Cahaya lampu sorot berpendar megah di ballroom hotel bintang lima. Malam itu, gedung megah tersebut dipenuhi oleh para selebritas, sutradara, produser, dan insan perfilman yang hadir dalam acara penghargaan tahunan bergengsi: Golden Star Awards. Sebuah malam penuh gemerlap untuk memberikan apresiasi kepada para aktor dan aktris terbaik yang telah memberikan performa luar biasa dalam dunia hiburan.
Monika mengenakan gaun malam berwarna merah marun yang elegan dengan belahan tinggi di sisi kakinya, ia memancarkan aura seorang bintang sejati. Rambut panjangnya digelung rapi, dan riasan wajahnya begitu sempurna, menonjolkan keanggunan dan ketegasannya.
Monika dikenal sebagai aktris multitalenta. Tidak hanya berbakat dalam berakting, ia juga piawai dalam berbagai bidang seperti memasak, bermain musik, desain fashion, hingga bela diri. Kariernya di dunia hiburan sedang berada di puncak popularitas setelah membintangi film "Jejak Sang Phoenix", sebuah film drama aksi yang berhasil meraih kesuksesan besar di pasar internasional.
Malam itu, Monika menjadi salah satu nominasi untuk kategori Aktris Terbaik Tahun Ini, bersaing dengan nama-nama besar lainnya di industri. Meski ia tampak tenang, di dalam hatinya berdebar kencang. Penghargaan ini adalah impian setiap aktris, dan ia tahu betapa kerasnya ia bekerja untuk mencapainya.
Di tengah gemerlap ballroom, Monika melangkah masuk dengan anggun. Sorotan kamera dan kilatan blitz menyambutnya, para wartawan berlomba-lomba mengambil gambar dan melontarkan pertanyaan.
Wartawan 1: “Monika! Senyumnya ke sini! Ya, luar biasa! Bisa sedikit meluangkan waktu untuk wawancara singkat?”
Monika tersenyum dan mengangguk, “Tentu, dengan senang hati.”
Wartawan 2: “Malam ini Anda terlihat begitu memesona! Bisa ceritakan tentang gaun yang Anda kenakan?”
Monika melirik ke gaunnya, lalu tersenyum bangga, “Terima kasih! Ini adalah rancangan khusus dari desainer ternama, dibuat khusus untuk malam ini. Warna merah marun dipilih untuk mencerminkan semangat dan keberanian saya.”
Wartawan 3: “Bagaimana perasaan Anda masuk dalam nominasi Aktris Terbaik Tahun Ini? Apakah Anda optimis menang?”
Monika tertawa kecil, “Jujur saja, saya merasa sangat gugup! Ini adalah kategori yang penuh dengan pesaing berbakat. Saya hanya bersyukur bisa berada di sini, menikmati malam spesial ini.”
Seseorang dari belakang menepuk bahu Monika. Saat ia menoleh, terlihat sosok pria tampan dengan setelan jas hitam yang elegan. Itu adalah Leonard, aktor lawan mainnya dalam Jejak Sang Phoenix.
Leonard tersenyum lebar, “Monika! Aku yakin malam ini milikmu.”
Monika tertawa pelan, “Oh, jangan mulai memuji terlalu dini. Kita belum tahu siapa pemenangnya.”
Leonard menyeringai, “Kalau bukan kamu yang menang, aku serius akan protes pada dewan juri.”
Monika menepuk lengannya main-main, “Berhenti bercanda, Leo. Tapi terima kasih, aku menghargainya.”
Dari kejauhan, manajer Monika, Clara, melambaikan tangan, memberi isyarat agar Monika bersiap untuk masuk ke area utama acara. “Monika, sudah waktunya. Kita harus segera ke tempat duduk.”
Monika mengangguk kepada para wartawan, “Terima kasih banyak, teman-teman. Semoga kita bisa berbincang lebih lama nanti.”
