NovelToon NovelToon

Hidden Alliance

Dua Belahan Keluarga

New York-

"Liora, tunggu sayang. Itu berbahaya jangan pergi ke sana!" teriakan teriakan permohonan terus menggema di sebuah mansion mewah. Teriakan itu berasal dari seorang wanita yang sudah cukup berumur namun masih terlihat bergaya di umurnya. Makeup tebal masih memoles di wajahnya dan pakaian gadis masih melekat di tubuhnya. Dia memang dikenal sebagai nyonya baroness yang cantik dan awet muda. Wanita yang baru berumur menuju kepala lima itu adalah pengganti nyonya besar keluarga baroness, selama delapan tahun terakhir ini. Dikenal dengan nama Elita.

Seorang wanita yang jauh lebih muda dari Elita, yang tidak lain pemilik nama Liora, berwajah tegas dan mata tajam seperti elang terus saja berjalan dengan langkah lebarnya mendorong koper silver miliknya tanpa memperdulikannya dan menyahut teriakan wanita di belakangnya.

Saat sudah memasukkan semua barang dan kopernya ke dalam bagasi mobil miliknya, langkahnya terhenti saat sebuah kehangatan menyentuh lengannya, tepat saat dia ingin memasuki mobilnya. Liora menatap tangan Elita yang memegang lengannya, kemudian tatapannya tertuju menatap wajah ibu sambungnya ini. Liora tanpa aba aba langsung menepis kasar tangan Elita dari lengannya dan mengusapnya perlahan.

"Jangan pergi Liora, itu tempat yang berbahaya. Kamu bisa terluka sayang!" ucapan Elita lebih lembut sekarang. Dia menatap Liora dengan pandangan sedih. Liora yang melihatnya tersenyum sinis.

"Apakah ucapanmu sesuai dengan isi hatimu nyonya Elita?" tanya Liora pelan, sangat pelan namun sangat menusuk. Terdengar sekali itu sebuah sindiran.

Elita menelan ludahnya kasar karena pandangan mata putri sambungnya ini benar benar bisa menciutkan nyalinya. "Te..tentu saja, kami mengkhawatirkanmu. Tolong jangan pergi!" Elita terus memelas kepada Liora namun Liora malas meladeni drama dari ibu sambungnya ini. Dia langsung saja memasuki mobilnya dan langsung melajukannya dengan kecepatan rata rata.

Elita hanya terdiam menatap kepergian Liora yang semakin jauh dari pandangannya. Alih alih terus memandanginya, dari balik tidak terlihat, sudut bibirnya terangkat. Entah apa yang dia pikirkan saat itu.

Di dalam perjalanan, Liora memasang earphone hitamnya ke dua sisi telinganya. Lalu dia mencari nomor seseorang dan langsung menelponnya sambil terus melajukan mobilnya ke arah bandara internasional.

"Pesan tiket ke Spanyol sekarang juga!" ujarnya singkat lalu langsung mematikan panggilan sepihak tanpa menunggu jawaban atau sahutan di seberang telepon. Setelah selesai memerintahkan, liora mempercepat laju mobilnya dan membelah jalanan yang mulai ramai oleh para pengendara lain. Jam masih menunjukkan pukul sembilan, masih terlalu pagi atau bahkan jam permulaan untuk beraktivitas. Sebelum macet melanda, Liora harus segera sampai di bandara.

Sementara seseorang yang berada diseberang telepon tadi hanya mengumpat sambil terus merutuki rekan kerja sekaligus sahabat wanitanya ini. Bagaimana bisa dia memiliki seorang sahabat sedingin Liora. Dia sangat to the poin, tidak suka basa basi.

"Semoga aku selalu sabar menghadapinya!" gumamnya meringis sendiri. Tapi sejenak, matanya melebar karena teringat akan sesuatu.

"Apa katanya tadi? Tiket ke Spanyol? Dia menerima tawaran mematikan itu?" tanyanya pada dirinya sendiri. Mulutnya sampai terbuka lebar karena tidak percaya.

