NovelToon NovelToon

Gadis Desa Vs Pewaris Sultan

Bab 1: Kirana dan Kehidupannya

Kirana adalah seorang gadis cantik yang saat ini berusia 15 tahun dengan kulit putih bersih dan rambut panjang sepinggang yang selalu terurai alami. Kecantikan alami Kirana tidak serta merta membuat dirinya sombong. Kirana hidup sebagai gadis yatim piatu di Desa Sekawan. Desa Sekawan terletak di sebuah dataran tinggi di bawah sebuah bukit, sehingga udara sejuk selalu menyelimuti desa itu sepanjang waktu. Desa Sekawan juga dikelilingi pemandangan alam yang indah dengan sebuah danau kecil yang sangat tenang dan hutan yang sedikit misterius. 

Kirana tinggal di sebuah rumah sederhana bersama Paman, Bibi dan dua sepupunya. Entah kenapa dia bisa tinggal di rumah ini bersama keluarga pamannya, dia tidak pernah tahu, karena dia tidak pernah tahu ayah dan ibunya. Kabarnya ayah dan ibunya meninggal karena kecelakaan sejak dia masih bayi. Meskipun Kirana selalu hidup dalam kesederhanaan, namun kehidupan Kirana tidak seperti gadis-gadis desa lain yang selalu bisa bermain dengan gadis-gadis seusianya. Kirana harus menghadapi pahitnya kehidupan, karena Bibinya (Tari) dan kakak sepupunya (Rara) selalu memperlakukan Kirana sangat tidak adil. Rara saat ini berumur 17 tahun. Mereka selalu menyuruh Kirana untuk mengerjakan pekerjaan rumah, mulai dari memasak, mencuci pakaian bahkan membersihkan rumah menjadi pekerjaannya sehari-hari. Walaupun demikian dia tetap bisa bersekolah yang saat ini sudah menginjak kelas IX di sebuah SMP yang terletak di sebelah desanya. 

“Sarapan belum juga siap…. Malas sekali kamu Kirana..!!!” suara Bibi Tari hampir setiap pagi selalu memecahkan kesunyian di rumah itu. Padahal bibinya baru bangun dan Karina sudah dari subuh membuat sarapan. 

“Sabar Kirana…. Sabar….” itulah yang selalu dikatakan Karina di dalam hatinya.

Sepulang sekolah Rara juga tak pernah melewatkan kesempatan untuk menyuruh Kirana. “Baju-baju belum disetrika, rumah masih berantakan. Kamu bisa apa sih Karina? Sudah numpang di sini, kerjaannya malas-malasan saja…,” kata Rara hampir setiap kali Kirana pulang sekolah. Padahal Rara sepulang sekolah selalu main ponselnya sampai kadang-kadang tertidur di sofa rumahnya. Karina hanya bisa mengelus dadanya.

Namun dibalik itu semua, Kirana mempunyai tekad dan harapan yang kuat.

“Suatu saat aku pasti keluar dari rumah ini. Akan kubuktikan bahwa aku bisa lebih baik dari mereka …” Hal itu selalu menjadi kata-kata penyemangatnya.

Meskipun kehidupan Kirana menyedihkan, namun Kirana tidak pernah mengeluh, walaupun rasa jengkel dan sedih selalu menghantui hatinya. Paman Kirana (Budi) dan adik sepupunya (Arif) yang saat ini berumur 14 tahun adalah sedikit cahaya dalam hidupnya. Sebenarnya mereka baik hati dan menyayangi Kirana. Namun karena sosok Bibi Tari yang dominan di rumah itu, mereka tidak bisa berbuat banyak untuk bisa membantu Kirana. Hanya saat Bibi Tari dan Rara tidak ada di rumah, Paman Budi dan Arif baru bisa membantu Kirana mengerjakan pekerjaan rumah.

“Terima kasih Paman… Terima kasih Arif…. Terima kasih sudah membantu Kirana….” ucap Kirana setiap Paman dan Arif membantunya. 

Paman Budi menghela nafas dan wajahnya penuh penyesalan.

“Maaf ya Kirana, paman hanya bisa membantu kami kalau bibi dan kakakmu tidak ada di rumah. Paman tidak bisa membantah bibimu,” kata pamannya pada suatu hari.

“Tidak apa-apa paman, paman dan Arif sudah sangat meringankan kerjaan Kirana…. Kirana bersyukur punya paman dan adik yang masih memperhatikan Kirana,” kata Kirana sambil menatap sendu paman dan adiknya.

