla mengangkat bahunya. "Saya tidak tahu siapa orangnya, Nak Gendhis. Pak Haris hanya bilang bahwa orang itu adalah musuhnya dalam bisnis," jawab Savilla, dengan nada yang menyesal.
Gendhis terdiam sejenak, mencoba mencerna semua informasi yang baru saja ia dengar. "Lalu, kenapa Ayah tetap pergi ke Surabaya? Kenapa Ayah tidak melaporkan hal ini ke polisi?" tanya Gendhis, dengan nada yang bingung.
Savilla menghela napas. "Pak Haris adalah orang yang sangat percaya diri. Beliau tidak percaya bahwa ada orang yang berani mencelakainya. Beliau juga tidak ingin membuat masalah menjadi besar, jadi beliau memutuskan untuk tidak melaporkan hal ini ke polisi," jawab Savilla, dengan nada yang sedih.
Gendhis menggelengkan kepalanya tidak percaya. "Ini tidak mungkin. Ayah tidak mungkin seceroboh itu," gumam Gendhis, dengan nada yang frustrasi.
Savilla mengangguk. "Saya tahu ini sulit untuk diterima, Nak Gendhis. Tapi inilah kenyataannya. Saya minta maaf karena baru menceritakan hal ini sekarang. Saya takut kamu akan semakin sedih," ucap Savilla, dengan nada yang penuh penyesalan.
Gendhis menatap Savilla dengan tatapan yang penuh terima kasih. "Tidak apa-apa, Tante. Aku justru berterima kasih karena Tante sudah mau menceritakan semuanya. Sekarang aku tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Ayah," ucap Gendhis, dengan suara yang lirih.
Savilla tersenyum. "Saya harap kamu bisa menerima semua ini, Nak Gendhis. Pak Haris adalah orang yang baik. Beliau tidak pantas mendapatkan semua ini," ucap Savilla, dengan nada yang penuh harap.
Gendhis mengangguk. "Aku akan berusaha untuk menerima semuanya, Tante. Aku percaya bahwa Ayah sudah tenang di sana," ucap Gendhis, dengan suara yang penuh keyakinan.
****
Tentu, ini kelanjutan cerita novel Anda:
Di tengah perbincangan yang serius antara Gendhis dan Savilla, tiba-tiba muncul sosok Khalisa Azilia Rumpoko, istri dari Bismo, kakak Gendhis. Khalisa menghampiri mereka dengan langkah anggun namun raut wajahnya terlihat dingin dan penuh prasangka.
"Maaf, Tante Savilla, bisa saya bicara sebentar dengan Gendhis?" tanya Khalisa, dengan suara yang terdengar Formal.
Savilla, yang menyadari ketegangan yang terpancar dari wajah Khalisa, mengangguk dan memberikan isyarat kepada Gendhis. "Tentu, Nak Khalisa. Saya permisi dulu," ucap Savilla, sambil berlalu meninggalkan mereka berdua.
Setelah Savilla pergi, Khalisa menatap Gendhis dengan tatapan yang tajam. "Ada yang ingin saya bicarakan dengan kamu, Gendhis," ucap Khalisa, dengan nada yang dingin.
Gendhis, yang merasa tidak nyaman dengan tatapan Khalisa, hanya mengangguk pelan. Ia sudah merasakan firasat buruk dari sikap kakak iparnya ini.
"Saya tahu kamu sedang mencari tahu tentang kematian ayahmu," kata Khalisa, memulai pembicaraan.
Gendhis terkejut mendengar perkataan Khalisa. "Bagaimana kamu tahu?" tanya Gendhis, dengan nada yang penasaran.
Khalisa tersenyum sinis. "Saya tidak bodoh, Gendhis. Saya tahu kamu tidak akan tinggal diam setelah ayahmu meninggal secara tiba-tiba," jawab Khalisa, dengan nada yang merendahkan.
Gendhis terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Ia merasa seperti sedang dihakimi oleh kakak iparnya sendiri.