"Liora sialan! Dia sangat suka hal hal di luar nalar! Wanita jadi jadian!" umpatnya lagi lalu langsung berlari menuju suatu tempat.

Di negara yang sama namun tempat dan keluarga yang berbeda, keluarga itu harus merasakan kesedihan dan kekhawatiran bahkan di hari yang masih pagi karena harus melepas putra sulung dari keluarga mereka, keluarga Edward Emerson. Seorang komandan utama negara yang begitu disegani dan ditakuti karena memiliki tanggung jawab yang besar untuk negara.

"Darren, haruskah kamu pergi nak?" lagi dan lagi, pertanyaan itu ditanyakan oleh mamanya. Seorang wanita yang berhati lembut dan penyayang. Dia tidak sanggup membiarkan putra sulungnya harus pergi ke Medan perang yang paling berbahaya, padahal profesi putranya saja adalah seorang komandan utama. Namanya adalah, Sophia.

"Sayang, Darren adalah seorang komandan. Dia punya tanggung jawab yang besar sayang, ini menyangkut banyak nyawa." Edward, seorang ayah sekaligus suami, terus memberikan pengertian kepada istri tercintanya. Walaupun dia merasakan hal yang sama, kekhawatiran dan kesedihan melepas putra yang melanjutkan tugasnya ini, tapi mau bagaimana lagi. Tugas tetaplah tugas dan tanggung jawab tetaplah tanggung jawab.

"Tapi bagaimana jika dia terluka, mama tidak akan sanggup menerimanya!" bantah Sophie masih saja tidak terima.

"Mama tenanglah, apa selama ini mama pernah melihat kak Darren terluka begitu parah? Apa dia pernah mengeluh merasakan sakit? Mama tenang saja, kak Darren akan kembali dengan baik baik saja!" Katy, adik kembar Darren mengelus lembut punggung tangan mamanya untuk menenangkannya. Dia juga khawatir akan kakaknya namun dia percaya kakaknya adalah orang yang kuat dan bisa menjaga diri. Dia sudah menjadi komandan bertanggung jawab dan menjalankan tugasnya dengan baik bahkan memegang posisi komandan negeri terbaik setelah menggantikan posisi ayah mereka yang sudah pensiun.

Darren hanya tersenyum melihat satu per satu wajah orang yang dia sayangi. Saat dia memberi tahu keputusannya untuk terlibat dan memimpin perang besar yang baru baru ini terjadi, keluarganya terus saja merasa khawatir dan membujuknya untuk menolak pergi ke Medan perang itu. Namun mau bagaimana lagi, dirinya sudah ditunjuk sebagai komandan pemimpin. Banyak nyawa bawahan yang ada di tangannya. Dia harus menjalankan tugasnya dengan baik.

"Kalian semua tenanglah, aku akan kembali secepatnya tanpa terluka sedikitpun." Darren hanya melontarkan ujaran pengertian itu karena tidak pandai dalam merayu atau membujuk. Namun dari tatapannya, dia bisa menyakinkan orang orang, termasuk keluarganya.

"Aku tidak akan menerimamu pulang jika kau terluka barang sedikitpun!" bisik Edward setelah sejenak memeluk putranya yang begitu dia percayai ini. Katy memeluk Sophie agar tidak terus menahan Darren, sementara Edward menghantarkan putranya sampai dia pergi meninggalkan halaman kediaman mereka.

Hufff...

Darren menghela nafas panjang sembari mengemudikan mobilnya menuju bandara. Rasa penat dan lelah masih sangat terasa di tubuhnya karena dia jarang sekali meluangkan waktu untuk beristirahat. Setiap hari, dia selalu sibuk dengan pekerjaan dan tugas tugasnya. Tidak ada waktu baginya untuk bersantai barang sedikitpun. Sesekali yang mengganggu pikirannya adalah bagaimana keadaan adik kembarnya yang satunya lagi. Entah kemana dia pergi setelah pertengkaran beberapa hari lalu.

Shittt...

