"Sean, apa kau sudah siap?" tanya seorang pria tua yang sudah rapi mengenakan pakaiannya.
"Sebentar kakek" jawab seorang bocah dari sebuah ruangan di lantai kedua rumah antik itu.
"Sudah kakek. Ayo kita pergi, aku takut sekali kapal akan berlayar tanpa membawa kita" kata bocah itu di anak tangga. Pria itu tertawa kecil mendengar celotehan cucunya itu.
Earnest Colbert adalah nama pria tua dengan mata biru, dan rambut yang sudah abu-abu putih. Tingginya sekitar 174 cm, dan perawakannya seperti pria tua dengan jiwa muda. Usianya 66 tahun, dan dia adalah pensiunan militer dari negara Panzer.
"Pagi komandan, apakah semua sudah siap? Atau masih ada yang tertinggal?" tanya seorang pemuda membantu Earnest mengangkat beberapa tas berisi barang-barang bawaan.
Arie Fedde adalah namanya. Pemuda berusia 26 tahun yang sudah mengikuti Earnest sejak 11 tahun yang lalu.
"Sudah, sekarang waktunya kita pergi ke pelabuhan" jawab Earnest tersenyum.
"Di mana Sean?"
Dialah si tokoh utama. Cucu dari Earnest Colbert. Namanya, Sean Colbert. Usianya 11 tahun, masih sangat muda dan labil. Namun, ia sudah menunjukkan bibit bebet bobot unggul dalam beberapa hal, salah satunya bertarung.
"Dia sudah siap" jawab Earnest tersenyum seraya menoleh ke belakang. Sean menampakkan diri.
"Pagi, Arie. Apa kau sehat?" tanya Sean menyapa pemuda yang tidak asing baginya. "Seperti yang kau lihat tuan muda. Jadi apakah kau sudah siap untuk menjelajah?" tanya Arie tersenyum.
"Tentu saja, aku dan kakek akan menjelajah. Kau juga ikut dengan kami bukan?"
Pertanyaan itu justru membuat Arie bungkam. "Aku akan menjelaskan padanya nanti" kata Earnest mengerti ekspresi Arie.
Arie mengangguk paham. "Memangnya ada apa kakek?" tanya Sean terheran. "Jika kita sudah tiba, aku akan jelaskan semua"
Topik itu seketika menghilang. Mereka memasuki kereta kuda yang disewa Arie, dan berangkat menuju stasiun, sebelum pergi ke pelabuhan.
Bahkan sampai dengan mereka memasuki kereta api, Earnest belum juga menjelaskan semuanya.
Beberapa saat perjalanan, mereka akhirnya sampai di pelabuhan. Ada banyak kapal pendatang yang berukuran besar datang berlabuh. Sebagian dari mereka penumpang konglomerat yang ingin berlibur saja, ada juga pedagang kaya, dan ada juga perantau negara lain.
"Baiklah, Sean. Kakek titipkan sesuatu untukmu" ujar Earnest membungkuk, saat ia melihat beberapa orang sudah memasuki kapal, dan kapal itu juga akan ditumpangi Sean.
Ya, Sean tidak pergi bersama kakek dan ajudan setia kakeknya.
"Apa ini kakek?" tanya Sean terheran ketika Earnest mengalungkan sebuah kalung berliontin biru laut pada leher bocah itu.
"Maafkan, kakek" gumam Earnest memeluk cucunya itu. Sean tentu terkejut. Apalagi saat ia tahu kakeknya menangis.
"Apa aku membuat kesalahan? Kenapa kakek menangis?" tanya Sean seraya mencoba melepas pelukan kakeknya itu perlahan.
"Dengarkan aku, nak. Kau akan berangkat menuju negara Panzer. Nantinya kapal ini akan berlabuh di ibu kota, seorang gadis sudah kuamanahkan untuk menyambutmu. Nama muridku Marito, dia akan menunggumu di pelabuhan. Patuhi perintahnya. Dan kalung ini, aku ingin kau selalu menjaganya" pesan Earnest menatap Sean lekat.
Bocah itu mengangguk-angguk kecil. "Aku pasti akan mengingat pesan kakek" jawab Sean yang masih polos dan belum mengerti.
"Masuklah ke dalam, kapal akan berangkat" perintah Arie seraya tersenyum. Ia menahan tangisnya. Sejak bayi, bocah itu sudah ia besarkan seperti adiknya sendiri.
Sean menurut dan memasuki kapal. "Apa yang kalian tunggu? Ayo" ajak Sean ketika ia melihat Earnest dan Arie hanya diam menatap kepergian bocah itu.
Arie mendekat pada bocah itu. "Sean, kau akan pergi sendirian" ujar Arie berdiri di hadapan bocah itu. Sean terdiam mendengarnya.
"Kalian tidak menyayangiku lagi?"
"Kami sangat menyayangimu"
"Lalu kenapa kalian tidak ikut?"
Arie terdiam. "Aku sudah berjanji pada mereka, agar kau kembali ke sana" gumam Arie tidak sanggup mengatakannya. Ingatan buruk dan pemandangan kobaran api kembali menghantui benak kecilnya.
Wajah bocah itu berubah murung. "Kakek sudah tua, dan kau sangat sibuk. Nanti siapa yang akan merawat kakek?"
Earnest menatap bocah itu terkejut.
"Sudah, nak. Kembalilah ke ibu kota, aku bisa di sini melakukannya"
"Ayah. Ayah sudah semakin tua, Arie sibuk dengan pekerjaannya. Siapa yang akan merawat ayah selain kami ?"
Earnest memandangi cucunya penuh rasa sedih. Ini adalah janjinya. Sesuatu yang harus diselesaikan oleh Sean sendiri.
"Tenang saja, bocah. Aku bisa menjaga kakek kapanpun. Tugasku kini hanya menjaga pria tua itu. Kau tidak perlu mengkhawatirkan komandan, dia masih segar sekali" bisik Arie jahil.
Sean kembali tersenyum lebar. "Baiklah kalau begitu, tolong jaga kakek. Saat aku dewasa, aku akan kembali ke sini dan mengunjungi kalian. Kau harus segera menikah dengan Marry"
Earnest yang mendengarnya tertawa. Sean baru saja menyebut nama seorang gadis yang berhasil menaklukkan hati ajudannya.
"Kau benar-benar tambah menyebalkan. Hahaha" gumam Arie mengacak-acak rambut bocah itu.
"Semua penumpang silahkan masuk, kapal akan segera berangkat" perintah seorang awak kapal yang akan ditumpangi Sean.
"Pergilah, kau harus bertemu orang-orang hebat. Terutama dia" perintah Arie seraya tersenyum.
"Dia?" gumam Sean penasaran. "Kau akan tahu sendiri. Ayo segera masuk, mereka bisa saja meninggalkanmu" perintah Arie lagi.
Sean akhirnya memantapkan kakinya melangkah masuk ke dalam kapal.
Ketika Sean sudah berada di lantai teratas kapal itu. Ia kembali mencari keberadaan kakek dan pemuda dari atas kapal.
Orang-orang di sana saling melambaikan tangan pada keluarga mereka yang masih menatap kepergian kapal itu yang mulai berlayar.
"Aku akan kembali lagi kakek, Arie!" ujar Sean ketika melihat Earnest dan Arie yang memperhatikan kepergian kapal itu, sambil melambaikan tangannya.
"Pulanglah dengan sesuatu yang membanggakan, nak" tutur Earnest setengah berteriak. "Pasti! Arie, tolong jaga kakek. Kakek sangat ceroboh dalam menyimpan barang! Aku menyayangimu, Arie!"
Arie tersenyum senang mendengarnya. "Laksanakan tuan muda, aku juga menyayangimu!"
Kapal akhirnya semakin menjauh dari pelabuhan. "Aku seperti ingin menyusulnya" ujar Earnest tersenyum tenang menatap kepergian kapal itu.
"Hahaha, komandan ada-ada saja. Jika saja boleh, aku juga akan melakukannya. Aku tidak tega membiarkan bocah sepertinya bertarung mengarungi laut, menuju negeri kelahirannya"
Arie menatap lurus ke laut. "Namanya, Sean. Dia tidak akan bisa ditaklukan, layaknya laut"
Di sisi lain,
"Huh, sepi sekali. Kakek dan Arie terlalu kejam membiarkanku berlayar sendirian menuju negara yang aku sendiri tidak tahu kapan sampai ke sana"
Sean mulai merasa bosan di dalam kapal itu. "Hey, bocah. Siapa namamu?" sapa seorang pemuda pada Sean. Wajahnya, adalah ciri-ciri orang-orang dari benua kuning.
Namun bedanya, kulit pemuda itu putih bersih. Dan dari perawakannya, dia pasti anggota militer.
"Sean Colbert. Siapa namamu tuan?" tanya Sean dengan sopan. "Namaku Kawatsuichi Daisuke. Panggil saja oniisan" jawab pemuda itu.
"Nama apa itu? Aku tidak pernah mendengarnya. Dari mana asalmu?" tanya Sean terkejut mengetahui nama dan panggilan pemuda yang punya sapaan Daisuke itu.
"Hahaha. Aku sudah menduga tanggapanmu itu. Aku dari benua kuning" jawab Daisuke tertawa kecil mendengarnya.
"Pantas saja. Lalu kenapa kau menumpangi kapal ini? Apa kau akan kembali ke negaramu?" tanya bocah serba ingin tahu itu.
"Tidak tentunya. Aku akan menepi di negara aku tinggal dan bekerja, Panzer" Sean yang mendengarnya terkejut. "Aku juga ke sana. Kakek menyuruhku untuk datang ke sana" ujar Sean bersemangat.
"Kakek? Mengapa ia menyuruhmu ke sana? Siapa yang akan kau jumpai di sana?" tanya Daisuke terheran dan berubah penasaran.
