Seorang wanita cantik menatap kosong pada sebuah benda yang ada di tangannya saat ini, kedua matanya berembun dan tampa permisi air mata mengalir begitu saja, membasahi pipinya yang mulus.
"Aku hamil," ucap wanita itu dalam hati, sambil menahan tangisnya.
Wanita itu mengusap perut ratanya dengan pelan, sambil melihat benda yang masih ada di tangannya saat ini. Sebuah tespek dengan garis dua, yang artinya ia positif hamil.
"Aku harus bagaimana, ibu sama bapak pasti marah besar dan sangat kecewa sama aku, aku udah gagal jadi anak baik ibu sama bapak," ucap wanita itu dalam hati, sambil mengusap air mata yang tampa henti mengalir.
"Aku harus ngasih tau Nicko, Nicko harus tau kalau aku sekarang hamil anak dia," ucap wanita itu lagi.
Tokkk....
Tokkk....
Suara ketukan pintu, membuat wanita itu kaget dan dengan cepat menyembunyikan hasil tespek di tangannya itu.
"Dinda, kamu di kamar mandi nak?" panggil seseorang dari luar sana.
"Iya Bu, Dinda lagi di kamar mandi, bentar lagi Dinda keluar," ucap Dinda, menghapus air matanya dengan kasar.
"Ibu sama bapak, tunggu di meja makan ya nak."
"Iya Bu, dikit lagi Dinda keluar kok."
Setelah tidak mendengar suara lagi, Dinda lalu keluar dari kamar mandi, taspek yang ada di tangannya itu, cepat-cepat ia masukkan ke dalam tasnya, agar tidak ketahuan oleh kedua orang tuanya.
Setelah selesai bersiap-siap, wanita yang bernama Dinda itu, keluar kamar dengan tasnya, masuk ke ruang makan dan melihat kedua orang tuanya sudah menunggu.
"Nak, ayo kita sarapan," aja seorang wanita paruh baya.
"Iya Bu," jawab Dinda, langsung duduk di tempat biasa.
"Nak, ini uang semester kamu, bapak udah gajian kemarin dan sebagainya udah di kasih sama ibu buat belanja," ucap seorang pria paruh baya duduk di dekat sang istri.
Dinda terdiam, menatap amplop coklat pemberian bapaknya.
"Nak, ayo di ambil," ucap Bu Fatmin, ibunya Dinda.
"Iya Bu, terimakasih bapak," ucap Dinda, tersenyum haru melihat bapaknya, yang rela banting tulang untuk bisa mencari biaya kuliah untuk anaknya, tapi sekarang Dinda malah hamil anak dari kekasihnya Nicko.
"Ayo sarapan, nanti kamu telat ke kampus," ucap Bu Fatmin.
"Iya Bu."
Selesai sarapan, Dinda pamit pada kedua orang tuanya pergi ke kampus, Dinda menaiki taksi online seperti biasa, di dalam mobil Dinda juga banyak diam, ponselnya yang terus berbunyi tidak di hiraukan oleh Dinda.
Sampai mobil yang di naikin Dinda tiba di kampus, setelah membayar ongkos, Dinda lalu turun dari mobil.
"Aku harus telpon Nicko, aku harus bilang ke dia soal anak ini," ucap Dinda, dalam hati.
Menunggu beberapa detik, telpon langsung di angkat oleh kekasihnya.
"Hallo, Nick kamu di mana?"
"Aku di rumah sayang, hari ini aku gak ke kampus, kamu di kampus sekarang?"
"Iya, aku di kampus, Nick bisa gak kita ketemu, ada hal penting yang mau aku katakan sama kamu."
"Mau ngomong apa sayang, bisa gak di telpon aja?"
"Gak bisa Nick, kita harus ketemu, ini penting banget," ucap Dinda.
"Ya udah, kita ketemu di tempat biasa ya," ucap Nicko dari seberang sana, setelah itu panggilan telepon mati.
"Lebih baik aku bayar uang semester dulu aja, baru aku ketemu sama Nicko, lagian hari ini cuma ada satu mata kuliah aja."
* * *
Taksi yang di naikin oleh Dinda, baru saja tiba di sebuah danau, Dinda bisa melihat mobil sport milik kekasihnya sudah terparkir di sana.
Dengan cepat Dinda, menghampiri Nicko yang sedang berdiri sendiri menghadap danau, di mana banyak burung-burung kecil yang berterbangan di atas danau itu.
"Nick," panggil Dinda.
