"Tuan...aku akan membayarnya, aku akan bekerja lebih keras lagi, agar bisa membayarnya tapi lepaskan aku."Nesya dengan tangan menakup memohon agar di lepas kan.
"Tidak bisa, kau ... yang sudah membuat hubunganku hancur dengan kekasihku, maka kau takkan pergi dariku, itu hukumanmu!"Jae Hyun menyeringai dengan mata menatap tajam.
Beberapa waktu sebelumnya
Malam itu, suasana restoran terasa romantis. Jae Hyun menunggu Hye Jin dengan gugup, sesekali melirik meja yang telah didekorasi indah dengan lilin dan bunga mawar. Sebelumnya, ia telah memberikan cincin berlian yang akan dimasukkan ke dalam cake kepada manajer restoran.
Di dapur, manajer memberikan cincin tersebut kepada chef dengan instruksi jelas. Namun, Nesya, seorang pelayan yang sedang mengatur piring di dekat sana, memperhatikan cincin berlian itu. Rasa penasaran menguasainya. Ia mendekati cincin itu ketika chef lengah, lalu mencoba memakainya.
"Nesya, apa yang kau lakukan?" tanya seorang rekan pelayan dengan suara rendah.
"Tenang saja, aku hanya ingin mencoba sebentar. Cantik sekali cincin ini!" jawab Nesya dengan senyum lebar.
Namun, senyum itu segera berubah menjadi panik ketika ia mencoba melepas cincin tersebut dan menyadari bahwa cincin itu terjebak di jarinya. Ia menarik-nariknya dengan keras, tapi tidak berhasil. Suaranya yang memanggil rekan-rekannya akhirnya menarik perhatian chef.
"Cake sudah siap! Di mana cincin itu?" tanya chef sambil melihat ke sekeliling.
Nesya hanya bisa terdiam, menyembunyikan tangannya di balik punggungnya. Namun tanpa menunggu jawaban, cake itu segera disajikan ke meja Jae Hyun.
Ketika Hye Jin tiba, Jae Hyun mulai menunjukkan kegugupannya, tapi senyumnya tetap lebar. Ia memotong cake dengan hati-hati, berharap menemukan cincin itu di dalamnya. Namun, beberapa potongan berlalu tanpa ada tanda-tanda cincin. Hye Jin yang bingung mulai bertanya-tanya.
“Oppa, kau kenapa? Kau terlihat aneh sekali,” katanya sambil tersenyum kecil.
Di dapur, Nesya panik bukan main. Ia mencoba segala cara untuk melepas cincin itu dari jarinya. Sementara itu, Jae Hyun memanggil pelayan, meminta penjelasan. Ketika manajer datang, wajahnya tampak pucat setelah menyadari apa yang terjadi.
"Ya Allah, bagaimana ini, kenapa nggak bisa dibuka?"Nesya mulai panik
Akhirnya, Nesya muncul ke meja dengan kepala tertunduk. Dengan suara pelan, ia menjelaskan apa yang terjadi sambil menunjukkan jarinya yang masih terpasang cincin itu.
"Aku... aku minta maaf. Aku hanya ingin mencobanya sebentar, tapi sekarang... cincin ini tidak mau lepas," katanya hampir menangis.
Hye Jin, yang awalnya terkejut, akhirnya tertawa kecil melihat situasi konyol ini. "Sepertinya oppa perlu melamar Nesya dulu sebelum melamarku," ujarnya dengan nada sinis.
Hye Jin menatap Jae Hyun dengan sorot mata tajam. Kekesalan jelas terpancar di wajahnya.
"Jadi ini kejutanmu? Cincin lamaran yang seharusnya ada di cake malah ada di jari pelayan? Apa maksud semua ini, Jae Hyun?" tanya Hye Jin dengan nada dingin, membuat suasana romantis berubah tegang.