"Saya ingin kamu berhenti mencari tahu tentang kematian ayahmu," kata Khalisa, dengan nada yang tegas.
Gendhis menatap Khalisa dengan tatapan yang tidak percaya. "Kenapa? Kenapa aku harus berhenti?" tanya Gendhis, dengan nada yang marah.
Khalisa mengangkat bahunya. "Karena ini bukan urusanmu. Biarkan polisi yang menangani kasus ini," jawab Khalisa, dengan nada yang acuh tak acuh.
Gendhis mengepalkan tangannya. Ia tidak terima dengan perkataan Khalisa. Ia merasa Khalisa menyembunyikan sesuatu darinya.
"Aku tidak akan berhenti, Kak Khalisa. Aku akan mencari tahu kebenaran tentang kematian ayahku," kata Gendhis, dengan nada yang penuh tekad.
Khalisa tertawa sinis. "Terserah kamu saja, Gendhis. Tapi jangan salahkan saya kalau kamu menyesal nanti," ucap Khalisa, sambil berlalu meninggalkan Gendhis dengan tatapan yang penuh kebencian.
Setelah kepergian Haris, Bismo semakin sibuk mengurus perusahaan. Waktu untuk keluarga menjadi sangat terbatas. Gendhis, yang masih berduka atas kepergian ayahnya, merasa semakin kesepian. Ia hanya tinggal berdua dengan Khalisa di rumah besar itu.
Sejak Haris meninggal, sikap Khalisa berubah drastis. Ia tidak lagi bersikap ramah dan sopan kepada Gendhis. Khalisa mulai menunjukkan sifat aslinya yang angkuh dan suka memerintah. Ia memperlakukan Gendhis seperti pembantu di rumah itu.
"Gendhis, cepat bersihkan rumah ini! Kamu ini memang tidak becus kerja!" bentak Khalisa, dengan nada yang kasar.
Gendhis hanya bisa menunduk dan menahan air matanya. Ia tidak berani melawan Khalisa. Ia tahu, setelah ayahnya meninggal, hanya Bismo yang menjadi tempatnya berlindung. Ia tidak ingin membuat masalah dengan Khalisa, karena takut Bismo akan marah padanya.
"Gendhis, siapkan makan malam untuk Mas Bismo. Dia akan pulang malam ini," perintah Khalisa, dengan nada yang dingin.
Gendhis segera bergegas ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Ia berusaha untuk tidak mengeluh dan melakukan semua pekerjaan rumah yang diperintahkan oleh Khalisa. Ia berharap, suatu hari nanti, Bismo akan menyadari perlakuan Khalisa padanya.
Suatu malam, Bismo pulang larut malam. Ia terlihat sangat lelah dan stres. Khalisa menyambutnya dengan senyuman yang dibuat-buat.
"Mas, makan malam sudah siap. Ayo kita makan," kata Khalisa, dengan nada yang lembut.
Bismo mengangguk dan mengikuti Khalisa ke ruang makan. Gendhis sudah menunggu mereka di sana. Ia menyajikan makanan dengan hati-hati.
Saat mereka sedang makan, Khalisa tiba-tiba berkata, "Mas, Gendhis ini memang tidak bisa diandalkan. Dia tidak bisa melakukan pekerjaan rumah dengan benar. Aku jadi capek sendiri mengurus rumah ini."
Gendhis terkejut mendengar perkataan Khalisa. Ia tidak menyangka Khalisa akan mengadukannya kepada Bismo.
Bismo menatap Gendhis dengan tatapan yang tajam. "Gendhis, kenapa kamu tidak bisa membantu Khalisa?" tanya Bismo, dengan nada yang kecewa.
Gendhis tidak bisa menjawab. Ia hanya bisa menunduk dan menahan air matanya. Ia merasa sangat sedih dan kecewa dengan sikap Bismo. Ia merasa Bismo tidak lagi mempercayainya.
Malam itu, Gendhis tidur dengan hati yang hancur. Ia merasa sangat kesepian dan tidak berdaya. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapi Khalisa. Ia hanya bisa berharap, suatu saat nanti, kebahagiaan akan datang padanya.