Darren menarik rem dan menghentikan mobilnya tiba tiba saat satu mobil berwarna silver menyalip mobilnya secara tiba tiba. Darren cukup terkejut dan menarik nafas kembali lalu melanjutkan perjalanannya. "Bagaimana dia bisa mengemudikan mobil ugal ugalan pada jam seperti ini." gumamnya masih terheran.

Ancaman Misi- Liora

Panas matahari yang begitu terik mulai berkurang sedikit demi sedikit karena jam siang mulai beralih ke petang. Suasana kamp yang terletak di daerah terpencil ini cukup terasa hangat, meskipun angin sore sedikit membantu mengusir rasa gerah. Seorang wanita yang tidak lain adalah Liora merenggangkan otot-ototnya setelah sampai di sebuah kamp atau markas sesuai petunjuk yang diberikan komandan besar negara. Ternyata, mereka tidak langsung berangkat. Mereka semua yang terlibat dalam perang itu harus menjalani pelatihan selama 2 hari sebelum akhirnya benar-benar berangkat, lebih tepatnya berangkat bersama, bukan berpisah seperti petunjuk awal yang sudah disampaikan sebelumnya.

Krek... krek...

Bunyi otot itu terdengar saat Liora merenggangkan otot-otot intinya, dan itu berhasil menghasilkan suara otot yang bisa membuat empunya merasa lega. Liora yang sudah terbaring di kasur sederhana dan keras itu menatap sekitar ruangan kamarnya yang tidak terlalu besar. Kamp mereka ini cukup dekat dengan bandara internasional namun berada di daerah khusus milik negara. Liora masih menatap sekitar ruangan dengan mata sayunya, seperti sedang menilai apa yang ada di sekelilingnya. Walau fasilitasnya sederhana, tempat ini cukup nyaman untuk mempersiapkan diri sebelum berangkat ke medan perang.

"Tidak terlalu buruk!" gumamnya pelan. Lebih baik dia melakukan hal-hal seperti ini dibandingkan menghabiskan waktu dengan keluarga sialannya. Liora mulai memejamkan matanya karena rasa ngantuk mulai menguasai tubuhnya. Dia juga tahu bahwa belum semua orang-orang yang dipilih dan ditentukan sampai di kamp, jadi dia masih punya waktu untuk beristirahat. Setidaknya sampai jam tujuh nanti, mereka akan berkumpul bersama untuk membahas hal-hal penting terkait persiapan mereka. Ini berkat tindakan yang mengebut di jalan tadi, sehingga dia bisa segera sampai di kamp dan sedikit punya waktu untuk tidur.

Namun baru lima menit dia memejamkan mata dan sebenarnya sudah berada di ambang mimpi, pintunya tiba-tiba terbuka kasar. Liora yang sangat peka akan suara langsung terbangun, apalagi suara pintu itu berasal dari pintu kamarnya sendiri yang terbuka dengan sangat cepat.

"Ahh, bajingan!" gerutunya saat melihat yang datang ada seseorang yang dia kenal, seseorang yang juga paling dekat dengannya. Seseorang yang sudah menjadi bagian dalam hidupnya.

"Kau yang bajingan Liora. Bagaimana bisa kau menerima semua ini?" tanyanya dengan dramatis, masuk tanpa izin dan duduk sembarangan di kursi. Dia tidak bisa membiarkan rekan sekaligus sahabatnya ini terlibat dalam perang berbahaya seperti ini. Perang yang bisa merenggut nyawa.

"Tidak bisakah kau diam, atau aku harus bertindak sendiri untuk membuatmu diam?" Liora berucap sembari kembali memejamkan matanya. Jika di apartemen miliknya ada seseorang yang berani seperti ini, mungkin sudah dibunuhnya di tempat itu juga. Untung saja ini bukan apartemennya dan yang datang adalah orang yang punya posisi sendiri di hatinya, jadi dia tidak bisa bertindak sesuka hati.