Jae Hyun, yang sudah panik sejak awal, mencoba menjelaskan. "Hye Jin, ini bukan seperti yang kau pikirkan. Aku sudah mengatur semuanya. Aku bahkan menyerahkan cincinnya ke manajer satu jam sebelum kau datang. Tapi... semuanya jadi kacau karena ulah Nesya, pelayan itu," katanya sambil menunjuk ke arah Nesya yang berdiri di sudut ruangan dengan wajah menyesal.
Nesya langsung maju, membungkukkan tubuhnya berkali-kali sambil berkata, "Saya sungguh minta maaf! Saya tidak bermaksud merusak kejutan ini. Saya hanya penasaran dengan cincin itu dan—"
"Dan kau pikir cincin itu mainan? Kau tahu malam ini penting bagi kami, tapi kau malah membuat semuanya kacau!" potong Hye Jin dengan emosi.
Nesya terdiam, wajahnya merah karena malu. Manajer restoran mencoba menengahi situasi. "Kami sangat menyesal atas kesalahan yang terjadi malam ini, Tuan Jae Hyun dan Nona Hye Jin. Kami bertanggung jawab sepenuhnya. Kami akan memberikan kompensasi untuk insiden ini."
Namun, Hye Jin tidak terhibur. Ia berdiri dari kursinya, mengambil tasnya, dan menatap Jae Hyun dengan mata yang berkaca-kaca. "Aku menghargai niatmu, tapi bagaimana aku bisa percaya pada kejutan seperti ini? Malam ini seharusnya menjadi momen indah untuk kita, tapi malah berubah jadi lelucon."
"Hye Jin, tunggu!" Jae Hyun segera berdiri, mengejarnya. "Aku tidak pernah berniat membuatmu kecewa. Aku hanya ingin memberikan sesuatu yang spesial. Tolong beri aku kesempatan untuk menjelaskan."
Hye Jin berhenti sejenak di pintu restoran, lalu berbalik. "Aku butuh waktu untuk menenangkan diri, Jae Hyun. Jangan hubungi aku dulu." Dengan itu, ia pergi, meninggalkan Jae Hyun yang berdiri terpaku dengan wajah penuh penyesalan.
Jae Hyun kembali ke mejanya, duduk dengan berat hati. Ia menatap cincin itu, menyadari bahwa kejutan yang sudah ia persiapkan dengan sepenuh hati justru berakhir kacau karena sebuah kesalahan kecil. Ia menghela napas panjang, bertekad untuk memperbaiki semuanya dan memenangkan hati Hye Jin kembali.
"Sayang ... sayang.. jangan pergi dulu tunggu biar aju jelaskan."Jae Hyun berusaha menjelaskan, namun Hye sudah tersulut emosi.
"Kau...."Jae Hyun menunjuk ke arah Nesya.
Setelah Hye Jin pergi dengan penuh amarah, Jae Hyun menatap tajam ke arah Nesya yang masih berdiri dengan gugup di dekat meja. Wajahnya memerah, bukan karena malu, tapi karena marah.
"Bagaimana bisa kau melakukan hal bodoh seperti ini?" tanya Jae Hyun dengan nada tajam.
"Saya... saya hanya iseng, Tuan. Saya tidak menyangka akan seperti ini," jawab Nesya terbata-bata, matanya mulai berkaca-kaca.
"Iseng?!" Jae Hyun menggebrak meja, membuat Nesya dan beberapa pelayan lainnya tersentak. "Cincin itu bukan mainan! Harganya satu miliar, dan kau malah memakainya seperti aksesoris murah!"
Manajer restoran segera maju mencoba menenangkan situasi. "Tuan Jae Hyun, saya mohon maaf. Ini adalah kesalahan kami. Saya akan bertanggung jawab penuh."
"Tanggung jawab?!" Jae Hyun menatap manajer dengan penuh emosi. "Bagaimana caramu mengganti waktu dan kejutan yang sudah hancur karena ulah karyawanmu ini? Sekarang aku bahkan kehilangan kepercayaan kekasihku!"
