Pengenalan Tokoh
Galas Pribadi Sae
Seorang pengusaha muda, tampan, sukses dan sedikit perhitungan masalah uang. Usianya kini 30 tahun dan masih lajang. Sama sekali belum pernah mempunyai hubungan spesial dengan wanita manapun alias jomblo seumur hidup. Mengawali karier usahanya benar-benar dari nol dengan bermodalkan uang lima juta pemberian dari ibunya. Memulai usahanya dengan hanya menyewa sebuah toko kecil nan sempit disebuah Mall di kota ini. Sampai kemudian mampu menyewa sebuah ruko tua dan kini ia memiliki rukonya sendiri, tiga sekaligus yang ia rombak menjadi sebuah kantor impiannya. Ia bukan berasal dari keluarga kaya raya. Ayahnya telah meninggal dunia, setelah operasi pengangkatan tumor pada perutnya. Ibunya meneruskan usaha ayahnya, mengurus toko kelontong di sebuah pasar tradisional di sebuah kota kecil. Meski usianya sudah tak muda lagi, ibunya menolak ajakan Galas untuk pensiun mengurus toko kecil itu dan tinggal bersamanya di kota besar yang kini ia tinggali. Ibu tercintanya itu bahkan tak betah berlama-lama menginap dirumah mewah yang ia tempati kini. Bagi wanita tua itu, rumah kecil peninggalan almarhum suaminya adalah rumah paling nyaman dan tempat ia berpulang dari segala aktivitas rutin yang melelahkan. Pun dengan adik perempuannya yang enggan meneruskan kuliahnya dikota bersamanya. Karena tak mau menjalin hubungan LDR dengan kekasihnya. Sehingga, Galas tinggal di rumah mewahnya hanya bersama pasangan tua yang menjadi ART serta sopir pribadinya, namun sangat disayanginya seperti keluarganya sendiri. Saat ini, di usianya yang sudah kepala tiga, ia merasa bahwa sudah saatnya memikirkan cinta. Namun ternyata cinta tak semudah dan tak sesederhana yang ia bayangkan.
Akankah ia mendapatkan cinta sejatinya?
Gayung Andara
Seorang wanita berparas manis dengan rambut bergelombang. Seorang anak dukun yang sangat terkenal di sebuah kota kecil. Namun mohon diingat, bahwa ayahnya bukan seorang dukun yang jahat yah. Tapi ia seorang dukun baik hati yang menolong sesamanya dengan imbalan seikhlasnya. Dengan kelebihannya ia mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit baik medis maupun non medis.
Kedua orang tuanya telah lama berpisah. Ibunya merantau ke negeri seberang menjadi TKW. Selang beberapa tahun, nasib baik mempertemukan ibunya dengan seorang pria baik hati yang kini menjadi suami barunya, Fauzan. Kini ibunya menetap di negara Singapura dan telah berpindah kewarganegaraan.
Ayah tirinya sangat menyayangi Gayung, layaknya putri kandungnya sendiri. Jika libur sekolah tiba, Fauzan akan menjemputnya untuk menghabiskan liburannya di negara itu. Dan Pak Ming selaku ayah kandungnya tidak merasa keberatan akan hal itu.
Bagaimana takdir mempertemukan mereka...
Ikuti terus yah...
Minta dukungannya ...
Jangan lupa like & vote
Komen juga yah....
Wkwkwk berharap banget saya...
Kalau nggak suka visualnya bisa bayangin sesuka hati kalian yahh...
***
"Jay, carikan aku istri," ucap Galas santai. Jay yang tengah berkunjung dirumah sahabat sekaligus atasannya itu terkesiap mendengar kalimat yang keluar dari mulut pria berusia 30 tahun tersebut. Untuk pertama kalinya, ia mendengar Galas berbicara tentang wanita.
"Apa aku nggak salah denger?" Senyum mengejek tersungging tipis dari bibir Jay.
"Aku serius," imbuhnya dengan raut wajah meyakinkan, sama sekali tak ada maksud bercanda apalagi main-main. Jay pun mulai menanggapi serius perkataan sahabatnya itu.
"Kamu mau calon istri yang gimana?" tanya Jay kemudian, ditangannya terselip sebatang rokok yang ia hisap sesekali.