Monika kemudian berjalan menuju tempat duduk VIP bersama Clara dan beberapa aktor lainnya. Saat ia duduk, Sarah, aktris senior yang juga menjadi nominasi dalam kategori yang sama, menyapanya dengan senyum ramah.
“Monika, kau terlihat luar biasa malam ini. Aku senang melihat aktris muda sepertimu semakin bersinar.” ucap Sarah.
Monika merasa tersanjung, “Terima kasih, kak Sarah. Itu pujian yang besar datang darimu.”
Sarah tertawa kecil, “Kau pantas mendapatkannya. Tapi jangan terlalu santai, aku masih ingin menang juga.”
Monika tertawa, lalu mengulurkan tangan untuk berjabat tangan, “Bersaing sehat, ya?”
Sarah menjabat tangan Monika dengan erat, “Tentu saja.”
Acara dimulai, dan suasana ballroom semakin menegang. Nama demi nama pemenang diumumkan, hingga akhirnya tiba pada kategori yang paling dinantikan: Aktris Terbaik Tahun Ini.
Sang presenter, seorang aktor senior ternama, naik ke atas panggung dengan amplop emas di tangannya.
Presenter tersenyum penuh misteri “Baiklah, saat yang kita tunggu-tunggu telah tiba. Siapakah yang akan membawa pulang penghargaan Aktris Terbaik Tahun Ini?”
Ruangan mendadak sunyi. Monika merasakan jantungnya berdetak lebih cepat.
Presenter membuka amplop dengan perlahan, lalu membaca nama pemenang dengan suara lantang, “Dan pemenangnya adalah… Monika!”
Tepuk tangan bergemuruh di seluruh ruangan. Kamera langsung menyorot Monika yang tampak terkejut, sebelum akhirnya tersenyum penuh emosi.
Leonard menepuk bahunya dengan semangat, “Aku sudah bilang, kan?! Ini memang milikmu!”
Clara bertepuk tangan dengan mata berkaca-kaca, “Aku bangga padamu, Monika! Naiklah ke panggung!”
Monika berdiri dengan perasaan campur aduk, menerima pelukan dan ucapan selamat dari semua orang di sekitarnya. Ia kemudian melangkah ke panggung, menerima trofi emas itu dengan tangan yang sedikit gemetar.
Ia menarik napas dalam sebelum berbicara ke mikrofon.
Monika suara bergetar karena haru, “Terima kasih… Terima kasih banyak! Aku masih merasa seperti sedang bermimpi sekarang.”
Ia melirik ke arah keluarganya yang duduk di barisan depan. “Aku ingin mengucapkan terima kasih kepada keluargaku, yang selalu percaya padaku bahkan saat aku sendiri ragu. Terima kasih juga untuk sutradara, produser, tim film, dan semua orang yang telah bekerja keras bersamaku. Tanpa kalian, aku tidak akan berada di sini.”
Ia terdiam sejenak, mengatur emosinya sebelum melanjutkan. “Aku ingin penghargaan ini menjadi bukti bahwa kerja keras dan ketekunan akan selalu membuahkan hasil. Untuk semua wanita di luar sana yang bermimpi besar, jangan pernah takut untuk mengejar impian kalian! Terima kasih!”
Sorak-sorai dan tepuk tangan kembali memenuhi ballroom.
Setelah acara utama selesai, para pemenang dan tamu undangan berkumpul di pesta eksklusif yang diadakan di rooftop hotel. Monika menjadi pusat perhatian malam itu. Semua orang ingin mengucapkan selamat kepadanya.
Sutradara Jejak Sang Phoenix, yang juga hadir di acara itu, mendekatinya dan berkata, "Kamu benar-benar pantas mendapatkan ini, Monika. Aku tahu sejak awal bahwa kamu akan menjadi bintang besar."
Manajernya, yang selama ini setia mendukungnya, tidak bisa menyembunyikan kebanggaannya. "Akhirnya! Semua kerja keras kita terbayar. Ini baru permulaan, Monika. Aku yakin kamu akan mencapai lebih banyak lagi di masa depan!"