Mata Arif berkaca-kaca dan menatap sedih kakak sepupunya itu.

“Kak, suatu saat nanti, aku akan menjadi kuat dan aku janji akan selalu melindungi Kak Kirana dari mereka.” 

Kirana tersenyum hangat kepada paman dan Arif, sambil mengusap kepala Arif dengan penuh kasih sayang.

“Terima kasih Dik… sampai saat ini kakak bisa bertahan, kamu jangan khawatir. Saat ini yang terpenting kamu tumbuh jadi anak yang baik dan kuat. Jangan lupa belajar yang rajin ya…,” kata Kirana sambil tersenyum.

Di balik kesedihannya, Kirana selalu bersyukur masih ada orang yang menyayanginya, yang dapat memberikannya kekuatan untuk bertahan.

 

Suatu pagi, suara keras Rara memecahkan kesunyian dan ketenangan rumah itu.

“Kirana…. Kirana… dimana kamu…??” teriak Rara dengan suara melengking dengan wajah memerah menahan amarah.

Kirana yang saat itu baru selesai memasak dan akan menyajikan masakannya di meja makan, langsung bergegas menghampiri Rara. Di tangannya masih tergenggam lap kecil yang tadi dia gunakan untuk membersihkan meja makan.

“Kak Rara ada apa…?” tanya Kirana sambil mengusap tangannya di lap yang masih dia bawa untuk menyamarkan kecemasannya.

Dengan wajah memerah dan mata melotot, Rara lalu berkata, “Baju olahragaku dimana ? Kamu sudah setrika kan? Aku mau pakai sekarang…!!!”

Kirana terkejut, biasanya Rara memakai baju olahraga ke sekolah hari Jumat. Ini masih hari Rabu dan baju olahraga Rara pun baru sore kemarin kering, jadi dia belum sempat menyetrikanya. 

“Maaf… Maaf… kak… Biasanya kan hari Jumat kakak pakai baju olahraga? Kenapa hari ini mau pakai? Bajunya…. belum Kirana setrika kak…,” jawab Kirana dengan tangan gemetar, tangannya meremas lap yang dipegangnya.

Rara dengan kesal berkata, “Mau aku pakai hari Jumat… sekarang… itu terserah aku…. Apa urusanmu…? Urusanmu bagaimana memastikan bajuku siap kapanmu aku mau! Ngerti kamu!,” hardik Rara dengan wajah songongnya.

Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Kirana. Kirana menunduk agar air matanya tidak terlihat oleh Rara. 

Dengan menghela napas, Kirana berkata, “Baik kak… maaf kak… sekarang Kirana siapkan baju olahragamu.”

Lalu dengan tergesa-gesa menuju kamarnya yang sekaligus kamar tempat dia menyetrika pakaian keluarga itu. 

Sementara itu, Rara berjalan ke meja makan dengan langkah kesal. Bibi Tari yang baru keluar kamar dan juga sedang menuju ruang makan, menatap Rara dengan penuh tanya melihat wajah kesal putrinya.

“Kenapa Ra…? Kirana membuat masalah lagi dengan kamu?” tanya Bibi Tari dengan wajah dinginnya.

Rara menggerutu sambil menyendokkan nasi ke piringnya.

“Ia bu… Dia malas sekali. Baju olahragaku belum disetrikanya. Padahal aku mau pakai pagi ini ke sekolah.”

Bibi Tari mengangguk dan menunjukkan wajah kesalnya.

“Sudah… jangan terlalu dipikirkan. Dia kan memang seperti itu, bisanya bekerja setengah-setengah. Nanti ibu kasih pelajaran si pemalas itu,” seru Bibi Tari dengan wajah kesalnya.

 

Di kamar, Kirana dengan cepat mengambil baju olahraga Rara yang baru kemarin diambil dari tempat jemuran. Masih dengan tangannya yang gemetar, Kirana mengambil setrika. Matanya berkaca-kaca, tapi dia berusaha untuk menahan tangis.

“Kenapa mereka seperti itu memperlakukanku…? Apa salahku selama ini? Apa tidak ada sedikit rasa sayang mereka kepadaku?” bisik hatinya.

Tiba-tiba pintu kamar Kirana terbuka dengan pelan. Arif mengintip dari balik pintu, wajahnya penuh dengan kekhawatiran.

“Kak Kirana…. Kamu baik-baik saja?” tanya Arif pelan.