"Aku mau ... seorang wanita, yang sempurna, luar dan dalam." Kepalanya ia sandarkan pada sofa sementara wajah tampannya nampak menerawang bayangan wanita yang menjadi idamannya.
"Pertama dia harus cantik, putih, tinggi, langsing, rambutnya lurus, sederhana, pintar, mandiri, tidak manja, pandai memasak, pandai mengurus suami, pandai mengurus rumah, rapi, rajin, penurut, setia, penyayang, tidak boros, tidak gemar berbelanja, tidak suka menghambur-hamburkan uang untuk hal yang tidak penting, suka menolong dan baik hati ... Itu saja," ucapnya seolah persyaratan yang ia ajukan hanya satu atau dua saja.
"Itu saja?" Jay mengulang ucapan terakhir sahabatnya yang kaku itu tidak percaya. Syarat yang diajukannya sebanyak itu dan masih bilang itu saja. Gila kali si Galas, pikirnya.
"Hemm, itu saja ... Oh satu lagi, dia harus seorang wanita baik-baik dan masih perawan," imbuhnya.
"Hei, syaratmu itu banyak banget Bos, aku mau cari dimana wanita kaya gitu jaman sekarang," protes Jay, asap terlihat mengepul dari mulutnya.
"Aku tidak mau tahu, kamu harus mendapatkannya," perintahnya arogan.
"Astagaaa, mati aja sana...," seloroh Jay cekikikan.
"Apa kamu bilang?" Galas menatap tajam sahabatnya sejak SMA itu.
"Aku bilang mati aja sana, kali aja ketemu calon istri idaman kamu di surga hahay ...." Jay tergelak oleh ucapannya sendiri.
"Sialan!" umpatnya. "Darimana kamu tahu setelah mati aku akan masuk surga?" ucapnya galak.
"Memangnya kamu mau dineraka?" Jay membalikkan pertanyaan.
"Gaklah, memangnya siapa yang mau masuk neraka."
"Makanya rajin ibadah." Jay menendang pelan kaki Galas.
"Cih, memangnya kamu rajin beribadah? Ngaca sana," cibir Galas.
"Rajin dong, enak aja. Aku selalu salat lima waktu."
"Kapan? Aku nggak pernah lihat tuh ...." Galas tak mempercayai begitu saja. Ia tahu bagaimana Jay dengan segala tingkah polahnya.
"Tanya saja sama Tiara atau istriku."
Galas melengos masih tak mempercayai ucapan sahabatnya itu.
"Aku itu sudah tobat, Las," tambahnya seolah tahu apa yang dipikirkan Galas.
"Ngomong-ngomong soal Tiara, kenapa kamu nggak coba dekati aja dia. Menurutku dia sedikit mendekati kriteria calon istri yang kamu mau."
Kening Galas mengerut, mengingat sosok cantik yang merupakan sahabat serta karyawan pertama yang membantunya sejak masih merintis usaha.
"Cari yang lain saja."
"Kenapa? Menurut kamu Tiara kurang cantik?" Jay menyesap kopi hitam yang disuguhkan Bi Hanah.
"Cantik, tapi aku tidak tertarik." Galas ikut menyesap kopinya.
"Padahal menurutku kalian sangat cocok lho, yang satu perawan tua dan yang satu .... "
Jay cengengesan, melirik Galas tak berani meneruskan kata-katanya.
"Kamu mau mati!" Galas menendang keras betis Jay tanpa ampun. Membuat laki-laki itu mengaduh kesakitan.
"Astagfirullah, sakit banget sumpah." Jay mengelus betisnya yang tertutup celana jeans yang dipakainya.
"Jaga bicaramu atau aku akan menendangmu ke jalanan," ancam Galas tak main-main.
"Iya, sorry, Bos." Jay minta ampun meskipun ia tahu Galas tak mungkin melakukan itu kepadanya.
Jay mengerutkan keningnya memilah-milah dalam ingatannya, kira-kira diantara teman wanitanya siapa yang sesuai dengan kriteria yang Galas inginkan.
"Kalau Mia gimana?"
"Mia siapa?" Galas merasa tak memiliki ingatan apapun tentang nama yang Jay sebutkan.