Nesya, yang mulai menangis, mencoba melepas cincin dari jarinya, tapi cincinnya benar-benar tersangkut. "Saya benar-benar minta maaf, Tuan. Saya tidak bermaksud seperti ini. Saya akan berusaha melepasnya!" katanya sambil terus menarik-narik cincin itu.
Jae Hyun menghela napas panjang, mencoba menahan emosi. "Kalau kau tidak bisa melepasnya sekarang, aku tidak akan ragu melaporkanmu ke polisi. Harga cincin itu satu miliar, dan kau harus menggantinya kalau sampai hilang atau rusak!"
Mendengar ancaman itu, Nesya semakin panik. "Tolong jangan laporkan saya, Tuan! Saya hanya pelayan, saya tidak punya uang sebanyak itu!"
Manajer mencoba mencari solusi. "Tuan Jae Hyun, mari kita coba cara lain. Kami punya minyak di dapur, mungkin bisa membantu melepas cincin itu."
"Kalau tidak berhasil juga, aku akan membawa Nesya ke toko perhiasan atau bahkan memotong cincinnya, tapi dia harus bertanggung jawab!" tegas Jae Hyun.
Setelah berbagai upaya, termasuk minyak, sabun, dan es untuk mengecilkan jari Nesya, cincin itu masih tidak bisa lepas. Waktu berlalu, tapi suasana tetap tegang. Nesya terus memohon-mohon, manajer sibuk meminta maaf, dan Jae Hyun semakin frustrasi.
"Ini belum selesai," kata Jae Hyun akhirnya. "Besok pagi, kau ikut denganku ke toko perhiasan. Kalau cincin itu rusak, kau akan membayar ganti rugi, bagaimanapun caranya."
Nesya hanya bisa mengangguk lemah, wajahnya pucat karena ketakutan. Malam itu, Jae Hyun pulang dengan perasaan marah dan kecewa, sementara Nesya tidak bisa tidur, memikirkan nasibnya yang tergantung pada cincin yang tak kunjung bisa lepas dari jarinya.
Bersambung
Malam itu, Nesya pulang ke apartemennya dengan langkah gontai. Wajahnya pucat, dan matanya sembab karena menangis sepanjang perjalanan. Saat masuk ke dalam, ia langsung disambut oleh Mitha, teman sekamarnya yang sudah lama mengenalnya.
"Nesya, kau kenapa? Wajahmu kelihatan seperti habis dikejar utang seisi dunia," tanya Mitha sambil menghentikan film drama Korea yang sedang ditontonnya.
Nesya tidak langsung menjawab. Ia duduk di sofa, menundukkan kepala, lalu mulai menceritakan semuanya dengan suara pelan. Dari kejadian di restoran, cincin yang tak bisa lepas dari jarinya, hingga ancaman Jae Hyun untuk melaporkannya ke polisi.
"Dan kau tahu berapa harga cincin itu, Mitha? Satu miliar! Aku tidak mungkin bisa membayarnya!" katanya sambil menangis lagi.
Mitha terkejut. "Astaga, Nesya! Kenapa kau bisa sebodoh itu mencoba cincin orang lain? Apalagi cincin lamaran! Apa kau tahu betapa pentingnya cincin seperti itu di Korea?"
Nesya mengangguk lemah. "Aku tahu. Tapi aku benar-benar tidak berpikir sejauh itu tadi. Aku hanya penasaran karena cincinnya sangat indah. Aku tidak menyangka semuanya akan jadi seperti ini."
Mitha menghela napas panjang, mencoba meredakan emosinya. "Kau tahu, ada mitos di Korea soal cincin lamaran. Kalau cincin itu dipakai oleh orang lain sebelum diberikan pada pemiliknya, maka orang itu harus menikah dengan pemilik cincin. Cincin lamaran itu dianggap sakral, Nesya!"