Nicko berbalik dan tersenyum manis melihat keberadaan sang kekasih, dengan cepat Nicko langsung menghampiri Dinda dan memeluknya dengan sayang.
Nicko dan Dinda, kuliah di kampus yang sama, hanya beda jurusan saja, awal pertemuan mereka saat ada kegiatan kampus, seorang Nicko Pradipta, jatuh hati pada seseorang gadis sederhana dan yang terkenal lemah lembut, mereka menjalin hubungan diam-diam tampa di ketahui oleh siapapun, termaksud semua siswa-siswi di kampus mereka menimba ilmu.
Nicko sendiri tidak keberatan kalau hubungan mereka harus di ketahui oleh anak-anak kampus, tapi Dinda tidak setuju, dan memilih untuk merahasiakan hubungan mereka, apa lagi Nicko Pradipta adalah anak tunggal dari seorang pengusaha besar, sementara Dinda hanyalah anak seorang pekerja bangunan, sangat jauh berbeda dengan Nicko yang anak seorang penguasa.
Cup...
Nicko mencium kening Dinda dengan lembut, lalu melepaskan pelukan mereka.
Dinda mendongak, melihat wajah tampan kekasihnya itu, pria yang sudah membuatnya hamil.
"Mau ngomong apa sayang?"
Dinda tidak berkata apa-apa, tapi langsung membuka tasnya dan mengambil sesuatu dari sana.
"Kamu liat ini Nick," ucap Dinda, memberikan taspek pada Nicko.
Nicko melihat dua garis merah pada tespek itu, lalu melihat Dinda yang saat ini sedang menatapnya dengan kedua mata berkaca-kaca.
"Aku hamil," ucap Dinda, dengan air mata yang membasahi pipinya.
Sedangkan Nicko terdiam, sambil memegang tespek di tangannya, pria tampan itu kehilangan kata-kata.
Flashback on...
Nicko masuk ke dalam klub malam, dan melihat di mana teman-temannya sedang party di salah satu meja.
"Nick, ayo minum, masa lo gak mau minum si, di party Ulta gue."
"Gue lagi gak pengen minum Al, kasih yang lain aja."
"Ahk, paya lo, sekali aja Nick," pria yang bernama Al itu terus memaksa Nicko, sampai Nicko mengambil minuman itu dan meneguknya sekali saja.
Tak lama habis minum, tiba-tiba saja badan Nicko merasa gerah dan lain, melihat teman-temannya yang asik party.
"Gue ke toilet dulu," ucap Nicko.
"Kenapa badan gue jadi aneh gini si," ucap Nicko dalam hati, bukannya ke toilet, Nicko keluar dari klub itu dan mengendarai mobilnya pulang ke apartemennya.
Dalam perjalanan pulang Nicko, juga menghubungi Dinda, karena khawatir dengan sang kekasih Dinda pun, datang ke apartemen Nicko, dan terjadilah hal tak di inginkan.
* * *
Hiks...
Nicko membuka kedua matanya, mendengar suara isak tangis.
"Sayang, aku minta maaf, ak-aku gak tau kenapa tiba-tiba badan aku agak lain setelah pulang dari klub, maafkan aku sayang," Nicko memeluk Dinda dari belakang yang saat ini sedang menangis.
"Nick, kamu udah merebut harta yang paling berharga dalam hidup aku Nick, kamu tega sama aku hikzz," tangis Dinda pecah.
"Maafkan aku sayang, aku janji gak akan ninggalin kamu, aku janji sama kamu sayang," bisik Nicko pelan.
Flashback off....
* * *
"Karena kejadian malam itu, sekarang Dinda hamil anak aku," ucap Nicko dalam hati.
"Aku harus gimana Nick, kedua orang tua aku pasti akan sangat marah dan kecewa kalau tau aku hamil, apa lagi aku belum nikah mereka pasti akan sangat malu," ucap Dinda, sambil menangis.
Nicko memeluk Dinda lagi, mengecup kepalanya beberapa kali, untuk bisa menenangkan kekasihnya itu.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang, lusa aku akan berangkat ke Italia, sedangkan Dinda lagi hamil anakku," ucap Nicko, dalam hati.
Nicko, semakin erat memeluk sang kekasih, Dinda yang mendapat perlakuan dengan begitu lembut, membuatnya terus menangis dalam pelukan Nicko.
"Jangan nangis lagi ya, kita pikirin jalan keluarnya, jangan sedih sayang, aku akan bertanggung jawab," ucap Nicko, menghapus air mata Dinda, lalu mengusap perut rata Dinda dengan lembut.