Monika tersenyum dan mengangkat gelas sampanye. "Untuk masa depan yang lebih gemilang!"
Tawa, musik, dan kebahagiaan memenuhi malam itu.
Di tengah pesta, Monika berpamitan untuk pergi ke kamar hotelnya sebentar. Ia merasa sedikit lelah setelah melewati malam yang penuh emosi. Saat tiba di kamar, ia melepas sepatu hak tingginya dan berjalan menuju kamar mandi untuk mencuci muka.
Namun, dalam sekejap, sebuah tragedi terjadi.
Langkahnya terpeleset karena lantai yang licin. Monika kehilangan keseimbangan, tubuhnya terhuyung ke belakang. Dalam hitungan detik, kepalanya membentur lantai keras dengan suara yang mengerikan. Pandangannya mengabur, kesadarannya perlahan menghilang.
"Apakah ini akhir dari segalanya?" pikirnya dalam hati sebelum akhirnya matanya tertutup rapat.
Suara burung berkicau terdengar sayup-sayup, bercampur dengan semilir angin yang berhembus melalui celah jendela. Monika membuka matanya perlahan, kepalanya terasa berat dan sedikit pusing. Ia mengerang pelan, mencoba mengumpulkan kesadaran.
Namun, saat melihat ke atas, ia langsung tertegun.
Langit-langit kayu? Ini bukan hotel mewah tempat ia menginap tadi malam. Aroma khas kayu tua memenuhi udara, membuatnya sadar bahwa ini bukan tempat yang familiar.
"Di mana aku?" pikirnya panik.
Monika segera bangkit, tapi tubuhnya terasa lemas. Ia menoleh ke samping dan langsung tersentak kaget.
Seorang pria tampan, bertelanjang dada berbaring di sebelahnya, masih tertidur. Wajahnya tampak damai, tetapi Monika tak peduli dengan ketampanannya. Yang ada di pikirannya sekarang adalah: Siapa dia? Dan kenapa mereka tidur di ranjang yang sama?!
Matanya membelalak, refleks ia meloncat mundur. "Astaga! Siapa kau?!" serunya dengan panik.
Pria itu tampaknya baru tersadar dari tidurnya, matanya masih setengah terbuka. Dengan suara serak, ia bergumam, "Hmm? Apa yang terjadi?"
Monika buru-buru menarik selimut untuk menutupi dirinya, meskipun ia masih mengenakan pakaian lengkap. Napasnya memburu, otaknya bekerja cepat mencoba mengingat kejadian terakhir sebelum ia kehilangan kesadaran.
"Tunggu… Aku di kamar mandi hotel… Kepleset… Lalu…"
Matanya menangkap sesuatu di meja kecil di dekat ranjang. Sebuah kalender usang dengan angka yang jelas terlihat:
1990
Jantung Monika nyaris berhenti. Matanya membulat. Itu tidak masuk akal. Terakhir kali ia ingat, ia ada di tahun 2024, menerima penghargaan sebagai aktris terbaik. Lalu bagaimana bisa ia berada di tahun 1990?!
"Tidak… Tidak mungkin…" Ia mengusap wajahnya, merasa ini semua seperti mimpi buruk.
Tiba-tiba, rasa sakit menusuk kepalanya. Kenangan asing mulai membanjiri pikirannya, seolah ada sesuatu yang berusaha masuk ke dalam otaknya.
Nama gadis yang tubuhnya kini ia tempati adalah Lin Momo. Ia seorang wanita desa yang bekerja keras di sawah setiap hari, banting tulang demi menghidupi dirinya dan… tunangannya, Wu Yuan.
Sayangnya, Wu Yuan diam-diam berselingkuh dengan seorang wanita bernama Xie Wen. Mereka berdua merencanakan sesuatu yang kejam.