Kirana tersenyum lemah dan berusaha menutup perasaan sedihnya kepada Arif.

“Iya Dik. Kakak baik-baik saja. Ini lagi mempersiapkan baju olahraga Kak Rara.”

Arif mengerutkan keningnya.

“Tapi kan biasanya Kak Rara pakai baju olahraganya hari Jumat… kenapa hari ini dia mau pakai Kak?” tanya Arif dengan heran.

Kirana menghela napasnya. “ Entahlah Dik. Kakak juga tidak tahu. Mungkin ada kegiatan di sekolahnya. Masalahnya Kak Rara baru bilang tadi, jadi kakak baru bisa menyetrikanya saat ini. Untung saja baju olahraganya sudah kering,” kata Kirana sambil tersenyum ke arah Arif.

Arif lalu masuk ke kamar, mendekati Kirana dan duduk di samping Kirana. “Kak… kamu jangan terlalu capek ya. Arif bisa bantu kakak kok… jangan sungkan minta bantuan Arif.”

Kirana tersenyum hangat dan sambil mengusap kepala Arif, Kirana menjawab, “Terima kasih Dik… Tapi tidak usah Dik… Nanti kalau Bibi Tari dan Kak Rara tahu, nanti kakak akan dimarahi lagi. Sekarang kamu siap-siap sekolah ya… Jangan lupa sarapan di dapur sudah kakak siapkan.”

Arif menganggguk, tapi matanya masih dengan kekhawatiran. “Kalau Ibu dan Kak Rara selalu begini… Bagaimana Kak Kirana akan bisa bahagia?”

Kirana terdiam sejenak, lalu memeluk erat Arif. “Kakak akan selalu baik-baik saja kok. Yang terpenting kamu dan paman selalu ada untuk kakak. Nah sekarang kamu siap-siap dan sarapan ya…”

Arif berdiri sambil memberi hormat kepada kakaknya. “Siap kak..!!!” seru Arif sambil tersenyum lalu beranjak dari kamar Kirana.

 

Setelah Arif pergi, Kirana kembali fokus menyetrika baju Rara. Walaupun saat ini tangannya masih bergetar, tapi hatinya sedikit tenang setelah berbincang dengan Arif.

Sementara itu di meja makan, Rara masih saja menggerutu. “Dia selalu seperti itu bu. Kerjanya lelet sekali, padahal hanya menyetrika satu baju saja.”

Bibi Tari mengangguk sambil menyeruput teh lemon hangatnya. “Sudah jangan dipikirkan. Memang dia tidak pernah bisa diandalkan.”

Di sudut ruangan, Paman Budi yang diam-diam memperhatikan semua yang terjadi, namun dia hanya bisa berdiam diri dan menghela napas. Dia tahu Kirana telah bekerja keras dan sedih atas perlakukan istri dan anak gadisnya, namun ia tidak bisa berbuat terlalu banyak.

Apakah yang akan terjadi pada kehidupan Kirana selanjutnya? Apakah dia mampu bertahan di rumah itu?

Bab 2: Ujian Tak Terduga

Setiap pagi Kirana selalu bangun sebelum matahari terbit. Desa Sekawan yang masih dilingkupi udara dingin selalu menyambutnya saat dia mulai menyiapkan sarapan. Tangannya yang selalu cekatan memotong sayuran dan menyiapkan berbagai macam bumbu. Kirana juga mengeluarkan ikan gurami dari dalam kulkas. Hari ini dia berencana memasak pepes ikan gurami dan tumis kangkung sambal terasi. Dia juga menyiapkan tahu dan tempe yang akan digorengnya. Biasanya hanya tahu dan tempe goreng yang tersisa untuknya, sedangkan keluarga yang lainnya makan makanan yang lain. Padahal dia yang memasak, entah mengapa dia hanya mendapatkan makanan ala kadarnya. Sebenci itukah Bibi Tari kepada dirinya? Pikirannya melayang sambil membungkus pepes yang sedang dibuatnya.

Harum aroma masakan memenuhi rumah. Kirana dengan sigap segera mempersiapkan meja makan dan meletakkan masakan yang telah selesai dibuatnya di meja makan. Dia juga menyiapkan air minum bagi anggota keluarga itu. Ia memastikan semua siap sebelum anggota keluarga lain duduk untuk menikmati sarapan yang dia buat. 