"Temannya istriku, kita pernah makan malam bareng kan dulu. Dia juga suka sama kamu. Secara fisik menurutku dia memenuhi kriteria, tapi kalau yang lain kamu bisa mengetahuinya nanti setelah mengenalnya," usul Jay. Ia ingat belum lama ini, istrinya pernah memintanya untuk menjadi mak comblang untuk temannya itu. Namun Jay menolak, karena Galas selama ini selalu malas menanggapinya jika berbicara masalah wanita.
"Ya sudah, kamu atur saja." Galas sebenarnya tidak terlalu jelas mengingat wajah wanita bernama Mia itu. Otaknya memang disetel hanya untuk mengingat hal-hal yang menurutnya penting saja.
Tapi tidak ada salahnya mencoba, begitu pikirnya.
***
Sudah satu bulan sejak pencarian istri idaman itu. Namun dari sekian banyak wanita yang Jay sodorkan tidak ada satupun yang berhasil lolos seleksi. Ada saja hal yang membuat Galas merasa tak sreg dengan mereka.
Mia misalnya, Galas langsung menghapusnya dari daftar calon istri idamannya. Setelah wanita itu menunjukkan ketidaksukaannya saat Galas dengan sengaja mengajaknya makan di warung tenda pinggir jalan. Padahal wanita itu sudah berdandan luar biasa cantik dengan gaun merah menyala yang begitu pas membentuk lekuk tubuhnya yang bagaikan biola.
"Aku mau wanita, yang tidak malu saat aku mengajaknya makan ditempat yang sederhana," ucapnya pada Jay pagi itu.
"Tenang, aku masih punya banyak stock wanita untukmu." Jay menjawab dengan santai.
Lalu lanjut ke wanita kedua, namanya Ratu Dewiana. Kali ini lebih cantik dari sebelumnya. Cara berpakaiannya pun sopan dan sikapnya juga santun.
Lumayan. Begitu kesan pertama Galas ketika bertemu dengan wanita cantik dengan rambut indah yang menjuntai dibelakang punggungnya itu. Ia juga tak mempermasalahkan saat Galas mengajaknya makan di pinggir jalan dan sangat menikmati makanan yang tersedia disana.
Namun pada pertemuan kedua mereka, Galas langsung ilfeel. Saat wanita itu dengan terang-terangan meminta kepadanya barang-barang bermerk seharga ratusan juta saat mereka jalan-jalan di sebuah Mall. Namun Galas tetap membelikan barang-barang yang diminta Ratu. Meskipun dalam hatinya sungguh tak rela buang-buang uang untuk sesuatu yang menurutnya sangat tidak penting untuk orang yang baru dikenalnya.
"Bukankah sudah ku bilang, carikan aku wanita yang tidak suka menghambur-hamburkan uang untuk hal yang tidak penting, gara-gara kamu aku kehilangan banyak uang kemarin," omelnya pada Jay sore itu dikantor.
"Ya ampun, Bos. Namanya wanita pasti suka belanjalah," Jay mencoba membela diri. Memang sudah kodratnya, begitu dumel Jay dalam hati.
"Aku tidak mempermasalahkan masalah belanja, tapi jangan terlalu berlebihan, mengeluarkan ratusan juta hanya demi sebuah tas, baju menurutku itu pemborosan," ujarnya berapi-api. "Lagipula kita itu baru kenal, bagaimana bisa dia dengan tidak tahu malunya meminta dibelikan barang-barang mahal seperti itu kepadaku," imbuhnya dengan muka jijik.
Ya Allah pelit banget sih, Bos, keuntungan kita sehari juga bisa mengganti kerugian kemarin. (Jay)
Tapi seolah tahu apa yang dipikirkan asistennya itu. Galas melanjutkan lagi ceramahnya.
"Bukannya aku pelit. Aku bekerja keras untuk mendapatkan uang sebanyak itu. Memang keuntungan kita dalam sehari cukup besar tapi kerugian kita pun juga tak kalah besar."
Jay membeku ditempatnya dengan senyum kecut, ketika dengan mudahnya Galas bisa membaca pikirannya.