Kenangan lain muncul. Malam sebelumnya, Wu Yuan mengajak Lin Momo makan malam di sebuah restoran kecil. Pria itu menyajikan makanan dengan senyum manis, tapi diam-diam mencampurkan obat bius dalam makanannya.
“Nikmati makananmu, sayang,” suara Wu Yuan terdengar dalam ingatannya.
Lin Momo tidak curiga sedikit pun. Ia memakan makanan itu, lalu semuanya menjadi gelap.
Mungkin karena dosisnya terlalu besar, tubuh asli Lin Momo tidak mampu bertahan dan akhirnya meninggal…
“Apa ini artinya… aku melintasi waktu?” gumam Monika dengan wajah serius.
"Brengsek! Jadi aku mati karena kepleset, tapi malah terjebak di tubuh orang lain pada tahun 1990?!" gumamnya kesal.
"Baiklah, kalau begitu sekarang namaku Lin Momo," gumamnya
Sementara itu, pria di sebelahnya sudah duduk tegak, mengusap wajahnya sendiri. "Aku… juga tidak tahu bagaimana aku bisa ada di sini."
Lin Momo menoleh tajam. "Siapa kau?" tanyanya penuh curiga.
Pria itu menghela napas, masih berusaha memahami situasi. "Namaku Yan Zhi, Aku adalah manajer baru di pabrik sepatu kota sebelah. Aku hanya ingat sedang makan malam di penginapan, lalu tiba-tiba merasa pusing dan… yah, bangun di sini."
Lin Momo menajamkan tatapannya. "Kau yakin hanya seorang manajer?"
Yan Zhi tersenyum tipis. "Tentu saja."
Lin Momo masih ragu, tapi sebelum ia bisa menggali lebih dalam, suara ketukan keras menggema di pintu.
DOR! DOR! DOR!
"Lin Momo! Kau ada di dalam, kan?! Keluar sekarang juga!" terdengar suara marah dari luar.
Lin Momo menghela napas panjang. "Sial, ini pasti jebakan tadi malam."
Yan Zhi menoleh ke arah pintu. "Apa yang harus kita lakukan?"
Lin Momo memutar otaknya cepat. Lalu, ia menatap pria tampan di depannya dan menyeringai. "Kau mau menikah denganku?"
Yan Zhi membelalak. "APA?!"
"Yah, kita sudah dipergoki, kan? Lebih baik kita nikah saja daripada harus menghadapi drama yang lebih besar," ucap Lin Momo santai.
Yan Zhi terdiam, lalu mengangkat alis. "Kau yakin?"
Lin Momo menunjuk dadanya yang telanjang. "Kau pasang bajumu dulu sebelum kita bicara lebih lanjut!"
Yan Zhi terkekeh dan segera mengenakan kemeja yang tergeletak di kursi. Namun, sebelum ia selesai mengancingkan bajunya…
BRAK!
Pintu kamar terbuka dengan keras.
Sekelompok orang masuk dengan wajah merah padam penuh amarah. Di barisan depan ada Wu Yuan, si tunangan brengsek, bersama Xie Wen yang berdiri di sisinya dengan ekspresi mengejek.
"Jadi ini kelakuanmu, Lin Momo?! Kau benar-benar menjijikkan!" Wu Yuan menunjuknya dengan marah.
Xie Wen menambahkan dengan nada mengejek, "Aku tidak menyangka kau akan serendah ini. Benar-benar memalukan!"
Lin Momo, yang sekarang menjadi Lin Momo, menyilangkan tangan dan memutar matanya. "Oh, jadi kalian datang ke sini untuk menuduhku? Bagus sekali, ya. Sudah puas menjebakku?"
Wu Yuan tersentak. "Apa maksudmu?!"
Lin Momo melipat tangan di dada. "Jangan pura-pura bodoh. Kalian pikir aku tidak tahu kalau kalian berdua yang menjebakku? Beri aku makanan dengan obat bius supaya aku terlihat seolah-olah berselingkuh?"