Setelah selesai menyiapkan sarapan di meja makan, Kirana lanjut membereskan rumah dan merendam pakaian kotor yang nanti sore akan dicucinya. Setelah selesai membereskan rumah dan menyiapkan sarapan di meja makan, Kirana bergegas mandi dan bersiap ke sekolah. Ia mengenakan seragam SMP-nya yang sederhana dan rambut panjangnya dikepang dua yang diikat dengan rapi. 

Di meja makan, Bibi Tari, Paman Budi, Rara dan Arif sudah selesai sarapan dan hanya meninggalkan beberapa lauk saja. Hanya tahu, tempe dan tumis kangkung yang tersisa. Tidak ada pepes gurami yang dia buat dengan susah payah. Kirana keluar kamar dan melihat itu, hanya bisa mengelus dadanya. Kirana menatap meja makan itu lama, dadanya sesak, tapi dia menelan kesedihannya dalam hati.

“Sabar… Sabar…’” hanya itu yang ada di hatinya.

Tanpa banyak bicara, karena Kirana tidak ingin telat sekolah, Kirana tidak sarapan di rumah. Dia membungkus sarapannya dengan kertas minyak dan memasukkannya ke dalam tas. Kirana berharap nanti sampai di sekolah dia bisa memakan sarapannya. Kalau tidak dia akan memakan sarapannya pas jam istirahat. Kemudian dengan tas yang sudah dipenuhi buku, Kirana hendak melangkah keluar rumah, namun suara Bibi Tari menghentikannya.

“Kirana!” suara tajam Bibi Tari menghentikan langkah Kirana.

Kirana berbalik, “Iya Bi… ada apa Bi?”

“Kamu sudah cuci piring? Jangan kira kamu bisa kabur setelah mengambil makanan,” hardik Bibi Tari seraya memandang tajam Kirana.

Kirana mengangguk. “ Sudah Bi… Semua sudah bersih Bi.”

Bibi Tari melipat tangannya di dada. “Nanti sore jangan lupa mencuci dan menjemur pakaian. Ingat jangan sampai kamu main sampai sore. Jangan hanya tahu makan dan sekolah saja!”

Kirana menunduk, menahan air mata yang menggenang di sudut matanya.  “Iya Bi…”

Tanpa menunggu lebih lama, Kirana segera keluar dari rumahnya dan hendak berjalan kami menuju sekolah yang berjarak kurang lebih satu kilometer dari rumahnya. Di halaman rumah, Kirana melihat Paman Budi akan mengantar kakaknya menggunakan motor di SMA yang juga ada di sebelah desanya. Sedangkan adik sepupunya Arif, berangkat ke sekolah dibonceng oleh temannya menggunakan sepeda. Arif sekarang ada di kelas VIII di SMP yang sama dengan Kirana.

Ia menarik napas panjang dan mulai melangkah. Jarak sekolah dengan rumahnya memang hanya satu kilometer, namun pagi yang dingin dan perut yang kosong membuat perjalanan tersebut terasa lebih berat dari biasanya. Kirana melangkah dengan pelan, namun dengan tekad yang kuat. Hari ini sama seperti hari-hari sebelumnya. Ia akan menghadapi semuanya dengan sabar dan senyum yang selalu berusaha dia pertahankan. Di sekolah nanti, mungkin akan terasa lebih ringan. Setidaknya di sana dia tidak sendiri. Ada sahabatnya yang selalu menemani dan menghiburnya. Sahabatnya bernama Ririn, satu kelas dengan dirinya. Ririn anak dari keluarga sederhana, namun dia masih memiliki ayah dan ibu. Kadang-kadang Kirana main ke rumah Ririn, dan di sinilah dia seperti mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya, karena ayah dan ibu Ririn sangat sayang sama Kirana. Hal ini karena Kirana anak yang rajin, baik hati dan pintar.

Di sekolah, Kirana dikenal sebagai siswa yang pintar dan cantik, namun tetap rendah hati. Para guru dan teman-temannya sering memujinya, bahkan teman-temannya menghormatinya. Namun demikian Kirana tidak pernah menyombongkan dirinya, hal ini karena kehidupannya yang tidak lebih baik dari teman-temannya yang lain.

Setelah aktivitas sekolah yang dijalaninya dan bel pulang sekolah telah berbunyi, Kirana dan sahabatnya, Ririn, berjalan pulang bersama. Mereka berjalan beriringan, saling bercanda, tertawa, dan bercerita tentang pelajaran hari ini, menikmati kebersamaan mereka.