Mata Nesya melebar. "Apa?! Kau bercanda, kan? Aku bahkan tidak tahu siapa pria itu. Aku hanya tahu namanya Jae Hyun, dan dia sangat marah padaku."
Mitha mengangguk serius. "Aku tidak bercanda. Dalam tradisi lama, cincin seperti itu dianggap membawa keberuntungan bagi pasangan yang benar-benar berjodoh. Kalau dipakai oleh orang lain, mitosnya bisa membawa kesialan atau malah mengikat nasib si pemakai dengan pemiliknya."
Nesya menatap Mitha dengan ekspresi campuran antara bingung dan ketakutan. "Apa yang harus aku lakukan, Mitha? Aku tidak mungkin menikah dengan pria itu. Dia pasti membenciku sekarang!"
Mitha berpikir sejenak. "Untuk sekarang, fokus saja mencari cara untuk melepas cincin itu. Tapi kalau memang tidak bisa, mungkin kau harus bicara baik-baik dengan pria itu. Siapa tahu dia percaya bahwa ini semua cuma kecelakaan."
Nesya menghela napas dalam-dalam. "Aku benar-benar terjebak dalam masalah besar. Kalau sampai aku harus menikah dengannya karena mitos itu... aku bahkan tidak bisa membayangkannya."
Mitha memegang bahu Nesya, mencoba menenangkannya. "Tenang, Nesya. Kita akan cari jalan keluar. Tapi kau harus siap menghadapi semua kemungkinan, termasuk mitos itu. Siapa tahu, takdir punya rencana lain untukmu."
Malam itu, Nesya tidak bisa tidur. Pikiran tentang cincin, Jae Hyun, dan mitos Korea terus menghantui benaknya, sementara ia berusaha mencari cara untuk memperbaiki semuanya sebelum terlambat.
Di rumah mewahnya yang luas dan penuh dekorasi elegan, Jae Hyun duduk di ruang tamu dengan wajah muram. Ibunya, Nyonya Kang, seorang wanita anggun dengan sikap tegas, menatapnya penuh selidik.
"Aku sudah menunggu kabar baik darimu hari ini," kata Nyonya Kang sambil menyeruput teh hijau di cangkir porselen. "Bagaimana lamarannya? Apakah Hye Jin menerima cincin itu?"
Jae Hyun menghela napas berat dan meletakkan cangkir kopinya di meja. "Ibu, segalanya tidak berjalan seperti yang direncanakan."
Nyonya Kang mengernyitkan alisnya. "Apa maksudmu? Apa Hye Jin menolakmu?"
"Dia tidak menolak," jawab Jae Hyun pelan, lalu menunduk. "Tapi cincin itu… cincin lamaran itu, malah dipakai oleh pelayan restoran. Semuanya berantakan."
"Apa?!" Nyonya Kang hampir menjatuhkan cangkirnya. "Pelayan? Bagaimana bisa itu terjadi?"
Jae Hyun pun menjelaskan seluruh kejadian, mulai dari dia menyerahkan cincin ke manajer restoran hingga pelayan bernama Nesya mencoba cincin itu dan membuatnya tersangkut di jarinya.
Setelah mendengar semuanya, Nyonya Kang menghela napas panjang dan menggelengkan kepalanya. "Ini benar-benar memalukan, Jae Hyun. Bagaimana kau bisa membiarkan hal seperti itu terjadi? Tapi lebih dari itu, kau tahu apa artinya ini, kan?"
"Apa maksud Ibu?" Jae Hyun bertanya dengan dahi berkerut.
Nyonya Kang menatapnya serius. "Dalam budaya kita, cincin lamaran itu bukan hanya simbol, tapi juga sakral. Jika seorang wanita lain memakai cincin itu, terutama sebelum diberikan kepada tunanganmu, maka mitosnya kau harus menikahi wanita itu."
Jae Hyun terkejut. "Ibu, itu hanya mitos. Aku bahkan tidak mengenal Nesya. Dia hanya pelayan yang membuat kesalahan."