"Pendapatan kita tahun ini menurun banyak dari tahun kemarin. Sementara sebentar lagi kita harus mengeluarkan bonus akhir tahun untuk karyawan. Belum lagi ini sudah mendekati lebaran, harus keluar THR juga, kamu pikir uang tinggal dipetik dari pohon."
Jay hanya mengangguk-angguk mendengar wejangan dari Galas. Memilih diam sekaligus mencari selamat. Ia sangat tahu, pembahasan masalah keuangan merupakan hal yang sangat sensitif bagi Bosnya itu.
"Carikan aku wanita yang sederhana, memang kau pikir aku sekaya apa hah!?"
"Siap Bos," jawab Jay patuh.
"Jangan mengecewakanku lagi." Nada bicaranya mulai melunak.
"Siap Bos." Lagi-lagi Jay mencari aman dengan tidak membantah omongan Galas. Meskipun sesungguhnya ia mulai pusing mencari istri idaman untuk Bosnya itu. Kalau saja Galas tak banyak mematok kriteria ini dan itu, sebenarnya banyak yang bisa ia sodorkan untuk bisa dijadikan calon pendamping sahabatnya itu.
"Satu lagi, beritahukan pada semua karyawan tentang kunjungan ke panti asuhan minggu depan. Siapa tahu ada yang mau berpartisipasi dan ikut menyumbang. Itu akan menjadi ladang amal buat mereka," sambung Galas sebelum melangkah ke kamar mandi meninggalkan Jay yang mematung dan mengiyakan ucapan Bosnya dengan patuh.
***
Pov Gayung
Sudah seminggu aku diterima bekerja di kantor ini. Rasanya senang sekali akhirnya aku mendapatkan pekerjaan lagi, setelah beberapa bulan menganggur. Aku harus berterima kasih pada Mbak Nabila yang sudah memasukkan aku bekerja di sini. Apalagi aku menemukan teman-teman yang baik di tempat ini. Tidak ada yang sok senior, seperti di tempat kerjaku sebelumnya.
Hari ini aku berangkat sedikit lebih siang dari biasanya karena aku mampir dulu ke klinik dekat dengan kosanku. Sudah tiga hari ini, aku sedikit tidak enak badan juga flu dan tak juga mereda meski sudah minum obat yang ku beli di apotik. Itu cukup mengganggu konsentrasi kerjaku yang masih dalam tahap belajar ini.
"Selamat siang, Pak," sapaku pada Pak Danu, satpam di kantor kami. Masih dengan masker yang menutupi sebagaian wajahku.
"Selamat siang Mbak Manis." Pak Danu menjawab sapaanku dengan ramah namun tegas.
"Kenapa jam segini baru berangkat, Mbak?"
"Saya sudah ijin Pak, tadi ke klinik dulu. Sedikit kurang enak badan," jawabku jujur sembari menunjukkan obat yang kubawa.
"Ya sudah, silahkan masuk." Pak Danu membuka pintu besi itu. Mataku melirik sebentar pada beberapa karyawan pria yang sedang push up. Apa mereka sedang dihukum? batinku.
Aku melangkah masuk, tak lupa absen lalu menaruh tasku dalam loker. Sebelum ke ruanganku yang terletak di depan ruangan bos itu, aku ke kamar mandi sebentar untuk buang air kecil. Aku sudah menahannya tadi diperjalanan menuju ke kantor.
Setelah buang air kecil aku keluar. Namun pemandangan di depanku membuatku terkesiap. Untuk pertama kalinya aku melihat Bos dari jarak yang begitu dekat. Biasanya aku hanya mendengar suaranya saja yang memarahi Pak Jay samar-samar dari luar dan pernah sekali melihatnya dari kejauhan.
"Se-selamat pagi, Pak," sapaku ramah. Namun otakku mendeteksi bahwa aku pernah melihat sosok tampan ini sebelumnya. Aku mencoba mengingat-ingat.
"Ini sudah siang," jawabnya dengan wajah datarnya. "Jangan lupa matikan lampu jika sudah selesai. He-mat lis-trik. Kamu tahu saya membayar tagihan listrik yang sangat besar setiap bulannya," lanjutnya, membuatku spontan memencet sakelar disamping pintu kamar mandi dengan terburu.
"Baik, Pak." Aku menunduk takut.