Kerumunan orang-orang mulai berbisik, beberapa dari mereka mulai curiga.
Xie Wen tersenyum sinis. "Jangan menuduh sembarangan, Lin Momo. Semua orang di desa tahu kau tergila-gila pada tunanganmu. Siapa yang percaya kau ditipu?"
Lin Momo mendengus. "Oh, aku memang gila karena dulu percaya pada bajingan seperti Wu Yuan."
Wu Yuan memerah. "Kau—!"
Sebelum ia bisa melanjutkan, Lin Momo melanjutkan dengan nada malas. "Sudahlah. Kau mau membatalkan pertunangan? Bagus! Aku setuju!"
Seluruh ruangan terdiam.
Wu Yuan yang tadinya penuh percaya diri langsung terkejut. "APA?"
Lin Momo tersenyum lebar. "Kita putus. Silakan nikahi Xie Wen, atau siapa pun yang mau menanggung bebanmu."
Kerumunan kembali berbisik. Beberapa wanita desa yang awalnya mencemooh kini terlihat berpikir ulang.
Xie Wen yang awalnya puas, tiba-tiba tampak panik. "Tunggu, Lin Momo! Kau tidak bisa menyerah begitu saja!"
Lin Momo menatapnya dengan tatapan penuh sindiran. "Oh, aku bisa dan aku akan."
Yan Zhi yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Jika pertunangan sudah dibatalkan, maka aku ingin mengumumkan sesuatu."
Semua mata tertuju padanya.
Yan Zhi meraih tangan Lin Momo dan menatapnya penuh keyakinan. "Aku akan menikahi Lin Momo."
Wu Yuan hampir tersedak. "APA?!"
Lin Momo tersenyum manis. "Nah, sekarang aku sudah punya pasangan baru. Kau puas, Wu Yuan?"
Wu Yuan dan Xie Wen tampak pucat. Sementara itu, para penduduk desa mulai bergumam dengan nada kagum.
"Yan Zhi memang pria baik…"
"Lin Momo akhirnya mendapatkan seseorang yang lebih baik dari Wu Yuan!"
Wu Yuan mengepalkan tangannya. "Kalian akan menyesal!"
Lin Momo tertawa kecil. "Aku hanya menyesal pernah menyia-nyiakan waktuku untuk pria payah sepertimu."
Wu Yuan dan Xie Wen akhirnya pergi dengan wajah merah padam.
Sementara itu, Lin Momo menoleh ke Yan Zhi dan berbisik, "Kau benar-benar ingin menikah denganku, atau itu hanya untuk menyelamatkan kita dari jebakan ini?"
Yan Zhi tersenyum penuh arti. "Siapa tahu? Kita lihat saja nanti."
Lin Momo mengangkat alis. "Kau sangat menarik."
Lin momo menatap Yan Zhi dengan ekspresi penuh ketertarikan. Pria ini tidak hanya tampan, tapi juga cukup berani untuk menantang situasi yang baru saja mereka hadapi.
Yan Zhi membalas tatapan Lin Momo dengan senyum santai. "Kalau begitu, kau bersiaplah… Siapkan buku rumah tanggamu, kita akan langsung pergi ke catatan sipil."
Lin Momo mengangkat sebelah alisnya, lalu bersedekap. "Oh? Kau serius?"
Yan Zhi mengangkat bahu. "Bukannya ini yang kau usulkan tadi? Lagipula, jika kita tidak segera menikah, kau akan terus menjadi bahan gosip di desa ini. Daripada berlama-lama, lebih baik kita selesaikan sekarang juga."
Lin Momo tertawa kecil. "Baiklah, Tuan Yan. Aku suka pria yang tegas."
Penduduk desa yang masih berkumpul di sekitar mereka tampak terkejut dengan kelancangan Lin Momo. Biasanya, wanita yang tertangkap basah dalam situasi seperti ini akan menangis atau menundukkan kepala karena malu. Tapi Lin Momo? Dia malah menantang keadaan seolah ini bukan masalah besar.