****
Suatu hari, Khalisa membawa seorang wanita paruh baya masuk ke dalam rumah. Wanita itu terlihat asing, dengan rambut pirang dan mata biru yang tajam. Khalisa memperkenalkan wanita itu sebagai tantenya yang berasal dari Rusia, Marina Markova.
"Gendhis, kenalkan ini Tante Marina, tante dari Rusia yang akan tinggal bersama kita," ucap Khalisa, dengan nada yang Formal.
Gendhis menyalami Marina dengan sopan, namun ia merasakan firasat buruk dari tatapan mata wanita itu. Marina hanya tersenyum sinis padanya, tanpa membalas uluran tangannya.
Sejak kedatangan Marina, hidup Gendhis berubah menjadi neraka. Jika Khalisa sudah kejam, maka Marina jauh lebih kejam dari keponakannya itu. Marina memperlakukan Gendhis seperti seorang tahanan di rumahnya sendiri. Ia melarang Gendhis keluar rumah, bahkan untuk sekadar membeli makanan.
"Kamu tidak pantas keluar rumah, Gendhis. Kamu hanya seorang pembantu di sini," ucap Marina, dengan nada yang merendahkan.
Setiap hari, Gendhis harus bangun pagi-pagi untuk menyiapkan sarapan untuk Khalisa dan Marina. Setelah itu, ia harus membersihkan seluruh rumah, mencuci pakaian, dan memasak untuk makan siang dan makan malam. Jika ia melakukan kesalahan sedikit saja, Marina tidak segan-segan untuk memarahinya atau bahkan memukulnya.
"Kamu ini memang bodoh! Tidak bisa melakukan pekerjaan dengan benar!" bentak Marina, sambil melemparkan lap kotor ke wajah Gendhis.
Gendhis hanya bisa menangis dalam diam. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi. Ia merasa sangat tidak berdaya menghadapi dua wanita kejam itu. Ia hanya bisa berharap, suatu hari nanti, Bismo akan menyadari penderitaannya dan menyelamatkannya dari neraka ini.
Suatu malam, Bismo pulang lebih awal dari biasanya. Ia melihat Gendhis sedang duduk di ruang tamu dengan wajah yang lebam. Bismo terkejut melihat kondisi adiknya.
"Gendhis, apa yang terjadi padamu?" tanya Bismo, dengan nada yang khawatir.
Gendhis menggelengkan kepalanya dan mencoba menyembunyikan air matanya. Ia tidak ingin Bismo tahu apa yang telah terjadi. Ia takut Bismo akan marah dan justru membuatnya semakin menderita.
Namun, Bismo terus mendesaknya. Akhirnya, Gendhis menceritakan semua yang telah ia alami selama ini. Bismo sangat marah mendengar cerita Gendhis. Ia tidak menyangka Khalisa dan Marina akan berbuat sekejam itu pada adiknya.
"Aku tidak akan membiarkan mereka menyakitimu lagi, Gendhis," ucap Bismo, dengan nada yang penuh amarah.
Bismo berjanji akan mencari cara untuk melindungi Gendhis dari Khalisa dan Marina. Ia tidak akan membiarkan adiknya terus menderita di rumah itu.
****
Bismo yang dipenuhi amarah segera menghampiri Khalisa dan Marina. Ia menatap mereka dengan tatapan yang tajam, matanya menyiratkan kekecewaan dan kemarahan yang mendalam.
"Khalisa, apa yang sebenarnya terjadi di rumah ini?" tanya Bismo, dengan suara yang bergetar.
Khalisa dan Marina saling berpandangan, wajah mereka terlihat tegang. Khalisa mencoba untuk bersikap tenang, namun Bismo sudah tidak bisa lagi mentolerir perlakuan mereka terhadap Gendhis.
"Mas, tidak ada apa-apa. Gendhis saja yang terlalu berlebihan," jawab Khalisa, dengan nada yang dibuat-buat.