Ia berlalu begitu saja tanpa menoleh lagi, aku memberanikan diri melihat ke arahnya meski hanya terlihat bagian samping saja. Aku yakin aku pernah melihatnya, tapi dimana ya?
Sambil bekerja aku terus mengingat-ingat dimana pernah menjumpai sosok Bos sebelumnya. Bagiku wajahnya sungguh sangat familiar sekali.
Aku menoleh ke pintu yang tepat di samping meja kerjaku. Oh my God! Bos!
Aku menundukkan kepalaku dengan hormat, aku juga tersenyum ramah meski tahu dia tidak akan melihatnya karena aku masih mengenakan maskerku yang menutup sebagian wajahku. Aku flu, aku tidak ingin menularkan virus pada rekan-rekan kerjaku.
Ia melihatku, cukup lama. Tapi aku tak berani menatapnya dan terus melanjutkan pekerjaanku dengan gugup. Pura-pura berkonsentrasi penuh, padahal siapa yang bisa fokus dipandang seperti itu? Ya Tuhan ...
"Kenapa kamu memakai masker?" tanyanya ditengah kesibukanku mengusirnya dalam hati. Sumpah demi apapun, aku benar-benar grogi. Meskipun tampan luar biasa tetap saja dia adalah bosku, orang yang menggajiku. Dan wajah datar dan dinginnya itu. Ya ampun ... dia benar-benar visualisasi laki-laki idaman dalam novel-novel yang kubaca di aplikasi online. Ganteng parah.
"Maaf Pak, saya sedang flu," jawabku sopan sambil tersenyum. Meskipun ia tak melihat senyumku dibalik masker abu-abu ini.
Ia mengerti lalu pergi begitu saja. Hanya saja wajahnya itu lho. Tolong ... please ... lebih disetel dalam mode yang lebih ramah. Ekor mataku masih tak bisa berpaling dari punggung indah yang kemudian menghilang dibalik ruang kerja Pak Jay.
Ya Tuhan ... apa dia manusia?
***
Minta dukungannya yah...
LIKE
KOMEN
VOTE
😂😂😂
Pov Galas
Jatuh cinta?
Sesuatu yang ingin aku rasakan. Meskipun aku tak memiliki kisah asmara sampai detik ini, tapi aku bukanlah seorang gay. Seperti tuduhan Jay. Aku pernah memiliki ketertarikan pada seorang wanita, dulu. Saat aku masih merintis usahaku. Namun obsesiku untuk sukses mengalahkan segala perasaan itu. Dan lagi, saat itu aku belum memiliki rasa kepercayaan diri. Wanita itu anak orang berada, dan aku siapa? Aku, hanyalah seseorang yang datang dari sebuah kota kecil yang mempunyai mimpi untuk sukses, suatu hari nanti. Dan sekarang, aku menikmati hasil dari perjuangan dan kerja kerasku.
Ini sudah tiga bulan, namun sampai sekarang aku belum menemukan sosok yang menarik perhatianku. Mereka semua memang cantik, tapi perasaanku biasa-biasa saja saat bertemu dengan mereka. Padahal menurut sebuah lagu yang pernah kudengar, bukankah jatuh cinta itu berjuta indahnya. Sesuatu yang menimbulkan perasaan berbunga-bunga. Sementara aku, bahkan tak ada satupun wajah mereka yang kuingat. Apakah sesusah ini menemukan cinta?
"Galas, sarapan dulu." Suara lembut ibuku membuyarkan lamunanku.
"Iya, Bu," jawabku sembari bangkit dari kursi panjang di samping rumah ibuku.
Kini aku sedang di kampung halaman. Untuk mengunjungi ibuku beberapa bulan sekali. Ibuku yang semakin menua, bahkan sekarang rambutnya telah memutih. Namun sisa kecantikan masa mudanya masih belum hilang sampai kini. Aku ingin wanita sepertinya, cantik, lembut dan sederhana.
"Kak Galas pulang sendiri?" tanya Inge, adikku, saat aku baru menyuap nasi goreng ke mulutku.
"Hmm," jawabku malas. Tentu saja sendiri, memangnya mau sama siapa lagi?
"Ya ampun, sendiri terus. Kapan bawa calon mantu buat ibu?" Aku menghentikan kunyahanku, melirik sekilas kearah adikku yang sedang asyik menyantap sarapannya.