"Kakek bilang aku harus belajar hal baru di sana, dia memintaku menemui seorang gadis. Aduh, aku lupa namanya" gumam Sean berubah panik.
"Hal baru? Tidak ada hal baru di negara itu, bocah" gumam Daisuke tertawa kecil. Baginya, negara itu menyimpan luka membekas di ingatannya kecilnya.
"Ahk, iya. Namanya Marito. Gadis yang harus kutemui itu namanya Marito. Kakek sering menceritakannya. Kata kakek, gadis itu punya kekuatan spesial"
Daisuke menatap Sean tidak percaya. Ia tidak salah dengar? Atau Sean salah menyebutkan nama orang yang akan ia temui? Tapi yang ia tahu, nama itu hanya satu di seluruh penjuru dunia.
"Maksudmu, Leon? Siapa nama kakekmu, bocah?" tanya Daisuke semakin penasaran.
"Ingat, tuan muda. Jangan pernah memperkenalkan komandan sebagai kakekmu, sebut saja Fredrick sebagai kakekmu"
"Kenapa?"
"Karena itu hal terlarang"
Sean teringat dengan pesan Arie. "Nama kakek Fredrick. Dia mengirimku ke sana, untuk belajar banyak hal dengan gadis bernama Marito itu" jawab Sean segera.
Daisuke mengangguk-angguk paham. Sejujurnya nama itu tidak asing. Seseorang bernama belakang 'Fredrick' itu sangat familiar, tapi dia lupa.
Daisuke menatap wajah bocah itu sejenak. "Guru ?!" batin Daisuke terkejut ketika melihat bayangan seseorang yang ia rindukan di dalam raga bocah itu.
"Kenapa oniisan menatapku begitu?" tanya Sean terheran. "Ahk, tidak ada. Kau mirip sekali dengan mendiang guruku. Bentuk mata kalian sama persis" jawab Daisuke tertawa kecil.
"Benarkah? Apakah gurumu itu kuat?" tanya Sean penasaran. "Ya, dia sangat kuat. Dia mengorbankan dirinya untuk menyelamatkanku. Kau tidak akan bisa menandingi kekuatannya" ketus Daisuke tersenyum bangga.
"Kata siapa? Arie bilang aku sangat kuat, bahkan aku bisa mengalahkan Arie saat latihan"
Daisuke lagi-lagi terdiam. Arie?
"Arie? Siapa dia?" tanya Daisuke lagi-lagi merasa tidak asing dengan nama itu. "Dia ajudan kakek. Dia sangat patuh pada kakek" jawab Sean bingung menatap ekspresi aneh pemuda di sampingnya ini.
"Bocah ini, dia pasti orang penting"
Daisuke segera menggeleng pelan. "Kau tahu, bocah. Aku kenal gadis bernama Marito itu. Apa kau mau aku membantumu bertemu dengannya ketika sampai di ibu kota?" tawar Daisuke segera.
Sean menatap Daisuke ragu. Bentuk tubuhnya memang terlihat seperti seorang anggota militer, tapi tidak dengan wajahnya. Daisuke seperti seorang dokter yang sedang berkelana.
"Aku anggota militer. Aku pasti akan langsung dipecat jika melakukan tindak kejahatan" ujar Daisuke tertawa kecil.
"Baiklah, kau sudah menawarkan diri. Jadi kau harus memenuhi tawaranmu untuk membantuku" kata Sean berubah semangat.
"Ya, ya baiklah" gumam Daisuke tertawa kecil. "Tidak! Tolong!" suasana di sana mulai kacau.
"Apa yang terjadi?!" gumam Daisuke menoleh ke sumber suara. "Lari! Lompat ke laut! Pembajak menyerbu kita!"
Sean yang mendengarnya tentu terkejut. "Bagaimana ini?!" gumam Sean panik.
"Tunggu di sini, bocah. Aku akan segera kembali" perintah Daisuke menghampiri sumber masalah. Ia mengeluarkan sebuah senjata tajam khas negaranya. Ia menyebutnya, Katana.
Pemuda itu dengan berani bertarung seorang diri melawan 10 pembajak.
"Berani sekali kau menantangku, apa kau tidak tahu siapa kau?" tanya pemimpin pembajak itu. "Kenapa? Ayah dan ibumu tidak memberitahu namamu?" tantang Daisuke tersenyum sinis.
Itu adalah kepribadian menyebalkan Daisuke, yang akan memenuhi alur cerita ini.
"Sialan!" pemimpin itu kembali mencoba membunuh Daisuke. Salah satu perhatian anak buah pembajak itu justru teralih pada Sean.
"Kalung yang unik, tapi akan lebih baik jika aku yang memilikinya, nak" ujar bawahan itu tersenyum sinis mendekati Sean.
"Menjauh, kakek bilang aku harus menjaganya!" ketus Sean waspada. "Kakekmu? Apakah dia di sini? Apa kakekmu membuangmu?" tanya bawahan itu meledek.
"Tutup mulutmu!" ketus bocah itu dengan berani. Bawahan itu menarik kerah baju Sean. "Bocah!" gumam Daisuke masih harus menahan serangan pemimpin pembajak itu.
"Kau menyebalkan sekali" gumam bawahan itu mencabut paksa kalung itu. Ajaibnya, kalung itu tidak bisa putus.
"Apa-apaan ini?!" gumam bawahan itu terkejut. "Lepaskan aku!" Sean memberontak sambil memukuli tangan bawahan itu, yang tentunya tidak memberikan efek apapun.
"Cih, percuma. Lebih baik aku memberi makan para hiu di bawah sana" gumam bawahan itu dengan enteng melempar Sean ke bawah.
"Tidak!"
"Bocah!"
Bawahan itu kembali berlagak sombong. Namun, "Apa yang terjadi?" gumam pria tua di sana terkejut ketika sebuah gelombang air laut mulai tampak meninggi.
Perlahan gelombang itu mengangkat seorang bocah naik kembali ke atas kapal.
Sean. Daisuke menatap bocah itu terkejut. Mata biru Sean tampak menyala, dan sepertinya dia tidak berada dalam keadaan sadar.
"Mengelak!" partner bawahan yang lain segera mendorong temannya itu untuk mengelak gelombang laut yang datang menerjang.
"Ini aneh" gumam Daisuke menyadari sesuatu yang salah dengan kekuatan tidak biasa itu.
Ia menyimpan kembali senjatanya. "Awas!" untungnya Daisuke berhasil menghempas gelombang itu dengan kekuatan angin miliknya.
Akibatnya, Sean terhempas dan akan terjun bebas memasuki laut. Daisuke meraih tali, dan segera menggunakan tali itu sebagai tumpuan untuk menarik Sean.
Lalu, "Berhasil," gumam Daisuke berhasil menarik kera baju bocah itu yang kini tidak sadarkan diri.
Kekacauan di sana berakhir. Para pembajak berhasil ditahan dan disekap sementara di ruang khusus.
"Apa dia baik-baik saja?" tanya Daisuke pada seseorang yang dikenalinya di kapal itu. "Dia hanya tidak sadarkan diri. Mungkin dia tidak bisa berenang, karena itulah ia sempat panik dan kehilangan ruang untuk bernafas. Tenang saja" jawab pemuda seusia Daisuke.
Daisuke mengenali pemuda itu. Dan mereka bertugas di negara yang sama, namun secara keahlian dan jurusan, mereka jauh berbeda.
Namanya James William. Jika Daisuke bekerja di instansi militer, James bekerja di instansi kesehatan dan bekerja di negara yang sama dengan Daisuke.
"Kau baru mengenalnya hari ini, kenapa kau begitu mengkhawatirkannya?" tanya James terheran.
"Aku merasa, ada sesuatu yang kukenali dari bocah ini. Dia, dia bukan bocah biasa"
James menatap Sean yang tertidur. "Matanya seindah lautan biru" gumam James yang sudah melihat warna bola mata bocah itu.
"Lebih baik biarkan dia beristirahat sampai ia siuman kembali" saran James meninggalkan Daisuke di sana yang masih duduk diam.
Daisuke menatap Sean yang tampaknya seperti sedang tertidur pulas.
Hari semakin larut, dan perlahan Daisuke mulai merasa lelah. Hingga akhirnya, ia terlelap.
......................
"Dai !"
"Kawa !"
"Dai !"
"Daisuke!"
Mata pemuda itu terbuka sepenuhnya ketika seseorang memanggilnya. Daisuke terkejut ketika sekelilingnya bersuasana putih.
"Di mana aku? Apa yang terjadi?!" gumam Daisuke berubah panik.
"Tenanglah, nak" pesan seseorang berhasil membungkam Daisuke. Suara yang dikenalinya. Sangat amat ia kenali.
Ia menoleh pada sumber suara. "Guru.." gumam Daisuke terkejut ketika ia mendapati seorang pria duduk bersilang di hadapannya.
"Duduklah" perintah pria itu dengan santai. Pemuda itu terdiam kaku, namun kakinya seakan menuruti perintah itu. Ia turut duduk bersilang.
"Lama tidak berjumpa, Daisuke" sapa pria itu seraya tersenyum tenang. Daisuke menatap pria itu dengan ekspresi tidak percaya.
"Apa ini sungguh kau, guru?" tanya Daisuke berusaha menahan air matanya.
"Lalu menurutmu aku siapa? Apa kau sudah melupakanku?" tanya pria itu tersenyum mendengarnya.
Air mata Daisuke tidak tertahan. Ia segera menghapusnya.
"Tidak, guru sudah lama gugur. Kau siapa? Apa maksud tujuanmu menyerupai guru?!"
Daisuke memilih untuk waspada.
Pria itu menggeleng-geleng pelan seraya tertawa kecil mendengar pertanyaan konyol itu.
"Ini hanya jiwaku saja, nak yang menghampirimu. Ada sesuatu yang ingin kusampaikan"
Daisuke kembali terdiam.