Siapa dia? Lucian. Rekan kerja di perusahaan, sekaligus sahabatnya sedari kecil. Ya, mereka memang sudah dekat sejak zaman kanak-kanak karena orang tua Lucian juga bersahabat dengan orang tuanya. Lucian adalah seorang pria yang humoris dan usil, tidak seperti Liora yang dingin dan sangar. Sebenarnya, dia kenal baik jika Liora dulunya adalah anak yang ceria dan girang, tapi semenjak ibunya meninggal dan papanya menikah lagi, dia mulai berubah menjadi seperti sekarang. Walau begitu, usahanya untuk terus mendekati Liora akhirnya membuahkan hasil, Liora sudah mengakuinya menjadi sahabatnya sendiri. Lucian punya alasan sendiri mengapa dia mau terus dekat dengan Liora. Sebenarnya ini semua berasal dari pengalaman mereka sewaktu masih kecil.

Lucian langsung duduk dengan kasar di satu kursi di ruangan itu. Dia sama sekali tidak takut dengan ancaman Liora karena dia tahu Liora tidak akan menyakitinya. "Liora coba pikir-pikir kembali, apa kau yakin ingin ikut dalam perang berbahaya ini? Kau tidak takut? Aku saja akan membuat surat penolakan. Dan ini, aku datang jauh-jauh kesini hanya untuk menemuimu." omelnya panjang dan lebar. Dia memang menerima tawaran yang sama untuk terlibat, namun dia berencana akan menolaknya, tapi sahabatnya malah menerimanya. Dia benar-benar tidak habis pikir.

"Apa kau pernah melihatku takut?" tanya Liora tanpa membuka matanya. Lucian menelan ludahnya dengan berat, tidak tahu bagaimana harus merespons pertanyaan itu.

"Tapi ini menyangkut nyawa, Liora!" katanya, berusaha keras meyakinkan Liora untuk berubah pikiran. Namun Liora tetap tidak menunjukkan perubahan ekspresi.

"Apa aku peduli?" jawab Liora dengan datar, tetap tidak membuka matanya.

"Hais, kau memang keras kepala. Intinya aku tidak akan membiarkanmu pergi, titik!" tegas Lucian tanpa berpikir panjang. Liora membuka matanya perlahan. Mengubah posisi baringnya menjadi menyamping agar bisa menatap jelas wajah Lucian. Lucian gugup sekali menelan ludahnya kasar karena Liora menatapnya dengan mata tajamnya yang bisa menembus hati.

"Ra... ralat! Maksudnya aku akan ikut bersamamu, titik!" ujarnya lagi tanpa sadar. Setelah mengatakan itu dia menutup mulutnya tidak percaya dengan apa yang baru saja dia katakan. Ah sial, dia harus ikut-ikutan karena tatapan mematikan Liora yang membuatnya merasa terpojok!

Liora tersenyum kecil tidak terlihat. Dia terkadang bersyukur karena kehadiran Lucian sedikit menghiburnya lewat tingkahnya yang terkadang lucu dan konyol. Dia tahu Lucian ini hanya ingin berlindung kepadanya bahkan sejak kecil, tapi Liora tidak mempermasalahkan itu karena dia juga tahu bahwa Lucian memang tulus berteman dengannya. Dan mungkin itulah yang membuat persahabatan mereka bisa bertahan hingga sekarang.

"Tapi, bagaimana dengan Sean?" tanya Lucian, menggugah topik yang selalu membuat Liora tidak nyaman. Liora terdiam mendengar nama seorang pria yang sangat dia kenal juga. Bagaimana dia tidak kenal? Sean adalah pacarnya, ahh rasanya seperti status saja. Dia bahkan tidak pernah benar-benar dekat dengan Sean karena kesibukan masing-masing. Mereka hanya bertemu sesekali, dan Liora pun tidak merasa ada hubungan yang mendalam dengan pria itu.

"Entahlah!" jawab Liora acuh, berusaha menghindari pembahasan lebih lanjut.

"Kau tidak akan mengabarinya? Jika dia tahu, dia mungkin akan bereaksi sama sepertiku," ujar Lucian, masih penasaran dengan keputusan Liora.