"Tapi masyarakat akan berpikir sebaliknya," balas Nyonya Kang dengan tegas. "Keluarga kita punya reputasi, Jae Hyun. Jika kabar ini tersebar, apalagi cincin itu tidak bisa dilepas dari jarinya, maka mereka akan menganggap bahwa Nesya adalah jodohmu. Kau tidak bisa mengabaikan hal ini."
Jae Hyun menggelengkan kepala, frustasi. "Tapi Ibu, aku mencintai Hye Jin. Semua ini hanya kesalahpahaman."
"Kesalahpahaman atau bukan, kau harus menghadapi kenyataan," tegas Nyonya Kang. "Kalau cincin itu tidak bisa dilepas, kau harus bertanggung jawab. Gadis itu mungkin bukan pilihanmu, tapi takdir punya cara sendiri."
Jae Hyun terdiam, pikirannya kacau. Di satu sisi, ia tidak ingin kehilangan Hye Jin. Namun di sisi lain, bayangan tentang mitos dan tekanan dari keluarganya mulai membuatnya merasa terjebak.
"Ibu, aku butuh waktu untuk memikirkan ini," katanya akhirnya.
Nyonya Kang mengangguk pelan. "Baik, tapi ingat satu hal, Jae Hyun. Terkadang, apa yang terlihat seperti kesalahan bisa menjadi pintu menuju sesuatu yang lebih besar. Jangan abaikan tanda-tanda dari takdir."
Malam itu, Jae Hyun kembali ke kamarnya, mencoba mencerna semua yang terjadi. Ia memandang cincin lamaran yang seharusnya menjadi awal bahagia bagi hubungannya dengan Hye Jin, tapi kini menjadi sumber kekacauan. Apakah ia benar-benar harus menerima Nesya sebagai bagian dari hidupnya? Atau ada cara lain untuk memperbaiki semuanya tanpa melanggar mitos dan tradisi?
Malam semakin larut, namun amarah Jae Hyun tak kunjung mereda. Ia berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya, sesekali memandang ke luar jendela besar yang memperlihatkan pemandangan kota Seoul yang berkilauan. Cincin lamaran yang seharusnya melambangkan momen bahagia kini menjadi sumber kekacauan dalam hidupnya.
Ia memukul meja dengan keras, membuat beberapa dokumen dan pena terjatuh. "Kenapa ini terjadi padaku? Semuanya sudah aku rencanakan dengan sempurna!" gumamnya dengan penuh frustrasi.
Pikirannya terus berputar. Bayangan Hye Jin yang pergi dengan wajah penuh amarah dan kata-kata tajamnya masih terngiang di telinga.
"Kau mengejekku dengan cara ini, Jae Hyun? Aku pikir kau serius, tapi ternyata semua ini hanya lelucon!"
Rasa bersalah terhadap Hye Jin bercampur dengan kemarahan pada Nesya, pelayan yang ceroboh itu. Jae Hyun mengepalkan tangannya, berusaha menahan emosinya yang meledak-ledak.
"Aku tidak akan membiarkan ini berakhir seperti ini," katanya pada dirinya sendiri. "Nesya harus bertanggung jawab. Dia yang memulai kekacauan ini, dan aku tidak peduli apa yang harus kulakukan untuk memperbaikinya."
Namun, di balik kemarahannya, ada rasa bimbang. Ia teringat kata-kata ibunya tentang mitos cincin lamaran. Meskipun terdengar tidak masuk akal, Jae Hyun tidak bisa mengabaikan tekanan tradisi dan reputasi keluarganya.
"Mitos? Takdir? Semua itu omong kosong!" serunya dengan suara keras. Tapi di dalam hatinya, ia tahu bahwa masyarakat Korea Selatan seringkali mempercayai hal-hal seperti itu, dan skandal seperti ini bisa menghancurkan nama baiknya.