"Tolong jaga putraku untuk kedepannya. Dan peringatkan dia, untuk mengurangi kebiasaan merokok, nak"
Daisuke tidak bisa menjawab. Putra? Dia? Apa maksud semua ini? Kenapa begitu tiba-tiba?
Perlahan, asap mengepul keluar dari tubuh pria itu. "Guru!" gumam Daisuke terkejut.
"Aku harus segera kembali, seseorang sedang menungguku" kata pria itu tersenyum simpul.
"Ingat pesanku, nak. Dan satu hal lagi, jangan terlalu keras pada dirimu"
Daisuke terbangun. "Kau baik-baik saja, oniisan?" tanya Sean yang ternyata sedari tadi sudah bangun dan menepuk pelan punggung pemuda itu.
"A-Ahk, iya. Apa yang terjadi?" tanya Daisuke masih kebingungan. "Aku mendengar oniisan menangis. Untungnya ini sudah pagi. Maaf sudah membuatmu khawatir" jawab Sean ada rasa bersalah yang menyelimuti dirinya.
"Tidak masalah. Berkatmu, semua penumpang di kapal ini selamat. Kau luar biasa" puji Daisuke tersenyum menyembunyikan sesuatu.
"Aku... menyelamatkan... orang-orang, di kapal?" tanya Sean antusias. "Ya, kau melakukannya!" jawab Daisuke seraya mengangguk pelan.
"Kita.. sudah sampai di mana oniisan? Apakah perjalanan kita masih jauh?" tanya Sean penasaran seraya memperhatikan lautan dari jendela di sampingnya.
"Mungkin besok kita sudah sampai. Ada apa? Kau tidak sabar untuk bertemu dengan Leon?" tanya Daisuke tertawa kecil.
"Aku bahkan tidak pernah bertemu dengannya. Dia itu orang yang seperti apa?" tanya Sean balik. Daisuke tentu terheran.
Mengapa seorang pria tua menyuruh Sean menjumpai sahabatnya itu?
"Leon Marito, biasa aku memanggilnya Leon. Dia orang yang tergolong, keras mungkin. Tapi aku jamin dia tidak akan membiarkan kau bekerja sendiri" tutur Daisuke sambil tersenyum.
"Kakek bilang, dia suka merokok. Bukankah rokok tidak baik untuk kesehatan perempuan?" tanya Sean lagi. Daisuke tambah heran.
"Bahkan kebiasaan merokok gadis itu yang jarang diperlihatkan ke muka publik, bisa diketahui kakeknya. Sebenarnya dia ini, cucu siapa ?"
Daisuke kembali berbatin. "Oniisan, kenapa oniisan kembali melamun? Jawab pertanyaanku!" ketus Sean sedikit tidak sabar.
"Astaga, maaf. Soal pertanyaanmu tadi, memang benar. Tapi jika kebiasaan itu dilakukan sejak muda, orang sepertimu juga tidak akan bisa merubah kebiasaannya"
Sean memiringkan kepalanya terheran. "Tapi tetap saja, kakek bilang perempuan itu tidak boleh merokok. Mereka tidak akan bisa memiliki anak"
Daisuke tertawa kecil mendengarnya. "Aku bahkan sudah berapa kali memukuli kepalanya agar ia sadar, tapi ia tetap melakukannya" gumam Daisuke dengan nada pelan.
"Apa? Oniisan memukuli perempuan? Kejam sekali!" ketus Sean terkejut mendengarnya.
"Astaga, aku tidak sungguh-sungguh memukulinya" Daisuke segera membela diri.
"Tetap saja. Laki-laki yang memukuli perempuan itu baru saja menjatuhkan harga diri"
Daisuke terdiam mendengarnya. Ia mengerutkan kening mengenali ucapan itu.
"Hey, bocah-"
"Panggil aku, Sean. Aku punya nama"
Daisuke tertawa kecil mendengarnya. "Sean, kenapa kau tidak meminta kakekmu membiarkanmu tinggal di negaramu saja?" tanya Daisuke penasaran.
"Kakek bilang, ada akademi militer di Panzer. Kakek bilang akademi itu satu-satunya di dunia. Aku ingin belajar militer di sana"
Daisuke mengangguk-angguk paham. "Kau ingin jadi apa? Akademi itu menyediakan 3 jurusan, kesehatan, militer, dan.. sihir"
Sean tampak terkejut. "Sihir?" tanya Sean tidak percaya. "Ya, aku adalah lulusan jurusan sihir. Tapi aku ditempatkan di pasukan khusus karena sesuatu yang kumiliki tapi orang lain tidak memilikinya" kata Daisuke menjelaskan.
"Memangnya oniisan punya apa?" tanya Sean penasaran. "Aku? Lihat ini" perintah Daisuke tampak bersiap melakukan sesuatu.
Sebuah angin merebak masuk memenuhi ruangan itu. "Angin dari mana ini?" gumam Sean terkejut sambil menahan diri. Angin ini terlalu kuat, dan bisa saja menghempas dirinya.
Beberapa detik kemudian angin itu reda. "Anginnya.. menghilang" gumam Sean menyadari sesuatu. "Itu milikku, aku punya elemen angin" ujar Daisuke segera.
"Oniisan yang mengendalikannya? Hebat sekali! Kalau begitu, aku juga ingin belajar mengendalikan angin agar aku bisa mengalahkan lawan bertarungku" Sean tampak antusias.
"Hahaha. Kau tidak bisa sembarangan membuat rencana. Aku bisa mengendalikan angin, karena memang elemen itu yang kumiliki. Tiap orang punya kekuatan yang berbeda-beda"
Sean mengangguk-angguk kecil. "Menurut oniisan, aku punya elemen apa?" tanya Sean meminta pendapat. Daisuke diam beberapa saat memperhatikan bocah itu.
"Mungkin.. air" jawab Daisuke menebak. Walau sebenarnya ia sudah tahu, tapi ia mencoba menyembunyikan apa yang ia ketahui.
"Oniisan pasti menebak elemenku air, hanya karena mataku yang sebiru lautan bukan?" tanya Sean berubah masam.
"Hahaha, orang lain juga pasti akan berpikiran yang sama sepertiku. Memangnya elemen apa yang begitu kau inginkan jika kau bisa memilih?" tanya Daisuke balik.
Sean berpikir sejenak. "Ahk iya, aku ingin memiliki elemen petir jika aku bisa memilih"
Daisuke terdiam mendengarnya. Namun setelahnya ia tersenyum simpul mengisyaratkan sesuatu.
"Kita lihat saja dulu, apakah benar kau memiliki elemen alam? Barulah kau bisa mencoba belajar mengendalikannya dan menggunakannya untuk hal-hal yang baik"
Sean tersenyum penuh semangat.
"Lihat saja, aku pasti akan melakukannya"
"Hahaha. Buktikan ucapanmu, bocah!"
"Akhirnya, ini dia.. Panzer" gumam Daisuke menghela nafas lega ketika kapal yang ditumpanginya akan berlabuh di sebuah pelabuhan yang ia kenal.
Panzer. Negara yang dipenuhi dengan orang-orang pendatang. Ada banyak orang-orang penting yang hari ini datang berkunjung ke ibu kota negara itu.
"Sean, ayo turun. Apa barang-barangmu sudah beres?" tanya Daisuke yang sudah rapi.
"Sudah, ayo turun" jawab Sean yang tidak sabar. Mereka akhirnya melangkahkan kaki, menuruni kapal itu.
"Pastikan barang-barang kalian tidak ada yang tertinggal" pesan awak kapal di sana.
Ketika mereka sudah berada di daratan, mata Sean terkagum melihat bangunan antik kota itu.
"Inilah, Hitler ibu kota negara Panzer. Aku sudah hidup di sini kurang lebih 20 tahun" Daisuke memperkenalkan ibu kota negara itu.
"Luar biasa" gumam Sean kagum.
Ia memperhatikan sekeliling. "Jujur saja, aku sudah bosan pulang pergi menginjakkan kakiku di sini" ujar James di sebelah Daisuke.
"Kejam sekali. Keluargamu bahkan berada di sini" jawab Daisuke tertawa kecil.
"Paman!" panggil seorang gadis menghampiri James. "Tere!" James segera berlutut menunggu kedatangan gadis kecil berusia 7 tahun itu.
"Yey, paman sudah pulang" gadis itu memeluk pamanya begitu erat. "Dai!" panggil seseorang mengalihkan pandangan Daisuke.
Pemuda tinggi dengan kulit putih, dan berwajah benua kuning sepertinya. Hanya saja, dia pasti mempunyai darah blasteran.
Namanya, Chloe Keneth. Pemuda itu juga akan memiliki peran penting dalam kerja keras Sean.
"Chloe, lama tidak berjumpa sobat!" Daisuke menjabat tangan temannya itu.
Daisuke dan James sudah meninggalkan negara itu sebulan lamanya. Itulah kenapa kerabat mereka begitu antusias mengetahui adanya kapal berlabuh.
"Siapa dia?" tanya Chloe ketika memperhatikan Sean. "Ahk dia, namanya Sean Colbert. Dia datang ke sini untuk mendaftarkan diri ke akademi militer, Sean.. ini temanku, Chloe Keneth"
Daisuke memperkenalkan diri mereka satu sama lain. "Salam kenal" tutur Sean membungkuk hormat. "Matamu indah sekali" puji Chloe kagum.
"Terimakasih.."
"Panggil saja, kak. Aku seangkatan Dai"
Sean mengangguk-angguk paham. "Ahk iya, apa Leon ikut kemari?" tanya Daisuke memastikan.
"Sedari tadi aku di belakangnya, Daisuke"
Nada bicara dingin yang tidak asing bagi Daisuke. Tampak seorang gadis dengan mata biru yang sama persis dengan Sean, tatapan tajam, kulit putih, rambut hitam sepanjang pinggang dikucir atas, dan tubuhnya yang cukup tinggi untuk seorang perempuan seusianya.