"Nak, ini papa, baik-baik di perut mama ya, papa sayang kalian," ucap Nicko dalam hati, sambil mengusap perut rata sang kekasih.
****
Ooouuukkkk...
Oouueekkk...
Dinda mual-mual di kamar mandi, membuat bu Fatmin, dengan cepat masuk ke dalam kamar putrinya, mendengar suara mual-mual dari dalam sana.
"Nak, Dinda kamu gak apa-apa kan?" Suara cemas sang ibu, membuat Dinda melihat ke arah pintu yang tertutup rapat itu.
"Dinda gak apa-apa kok Bu, cuma masuk angin aja," ucap Dinda, membasuh wajah dan juga mulut.
Ceklek....
Bu Fatmin, melihat wajah pucat putrinya, ada rasa cemas di hati wanita paruh baya itu, biar bagaimanapun Dinda adalah putri mereka satu-satunya.
"Kamu yakin gak apa-apa, wajah kamu pucat nak."
"Dinda gak apa-apa kok Bu, bapak udah pergi kerja Bu?" Tanya Dinda, mengalihkan pembicaraan.
"Iya, bapak kamu sudah pergi kerja, kamu hari ini gak ke kampus?"
"Gak Bu, Dinda ijin gak masuk, lagi gak enak badan," jawab Dinda, memaksa untuk tersenyum, agar sang Bu tidak begitu cemas.
"Iya, istirahat di rumah dulu, wajah kamu agak pucat, kalau gitu ibu ke dapur dulu ya nak," ucap wanita paruh baya itu, yang mendapat anggukan dari Dinda.
"Maafkan Dinda Bu, Dinda gagal jadi anak baik ibu dan bapak, tapi nanti Dinda siap kok, kalau kalian akan marah sama Dinda," ucap Dinda, dalam hati menatap punggung sang ibu menghilang dari balik tembok.
Dinda, lalu mengambil ponselnya dan bersiap menghubungi sang kekasih, semenjak pertemuan mereka di danau dua hari yang lalu, Nicko hanya sekali saja menelpon Dinda, setelah itu tidak lagi. Dinda, akan menelpon Nicko dan menanyakan bagaimana dengan masalah kehamilannya sekarang, karena Nicko sudah mengatakan kalau dia akan bertanggung jawab.
Panggilan pertama, hanya suara operator yang Dinda dengar, Dinda tidak menyerah dan kembali menelpon lagi, dan lagi-lagi hanya suara operator yang ada, sampai Dinda mencoba beberapa kali dan hasilnya tetap sama.
"Kenapa nomornya Nicko, gak aktif. Gak biasnya Nicko gini," ucap Dinda, seorang diri dengan perasaan yang sudah mulai tidak karuan.
Dinda mencoba untuk mengirim pesan, siapa tau saja nanti Nicko melihat pesannya dan akan membalasnya, tapi sampai berjam-jam Dinda menunggu, tak juga ada balasan.
"Sayang sabar ya, kita akan pergi samperin ayah," ucap Dinda, sambil mengusap pelan perutnya yang masih rata itu, dan tanpa Dinda sadari kalau sang ibu sedang berdiri di ambang pintu.
"Dinda," panggil Bu Fatmin, membuat Dinda dengan cepat berbalik.
"I-ibu," ucap Dinda, terbata-bata.
Bu Fatmin, berjalan masuk dan langsung menghampiri putrinya, sambil menatap tajam.
"Apa maksud dari ucapan kamu barusan Dinda?" Ucap Bu Fatmin, terdengar seperti membentak putrinya.
"Ucapan apa Bu, gak ada mungkin ibu salah dengar."
"Jangan kamu pikir ibu bodoh Dinda, ibu belum pikun dan ibu dengar jelas apa yang kamu ucapkan barusan," ucap Bu Fatmin, menatap putrinya dengan mata berkaca-kaca.
"Maafkan Dinda Bu," ucap Dinda, menunduk dengan air mata yang tak dapat ia tahan lagi.
Bu Fatmin, menutup mulutnya sambil menggeleng kepala pelan, menatap putrinya dengan air mata yang berlinang, sedangkan Dinda sudah tidak dapat menahan tangisnya lagi.
"Siapa yang sudah menghamili kamu Dinda?" Bentak Bu Fatmin, memegang kedua lengan putrinya dengan erat.
"Nicko Bu, pacar Dinda," jawab Dinda, memberanikan menatap sang ibu, yang saat ini sedang menatapnya kecewa dan air mata.