"Kalau begitu tidak perlu beritahu. Sudahlah, jangan bahas pria itu. Dan kau, pergi dari sini, sekarang!" Liora berkata dengan nada tajam. Lucian buru-buru keluar karena Liora benar-benar mengamuk kepadanya sekarang. Dia memang tidak suka membahas tentang pacarnya sendiri, dan Lucian tahu betul hal itu.

Lucian menarik nafas lega setelah keluar dari ruangan Liora. Walaupun mereka sahabatan, Lucian tahu jika Liora sangat tertutup. Ada banyak hal yang dia tidak tahu tentang Liora. Dan sulit untuk mencari tahunya, karena Liora selalu menjaga jarak dengan banyak orang, termasuk dirinya.

"Darren!"

Hubungan Terlarang

"Darren!"

Lucian menatap seseorang yang dia kenal dengan sangat baik. Seseorang yang pernah seperjuangan dengannya untuk meraih cita-cita mereka bersama, alias teman masa sekolahnya. Sosok yang selalu ada dalam kenangannya, meskipun sudah lama tidak bertemu.

Seseorang yang tadinya hanya berniat melewati lorong ruangan itu akhirnya berhenti sejenak saat mendengar namanya dipanggil. Dia menatap arah suara yang memanggilnya dengan penuh rasa penasaran.

"Ehmmm," ucapannya sedikit tertahan karena dia berusaha mengingat nama seseorang yang dia lihat sekarang. Wajah pria itu terlihat familiar, dan dia menatap dirinya dengan senyuman lebar yang begitu khas. Pria itu tampak begitu percaya diri, seperti dulu saat mereka masih bersahabat.

"Lucian!" satu kata akhirnya lolos dari mulut pria itu. Seketika, semua kenangan masa sekolah mereka kembali hadir dalam ingatannya. Sekarang dia ingat, pria yang berada di depannya ini adalah salah satu teman masa sekolahnya, dan dulu mereka cukup terbilang akrab, sering menghabiskan waktu bersama.

Bruk...

Mereka berpelukan erat, seolah-olah ingin melepaskan semua rasa rindu yang selama ini terpendam. Tidak ada yang menyangka mereka bisa bertemu lagi setelah sekian lama. Semenjak lulus sekolah menengah, mereka tidak pernah bertemu lagi. Keduanya langsung melanjutkan pendidikan masing-masing di tempat yang berbeda, bahkan mereka sama sekali tidak pernah berkomunikasi setelah itu.

"Apa kabar?" tanya Lucian setelah mereka melepas pelukan.

"Aku baik, bagaimana denganmu?" tanya Darren balik, dengan senyum tipis yang mengembang di wajahnya. Senyuman itu memang tidak sebesar yang biasa dia tunjukkan di masa lalu, tetapi tetap terlihat hangat dan penuh makna. Darren memang tidak terbiasa tersenyum lebar seperti Lucian, namun senyumannya tetap memiliki daya tarik tersendiri.

"Aku selalu baik, seperti biasa. Tapi tunggu, bagaimana bisa kau berada di tempat ini?" Lucian menatap penampakan Darren dari ujung kaki sampai rambut. Meski sudah sekian lama tidak bertemu, Lucian bisa melihat bahwa Darren masih tampak tidak jauh berbeda. Bahkan semakin keren, dengan tubuh yang semakin tegap dan wajah yang semakin tampan. Dulu, masa sekolah Darren sudah memiliki tubuh atletis dan tegap, dia begitu tampan sehingga menjadi primadona di sekolah. Namun sekarang, dia terlihat tetap mempertahankan tubuhnya yang semakin tegap dan penampilannya yang semakin memikat. Lucian merasa sedikit minder. Dia sendiri, seorang pria yang cukup berisi, sebenarnya ingin sekali memiliki tubuh seperti Darren, tubuh yang atletis dan kekar. Ingatannya kembali terbayang pada mimpinya dulu yang pernah dia ceritakan pada Darren, namun mimpinya itu belum tercapai hingga saat ini.

"Ada apa?" tanya Darren, melihat Lucian yang begitu antusias menatap dirinya dengan begitu intens. Dia merasa sedikit heran dengan reaksi temannya itu.