Namun ketenangan mereka tiba-tiba terganggu dengan kedatangan gerombolan anak SMA yang menghadang mereka di tengah jalan. Mereka ternyata adalah teman-teman Rara, kakak sepupu Kirana. Dan Rara sendiri ternyata ada di antara mereka, dan tersenyum sinis melihat keberadaan Kirana di sana.

“Hei Kirana… cepat pulang…! Ingat cuci pakaian kotorku! Jangan mencoba menggoda teman-temanku,” suara Rara terdengan tajam dan penuh hinaan.

“Ooooo… ini babu di rumahmu itu ya Ra….? Cantik juga…,” kata salah satu teman Rara.

Kirana menahan napasnya dan mencoba tetap tenang. Ririn yang ada di sampingnya, meremas tangan Kirana untuk memberi dukungan kepada Kirana walaupun tanpa kata-kata. 

“Jangan pedulikan mereka, Kirana… Ayo kita cepat jalan pulang,” bisik Ririn.

Tapi Rara tidak membiarkan Kirana dan Ririn pergi. “Tunggu dulu… Ingat kamu cuma babu di rumahku… Masih untung keluargaku masih memberimu makan… Cepat pulang dan kerjakan pekerjaanmu di rumah!”

Gerombolan teman Rara tertawa dan menikmati hinaan Rara kepada Kirana. Kirana menggigit bibirnya, menahan emosi yang mulai bergolak di dadanya. Matanya sudah berkaca-kaca menatap Rara dan teman-temannya, namun berusaha keras untuk tidak menangis. 

“Ayo Rin, kita pulang,” kata Kirana pada akhirnya dengan suara bergetar dan mencoba untuk tetap tenang.

Ketika Kirana dan Ririn hendak melangkah, tiba-tiba salah satu anak cowok yang tampaknya paling berkuasa di antara mereka, menghalangi jalan Kirana dan Ririn. “Mau kabur kemana cantik…? Temani kita jalan yuk…,” kata anak itu yang bernama Anto dengan nada mengejek dan tersenyum sinis.

Kirana menatap tajam Anto dan berkata dengan suara tenang namun tegas, “Aku tidak ada urusan dengan kakak. Tolong minggir.”

Anto terkekeh, “Sok berani sekali kamu. Tapi galak-galak begini tetap cantik. SMP saja sudah cantik seperti ini, gimana nanti kalo sudah SMA ya? Pasti tambah cantik… ha… ha…ha…. Ayo temani kami sebentar, nanti kami kasih uang buat beli skincare biar wajahmu makin tambah cantik nanti…. ha… ha… ha…” Anto berkata sambil tersenyum penuh arti sambil mendekati Kirana yang semakin membuat Kirana tidak nyaman.

Kirana dan Ririn berusaha menghindar. Namun gerombolan cowok yang dipimpin Anto mengelilinginya. Ririn memegang erat tangan Kirana dan wajahnya penuh dengan ketakutan.

“Kak Rara, tolong Kirana…,” Kirana memohon kepada Rara untuk membantunya, namun Rara hanya tertawa.

“Nikmati saja Kirana… Mereka cuma bercanda,” kata Rara sambil melipat kedua tangannya di dada dan Rara sepertinya menikmati situasi ini.

Salah satu cowok SMA itu mencoba menyentuh rambut Kirana. “Ayo dong, kita cuma mau kenalan. Jangan jutek seperti itu.” 

Kirana dan Ririn berusaha melepaskan diri dari kepungan gerombolan anak SMA itu, namun apa daya tenaga dan jumlah mereka kalah jauh dan sungguh kebetulan lagi, jalanan lagi sepi dan tidak ada yang bisa membantu mereka. 

Beberapa cowok itu mulai menarik mereka dan menaikan Kirana dan Ririn ke atas motor mereka. Mereka berniat membawa Kirana dan Ririn ke arah tepian danau yang sepi dan jauh dari keramaian. Kirana dan Ririn berusaha berteriak minta tolong, namun tidak ada yang mendengar teriakan mereka.

“Tolong… tolong… tolong kami…. Jangan bawa kami kak…” Kirana dan Ririn menangis dan berusaha memukul cowok yang membonceng dan memegangi mereka. Namun tenaga mereka kalah jauh dari gerombolan itu.

Sementara itu, Rara dan teman-teman ceweknya bergegas pulang dan tidak peduli dengan keadaan Kirana dan Ririn. “Biarkan saja mereka dinikmati oleh teman-temanku,” batin Rara seraya tersenyum jahat.