Dialah, Leon Marito. "Sean, ini orang yang kau cari. Leon Marito" Daisuke segera memperkenalkan gadis itu pada Sean yang tampak ragu.
"Sean? Sean Colbert?" tanya Marito tampak terkejut. Namun uniknya, ekspresi gadis itu tetap datar tanpa adanya emosi lain.
Bocah itu mengangguk ragu. "Cobalah tersenyum, dia sepertinya takut padamu" bisik Daisuke tertawa kecil pada Marito di sebelahnya.
Gadis itu menatap Sean dengan tenang. "Kau laki-laki bukan? Angkat barangmu, kita akan kembali ke rumah menaiki kereta kuda di sana"
Marito justru berbalik badan dan pergi menjauh. Sean patuh dan melakukan perintah Marito.
"Oniisan kenapa mengikuti kami?" tanya Sean terheran ketika Daisuke justru mengekori mereka.
"Kita tinggal di rumah dinas yang sama, Sean" sejenak bocah itu terdiam heran. "Eh?!"
Beberapa saat,
"Tadaima!" gumam Daisuke yang terbiasa menyebut kalimat itu ketika ia baru saja sampai di rumah. "Selamat datang" sambut seorang gadis.
Dan lagi-lagi, tampang gadis itu tampaknya dari benua kuning. Namun kulitnya putih bersih. Matanya sipit, namun tetap bulat.
Namanya Bao Jiali. Mereka memanggilnya Jiali. Gadis dari negara Zhú lián. Pekerjaannya sebagai dokter, namun dia ahli sihir.
"Di mana, James? Kenapa dia tidak ikut bersamamu?" tanya Jiali ketika ia tidak melihat keberadaan James di sana.
"Hari ini dia akan berada di rumah keluarganya, lalu ia akan kembali tinggal di sini besok" jawab Daisuke meletakkan barang-barangnya.
Perhatian Jiali teralih, ketika Marito masuk dengan seorang anak laki-laki mengekorinya di belakang. "Aku kembali" gumam Marito mengambil salah satu tas dari tangan bocah itu dan membawanya.
"Siapa dia?" tanya Jiali ketika ia melihat bocah laki-laki di belakang Marito. "Sean Colbert" jawab Marito singkat dan beranjak membawa tas Sean ke sebuah ruangan di lantai dua.
"Sulit ditebak" batin Sean dibuat bingung dengan perilaku Marito. "Ikuti dia, dia berjalan menuju kamarmu" perintah Daisuke ketika melihat Sean yang justru melamun.
Sean bergegas mengekori Marito. "Sikapnya tidak berubah" ujar Jiali menggeleng-geleng pelan. "Maklumi saja. Lambat laun dia pasti berubah" jawab Daisuke memaklumi pendapat itu.
"Kapan? Lihatlah, sudah 11 tahun berlalu tapi ia tetap sama" gumam Jiali mengerutkan keningnya menatap sebuah bingkai berisi foto.
"Suatu saat pikirannya akan terbuka. Tidak perlu khawatir soal dia yang akan bersikap keras pada bocah itu" ujar Chloe menggantung jas nya.
"Tetap saja. Kau tidak ingat terakhir kali ia dititipkan seorang bocah kaya raya dari kota tetangga? Ayah bocah itu mendatanginya dan langsung meminta kepala untuk memecatnya" Jiali membuka kembali ingatan lama.
"Aku membenarkan tindakan Leon. Karena dia kaya, bocah itu terlalu manja. Sejauh ini, hanya bocah itu yang jadi murid gagal Leon" jawab Daisuke tertawa kecil mendengarnya.
Jiali diam beberapa saat. Benar juga. Sudah ada beberapa bocah yang dititipkan pada Marito, dan terakhir kali hanya bocah berusia 11 tahun yang merupakan anak tunggal kaya raya, menjadi murid gagal dari perempuan itu.
Di sisi lain,
"Jadi kau akan tinggal di sini. Kau baru bisa kudaftarkan masuk akademi minggu depan. Belajarlah dengan giat, jika tidak kegagalan menghampirimu"
Marito hendak meninggalkan Sean setelah ia selesai membereskan isi lemari ruangan untuk bocah itu.
"Marito, maksudku.."
"Guru"
"Ahk iya, guru. Apa di kota ini ada perpustakaan? Untuk mengikuti seleksi akademi itu, aku butuh buku untuk belajar"
Marito berbalik badan. "Di lantai pertama rumah ini, paling ujung. Aku mengatur segala jenis buku di sana" ujar Marito menjelaskan.
"Baiklah" gumam Sean ragu menatap perempuan bertubuh tinggi di hadapannya. "Jika ada sesuatu katakan padaku" pesan Marito berbalik badan dan hendak turun meninggalkan bocah itu.
"Baik" gumam Sean menatap punggung Marito. Perempuan itu kembali menghentikan langkahnya. "Belajarlah yang giat, jika kau tidak ingin menyusahkan keluargamu di De Oranje"
Sean terdiam mendengarnya. Namun ia segera mengangguk paham.
Kali ini Marito sudah benar-benar hilang dari pandangannya.
"Apa dia kenal dengan kakek dan Arie? Dia benar-benar susah ditebak" gumam Sean memilih merebahkan tubuhnya di atas kasur.
Seseorang mengetuk pintu kamarnya. "Masuklah" perintah Sean mengubah posisinya menjadi duduk.
Jiali, masuk ke dalam kamar itu. "Hi, Sean" sapa Jiali seraya tersenyum.
"Halo.."
"Sama seperti Chloe, panggil saja kakak"
Sean mengangguk-angguk paham. "Dari mana asalmu? Kenapa kakekmu menitipkanmu pada Marito?" tanya Jiali seraya duduk di pinggir ranjang bocah itu.
"Aku dari negara De Oranje. Kakek bilang di sini adalah tempat yang cocok untuk aku mengikuti jejaknya, sebagai seorang militer"
Jiali mengangguk-angguk kecil. "Maafkan, Marito. Dia memang orang yang sangat dingin dan ketus" ujar Jiali tersenyum lembut.
"Tidak masalah. Arie juga kadang bersikap yang sama seperti guru"
Jiali terdiam mendengar nama itu. "Arie? Siapa Arie?" tanya Jiali terheran sekaligus penasaran. "Dia orang baik yang mengajariku banyak hal" jawab Sean seraya menjelaskan siapa itu Arie bagi dirinya.
"Namanya mirip sekali dengan temanku yang sudah hilang 11 tahun lalu" batin Jiali tersenyum.
"Kakak mengenalnya?" tanya Sean penasaran. "Tidak, hanya saja namanya mirip nama temanku. Aku tidak tahu pribadinya" jawab Jiali terkekeh.
Sean yang polos mempercayai itu tentunya. "Yang terpenting, jika kau butuh sesuatu katakan saja pada kami. Di rumah ini, ada aku, Chloe, Dai, James, dan Marito yang tinggal bersama. Jadi kau bisa meminta tolong pada siapapun di antara kami" pesan Jiali segera.
"Pak Dokter kemarin juga tinggal di sini? Mengejutkan sekali. Kenapa kalian berada di rumah yang sama?" tanya Sean terheran.
"Kami hanya mengikuti aturan dan pembagian rumah dinas dari pak kepala. Untungnya, kami bisa saling mengerti satu sama lain" jawab Jiali tertawa kecil memaklumi pertanyaan itu.
"Begitu ternyata. Kakek bilang, jika aku diterima di akademi militer.. aku akan tinggal di asrama, apakah itu benar?" tanya Sean lagi.
"Ya, kau akan diasramakan sesuai kemampuanmu. Jika kau memanfaatkan bakatmu, kau bisa lulus dengan cepat seperti Marito. Dia hanya butuh waktu 6 bulan untuk bisa masuk ke instansi militer, dan ditempatkan di pasukan khusus"
Sean yang mendengarnya berbinar kagum. Dibalik sikap dingin dan ketus guru barunya itu, ada prestasi cemerlang yang ditorehkan olehnya.
"Keren sekali. Dia pasti orang yang jenius" gumam Sean tanpa sadar. "Itulah kenapa, kau harus bisa sama sepertinya. Karena kini kau menjadi muridnya, kau harus bisa membuktikan bakatmu"
Sean tersenyum antusias. "Aku akan membuktikannya. Aku akan menjadi seorang militer hebat" jawab Sean bersemangat.
Jiali tertegun menatap bocah itu. Ia seakan mengenal seseorang di dalam diri Sean.
"Kenapa kakak melamun? Kakak sama saja seperti oniisan, suka sekali melamun" ledek Sean segera. "Hahaha. Aku tidak tahu, tapi yang pasti.. mata birumu mengingatkanku pada seorang wanita baik hati yang begitu kukenal"
Sean menatap Jiali dengan kening berkerut. "Wanita baik hati? Siapa dia?" tanya Sean penasaran. "Kau sepertinya bocah yang ingin tahu banyak hal, yah" titah Jiali seraya mengacak rambut bocah itu.
"Kau ingin kubuatkan sesuatu? Aku bisa memasak" tawar Jiali bangkit berdiri. "Apa itu tidak merepotkan? Daripada memasak untukku, lebih baik kakak ajari saja aku memasak" saran Sean beranjak dari ranjangnya.
"Mengejutkan. Baiklah, ayo kita ke dapur. Aku akan mengenalkanmu pada semua bahan-bahan dapur" jawab Jiali tersenyum antusias.
Keduanya mulai menuruni anak tangga menuju dapur. Di ruang tamu, Chloe, dan Daisuke duduk membaca buku seraya menikmati teh hangat.
"Di mana Marito?" tanya Jiali terheran ketika ia tidak melihat keberadaan Marito di sana.