Sementara itu, Wu Yuan dan Xie Wen yang masih berdiri tak jauh dari mereka tampak semakin kesal.
Wu Yuan melangkah maju, berusaha mempertahankan harga dirinya yang sudah hancur di depan semua orang. "Lin Momo! Kau pikir dengan menikah mendadak kau bisa mencuci namamu?! Apa kau yakin pria ini mau menikahi wanita sepertimu?"
Lin Momo menyeringai. "Oh, aku tidak hanya yakin, tapi aku tahu. Kau lihat sendiri tadi, dia yang mengusulkan untuk menikah lebih dulu. Kau iri?"
Yan Zhi mengangguk santai. "Benar. Aku tidak punya alasan untuk menolak wanita seperti Lin Momo."
Xie Wen menatap mereka dengan ekspresi masam. "Yan Zhi kau bahkan tidak tahu siapa dia! Lin Momo itu wanita desa biasa, wajahnya penuh jerawat, kulitnya gelap karena terlalu sering bekerja di sawah. Dia tidak pantas untukmu!"
Lin Momo menoleh ke Xie Wen dan mendengus. "Lucu sekali. Jadi kau pikir Wu Yuan pantas untukku? Lihat saja, dia bahkan menghabiskan semua uang yang aku hasilkan dari kerja keras untuk mempersiapkan pernikahan yang ternyata… untukmu!"
Penduduk desa kembali berbisik-bisik. Sebagian besar dari mereka memang sudah curiga dengan hubungan Wu Yuan dan Xie Wen, tapi baru kali ini ada yang mengatakannya secara terang-terangan.
Yun Zhi meraih tangan Lin Momo dengan percaya diri. "Ayo kita pergi. Semakin lama di sini, semakin banyak orang buang-buang waktu mendengarkan omong kosong."
Lin Momo mengangguk puas. "Setuju. Aku bahkan tidak sabar melihat ekspresi mereka saat kita resmi menikah."
Mereka berdua melangkah pergi, meninggalkan Wu Yuan dan Xie Wen yang hanya bisa menggigit bibir karena malu dan marah.
Lin Momo duduk di bangku kayu tua sambil mengamati sekelilingnya. Kantor catatan sipil di tahun 1990 ini jauh berbeda dari yang ia kenal di masanya. Tidak ada komputer, tidak ada mesin pencetak modern, hanya tumpukan dokumen dan pegawai yang menulis semuanya secara manual.
Yan Zhi duduk di sampingnya, tampak tenang seperti biasa.
"Jadi, kau benar-benar serius menikah denganku?" tanya Lin Momo sambil menyilangkan kakinya.
Yan Zhi menoleh dan tersenyum. "Apa menurutmu aku bercanda?"
Lin Momo menghela napas. "Jujur saja, aku tidak menyangka pernikahan pertamaku akan seperti ini. Tanpa pesta, tanpa gaun mewah, bahkan tanpa cincin."
Yan Zhi mengangkat alis. "Kau mau cincin?"
Lin Momo menatapnya. "Tentu saja. Jika kita akan menikah, aku tidak mau setengah-setengah."
Yan Zhi berpikir sejenak, lalu menarik sesuatu dari sakunya. Sebuah cincin perak sederhana.
"Aku memang tidak merencanakan ini, tapi kebetulan aku punya sesuatu yang bisa dipakai untuk sementara," katanya sambil menyodorkan cincin itu ke Lin Momo.
Lin Momo mengambilnya, memperhatikan desainnya. Tidak ada berlian atau ukiran rumit, hanya cincin perak polos, tapi entah kenapa terasa hangat di tangannya.
"Bagaimana kau bisa punya ini?" tanyanya penasaran.