Di atas motor,  Kirana dan Ririn terus berusaha melawan walaupun tenaga mereka terkuras habis. Hati Kirana dan Ririn dipenuhi ketakutan dan keputusasaan. “Hiks… siapa yang akan bisa menolong kami?” jerit hati Kirana. “Tuhan mohon selamatkan kami…” doa Kirana di dalam hatinya.

Kirana dan Ririn tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, namun mereka tetap berdoa semoga ada yang menyelamatkan mereka. Namun satu hal yang Kirana tahu, ia harus tetap kuat untuk dirinya dan Ririn.

Bagaimana kisah selanjutnya...? Ikuti bab selanjutnya...

Bab 3: Pertolongan Kakek Misterius

Akhirnya gerombolan anak SMA itu sampai di tepi danau yang jauh dari keramaian. Suasana sunyi dan angin yang berhembus pelan seolah menambah keseraman situasi ini. Mereka lalu membawa Kirana dan Ririn ke gubuk reot yang biasa dipakai para pemancing untuk beristirahat. Kirana dan Ririn saling berpegangan erat, mencoba untuk menemukan kekuatan dalam diri mereka untuk menghadapi kejadian yang tidak pernah mereka duga. 

“Rin, kita harus tetap bersama. Jangan menyerah…,” bisik Kirana kepada Ririn dengan suara gemetar, mencoba memberikan semangat kepada sahabatnya meskipun mereka sadar bahwa mereka kemungkinan kecil dapat lolos dari gerombolan anak SMA ini.

Ririn mengangguk namun air mata mulai mengalir di pipinya. “Aku selalu bersamamu Kirana. Kita akan melewati ini bersama,” ujarnya dengan suara gemetar dan hampir tidak terdengar. Tangannya yang menggenggam tangan Kirana seolah mengatakan bahwa mereka tidak akan pernah menyerah begitu saja.

Anto mendekati Kirana dengan langkah yang penuh keyakinan. Matanya menyala dengan niat buruk yang tidak bisa disembunyikan. 

“Kalian jangan sok jual mahal. Temani kami sebentar saja. Nanti juga akan kami lepaskan...,” bisik Anto pada Kirana sambil tersenyum penuh arti yang semakin membuat Kirana tidak nyaman. Kemudian tangan Anto berusaha meraih baju Kirana dan mencoba menariknya. 

Kirana langsung berontak dan tubuhnya bergerak melawan. “Jangan sentuh aku!!!” teriaknya dengan suara yang penuh ketakutan dan kemarahan. Kirana tanpa pikir panjang menggerakkan tangannya melayang dan menampar wajah Anto. Plakkkk…!!! Suara tamparan itu menggema di udara dan membuat suasana menjadi hening seketika.

Anto terkejut dan tangannya meraba pipinya yang memerah. Matanya menyipit penuh kemarahan. “Berani sekali kamu menamparku… !!!,” geramnya dengan suara yang meninggi. Tanpa pikir panjang, Anto membalas tamparan itu dengan lebih keras. Plakkkkk…!!! Tamparan itu membuat Kirana jatuh ke tanah, pipinya terasa panas dan matanya berkunang-kunang.

“Terima saja akibatnya sekarang!” Anto berteriak dengan wajah merah padam. Dia menoleh kepada teman-temannya yang hanya tertawa menonton kejadian itu. “Bantu aku… Pegang kaki dan tangannya…! Nanti kalian akan dapat gilirannya… Cepat!” teriak Anto dengan suara penuh amarah dan nafsu.

Teman-teman Anto segera bergerak mendekati Kirana dan Ririn dengan senyuman jahat. Ririn yang masih berusaha melawan, didekati oleh salah satu cowok yang memegang dagunya dengan kasar. “Jangan melawan sayang…. Kalian hanya bikin ini lebih sulit untuk diri kalian,” ucap cowok itu dengan nada mengejek.

Kirana walaupun merasa tubuhnya lemas dan pipinya masih terasa panas, berusaha bangkit. “Jangan sentuh dia…! Jangan sentuh Ririn…!” teriaknya mencoba melindungi sahabatnya. Namun tangan dan kakinya sudah dipegang erat oleh beberapa cowok lainnya, membuat dia tidak bisa bergerak.

Ririn menangis dengan suara pecah. “Tolong…. Tolong… Jangan lakukan ini…” Namun suaranya tenggelam dalam tawa dan cemoohan gerombolan itu.