"Dia dipanggil ke kantor. Ada keperluan mungkin" jawab Daisuke asik dengan bukunya.
"Begitu ternyata. Bahkan saat hari libur, dia masih sangat sibuk" gumam Jiali tertawa kecil memaklumi. "Kalian ingin sesuatu? Aku dan Sean akan masak" tawar Jiali menghampiri dapur.
Sean mengekori gadis itu. "Kau bisa memasak, bocah?" tanya Daisuke antusias.
"Tidak, aku ingin kak Jiali mengajariku" jawab Sean menggeleng-geleng. "Makanan manis. Aku ingin sesuatu yang dipanggang tapi manis" ujar Chloe mengambil kesempatan.
"Yang benar saja, James bilang gula darahmu naik" Daisuke segera mengingatkan rekannya itu.
"Hari ini saja, besok akan kutahan" jawab Chloe tetap keras kepala. "Sudah, aku akan buat Pie Apple dengan gula yang sedikit" ujar Jiali menyudahi perdebatan kecil itu.
Sean kembali mengekori Jiali.
"Jika kau mengeluh, aku akan membiarkanmu. Atau aku akan menyumbat telingaku"
"Kejam sekali. Kau ingin aku mati cepat?"
"Kau mati karena kesalahanmu"
Jiali hanya bisa menggeleng-geleng pelan sambil terkekeh memaklumi hal itu.
"Memangnya kenapa jika dia mengkonsumsi gula berlebih?" tanya Sean penasaran seraya memberikan tepung pada gadis itu.
"Sudah 6 bulan terakhir Chloe mengurangi konsumsi gula karena terserang diabetes. Semoga dia bisa segera sembuh" jawab Jiali sambil mengaduk adonan yang ia buat.
"Malang sekali. Kakek juga pernah mengalami kelumpuhan ringan, padahal usianya belum sampai 70 tahun" ujar Sean teringat penyakit yang pernah diderita kakeknya dulu.
"Oh iya? Tapi untuk orang tua, itu sudah hal wajar" tutur Jiali memaklumi. "Tetap saja itu hal mengkhawatirkan, untung saja Arie telaten membantu kakek. Saat aku hendak meninggalkan kakek, aku khawatir dia tidak bisa menjaga diri. Tapi Arie sepertinya bisa diandalkan"
Jiali tersenyum tenang mendengarnya. "Kau berbakti sekali pada kakekmu. Kenapa begitu?" tanya Jiali penasaran.
"Aku tinggal dengan kakek. Arie kadang-kadang saja datang ke rumah. Dari bayi sampai sebelum aku kemari, aku belajar banyak hal dengan kakek" jawab Sean antusias menceritakan kakeknya dan Arie.
"Di mana ayah dan ibumu?" tanya Jiali penasaran. "Mereka meninggalkanku sejak aku lahir. Kata kakek, mereka hanya menyisakan diriku sebagai harta peninggalan mereka"
Jiali terdiam mendengarnya.
"Maaf, Sean. Aku tidak tahu"
"Tidak apa, orang-orang juga mengatakan hal yang sama saat aku menyebut di mana keberadaan ayah dan ibuku"
Jiali tertegun. "Bagaimana dengan keluargamu? Apa kakak masih memiliki ayah dan ibu?" tanya Sean penasaran.
"Ibuku tidak meninggal, dia hanya pergi meninggalkan kami. Sekarang yang tersisa ayahku yang sakit, dan adik laki-lakiku yang usianya sepertinya sama denganmu"
Sean mengangguk-angguk paham. "Lalu.. kak Chloe, apakah orang tuanya masih ada?" tanya Sean penasaran seraya mengintip Chloe yang asik membaca buku.
"Dia anak nakal yang melarikan diri, hahaha. Jika kau penasaran, tanyakan kisah bodohnya pada orangnya langsung" saran Jiali tertawa.
Namun tawa itu, seakan menutupi sesuatu. "Oniisan? Dia juga nakal?" tanya Sean lagi.
"Dai? Chloe itu terlihat seperti anak penurut padahal dia pembangkang. Dai tidak. Masalah keluarganya juga rumit, aku tidak terlalu mengetahui bagaimana latar belakangnya"
Sean mengangguk-angguk kecil. "Aku pulang" ucap seseorang memasuki runah. Marito tiba.
Bocah itu kini menatap Marito penasaran. "Di antara kami, mungkin masalah keluarganya paling menyedihkan" tutur Jiali mengetahui tatapan tidak biasa dari Sean pada Marito.
"Menyedihkan?" gumam Sean terkejut. "Ya, karena itulah kami jarang mengungkit masa lalu di sini. Semua sensitif terkait keluarga masing-masing" jawab Jiali membenarkan.
Sean masih menatap Marito yang tampak sibuk mencari berkas. "Jia, apa kau melihat berkas berwarna coklat di laci ini? Aku meletakkannya di sini kemarin" tanya Marito ketika ia sudah lelah mencari ke sana kemari.
"Sudah seminggu lamanya aku tidak menyentuh laci itu. Memangnya berkas apa yang kau cari?" tanya Jiali menghampiri Marito.
Sean yang sudah memperhatikan bagaimana cara Jiali mengadon, memilih melanjutkan pekerjaan itu. Daisuke memperhatikan bocah itu sejenak.
Ia mengerutkan keningnya terkejut. "Ada apa?" tanya Chloe di sebelah pemuda itu. "Dari apa yang kudengar, membuat adonan kue lebih sulit daripada memasak biasa. Tapi dia bisa meniru setiap gerak gerik Jiali"
Chloe kini ikut memperhatikan kegiatan Sean. Tangan bocah itu dengan sigap melakukan segalanya dan membereskan kekacauan di dapur.
"Beres" gumam Sean tersenyum puas setelah memasukkan seloyang Pie Apple ke dalam oven.
"Eh, aku belum selesai membuat loyang kedua" ujar Jiali beranjak menghampiri Sean.
"Aku sudah membuatnya, semua sudah selesai" Jiali menghentikan langkahnya.
"Bagaimana kau membuatnya?" tanya Jiali memastikan kembali. "Aku mengikuti takaran yang kakak buat" jawab Sean dengan ekspresi polos.
"Tapi aku tidak menimbangnya, Sean" bocah itu terdiam. Marito menatap Sean terkejut.
"Kau tidak menentukan berat bahannya?" tanya Marito terheran. Jiali menatapnya lalu mengangguk tanda membenarkan.
Suasana hening bahkan sampai tercium aroma apel dari dalam oven, barulah Jiali bergerak dan ia segera mengeluarkan 2 loyang Pie Apple.
Jiali tahu loyang buatannya dan buatan Sean. Ia mencicipi keduanya.
"Sean.."
Bocah itu menatap Jiali ragu. Ekspresi itu seakan menandakan Pie itu enak, atau tidak.
"Kau punya bakat menjadi tukang kue!" ujar Jiali antusias. "Hey, dia akan mendaftar ke akademi militer. Jangan merecoki pikirannya" Daisuke tertawa mendengarnya.
Berbeda dengan ketiga temannya, Marito menatap Sean dengan tatapan berbeda.
Ketika Sean beralih menatap Marito, gurunya itu membuang wajahnya ke arah lain.
................
"Aku akan ke kantor sebentar, kunci rumah" pesan Marito mengenakan topinya. Malam itu semua sudah tertidur lelap, hanya tersisa Daisuke di ruang tamu yang masih jaga.
"Malam begini? Bukankah tadi siang kau sudah ke kantor? Ada masalah apa?" tanya Daisuke terheran ketika Marito bersiap.
"Anggota inti ada rapat penting malam ini terkait radar aneh di puncak gunung" jawab Marito seraya memasukkan berkas-berkas yang ia butuhkan ke dalam tas.
"Radar aneh? Sejak kapan?" tanya Daisuke terheran. Sebulan lamanya, Daisuke tidak mengetahui apa saja yang terjadi selama ia meninggalkan Panzer.
"Baru-baru ini" jawab Marito yang sudah siap berangkat menuju kantor.
"Aku titip dia padamu. Hubungi kantor jika terjadi sesuatu di sini" pesan Marito akhirnya meninggalkan rumah malam itu.
Daisuke menghela nafas dengan kesibukan Marito. Untuknya, kegiatan yang dilakukan Marito bisa dibilang seperti membunuh diri sendiri.
Anehnya, rekannya itu tidak pernah terlihat jenuh atau lelah dengan padatnya pekerjaan yang diberikan padanya.
"Mau ke mana dia?" tanya Chloe yang baru saja selesai minum. "Kantor. Kenapa kau belum tidur?" tanya Daisuke terheran.
"Aku sudah tidur, hanya saja aku haus" jawab Chloe menggosok pelan kedua matanya. Masih ada rasa kantuk di sana, namun ia bisa menahannya.
"Malam seperti ini saja dia masih pergi bekerja. Sebenarnya dia manusia yang terbuat dari apa" ujar Chloe duduk di seberang Daisuke.
"Memaklumi saja"
Di sisi lain,
"Astaga.. apa yang dilakukan Sean larut malam begini?" gumam Jiali terbangun dari tidurnya.
Kamar Jiali dan Sean bersebelahan. Karena satu dinding, tentu saja Jiali bisa mendengar suara dari kamar Sean.
Ia segera turun dari ranjangnya dan berjalan perlahan menuju kamar Sean, hendak menegur bocah itu agar segera tidur.
"Sean.. apa yang kau lakukan? Apa kau belum tidur?" tanya Jiali menahan rasa kantuk yang luar biasa. Namun bocah itu tidak menyahut, bersamaan itu masih ada suara ribut di kamar bocah itu. "Sean" panggil Jiali lagi.
Tetap saja tidak ada sahutan dari bocah itu. Jenuh dengan keributan di kamar itu, Jiali memutuskan untuk mencoba membuka pintu. "Tidak dikunci?" gumam Jiali terkejut.