"Bu maafkan Dinda Bu, Dinda sudah gagal jadi anak baik ibu dan bapak, Dinda siap menerima amarah dari ibu dan bapak, maafkan Dinda Bu," Dinda, langsung berlutut di kaki sang ibu, meresapi apa yang sudah terjadi padanya saat ini, sedangkan Bu Fatmin hanya berdiri dengan diam dan tatapan kosong.
"Sekarang juga, kamu temui pria itu dan minta pertanggung jawaban Dinda, sebelum bapak kamu tau soal ini," ucap Bu Fatmin, lalu keluar dari kamar putrinya.
"Ibu," panggil Dinda, dengan air mata berlinang.
* * *
Dinda, melihat rumah mewah yang ada di depannya saat ini.
"Mbak, jadi turun di sini?" Tanya supir taksi.
"Iya pak, ini ongkosnya, terimakasih ya.
"Iya mbak, sama-sama."
Dinda, lalu turun dari dalam mobil, dan kembali melihat rumah mewah itu, membuang nafas panjang, Dinda lalu berjalan ke arah pintu gerbang.
"Permisi," ucap Dinda, melihat ke arah pos satpam.
"Bang ada tamu tu," ucap salah satu satpam yang sedang berjaga.
"Maaf, cari siapa neng?"
"Emm, saya mau cari Nicko, apa Nicko ada pak?"
"Wah, den Nicko lagi gak di rumah mbak saat ini."
"Memangnya Nicko ke mana pak?" Tanya Dinda, tidak sabaran.
"Den Nicko, sudah berangkat ke Italia tadi pagi mbak," ucap satpam itu, membuat Dinda bak di sambar petir di siang bolong, dunianya hancur seketika.
"Maaf kalau boleh tau, mbak ini siapnya den Nicko ya?"
"Saya temannya pak, mau datang ambil buku tugas kampus, tapi dianya malah gak ada, kalau begitu saya permisi dulu pak," ucap Dinda, dengan cepat berbalik dan menghapus air matanya dengan kasar. Begitu sakit, mendengar kalau Nicko telah pergi jauh keluar negri.
Dinda pergi ke danau, danau yang selalu menjadi tempat favoritnya dan Nicko, di danau itu juga menjadi tempat mereka terakhir bertemu.
Dinda tersenyum kecut, dengan air mata yang terus mengalir membasahi pipi, Dinda tidak menyangka, kalau kemarin itu adalah pertemuan terakhirnya dengan Nicko.
"Kenapa kamu pergi ninggalin aku yang lagi hamil anak kamu, kamu tega banget sama aku Nick, mana kata-kata kamu yang bilang mau tanggung jawab, ternyata kamu sama aja seperti laki-laki lain, brengsek," ucap Dinda.
"Aku benci sama kamu Nicko, aku benci sama kamu," teriak Dinda, meluapkan emosi yang saat ini ia rasakan.
Drukk....
Suara guntur mulai terdengar, langit yang tadinya cerah sekarang sudah menjadi gelap, pertanda kalau sebentar lagi akan segera turun hujan, tapi Dinda belum juga beranjak dari sana.
Hujan turun dengan deras, membasahi bumi dan seisinya, Dinda berjalan pelan meninggalkan danau itu.
"Aku benci kamu Nicko," ucap Dinda, dalam hati meninggalkan tempat itu dengan air mata yang sudah bercampur air hujan, Dinda berjanji tidak mau lagi bertemu dengan pria yang sudah membuatnya kecewa dan sakit hati.
Hujan turun semakin deras, Dinda tetap berjalan dengan keadaan basah kuyup, Dinda sudah tidak memperdulikan lagi dirinya saat ini.
* * *
Waktu sudah menunjukkan pukul enam sore, hujan belum juga reda, saat ini Bu Fatmin dan sang suami sedang cemas menunggu putri mereka yang belum pulang ke rumah.
"Bu, Dinda ke mana kok belum pulang juga."
"Tadi bilangnya cuma mau ke rumah temannya pak, mau ambil buku tugas," ucap Bu Fatmin, beralasan. Bu Fatmin, akan menunggu kabar dari putrinya, apakah pria itu akan bertanggung jawab atau tidak.
Tokkk...
Tokkk...
"Mungkin itu Dinda pak," ucap Bu Fatmin, dengan cepat membuka pintu.
Ceklek....
***
Bu Fatmin dan sang suami menatap, putri semata wayang mereka saat ini sedang basah kuyup karena hujan, Bu Fatmin bisa melihat wajah sedih putrinya itu.