Anto mendekati Kirana lagi dan kali ini dengan senyum yang lebih mengerikan. “Kamu pikir kamu bisa melawan kami? Kamu hanya anak SMP Kirana. Lebih baik menurut saja agar tidak ada yang terluka,” ujarnya dengan nada seolah menyakinkan namun penuh ancaman.

Kirana menatap Anto dengan mata penuh kebencian dan ketakutan. “Kalian tidak akan pernah bisa memaksaku…. Kami tidak akan menyerah!” teriaknya dengan suara gemetar.

Anto tertawa dan memandang teman-temannya. “Ayo kita mulai saja. Mereka tidak akan bisa melawan.”

Di tengah ancaman dan keputusasaan, Kirana dan Ririn saling memandang. Di dalam pandangan itu ada janji yang tidak terucap. Mereka akan tetap bersama, apapun yang akan terjadi. Meskipun tubuh mereka lemah dan tak berdaya, namun semangat melawan mereka tidak akan padam.

“Rin, aku di sini….” bisik Kirana mencoba menenangkan sahabatnya.

“Aku juga Kirana… Kita akan melewati ini bersama,” balas Ririn dengan air mata yang terus mengalir.

Saat Anto mulai berusaha merobek baju Kirana, langkah kaki dan teriakan dari kejauhan tiba-tiba memecahkan kesunyian. “Hentikan!!! Apa yang kalian lakukan ?!”

Tiba-tiba seorang kakek berusia sekitar 60 tahun muncul dari balik pepohonan. Wajahnya tegas, tubuhnya masih terlihat kuat dan matanya memancarkan kewibawaan.

Anto menatap kakek itu dengan pandangan meremehkan. Dalam hatinya dia tertawa. “Hanya kakek tua… menghadapi aku dan teman-temanku, pasti kakek itu akan kalah dan lari…,” pikirnya dengan sombong.

Dengan langkah sombong, Anto mendekati kakek itu. “Kakek mau apa…? Kami hanya mau bersenang-senang… Jika kakek mau, tunggu giliran tapi terakhir ya Kek…” ucap Anto sambil tertawa terbahak-bahak dan diikuti suara tawa teman-temannya.

Namun kakek itu tidak terpancing dan menjawab dengan tenang. “Nak… jangan pernah menyakiti orang lain. Apalagi mau melecehkan perempuan. Perempuan itu layaknya ibumu. Gimana kalau ibumu dilecehkan?” kata kakek itu masih dengan nada lembut.

Mendengar perkataan kakek itu, Anto tersentak sejenak namun kemudian wajahnya memerah karena marah. “Kek… sebaiknya kakek segera pergi dari sini, sebelum aku dan teman-temanku melakukan sesuatu pada kakek…” ucap Anto dengan suara meninggi.

“Baiklah… tapi tinggalkan gadis-gadis itu sekarang. Kakek akan membiarkan kalian pergi dari sini…” kata kakek itu masih dengan suara yang tenang dan senyum yang terkembang di bibirnya.

Anto merasa tersinggung, karena merasa kata-katanya diabaikan kakek itu. Lalu dia menoleh kepada teman-temannya. “Sepertinya kakek ini mau main-main sebentar. Kawan-kawan lemaskan otot kalian sebentar, sepertinya kakek ini ingin dikasih pelajaran!,” ucap Anto dengan nada sombong.

Kakek itu mengangguk pelan, seolah menerima tantangan itu. “Kakek di sini tidak mau mencari masalah, tapi jika memang kalian ingin memberikan kakek pelajaran, kakek akan menerima pelajaran itu dengan senang hati,” kata kakek masih dengan ketenangannya. 

Anto dan teman-temannya menjadi marah. Dua orang dari mereka maju, mencoba memukul kakek itu. Namun hanya dengan gerakan kaki yang sedikit, kakek itu bisa menghindari pukulan mereka dengan sangat mudah. Dengan penasaran mereka mulai tidak segan lagi dengan kakek itu. Lalu dengan sepenuh tenaga, teman Anto berusaha memukul kakek itu. Kembali dengan gerakan gesit kakek itu menghindar, dan balas menepuk punggung mereka dengan pelan namun bertenaga, sehingga mereka tersungkur ke tanah. 

“Apa-apaan ini?!” teriak Anto dengan wajah merah padam menahan amarah.