"Kau semakin keren, semakin tampan!" puji Lucian dengan tulus. Tanpa ragu, dia memberikan tanda jempol menggunakan kedua tangannya. Pujian itu benar-benar datang dari hati, meskipun sedikit ada rasa canggung di antara mereka.

Darren hanya tersenyum kecil, sedikit menggelengkan kepalanya. "Kau juga semakin berisi, Lucian!" sahut Darren dengan nada setengah mengejek, seolah mengingatkan masa lalu mereka yang penuh candaan. Lucian pun memudarkan senyumannya, merasa sedikit terganggu.

"Kau masih suka mengejekku!" ujarnya dengan sedikit mendengus, mencoba menanggapi ejekan Darren dengan candaannya sendiri. Dia merasa sedikit tersinggung, namun tidak bisa menyembunyikan senyum kecil yang masih tersisa di wajahnya.

"Hahaha. Kau sendiri sedang apa di sini?" tanya Darren setelah sejenak tertawa kecil, mencoba mengalihkan perhatian dari ejekannya yang baru saja dia lontarkan.

"Aku seorang juru bicara pilihan negara, dan kau sepertinya berhasil mencapai cita-citamu." Lucian menjawab dengan percaya diri, menyadari bahwa dia memang sudah berada di jalur yang dia impikan sejak dulu.

Darren menunduk sedikit, menghela napas dalam-dalam sebelum akhirnya mengangkat wajahnya dan tersenyum. "Wah, kau hebat sekali, Luci. Aku bekerja sebagai komandan utama sekarang. Jadi, sebelumnya... kau akan ikut dalam masalah ini?" Darren bertanya dengan tatapan yang sedikit mengintimidasi, namun Lucian tahu bahwa itu hanya cara Darren berbicara yang khas. Tanpa ragu, Lucian mengangguk. Darren pun membenarkan hal itu, merasa lega bahwa mereka masih memiliki tujuan yang sama. Setelah percakapan singkat itu, keduanya berpisah untuk mengurus sisa pekerjaan masing-masing, sebelum jam yang telah ditentukan untuk berkumpul tiba.

Di tempat lain, masih di negara yang sama, khususnya di sebuah apartemen pribadi yang terletak di tengah kota, seorang pria yang bertelanjang dada meraih ponselnya yang terletak di atas nakas meja. Pergerakannya yang sedikit terburu-buru membuat wanita yang berada di pelukannya sedikit ikut bergerak, meskipun matanya masih terpejam. Posisi mereka yang sedang terbaring tidur membuat pria itu sedikit kesulitan meraih ponselnya, tetapi pada akhirnya dia berhasil juga.

"Emm," suara lembut wanita itu terdengar, seolah baru saja terbangun dari tiduran yang nyenyak. Namun pria itu tahu bahwa kekasih simpanannya ini pasti masih berada di bawah pengaruh mimpinya.

Dengan hati-hati, pria itu membuka ponselnya dan mencari nomor yang dia simpan dengan nama MY LOVE. Saat dia membuka pesan, matanya langsung tertuju pada pesan yang belum mendapat balasan dari wanita yang sebenarnya dia cintai, pacar aslinya. Dia melihat bahwa sudah berhari-hari dia mengirim pesan dan mencoba menelepon pacarnya, namun tetap tidak ada jawaban. Dia semakin khawatir. Dia tahu hubungan mereka memang berbeda dengan hubungan pada umumnya, jauh dari kata biasa. Meskipun status mereka masih berpacaran, dan sebentar lagi hari anniversary hubungan mereka menginjak tahun kelima, dia merasa cemas jika tidak ada balasan sama sekali. Ya, mereka sudah lama menjalin hubungan, tetapi dia merasa bingung. Dia tidak tahu di mana letak momen terindah mereka, seakan hubungan mereka berjalan tanpa tujuan yang jelas.

"Kau sedang apa, sayang?" tanya wanita yang berada di pelukannya. Suaranya masih terdengar dengan nada tidur yang khas, namun tetap terdengar seksi dan menggoda.