Ia mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi Hye Jin, tetapi panggilannya langsung diarahkan ke voicemail. "Hye Jin, dengarkan aku. Aku akan memperbaiki semuanya. Beri aku waktu," katanya, meskipun ia tahu pesan itu mungkin tak akan didengarkan.
Dengan napas yang berat, ia duduk di kursi kerjanya dan memejamkan mata. Dalam diam, Jae Hyun menyusun rencana untuk menghadapi situasi ini. Ia harus menemukan cara untuk melepas cincin itu dari Nesya dan memperbaiki hubungannya dengan Hye Jin.
Namun, di sudut pikirannya, sebuah pertanyaan tak terhindarkan muncul: Apa yang akan kulakukan jika cincin itu memang tak bisa lepas?
Pagi itu, Nesya berjalan menuju kampus bersama sahabatnya, Mitha. Udara Seoul yang dingin terasa menusuk kulit, tetapi Nesya justru lebih terganggu oleh kegelisahan yang terus membayangi pikirannya.
"Coba tenang, Nesya. Kalau kamu terus seperti ini, orang-orang malah jadi curiga," kata Mitha, mencoba menenangkan.
"Aku nggak bisa tenang, Mitha," balas Nesya dengan nada cemas. "Bayangan tentang cincin itu terus menghantuiku. Apalagi Jae Hyun bilang dia akan melapor polisi kalau aku nggak bisa mengembalikan cincin itu."
Mitha menghela napas. "Kalau begitu, setelah kuliah selesai, kita cari solusi lagi. Tapi sekarang, fokus dulu ke kelas, oke?"
Nesya mengangguk pelan.
Setibanya di kampus, perhatian beberapa mahasiswa mulai tertuju pada mereka. Tidak hanya karena Nesya terlihat lesu, tetapi juga karena penampilan mereka yang berhijab, sesuatu yang cukup jarang di Korea Selatan.
"Dari negara mana mereka? Apa mereka selalu pakai kerudung seperti itu?" terdengar bisikan dari salah satu kelompok mahasiswa.
Nesya mencoba mengabaikan pandangan dan komentar itu, meskipun hatinya terasa berat. Ia dan Mitha sudah terbiasa menjadi sorotan karena penampilan mereka, tetapi hari ini, komentar-komentar itu terasa lebih menyakitkan.
"Kenapa mereka terus menatap kita seperti itu, ya?" tanya Mitha pelan, berusaha menyembunyikan kekesalannya.
"Sudahlah, mungkin ini cuma perasaan aku aja," jawab Nesya sambil mempercepat langkahnya.
Di dalam kelas, Nesya duduk di barisan belakang, mencoba menyembunyikan diri dari tatapan orang-orang. Namun, pikirannya terus melayang-layang ke masalah cincin. Ia bahkan tidak bisa mencatat materi yang sedang dijelaskan dosen.
"Hei, kamu baik-baik saja?" bisik Mitha, menyenggol pelan lengan Nesya.
Nesya mengangguk, meski jelas terlihat dia sedang tidak baik-baik saja.
Hari itu, setiap detik terasa seperti beban berat. Nesya tahu ia tidak bisa terus menghindar dari masalah ini, tetapi ia juga tidak tahu bagaimana cara menghadapi Jae Hyun, pria yang telah ia kecewakan, dan situasi yang mungkin akan menghancurkan masa depannya.
Pagi itu, Jae Hyun duduk di meja makan besar di rumahnya. Piring sarapan di depannya hampir tidak disentuh, hanya sesekali ia memindahkan makanan dengan garpu, seolah sedang memikirkan sesuatu yang jauh lebih berat daripada sekadar makanan pagi.
Nyonya Kang berjalan masuk, memperhatikan putranya yang termenung. Ia duduk di kursi di seberang Jae Hyun dan memperhatikan ekspresi muram di wajahnya.
"Kau bahkan tidak menyentuh sarapanmu," ujar Nyonya Kang sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. "Sejak semalam, aku melihat kau tidak bisa tenang. Apakah ini semua tentang cincin itu lagi?"