Ia akhirnya menggapai gagang pintu lalu membukanya. Jiali terdiam kaku ketika melihat pemandangan di hadapannya.
"Hey, siapa kau?!" Jiali segera beranjak ketika seseorang berjubah hitam seakan menyerap sesuatu dari tubuh Sean.
Mata bocah itu bahkan terbuka namun berwarna putih, dan tubuhnya melayang. Energi berwarna biru diserap oleh orang itu dari tubuh Sean.
Melihat Jiali, orang itu menjatuhkan tubuh Sean dan kabur dari jendela.
"Sean!" Jiali memilih untuk menghampiri Sean. Namun nafas bocah itu mendadak berhenti. "Sean! Apa yang dilakukan pria itu?! Sean!" Jiali akhirnya melakukan apa yang ia bisa.
Sementara di lantai pertama, "Apa yang terjadi di atas?" gumam Daisuke beranjak menuju lantai kedua rumah itu.
Chloe mengekorinya dari belakang. Ketika mereka tiba di ruangan Sean, "Ada apa ini?!" tanya Daisuke terkejut dan segera menghampiri mereka.
"Dai, nafasnya berhenti" ujar Jiali panik. Tanpa pikir panjang Daisuke meraih Sean dan menggendongnya. "Aku akan memanggil dokter" ujar Jiali segera mengambil tas dan beberapa keperluan medis di dalam kamarnya.
"Chloe, hubungi Marito segera"
Di sisi lain,
"Marito, Chloe ingin menjumpaimu" ujar seseorang memanggil Marito yang masih sibuk menulis.
"Chloe?" gumam Marito segera beranjak. Betapa terkejutnya ia ketika melihat Chloe dengan nafasnya yang tidak teratur dan keringat mengucur deras.
"Marito, ini.. dia-"
"Tarik nafasmu. Kau bisa mati"
Chloe menarik nafas dalam. Ia menenangkan dirinya sejenak.
"Sekarang katakan apa yang terjadi" perintah Marito menghela nafas memaklumi. Justru ia yang lelah melihat Chloe.
"Bocah itu di ruang darurat, dia tidak bernafas"
"Apa?!"
Beberapa saat setelahnya,
"Apa yang terjadi?!" Marito tiba dengan ekspresi panik. Jiali menatapnya tenang. "Detak jantungnya sudah kembali, tenanglah" jawab James membuat Marito tenang.
"Bagaimana mungkin nafasnya tiba-tiba hilang?" tanya Marito terheran. "Seseorang mencoba menarik seluruh energinya, namun sepertinya gagal. Orang itu pasti penyihir. Dia tahu caranya menyerap habis energi seseorang" jawab Daisuke memperhatikan Sean yang terlelap.
Marito mengerutkan keningnya mendengar penjelasan itu. Mata birunya kini menyala. Ekspresi datarnya berubah marah.
"Kau menyadarinya bukan?" tanya Daisuke tertawa kecil membaca raut wajah rekannya itu.
"Memangnya ada apa?" tanya Chloe terheran.
"Penyihir itu punya tujuan, dan berniat menyerap habis energinya untuk mengetahui sesuatu padanya. Tapi sepertinya itu percuma, karena energi yang dimiliki bocah ini.. terlalu banyak"
Chloe yang mendengarnya terkejut.
"Energi yang banyak... artinya?"
"Ya, elemen alam yang dimilikinya lebih dari satu"
"Kau sudah sadar?" tanya seseorang berhasil mengembalikan kesadaran Sean sepenuhnya. "Guru.." gumam Sean terkejut ketika mendapati Marito duduk di kursi sebelah tempat tidurnya, sambil membaca buku.
"Apa masih ada yang sakit?" tanya Marito masih fokus membaca buku. "Tidak ada... yang terasa sakit" gumam Sean mengubah posisinya menjadi duduk. "Guru, kau tidak... bekerja?" tanya Sean terheran mengetahui Marito di sana.
"Cuti" jawab Marito menutup bukunya. "Kau lapar bukan? Akan kuambilkan sarapan" ujar Marito beranjak dan meninggalkan Sean di sana.
"Kau mau ke mana?" tanya Daisuke berpapasan dengan rekannya itu. "Sarapan" jawab Marito dengan pandangan lurus ke depan.
Daisuke menggeleng-geleng pelan. Ia akhirnya masuk ke ruangan Sean.
"Bagaimana perasaanmu? Apa kau sudah baikan?" tanya Daisuke pada Sean yang melamun memperhatikan keramaian ibu kota dari jendela.
"Ahk, sudah. Oniisan tidak bekerja?" tanya Sean balik terheran. "Aku masih dapat hari istirahat setelah perjalanan panjangku selama sebulan" jawab Daisuke duduk di dekat jendela.
Sean mengangguk paham. "Mungkin siang ini kau sudah bisa beristirahat di rumah" ujar Daisuke meletakkan sekotak roti yang ia beli di toko.
"Syukurlah, aku tidak suka aroma rumah sakit" jawab Sean terkekeh. "Pastinya semua akan mengatakan hal yang sama sepertimu" gumam Daisuke tertawa kecil.
"Oniisan, sepertinya guru tidak tidur semalaman" lapor Sean berhasil membuat Daisuke terbelalak tidak percaya.
"Bagaimana kau tahu?" tanya Daisuke terheran. "Arie bilang, orang yang sering tidak tidur sampai pagi atau begadang punya kantong mata yang gelap" jawab Sean dengan polos.
Daisuke tertawa kecil mendengarnya. Memang benar, Marito sering sekali tidak tidur sampai pagi karena pekerjaan dan tugas yang diterimanya.
Namun, ia tidak pernah berjaga malam untuk seseorang. Itu bukan hal biasa.
"Kenapa oniisan terkejut?" tanya Sean terheran. "Dia jarang begadang" jawab Daisuke berdalih.
Sean mengangguk-angguk paham.
"Guru bilang, dia juga cuti hari ini. Memangnya apa yang terjadi padaku tadi malam? Wajah guru tampaknya sangat serius"
Daisuke terdiam bingung. Namun setelahnya ia tahu mengapa Marito memilih untuk cuti.
"Justru aku yang ingin bertanya, apa kau merasakan sesuatu saat kau tidur?" tanya Daisuke balik sambil tersenyum simpul.
Sean berpikir mencoba mengingat apa yang terjadi padanya. "Ahk iya, ada sesuatu seakan mencekikku. Aku sampai tidak bisa bernafas karena itu" jawab Sean akhirnya ingat.
"Marito mungkin akan menyelidiki apa yang terjadi secara mandiri" kata Daisuke memakan roti yang dibelinya lalu menyuapi Sean.
"Oniisan tidak membantunya?" tanya Sean terheran. "Saat aku menawarinya bantuan, yang dikatakan olehnya justru menusuk hatiku" jawab Daisuke terkekeh seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Guru tampaknya orang yang keras dan tidak lemah lembut. Marry kekasih Arie yang super galak saja pasti tunduk padanya" gerutu bocah itu.
"Hahaha, kau ada-ada saja. Tampangnya saja datar tidak berperasaan, tapi hatinya lembut seperti sutra terbaik di dunia" jawab Daisuke.
"Oniisan melebih-lebihkan saja"
"Hahaha. Kau sendiri justru mengira yang tidak-tidak pada gurumu"
"Bukan begitu!"
Tanpa mereka tahu, Marito mendengar percakapan mereka dari luar ruangan.
Ia diam beberapa saat sebelum akhirnya memilih masuk. "Ini sarapan untukmu. Jika ada sesuatu hubungi aku, pagi ini aku akan berangkat ke desa"
Marito meletakkan sebungkus makanan yang ia beli dan ia kembali berjalan keluar dari ruangan itu.
"Sepagi ini? Tidakkah bisa kau tunda nanti siang?" tanya Daisuke terheran.
Marito menghentikan langkahnya. "Aku titip dia padamu, aku tidak akan lama" jawab Marito tanpa menoleh dan ia kembali berjalan.
Daisuke menghela nafas setelah perempuan itu benar-benar pergi.
"Apa guru tidak menyukaiku? Mengapa ia menjaga jarak sekali?" tanya Sean menunduk ragu.
"Hey, Leon itu kaku. Maklumi saja" jawab Daisuke tertawa kecil. Wajar saja pertanyaan itu muncul di benak seorang bocah seperti Sean sekalipun.
"Sudahlah jangan dipikirkan. Lihat, dia saja sudah melihatku membawakanmu roti. Tapi tetap saja ia membawakan sarapan lagi untukmu" ujar Daisuke membuka bungkusan dari Marito.
Sean tertawa kecil melupakan kesedihannya.
Di sisi lain,
"Oh ayolah, dia saja sepertinya tenang sekali berada di Panzer. Berhentilah terlihat seperti orang putus cinta" ujar seorang pria pada Earnest.
"Hey, kau tidak tahu betapa menyedihkannya hidupku ketika ia meninggalkanku" jawab Earnest penuh drama.
David Hale, sahabat Earnest sejak 50 tahun lalu itu geram melihat tingkah pria tua di hadapannya. Arie hanya bisa menghela nafas memaklumi hal itu.
"Kau tidak tahu bagaimana muridku yang satu itu. Dia benar-benar keras dan tidak tahu ampun, mengapa mendiang putriku begitu menyukainya?" gumam Earnest super ekspresif.
"Marito pasti memperlakukannya dengan baik, komandan" saran Arie dengan tenang.
"Bagaimana mungkin? Cucu malangku yang patuh dan tidak tahu dunia luar itu harus berperang demi masa depannya" jawab Earnest penuh emosional dan dramatis.
"Jika kau tadinya tidak tega membiarkan dia berkelana sendirian, kenapa kau tidak ikut saja dengannya?" tanya David terheran.