Pria itu langsung mematikan ponselnya dengan cepat dan menyambut wajah wanita keduanya dengan senyuman manis. Dia mengeratkan pelukan mereka berdua dan kembali berciuman mesra, seolah ingin melupakan segala kekhawatiran yang menggelayuti pikirannya. Wanita itu menarik selimut untuk menutupi tubuh polosnya yang tidak memakai apapun, sementara pria tadi juga tidak memakai apapun. Mungkin bisa dikatakan mereka baru saja melakukan hal terlarang, mengingat hubungan mereka belum sah menjadi suami istri. Namun, mereka tidak peduli. Semua itu tampak seperti sesuatu yang biasa bagi mereka.

"Aku hanya mengecek email pekerjaan, sayang," bohong pria itu, berusaha meyakinkan wanita itu agar tidak merasa curiga. Wanita itu hanya tersenyum, sebagai tanda bahwa dia mempercayai apa yang dikatakan oleh sosok pria kekasihnya.

"Kau akan pergi?" tanyanya dengan nada manja, mengharapkan agar pria itu tetap tinggal bersama dirinya.

Pria itu terdiam sejenak, seperti tengah berpikir. Lalu, akhirnya dia mengangguk dan tersenyum, menyembunyikan sedikit kebimbangannya. "Emm, tidak bisakah sehari saja kau tidak perlu bekerja? Aku ingin menghabiskan satu hari penuh bersamamu," kata wanita itu dengan nada sedikit kecewa. Raut wajahnya berubah, terlihat tidak senang.

Pria itu mencoba untuk meyakinkan lagi. "Tidak bisa, sayang. Ada banyak pekerjaan di kantor. Lagian, bukankah hari ini kau harus pulang?" jawabnya dengan nada lembut, mencoba menyakinkan.

Wanita itu mengangguk dengan pasrah, lalu kembali tersenyum meski masih ada kesedihan yang tersisa. "Yasudah jika begitu, mandilah!" katanya dengan nada ceria yang sedikit dipaksakan.

Pria itu adalah Sean, lebih tepatnya juga adalah pacar Liora. Dia sedang bersama seorang wanita yang memiliki hubungan juga dengan Liora, hubungan tiri. Dia adalah Jasmine, adik tiri Liora. Entah apa yang membuat mereka sampai melakukan hal setega itu kepada Liora, namun yang jelas hubungan mereka sepertinya tidak terpisahkan lagi.

Setelah meninggalkan Jasmine di apartemennya, Sean langsung melajukan mobilnya ke arah apartemen Liora. Dia harus menemui wanita itu langsung dan bertanya mengapa teleponnya tidak pernah diangkat, begitu pula dengan pesan-pesannya yang tidak juga dibalas. Bahkan pesan yang sudah dibaca saja tidak mendapatkan respons darinya.

Setelah beberapa menit menempuh perjalanan, akhirnya Sean sampai di depan gedung yang menjulang tinggi. Dia langsung memasukinya dengan langkah tegap dan menuju resepsionis apartemen. Dia tahu jika kamar Liora berada di lantai ketiga, namun selama hampir lima tahun mereka berhubungan, dia tidak pernah memasuki kamar Liora. Wanita itu memang tidak memperbolehkannya, dan meskipun Sean sudah beberapa kali merasa kesal dan ingin membantah, pada akhirnya dia selalu mengalah daripada harus kehilangan wanita itu. Dia mencintai Liora. Dia sangat mencintainya. Jika dirinya ingin menemui Liora di apartemennya, maka harus melalui resepsionis terlebih dahulu. Itulah yang sudah dia lakukan selama ini.

"Permisi, ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya resepsionis wanita itu dengan ramah, melayani kedatangan Sean.

Sean membuka kaca mata hitamnya dan menatap resepsionis itu dengan wajahnya yang tegas, hampir seperti orang yang sedang terburu-buru. "Apakah Flora ada di sini?" tanya Sean langsung dengan nada to the point, tidak ada basa-basi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!