Jae Hyun menghela napas berat. "Ibu, aku masih tidak percaya semua ini terjadi. Satu kesalahan kecil menghancurkan semuanya. Aku bahkan tidak tahu bagaimana menghadapi Hye Jin sekarang."
Nyonya Kang meletakkan cangkir tehnya di atas meja dengan hati-hati. "Hye Jin sudah pergi, Jae Hyun. Masalahnya sekarang bukan tentang dia lagi."
Jae Hyun mendongak, menatap ibunya dengan alis berkerut. "Apa maksud Ibu?"
Nyonya Kang menatap putranya dengan tatapan serius. "Cincin itu. Kau tahu apa artinya ketika cincin lamaranmu dipakai oleh wanita lain. Itu bukan hanya kesalahan biasa, Jae Hyun. Dalam mitos kita, itu adalah tanda takdir."
"Mitos, Bu. Itu cuma mitos," kata Jae Hyun dengan nada tidak sabar.
"Mungkin, tapi masyarakat kita tidak menganggapnya begitu. Jika kabar ini sampai keluar, kau tahu apa yang akan terjadi pada reputasi keluarga kita," tegas Nyonya Kang. "Apalagi cincin itu tidak bisa dilepas dari jarinya. Itu bukan kebetulan, Jae Hyun. Itu tanda."
Jae Hyun menggelengkan kepala, mencoba mengabaikan kata-kata ibunya, tetapi dalam hatinya, ia tahu ada kebenaran dalam ucapan itu. Reputasi keluarga Kang sangat dihormati, dan skandal seperti ini bisa menjadi bahan pembicaraan yang tidak menyenangkan.
"Apa yang harus kulakukan, Bu? Aku bahkan tidak mengenal gadis itu," keluh Jae Hyun.
"Kenalilah dia," jawab Nyonya Kang singkat, dengan nada tegas. "Kau tidak perlu memutuskan apa pun sekarang, tetapi kau harus bertemu dengannya, berbicara dengannya, dan mencoba memahami siapa dia. Takdir punya cara yang aneh, Jae Hyun. Mungkin ini adalah jalan yang sudah ditentukan untukmu."
Jae Hyun terdiam, memandangi piring sarapannya yang masih penuh. Kata-kata ibunya terus terngiang di benaknya. Kenalilah dia. Tapi apakah ia benar-benar bisa menerima takdir yang tiba-tiba mengubah hidupnya secara drastis?
Sesampainya di kantor, Jae Hyun langsung menuju ruangannya. Pagi itu, ia merasa tidak fokus. Biasanya, ia selalu siap menghadapi berbagai rapat dan keputusan bisnis, tetapi hari ini pikirannya dipenuhi oleh Hye Jin dan kejadian memalukan semalam.
Ia duduk di kursinya, menatap ponsel di tangannya. Berkali-kali ia mencoba menelepon Hye Jin, tetapi panggilannya selalu masuk ke voicemail.
"Hye Jin, angkat teleponku, kumohon," gumam Jae Hyun, meskipun ia tahu tidak ada yang akan mendengarnya.
Rasa bersalah terus menghantui pikirannya. Ia mengingat bagaimana mata Hye Jin memancarkan kekecewaan yang begitu dalam sebelum pergi.
"Aku pikir kau serius dengan lamaran ini, tapi ternyata semua ini cuma lelucon bagimu," kata-kata Hye Jin kembali terngiang di telinganya.
Jae Hyun meletakkan ponselnya di meja dengan kasar, lalu menghela napas panjang. Ia mencoba membenamkan dirinya dalam pekerjaan, membuka dokumen-dokumen penting yang harus ia tandatangani. Namun, setiap kali ia mencoba membaca, pikirannya kembali melayang pada Hye Jin dan cincin yang kini berada di tangan Nesya.