"Belum ketemu," jawabku santai.
"Ya cari dong, Kak, jangan kerja terus. Nanti bisa-bisa jadi perjaka tua, mau?" goda adikku dengan tawa meledek.
"Iya, Las. Umur kamu sudah kepala tiga lho, masak mau sendiri terus," timpal ibuku.
"Iya Bu, ini juga lagi berusaha." Memang seperti itu kenyataannya.
"Jangan terlalu pemilih tapi, Kak. Kata Kak Jay, Kak Galas maunya wanita yang sempurna luar dan dalam, susah carinya yang begitu." Celotehan adikku membuatku mengumpati Jay dalam hati. Sialan!
"Apa mau Inge cariin," usul Inge riang.
"Nggak perlu," tolakku cepat.
"Yakiinnn?," Inge terus mengoceh.
"Berisik," suntukku. Inge memang sering menggodaku jika aku pulang ke rumah, mentang-mentang dia sudah punya pacar.
"Kak, kamu ingat sama Gayung nggak?"
"Nggak," jawabku malas. Tapi bohong, meskipun gadis itu menurutku tidak terlalu penting tapi otakku selalu saja mengingatnya dengan sangat baik. Menyebalkan memang.
Bagaimana tidak?
Gayung. Dari namanya saja sudah sangat aneh. Ia sangat berbeda, sangat sangat berbeda dari gadis-gadis yang menaruh rasa padaku. Anak kecil berambut ikal yang selalu dikepang dua, kurus kering seperti kekurangan gizi, culun, dekil ( hobinya saja ke sawah bersama bapaknya dan bermain layang-layang), tengil, rakus, cerewet. Yah, pokoknya tidak ada menarik-menariknya sama sekali selain aku harus mengakui ia lumayan manis dibalik kedekilanya itu. Dan aku menyimpan rahasia konyol bersamanya, aku pernah terjebak berpacaran dengannya selama seminggu.
"Kakak, kan dulu pernah bikin nazar, kalau aku sembuh Kakak bakal nikahan Gayung suatu hari nanti."
"Uhuk, uhuk." Aku hampir tersedak mendengar kalimat yang keluar dari mulut Inge.
Nazar?
Menikah?
Astaga ... jangan gila ...
Aku tidak pernah menganggap omonganku waktu itu serius dan Pak Ming juga pasti begitu. Ia hanya menggodaku saja, karena tahu anak kesayangannya itu menyukaiku. Cih, tidak pernah terbayang aku akan menikahi anak kecil dekil itu. Yah, dalam ingatanku Gayung hanyalah seorang anak kecil. Anak kecil yang cerewet.
"Gayung sekarang cantik lho Las, kamu pasti pangling kalau lihat dia," ucap Ibuku.
"Ohh ... masa?" Aku tidak antusias. Aku sudah biasa melihat wanita-wanita luar biasa cantik di kota. Dan si bocah kecil itu, bisa secantik apa dia?
"Nazar itu janji yang harus dilaksanakan lho, Kak." Inge terus memanas-manasiku.
"Tapi sekarang Gayung dimana ya Nge? Sudah lama nggak pernah main kesini."
"Aku juga udah lama nggak kontekan sama dia, Bu. Terakhir pas sebelum Gayung berangkat ke Jepang."
Gayung ke Jepang? Pikirku.
"Bukannya dia ikut sama ibunya di Singapore?"
"Nggak, Buk. Dia ke Singapore cuma liburan aja."
"Aku sudah selesai." Aku mengakhiri sarapan pagiku dan obrolan unfaedah mengenai Gayung. Ya ampun, namanya saja sudah mengingatkanku pada sebuah film horor. Nenek Gayung ... hihhh!
"Ingat lho Kak, nazar! Nazar! Nazar!" seru Inge sengaja mengeraskan suaranya. Aku mengabaikannya dan berjalan ke belakang rumah. Memandang kebun sayur hidroponik ibuku lebih menyegarkan daripada mendengar obrolan tentang nenek Gayung. Ups ... maksudku si Gayung.
BERSAMBUNG ...
JANGAN LUPA
LIKE
KOMEN
VOTE
😍😍😍
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!