Suasana berubah. Earnest terdiam. "Ada apa? Benar bukan?" tanya David lagi.
Arie menatap Earnest ragu. "Aku tidak bisa kembali ke sana, David. Sean yang kulepas bahkan kuminta untuk mengganti namaku" jawab Earnest terkekeh. "Aneh" gumam David beranjak.
Arie masih diam di tempat dan menatap Earnest ragu. "Seharusnya ia terlahir bukan dengan nama belakang Colbert. Tapi aku melakukannya, agar mereka tidak tahu jika Sean anak dari mereka"
Arie menghela nafas memaklumi. "Kenapa komandan tidak pernah mengatakan nama ayah dan ibu Sean?" tanya Arie terheran.
Menurutnya, akan lebih baik jika Sean tahu identitas kedua orang tuanya.
"Dia terlalu polos. Bisa saja dia menyebut nama ayah dan ibunya pada orang asing. Orang tuanya sangat dikenal luas"
Earnet mengatakan itu seraya tertawa menutupi rasa sedihnya. Arie tahu, pria tua ini pasti masih mengharapkan adanya kehidupan yang dijalani oleh orang tua Sean.
"Apalagi jika dunia tahu aku masih hidup, tidak hanya Sean yang terancam, tapi juga Panzer dan negara ini" gumam Earnest merebahkan tubuhnya seraya memejamkan mata.
"Para kriminal sangat benci mendengar namaku, dan namanya"
Arie menghela nafas untuk kesekian kali memaklumi penjelasan itu.
Siapa sebenarnya orang tua Sean? Sampai Earnest menyembunyikan identitas asli mereka dan dirinya sendiri, lalu mengubah nama Sean. Apakah mereka, orang yang sangat berpengaruh?
................
"Tadaima" gumam Daisuke memasuki rumah dengan Sean yang mengekori dirinya.
"Selamat datang" sahut Jiali muncul dari dapur. "Harum sekali. Apa yang sedang kau masak?" tanya Daisuke penasaran.
"Sup biasa. Aku pikir ini adalah menu yang cocok untuk orang yang baru saja selesai dirawat dari rumah sakit" jawab Jiali terkekeh.
"Tidak perlu repot begitu, kak. Aku hanya tiba-tiba tidak sadar, bukan koma berbulan-bulan" ujar Sean mengerti maksud itu.
"Hahaha. Anggap saja ini rumahmu juga, Sean. Kau tidak sendirian di sini" tutur Jiali tertawa kecil.
"Di mana Marito?" tanya Chloe terheran. "Dia pergi ke desa. Aku sudah memintanya menunda keberangkatan, tapi dia tetap pergi dan mengoper tugasnya" jawab Daisuke menghela nafas lelah.
"Aku sudah selesai, tidak perlu takut aku akan kembali terlalu lama" ujar seseorang di pintu.
Daisuke dan Sean berbalik. Sean terbelalak kaget ketika Marito yang baru saja tiba, kembali dengan darah segar mengalir di pelipis kanannya.
"Kau habis bertengkar dengan siapa?" tanya Chloe terheran. "Joe" jawab Marito singkat.
Daisuke menggeleng-geleng tidak habis pikir. "Kenapa kau bisa sampai bertengkar dengan dia? Kau tidak kapok dikasari oleh pria gila itu?" tanya Jiali menarik Marito duduk di sofa dan mengambil peralatan untuk pembersih luka.
"Aku hanya mengatakan fakta saja, tapi dia memukulku. Ini bukan sesuatu yang sakit" jawab Marito santai.
"Apa kau merasa pusing?" tanya James di sana. "Tidak" jawab Marito. James menghela nafas lega.
Sean yang masih terdiam di tempat menatap Marito tidak percaya. "Masuklah ke kamarmu, Sean. Aku akan menyusul" perintah Marito tanpa menoleh pada bocah itu.
Sean menurut dan berjalan menuju kamarnya. Daisuke menghela nafas lelah untuk kesekian kalinya, menghadapi kegilaan Marito.
"Ubahlah sifat keras kepalamu. Sampai kapanpun, kau dan Joe akan terus berbeda pendapat" saran Daisuke dengan sabar luar biasa yang sudah ia siapkan. "Aku pergi menyelidiki orang itu, dan aku menemukan informasi dia sering bernegosiasi sesuatu dengan Joe. Saat aku menjumpainya, dan mempertanyakan itu, dia memukulku"
Daisuke tidak terkejut mendengar itu.
Siapa Joe?
"Lalu sekarang apa yang kau mau? Joe punya banyak koneksi, bahkan jika kau menuntutnya kau akan kalah" ujar Daisuke mencoba menyadarkan rekannya itu.
Marito tidak menjawab. "Kenapa tanganmu, ikut terluka?" tanya Jiali yang teliti. Marito menatap luka itu. "Aku membunuh orang yang mencoba membunuh bocah itu karena tidak menemukan solusi" Daisuke tentu terbelalak kaget.
"Apa maksudmu?" tanya Daisuke mendekat. "Penyihir kriminal, jadi aku meminta surat izin penangkapan" jawab Marito santai.
Daisuke menghela nafas dan memijit pelipisnya. "Terserahmu saja, menasehatimu memang menyulitkan" gumam Daisuke memilih pergi ke halaman belakang untuk melampiaskan kekesalan dan beban pikirannya.
"Dai, ajari aku karate"
"Tidak mau!"
"Oh, ayolah. Kau menyebalkan sekali jika sedang merajuk begitu"
Chloe mengekori Daisuke.
"Aku harus ke rumah sakit, mungkin anak-anak yang baru selesai menjalankan misi ada yang terluka" ujar James yang sudah menyiapkan makan siangnya dan akan berangkat.
"Berhati-hatilah" pesan Jiali. Dan kini di ruang bersantai itu, tersisa Jiali dan Marito.
"Marito-"
"Aku tahu, Jia"
Jialin diam beberapa saat. "Ini demi keselamatanmu juga. Mengingat kau seorang pasukan khusus. Kau bisa saja diberikan tugas berat yang tidak sesuai kapasitasmu"
Marito tidak menjawab. "Aku menjalankan apa yang diamanahkan padaku" gumam Marito menatap lurus.
"Apa kau masih merokok?" tanya Jiali bangkit lalu menyimpan kembali perlengkapan.
"Hanya beberapa kali" jawab Marito berjalan menuju dapur. Ia hendak membuat kopi.
"Dari apa yang sudah kupelajari-"
"Perempuan tidak boleh merokok karena dia akan hamil dan memiliki anak. Tapi aku tidak punya pikiran untuk hal romantis"
Jiali menghela nafas lelah. Sama seperti Daisuke, kini ia memijit pelipisnya.
"Akibatnya tidak hanya itu, Marito" gumam Jiali.
"Jika aku tidak menyentuh rokok, kau tidak akan menemukan aku yang berbicara normal"
Jiali memilih duduk seraya membuka buku catatannya.
"Apa yang kau buat?" tanya Jiali tanpa menoleh.
"Kopi dan teh, kau mau?" tawar Marito masih sibuk mengaduk kopi dengan air hangat.
"Tidak perlu. Sebentar lagi aku juga harus ke penjara bawah tanah. Ada seorang napi yang mengeluh sakit pada dadanya" jawab Jiali menolak tawaran itu.
"Bisa saja itu hanya akal-akalannya untuk kabur dari penjara" ujar Marito menata minuman itu pada nampan.
"Tidak bisa kukatakan demikian" jawab Jiali terkekeh menanggapi jawaban itu.
Marito membawa minuman itu ke lantai dua. Ia tiba di depan kamar Sean. "Sean" panggil Marito segera. Sean membuka pintu kamarnya.
"Guru.." gumam Sean mendapati gurunya membawa dua buah cangkir.
Beberapa saat,
"Jadi kakekmu bilang kau bisa menjadi orang hebat dengan datang ke sini?" tanya Marito mendengar alasan apa yang membuat Sean mau datang jauh-jauh dari De Oranje ke Panzer.
"Uhm, kakek bilang begitu" jawab Sean seraya menikmati sandwich yang dibuat Marito.
Marito menatap keluar jendela. "Belajarlah dengan giat, jangan permalukan kakekmu" pesan Marito menatap Sean dengan tenang.
"Baik, guru" jawab Sean tersenyum antusias. "Guru, bisakah aku bertanya?" tanya Sean penasaran. "Mengenai?"
Sejenak bocah itu terdiam ragu. "Kenapa guru jutek sekali? Bukankah tersenyum itu sehat?" tanya Sean terheran. Marito terkejut menerima pertanyaan aneh itu.
"Lebih baik kau belajar, nak. Malam ini aku akan mengajarimu beberapa pelajaran dasar akademi" pesan Marito bangkit berdiri.
Sean memasang wajah masam. Mata Marito teralih pada sebuah cahaya biru di leher bocah itu.
Matanya terkejut melihat kalung yang tidak asing. "Siapa yang memberikan kalungmu?" tanya Marito terheran. Ia merasa mengenali kalung itu.
"Ini? Kakek memberikannya sebelum aku belayar" jawab Sean tersenyum senang.
Marito terdiam dengan kening berkerut. "Fredrick, huh ?" batin Marito dalam diam.
"Baca buku yang kusediakan. Kemungkinannya minggu depan kau akan tes masuk akademi"
"Siap, guru"
Marito akhirnya pergi meninggalkan bocah itu. Ia bersiap menuju suatu tempat.
......................
"Ya? Sebentar" sahut seorang pemuda, ketika ia mendengar suara ketukan pintu rumahnya.
Namanya, Jacob Mark. Usianya sekitar 30 tahun, perawakannya berwibawa dan tinggi. Ia bekerja sebagai pasukan intelijen di negara itu.
"Hi, Jake" sapa seorang gadis padanya. Marito datang jauh-jauh dari ibu kota ke tempat terpencil di negara Panzer, untuk menemui dia.