"Ini semua salah gadis itu," gumamnya dengan nada kesal. "Jika dia tidak ceroboh, aku tidak akan berada dalam situasi ini."
Tiba-tiba, pintu ruangannya diketuk, dan asistennya masuk dengan beberapa dokumen baru.
"Direktur Jae Hyun, ini laporan yang perlu Anda tinjau hari ini," katanya sambil meletakkan dokumen di meja.
"Taruh saja di sana," jawab Jae Hyun singkat, tanpa menatap asistennya.
Asistennya ragu sejenak sebelum berkata, "Apakah Anda baik-baik saja, Direktur? Anda terlihat... sedikit tidak fokus hari ini."
Jae Hyun hanya mengangguk pelan. "Aku baik-baik saja. Terima kasih."
Setelah asistennya pergi, Jae Hyun kembali meraih ponselnya. Ia mencoba mengetik pesan untuk Hye Jin, tetapi setelah beberapa detik, ia menghapusnya lagi.
"Aku harus bicara langsung dengannya," kata Jae Hyun pada dirinya sendiri.
Namun, ia tahu, sebelum itu, ia juga harus menyelesaikan masalah dengan Nesya dan cincin itu. Semuanya terasa seperti benang kusut yang semakin sulit untuk diurai.
Jae Hyun berdiri di depan apartemen Hye Jin dengan membawa seikat bunga mawar merah. Rasa cemas bercampur tekad memenuhi dirinya. Ia berharap bisa berbicara langsung dengan Hye Jin dan menjelaskan semuanya.
Namun, saat hendak mengetuk pintu, ia melihat seorang pria keluar dari apartemen itu. Pria tersebut mengenakan pakaian kasual, rambutnya sedikit acak-acakan seperti baru bangun tidur.
Jae Hyun terpaku. Matanya memperhatikan bagaimana pria itu dengan santai menutup pintu apartemen Hye Jin dan berjalan melewatinya tanpa menyadari keberadaannya.
"Siapa dia?" gumam Jae Hyun, dadanya mulai sesak.
Pikirannya berputar-putar. Hye Jin selalu bilang bahwa dia tinggal sendirian. Tidak pernah ada cerita tentang teman atau kerabat yang mungkin menginap di apartemennya.
Dengan hati yang diliputi curiga, Jae Hyun tetap mengetuk pintu.
Beberapa saat kemudian, pintu terbuka. Hye Jin berdiri di sana, wajahnya menunjukkan ekspresi kaget bercampur kesal.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Hye Jin dengan nada dingin.
Jae Hyun menatapnya lekat-lekat, mencoba membaca ekspresi Hye Jin. "Aku datang untuk menjelaskan semuanya. Tapi sebelum itu, aku ingin tahu... siapa pria yang baru saja keluar dari apartemenmu?"
Hye Jin terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. "Dia bukan urusanmu, Jae Hyun. Bukankah hubungan kita sudah berakhir? Apa yang aku lakukan atau siapa yang datang ke apartemenku, itu bukan hakmu untuk tahu."
Jawaban itu seperti tamparan bagi Jae Hyun. Ia merasa dadanya semakin sesak. "Jadi, secepat itu kau melupakan segalanya? Hye Jin, aku di sini untuk memperbaiki semuanya. Kau bahkan tidak memberiku kesempatan untuk menjelaskan."
Hye Jin menatap Jae Hyun dengan tatapan tajam. "Kesempatan? Kau bahkan tidak bisa menjaga cincin lamaran itu dengan benar. Bagaimana aku bisa percaya padamu? Semua sudah selesai, Jae Hyun."
Pintu apartemen ditutup dengan tegas di hadapan Jae Hyun. Ia berdiri di sana, memegang bunga yang sekarang terasa tidak berarti.
Hatinya hancur, tetapi lebih dari itu, ada rasa sakit yang datang dari pikiran bahwa Hye Jin mungkin sudah menemukan seseorang yang lain.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!