Bismo tertawa sinis. "Berlebihan? Kamu bilang berlebihan setelah apa yang sudah kalian lakukan padanya?!" tanya Bismo, dengan nada yang semakin tinggi.
Khalisa dan Marina terdiam, tidak berani menjawab pertanyaan Bismo. Mereka tahu, Bismo sudah mengetahui semuanya.
"Kalian sudah keterlaluan. Aku tidak akan membiarkan kalian menyakiti Gendhis lagi," kata Bismo, dengan nada yang tegas.
Khalisa mencoba untuk membela diri. "Mas, aku hanya ingin Gendhis belajar untuk mandiri. Dia harus bisa membantu aku mengurus rumah ini," ucap Khalisa, dengan nada yang memelas.
"Mandiri? Dengan cara kalian menyiksanya seperti ini?" tanya Bismo, dengan nada yang marah.
Perdebatan antara Bismo dan Khalisa semakin memanas. Marina yang sedari tadi diam, akhirnya ikut angkat bicara.
"Sudahlah, Bismo. Jangan terlalu memanjakan adikmu itu. Dia harus belajar untuk menghormati orang yang lebih tua darinya," kata Marina, dengan nada yang sinis.
Bismo menatap Marina dengan tatapan yang tidak suka. "Kamu juga sama saja. Kamu tidak berhak ikut campur urusan keluarga kami," kata Bismo, dengan nada yang kasar.
Marina tidak terima dengan perkataan Bismo. Ia mencoba untuk melawan, namun Khalisa dengan cepat menariknya menjauh.
"Sudah, Tante. Jangan memperburuk situasi," bisik Khalisa kepada Marina.
Namun, Marina tidak mau mendengarkan perkataan Khalisa. Ia terus saja memprovokasi Bismo.
"Bismo, kamu harusnya berterima kasih pada kami. Kami sudah mendidik adikmu menjadi orang yang lebih baik," kata Marina, dengan nada yang penuh kebencian.
Bismo yang sudah sangat marah, tidak bisa lagi menahan emosinya. Ia mendorong Marina hingga wanita itu terjatuh ke lantai.
"Kalian berdua sama-sama jahat!" teriak Bismo, dengan nada yang keras.
Gendhis yang melihat kejadian itu, sangat terkejut. Ia segera berlari menghampiri Bismo dan mencoba untuk menenangkannya.
"Mas, sudah Mas. Jangan seperti ini," kata Gendhis, dengan nada yang khawatir.
Bismo memeluk Gendhis dengan erat. Ia merasa sangat bersalah karena tidak bisa melindungi adiknya dari perlakuan Khalisa dan Marina.
"Maafkan aku, Gendhis. Aku janji akan melindungimu," kata Bismo, dengan nada yang penuh penyesalan.
Tiba-tiba, Khalisa mendorong Bismo hingga pria itu terjatuh dari tangga. Gendhis yang melihat kejadian itu, sangat panik.
"Mas Bismo!" teriak Gendhis, dengan nada yang histeris.
Khalisa dan Marina hanya diam melihat Bismo yang tergeletak di lantai. Wajah mereka terlihat dingin dan tanpa penyesalan.
Setelah kejadian itu, Bismo dilarikan ke rumah sakit. Gendhis sangat khawatir dengan kondisi kakaknya. Ia ingin menjenguk Bismo, namun Khalisa dan Marina melarangnya dengan tegas.
"Kamu tidak pantas menjenguk Mas Bismo.
Kamu hanya pembawa sial," ucap Khalisa, dengan nada yang sinis.
Marina menambahkan, "Iya, Gendhis. Kamu hanya akan membuat Mas Bismo semakin stres. Lebih baik kamu diam saja di rumah."
Gendhis sangat sedih mendengar perkataan mereka. Ia merasa sangat bersalah atas apa yang terjadi pada Bismo. Ia ingin melihat kakaknya, namun ia tidak berani melawan Khalisa dan Marina.