Yan Zhi tersenyum tipis. "Itu cincin milik ibuku. Aku selalu membawanya untuk kenang-kenangan."
Lin Momo terdiam sejenak. "Baiklah, aku akan memakainya untuk sekarang."
Seorang pegawai tua datang membawa formulir. "Tuan Yan dan Nona Lin, harap isi dokumen ini."
Lin Momo mengambil pena, lalu melihat Shen Jun. "Nama lengkapmu siapa?"
"Yan Zhi," jawabnya santai.
Lin Momo menuliskan namanya di formulir. "Jadi, aku sekarang akan menjadi Nyonya Yan?"
Yan Zhi tersenyum. "Sepertinya begitu."
Setelah beberapa tanda tangan dan cap jari, akhirnya semuanya selesai.
Pegawai itu menyerahkan dokumen resmi mereka. "Selamat, kalian sekarang resmi menjadi suami istri."
Lin Momo mengambil dokumen itu dan menatapnya dengan perasaan campur aduk. "Jadi… hanya dengan ini, kita sudah menikah?"
Yan Zhi menatapnya dengan tatapan geli. "Kau mengharapkan lebih?"
Lin Momo menyeringai. "Ya, aku mengharapkan sesuatu yang lebih dramatis."
Yan Zhi terkekeh. "Jangan khawatir. Aku yakin hidup bersamamu tidak akan pernah membosankan."
Lin Momo tertawa kecil. "Kau benar."
Mereka pun keluar dari kantor catatan sipil sebagai pasangan suami istri yang sah.
Yan Zhi menarik tangan Lin Momo dengan santai, seolah mereka sudah terbiasa bersama. "Sekarang ayo, aku bantu membereskan pakaianmu."
Lin Momo menatapnya dengan alis terangkat. "Kemana?"
Yan Zhi menoleh ke arahnya dengan ekspresi seperti bertanya balik. "Tentu saja pindah rumah bersamaku. Bukankah kita sudah menikah?"
Lin Momo menyilangkan tangan di dadanya. "Apakah harus?"
Yan Zhi terkekeh. "Tentu saja, kita sudah sah suami istri. Kalau beda tempat tinggal, bukankah akan menjadi menjadi bahan gosip dan bahan ejekan lagi?"
Lin Momo mendengus pelan. "Aku memang tidak peduli dengan omongan orang, tapi baiklah, aku juga tidak ingin terus berurusan dengan dua manusia menyebalkan itu."
Mereka berjalan ke rumah Lin Momo yang sederhana, terbuat dari kayu dengan atap genteng yang mulai menua. Di dalamnya, ada satu lemari kayu kecil, satu ranjang sempit, dan beberapa barang seadanya.
Lin Momo melihat pakaian-pakaian lama nya yang warnanya sudah pudar. Ia menghela napas dan mulai memasukkan beberapa ke dalam tas. "Jujur saja, aku butuh pakaian baru. Selera Lin Momo dalam berpakaian sangat menyedihkan."
Yan Zhi tertawa kecil. "Kita bisa membelinya nanti."
Sambil melipat pakaiannya, Lin Momo sesekali melirik pria di sampingnya. Ia menyadari sesuatu.
Dari caranya berbicara, sikap percaya dirinya, dan cara ia memandang orang lain, Yan Zhi bukan pria biasa. Lin Momo yang di kehidupan sebelumnya seorang aktris dan sering bergaul dengan orang-orang kaya bisa merasakan aura seseorang hanya dari gerak-geriknya.
Dan saat melihat Yan Zhi, ia bisa menebak, pria ini bukan sekadar manajer pabrik biasa.
Setelah selesai berkemas, Yan Zhi mengangkat tas Lin Momo dan tersenyum. "Baiklah, ayo kita pergi. Nyonya Yan"
Lin Momo menatap rumah kecil itu untuk terakhir kalinya. Rumah yang selama ini menjadi saksi penderitaan nya. Sekarang, ia akan memulai hidup baru.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!