Melihat hal itu Anto dan teman-temannya menjadi marah dan menyerang kakek itu dengan beringas. Maka terjadilah perkelahian dan sebenarnya tidak seimbang. Walaupun kakek itu hanya terlihat menghindar tanpa memberikan balasan, namun hal itu cukup membuat Anto dan teman-temannya kewalahan. 

Setelah beberapa lama, akhirnya kakek itu memberikan Anto dan teman-temannya hadiah satu pukulan dan tendangan yang membuat mereka tersungkur ke tanah dan mengerang kesakitan. Melihat hal tersebut, Anto dan teman-temannya mulai khawatir dan takut, yang akhirnya berusaha pergi dari tempat itu.

“Pergilah kalian… jangan pernah mengganggu mereka lagi…!” kata kakek itu memperingatkan.

Anto dan teman-teman tidak berkata-kata lagi. Mereka bangun dengan susah payah dan berdiri dengan wajah ketakutan. Tanpa berkata-kata lagi, mereka pergi dengan tergesa-gesa, meninggalkan Kirana dan Ririn yang masih terkejut.

Lalu kakek tersebut mendekati Kirana dan Ririn. “Kalian baik-baik saja?” tanya kakek tersebut penuh dengan perhatian dan senyum yang kembali terukir di wajahnya.

Kirana dan Ririn mengangguk dengan mata berkaca-kaca. “Terima kasih Kek. Kami…. tidak tahu harus bilang apa lagi.”

Kakek itu masih tersenyum. “Tidak perlu berterima kasih Nak. Mari ikut kakek ke pondok kakek. Kalian butuh istirahat dan menenangkan diri.”

Kirana dan Ririn mengikuti kakek itu ke sebuah pondok kecil di tepian hutan. Kakek itu kemudian membuatkan Kirana dan Ririn teh hangat dan menyajikan beberapa potong kue kering. 

“Kalian sering diganggu oleh mereka?” tanyak kakek itu dengan penuh perhatian.

Kirana menunduk. “Tidak selalu Kek. Tapi hari ini… mereka teman kakak sepupuku. Dia malah membiarkan membiarkan mereka melecehkan kami,” ucap Kirana sambil terisak mengingat kejadian yang hampir melecehkan dirinya bersama Ririn.

Kakek itu menghela napas. “Dunia ini kadang tidak adil Nak. Tapi kalian harus kuat. Kakek lihat kalian punya potensi. Bagaimana kalau kalian kakek ajari ilmu silat? Agar kalian bisa menjaga diri di kemudian hari.”

Ririn terlihat antusias “Benarkah kek? Kami boleh belajar dari kakek?” ucap Ririn penuh harap.

Kakek itu tersenyum. “Tentu saja. Tapi itu bukan hal yang mudah. Butuh dedikasi dan kerja keras.”

Kiran dan Ririn memandang kakek itu penuh harap. “Kami bersedia Kek. Kami tidak ingin selalu merasa takut."

Kakek itu tersenyum. “Oh iya, kakek bernama Sapto Handoyo. Panggil saja Kakek Sapto. Nama kalian siapa?” 

Kirana dan Ririn saling tersenyum dan saling pandang. “Nama saya Kirana Kek… dan ini sahabat saya Ririn,” jawab Kirana mewakili mereka berdua.

Kakek itu mengangguk, namun kemudian matanya terlihat sayu seolah mengenang sesuatu. “Kirana… wajahmu mengingatkan kakek pada seseorang. Tapi kakek tidak bisa mengingatnya dengan jelas.”

Kirana penasaran. “Siapa kek?”

Kakek itu menggeleng. “Entahlah Nak. Mungkin hanya perasaan kakek saja. Tapi yang penting sekarang kalian harus belajar untuk menjadi lebih kuat.”

“Tapi sekarang kalian pulang dulu, hari hampir sore. Khawatir keluarga kalian akan mencari kalian,” ucap Kakek Sapto melihat hari sudah mulai menjelang sore.

“Tapi kami masih merasa takut kek… Kami takut mereka masih akan menghadang kami,” ucap Kirana dengan wajah khawatir.

Kakek Sapto tersenyum. “Jangan khawatir… Kakek akan mengantar kalian sampai dekat rumah kalian.”

Kirana dan Ririn tersenyum senang, ternyata masih ada yang peduli dengan mereka, bahkan akan mengajarkan mereka ilmu bela diri untuk menjaga diri mereka di kemudian hari.

Bagaimana Kirana menjalani kehidupan selanjutnya...? Ayo simak di bab berikutnya...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!