Selama Bismo dirawat di rumah sakit, Marina dan Khalisa semakin berkuasa di rumah itu. Mereka memperlakukan Gendhis dengan lebih kejam dari sebelumnya. Gendhis harus melakukan semua pekerjaan rumah sendirian. Ia tidak punya waktu untuk beristirahat, apalagi untuk memikirkan Bismo.
"Gendhis, cepat siapkan makan malam! Aku sudah lapar," perintah Khalisa, dengan nada yang kasar.
Gendhis segera bergegas ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Ia memasak dengan terburu-buru, karena takut Khalisa akan marah jika ia terlambat.
Saat makan malam, Khalisa dan Marina makan dengan lahap, sementara Gendhis hanya makan sisa-sisa makanan mereka. Ia merasa sangat lapar, namun ia tidak berani meminta makanan lagi.
"Kamu ini memang tidak tahu sopan santun. Makan saja seperti orang yang tidak pernah makan," cibir Marina, sambil tertawa sinis.
Gendhis hanya bisa menunduk dan menahan air matanya. Ia merasa sangat hina dan tidak berdaya. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapi Khalisa dan Marina.
Suatu malam, Gendhis tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan Bismo. Ia sangat merindukan kakaknya. Ia ingin melihatnya, namun ia tidak tahu bagaimana caranya.
Keesokan harinya, Gendhis memberanikan diri untuk pergi ke rumah sakit. Ia berharap bisa melihat Bismo secara diam-diam.
Namun, sesampainya di rumah sakit, ia melihat Khalisa dan Marina sudah berada di kamar Bismo. Mereka terlihat sangat bahagia dan tertawa-tawa. Gendhis merasa sangat sakit hati melihat mereka. Ia tidak mengerti mengapa mereka bisa bersikap seperti itu setelah apa yang telah mereka lakukan pada Bismo.
Gendhis memutuskan untuk kembali ke rumah. Ia sudah tidak tahan lagi dengan perlakuan Khalisa dan Marina. Ia ingin pergi dari rumah itu, namun ia tidak tahu harus ke mana.
****
Dengan hati yang hancur dan dipenuhi rasa putus asa, Gendhis mengambil keputusan untuk kabur dari rumah itu. Ia sudah tidak tahan lagi dengan perlakuan kejam Khalisa dan Marina. Ia merasa seperti hidup di neraka.
Malam itu, Gendhis mengemasi beberapa potong pakaian dan barang-barang berharganya ke dalam tas. Ia menunggu hingga Khalisa dan Marina tertidur pulas. Setelah memastikan situasi aman, ia keluar dari kamar dengan hati-hati.
Gendhis berjalan mengendap-endap menuju pintu depan. Ia membuka pintu perlahan-lahan dan keluar dari rumah. Ia berlari secepat mungkin, tanpa tahu arah dan tujuan. Yang ada di pikirannya hanyalah menjauh dari rumah itu sejauh mungkin.
Namun, belum jauh ia berlari, tiba-tiba Marina muncul di hadapannya. Wanita tua itu terlihat marah dan menatap Gendhis dengan tatapan yang penuh kebencian.
"Mau lari ke mana kamu, hah?" tanya Marina, dengan suara yang kasar.
Gendhis terkejut dan tidak bisa berkata apa-apa. Ia tahu, Marina tidak akan membiarkannya pergi begitu saja.
Marina kemudian memanggil satpam yang berjaga di sekitar rumah. "Tangkap dia! Dia mau kabur!" perintah Marina, dengan nada yang keras.
Satpam itu segera menghampiri Gendhis dan menangkapnya. Gendhis meronta-ronta dan mencoba untuk melepaskan diri, namun ia tidak berdaya.
Marina menghampiri Gendhis yang sudah tidak berdaya. Ia menampar wajah Gendhis dengan keras hingga gadis itu tersungkur ke tanah.
"Kamu pikir kamu bisa lari dariku?" tanya Marina, dengan nada yang sinis.
Gendhis hanya bisa menangis dan menahan rasa sakit di pipinya. Ia sudah tidak tahu harus berbuat apa lagi.