Beberapa saat,
"Keluarga Fredrick?" tanya Jacob terheran dan merasa asing dengan nama itu.
"Ya, entah pensiunan atau semacamnya. Apa kau kenal?" tanya Marito membenarkan.
Jacob diam beberapa saat sambil berpikir. "Ada beberapa orang yang kukenal bernama Fredrick. Jadi aku tidak bisa memastikan Fredrick yang kau maksud" jawab Jacob ragu.
Marito menghela nafas. "Memangnya ada apa?" tanya Jacob terheran. "Aku sudah terbiasa menerima anak titipan dari beberapa keluarga. Tapi beberapa minggu yang lalu, aku menerima surat dari seorang pria bernama Fredrick dan mengirimku beberapa uang dengan jumlah besar untuk mendidik cucunya"
Jacob menatap Marito terkejut. "Terakhir kali anak kaya raya itu bukan? Kau beruntung sekali" ujar Jacob terkesan.
"Lupakan saja bocah itu. Aku hanya bingung sekaligus penasaran" gumam Marito dengan wajah masam. "Jika orang itu mengirimu surat, seharusnya dia mengenalmu. Kenapa kau justru menanyaiku soal pria itu?" tanya Jacob terheran.
"Itu dia, Jake. Dia bisa tahu alamatku, instansi tempat aku bekerja, dan nama depanku yang kusamarkan. Itu aneh, tapi aku tetap menerima bocah yang ia titip" jawab Marito memijit pelipisnya. Sejujurnya ia pusing.
"Kau menerimanya karena uang?" tanya Jacob meledek. "Tidak, tapi nama belakang bocah itu" jawab Marito menggeleng.
"Nama belakang?" gumam Jacob terheran. "Nama bocah itu, Sean Colbert" Jacob yang mendengarnya terdiam. "Colbert? Kau salah baca mungkin" ujar Jacob tidak percaya.
Marito mengeluarkan sebuah map berisi berkas lalu menunjukkan biodata Sean.
"Colbert.. bukankah itu nama-"
"Ya"
Jacob membaca biodata Sean. "Dan, matanya sama seperti milikku" Jacob menatap Marito terkejut. "Berapa umur bocah itu?" tanya Jacob memastikan kembali.
"11 tahun" Jacob menghela nafas lelah. "Sekarang apa yang kau butuhkan dariku?" tanya Jacob mengerti maksud kedatangan Marito.
"Cari tahu latar belakang bocah ini, pria tua bernama Fredrick.. dan satu lagi, Arie"
Jacob memiringkan kepalanya terheran. "Arie? Hah? Bukankah dia gugur dalam perang 11 tahun lalu?" tanya Jacob terheran.
"Sama seperti asumsimu. Jika nama Fredrick saja ada banyak, nama Arie juga bisa jadi. Sean sering menceritakan Arie dan kakeknya pada, Dai" jawab Marito menyandarkan tubuhnya.
"Rumit sekali. Lalu jika kau tahu semua tentang bocah itu apa yang akan kau lakukan?" tanya Jacob penasaran dengan tujuan rekannya.
"Menyembunyikannya dari pemerintah. Dia bocah jenius" jawab Marito menatap tajam Jacob.
"Sungguh? Bagaimana kau tahu?" tanya Jacob penasaran. Ini adalah kelebihan Marito. Dia tahu apa kelebihan dan kelemahan seseorang.
"Membuat kue" Jacob yang mendengarnya tertawa puas. "Yang benar saja, adonan kue bisa ditakar" jawab Jacob meledek.
"Dia tidak, Jake. Dia punya daya ingat yang kuat dan teliti. Cekatan adalah sebutan yang cocok untuknya. Dan dia, sepertinya ahli sains"
Jacob menatap Marito tidak percaya. "Aku di pihakmu jika bocah itu memang jenius. Pemerintah suka memanfaatkan hak orang lain" ujar Jacob tertawa kecil memaklumi.
"Kau salah satunya bukan?" tanya Marito meledek. "Hahaha. Aku lebih memilih diasingkan kemari dibandingkan bersanding dengan putri pria tua bangka itu" jawab Jacob tertawa menerima nasib buruk yang diterimanya.
"Hey, Marito. Gadis-gadis seusiamu sudah menikah. Kenapa kau tidak menikah saja?" tanya Jacob terheran.
Di antara semua teman sekaligus rekan Marito, Jacob adalah orang yang paling bisa diajak bergosip soal siapapun. Pemuda yang menarik.
"Aku perokok" jawab Marito dengan santai menyalakan rokok yang dibawanya.
Ia mulai menikmati asap rokok itu setelah membakarnya. "Cobalah untuk menahan diri" saran Jacob seraya menghela nafas.
"Ini sudah jadi kebiasaan burukku sejak usiaku 15 tahun, tapi dalam sebulan aku hanya menghirup 3 batang asap rokok" jawab Marito santai.
"Tetap saja" gumam Jacob hanya bisa memaklumi kebiasaan buruk yang menjadi bahan pelampiasan Marito selama ini.
"Apa yang terjadi dengan pelipismu? Aku baru memperhatikannya" tanya Jacob terheran.
"Ah, iya satu lagi.. selidiki transaksi gelap, prostitusi, lalu perdagangan manusia yang dilakukan Joe" Jacob memijit pelipisnya yang lelah dengan beban tugas baru.
"Kau ini, benar-benar menyusahkan. Kenapa kau suka sekali memberiku tugas?"
Di sisi lain,
"Tadaima" gumam Daisuke memasuki rumah. Tidak ada sahutan.
Ia bergegas masuk ke dalam dan memperhatikan sekitar. "Selamat datang" sambut Sean yang asik membaca buku di sofa.
"Kau belum tidur? Ini sudah larut malam" tanya Daisuke terheran. "10 menit lagi aku akan tidur" jawab Sean tanpa menoleh.
"Apa yang kau baca?" tanya Daisuke penasaran seraya melepas jaketnya lalu menggantungnya.
"Buku yang diberikan guru. Mungkin besok dia akan mengajariku beberapa hal" jawab Sean tampak antusias.
"Belajarlah dengan giat, minggu depan adalah ujian pertama akademi. 3 hari berturut-turut kau akan mengikuti tes" pesan Daisuke mengingatkan Sean agar lebih gigih.
"Astaga, berat sekali" gumam Sean menjadi lesuh mengetahui seberapa berat ujian masuk akademi.
"Jika aku tidak lulus apa yang akan terjadi?" tanya Sean penasaran. "Kau akan dikirim ke tempat terpencil untuk belajar khusus. Maka berusahalah, agar kau bisa langsung lulus masuk akademi" jawab Daisuke tertawa kecil.
Sean menghela nafas lelah. Sejujurnya itu adalah hal yang terlalu berat untuknya.
"Mungkin Leon akan mengajarimu sebuah seni pertahanan diri nantinya" ujar Daisuke membuat Sean memiringkan kepalanya bingung.
"Seni pertahanan? Bela diri?" tanya Sean memastikan maksud pemuda itu. "Ya. Dia menguasai dua jenis seni bela diri dari negerinya. Jujur saja, dia perempuan.. namun mengalahkannya adalah kesulitan di level tinggi"
Sean terdiam kaget. Marito yang cuek itu? Yang tampaknya seperti perempuan biasa.
"Oniisan tidak mengada-ngada bukan?" tanya Sean tidak yakin.
"Hahaha. Kalau denganku, pasti seri"
"Mari buktikan"
Daisuke terdiam mendengar tantangan itu. Ia berbalik badan, dan mendapati Marito di sana.
"Baiklah, kali ini akan seri seperti biasa"
......................
"Pagi-pagi begini? Lebih baik kalian sarapan lebih dulu" saran Jiali ketika melihat Marito dan Daisuke saling menyiapkan pertahanan terkuat mereka.
"Aku masih kenyang"
"Baiklah, aku tidak akan memasak untukmu"
Marito menatap Jiali dengan masam. "Jika kepala tahu kalian merusak rumput rumah dinas, kalian akan diberi sanksi tahu" ujar James memperhatikan mereka seraya duduk santai menikmati kopi buatan Jiali.
"Harimau biru, dan ular putih akan bertarung" gumam James terkekeh di samping Sean yang dengan serius memperhatikan mereka.
"Harimau biru dan ular putih?" tanya Sean penasaran. "Itu adalah julukan gaya bertarung mereka. Marito si harimau biru, dan Daisuke si ular putih" tutur Chloe menjelaskan.
Sean terbelalak kagum mendengarnya. "Baiklah, bersiap.. dan, mulai!"
Keduanya maju saling menyerang satu sama lain. "Cepat sekali, gerakan apa itu" gumam Sean bingung. "Aku sangat benci ketika kepala membuat pelatihan, dan menempatkanku berhadapan dengan mereka berdua" ujar Chloe tertawa sinis.
"Curang sekali jika kau menggunakan mata itu" ketus Daisuke tersenyum sinis. Matanya berubah menjadi putih. Urat-urat timbul di sekitar pipinya, "Putih?!" gumam Sean terkejut.
"Kekuatan mata milik Marito itu namanya Omba' Kilat, dan mata milik Daisuke itu Shiroi Hikari" Chloe kembali menjelaskan kekuatan dua rekannya.
"Apakah itu sihir?" tanya Sean lagi. "Ya, sihir mata. Ketika seseorang menerima sebuah kemampuan mata, maka energi yang digunakannya harus dalam jumlah besar" jawab Chloe membenarkan.
Sean semakin teliti memperhatikan setiap gerakan dari teknik bertarung dari Marito dan Daisuke.
"Merepotkan" ketus Daisuke tersenyum sinis. "Kau membuatnya lama, menyerah saja!" perintah Marito dengan tatapan tajam.
"Hahaha. Kita lihat saja"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!