Marina kemudian berjongkok di hadapan Gendhis dan menunjuk wajahnya dengan jari telunjuknya. "Dengar baik-baik, Gendhis. Kamu tidak akan pernah bisa lari dariku. Kamu akan selamanya menjadi budak di rumah ini," ucap Marina, dengan nada yang penuh ancaman.
Gendhis menatap Marina dengan tatapan yang penuh ketakutan. Ia tahu, Marina tidak main-main dengan perkataannya. Ia sudah pasrah dengan nasibnya.
Marina kemudian menyuruh satpam untuk membawa Gendhis kembali ke dalam rumah. Gendhis berjalan dengan lesu, ia sudah kehilangan harapan untuk bisa bebas dari neraka itu.
****
Beberapa hari kemudian, di sebuah kamar rumah sakit yang sunyi, Bismo perlahan membuka matanya. Pandangannya masih kabur, namun ia bisa merasakan sakit yang luar biasa di sekujur tubuhnya. Ia mencoba untuk menggerakkan tangannya, namun terasa sangat sulit.
Bismo melihat sekeliling kamar. Ia tidak mengenali tempat itu. Ia mencoba untuk mengingat apa yang telah terjadi, namun ingatannya masih belum pulih sepenuhnya. Yang ia ingat hanyalah pertengkaran dengan Khalisa dan Marina, dan setelah itu, ia tidak ingat apa-apa lagi.
Saat Bismo sedang berusaha untuk mengingat kejadian yang menimpanya, tiba-tiba ia melihat Khalisa duduk di sebuah kursi di sudut kamar. Khalisa terlihat sangat santai, ia bahkan sedang asyik dengan kutek di kuku-kukunya. Ia sama sekali tidak menoleh ke arah Bismo, seolah-olah pria itu tidak ada di sana.
Bismo terkejut melihat sikap Khalisa. Ia tidak menyangka istrinya akan bersikap acuh tak acuh padanya setelah apa yang terjadi. Ia merasa sangat kecewa dan sakit hati.
"Khalisa," panggil Bismo, dengan suara yang lemah.
Khalisa menoleh ke arah Bismo dengan wajah yang datar. Ia sama sekali tidak menunjukkan rasa khawatir atau simpati.
"Oh, kamu sudah bangun rupanya," kata Khalisa, dengan nada yang dingin.
Bismo tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya bisa menatap Khalisa dengan tatapan yang penuh kekecewaan.
"Kamu tidak perlu khawatir, Mas. Aku sudah mengurus semuanya," kata Khalisa, sambil tersenyum sinis.
Bismo mengerutkan keningnya. "Mengurus apa?" tanya Bismo, dengan nada yang bingung.
"Semuanya. Termasuk perusahaan dan juga ... kamu," jawab Khalisa, dengan nada yang misterius.
Bismo semakin tidak mengerti dengan perkataan Khalisa. Ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan darinya.
"Apa maksudmu?" tanya Bismo, dengan nada yang curiga.
Khalisa tidak menjawab pertanyaan Bismo. Ia hanya tersenyum dan kemudian kembali fokus pada kuku-kukunya.
Bismo merasa sangat marah dan frustrasi. Ia ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, namun ia tidak berdaya. Ia hanya bisa terbaring di ranjang rumah sakit dan menatap Khalisa dengan tatapan yang penuh pertanyaan.
"Kamu tidak akan pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi, Mas. Lebih baik kamu diam saja dan nikmati hidupmu yang baru ini," kata Khalisa, dengan nada yang merendahkan.
Bismo terdiam. Ia tahu, ada sesuatu yang tidak beres di sini. Ia merasa Khalisa dan Marina telah merencanakan sesuatu yang buruk terhadapnya.
"Aku tidak akan tinggal diam. Aku akan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi," kata Bismo, dengan nada yang penuh tekad.
Khalisa tertawa sinis. "Silakan saja. Tapi aku pastikan kamu tidak akan pernah menemukan jawabannya," kata Khalisa, dengan nada yang meremehkan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!