"Nak, kamu dari mana aja, kenapa pulang basah-basahan begini?"
Dinda menatap kedua orang tuanya dengan mata berkaca-kaca, Dinda langsung bersimpuh di kaki kedua orang tuanya, menangis dengan pilu, memikirkan nasibnya saat ini.
"Ibu, bapak, maafkan Dinda, Dinda anak yang gak tau diri, Dinda anak gak berguna, maafkan Dinda bapak, ibu," Dinda memeluk kaki kedua orang tuanya, dengan isak tangis yang begitu pilu.
Bu Fatmin, sudah tidak dapat menahan air matanya juga, melihat kondisi putrinya saat ini, Dinda terlihat begitu rapuh sudah bisa Bu Fatmin tebak, kalau laki-laki yang menghamili putrinya pasti tidak akan bertanggung jawab.
"Nak, kamu kenapa? Ayo berdiri jangan seperti ini."
"Gak pak, Dinda udah kotor pak, Dinda kotor," ucap Dinda, menatap kedua manik bapaknya.
"Kotor? Maksud kamu apa nak?" Pria paruh baya itu bertanya dengan penasaran, menatap putrinya. Sedangkan Bu Fatmin, hanya diam saja dan sudah tidak dapat menahan tangisnya lagi.
"Dinda hamil pak."
"Apa!" Pria paruh bayah itu, memegang dadanya yang terasa sesak, membuat bu Fatmin langsung panik seketika.
"Bapak, bapak gak apa-apa?"
"Bapak gak apa-apa Bu," pria paruh baya itu lalu melihat putrinya.
"Siapa yang sudah menghamili kamu nak?"
"Pacar Dinda pak, tapi sekarang dia sudah pergi ke luar negeri," ucap Dinda, menatap wajah kecewa kedua orang tuanya.
Bapaknya Dinda, terdengar beristigfar beberapa kali, sambil menyapu dadanya yang terasa tidak enak, cobaan yang baru saja mereka hadapi, benar-benar membuat pria paruh baya itu syok, dan sedih atas masalah yang menimpa putrinya.
"Bapak kecewa sama kamu nak, kamu adalah putri bapak satu-satunya, kenapa bisa jadi seperti ini nak."
"Maafkan Dinda pak, maafkan Dinda," tangis Dinda kembali pecah, melihat bapaknya, Bu Fatmin juga masih menangis di dekat sang suami.
"Bu, tolong bawah bapak ke kamar Bu."
"Iya pak, ayo ibu bantu," Bu Fatmin, membawa sang suami masuk ke dalam kamar, sedangkan Dinda menatap kepergian kedua orang tuanya.
Sampai di kamar, Bu Fatmin membantu sang suami untuk berbaring dengan pelan.
"Bu, apa kita gagal menjaga putri kita?"
"Tidak pak, kita sudah menjaga Dinda dengan baik selama ini, hanya saja takdir seseorang berbeda, mungkin ini sudah menjadi takdir Dinda dari sang pencipta pak."
"Tapi bagaimana nanti Bu, dia hamil tampa suami Bu, apa kata orang-orang Bu, putri kita belum menikah dan pasti mereka akan berbicara gak baik."
"Sudah menjadi resiko pak, kita hanya bisa menerima apa yang sudah terjadi, biar bagaimanapun, Dinda tetaplah putri kita."
"Bu, kalau terjadi apa-apa sama bapak, tolong jaga Dinda dan anaknya ya, anak yang ada di kandungan Dinda harus lahir dengan selamat, dia tidak berdosa, dia hanya kesalahan kedua orang tuanya, dia cucu kita Bu."
"Bapak gak boleh ngomong gitu pak," Bu Fatmin, menatap suaminya dengan sedih.
Pria paruh baya itu tersenyum kecil, menggenggam tangan sang istri dengan lembut dan penuh cinta.
"Bapak mau tidur Bu," ucap pria paruh baya itu, lalu memejamkan kedua matanya sambil menggenggam tangan sang istri.
"Bapak, bangun pak, bapak," panggil Bu Fatmin, tapi sang suami sudah tidak merespon.
"Bapak bangun bapak, bapak jangan bercanda bapak."
Mendengar teriakan sang ibu, Dinda dengan cepat masuk ke dalam kamar kedua orang tuanya, dan melihat sang ibu yang sedang membangunkan sang suami sambil menangis.
"Bu, bapak kenapa Bu?"
"Ibu juga gak tau nak, bapak kamu cuma bilang mau tidur, tapi ibu panggil-panggil sudah tidak bangun lagi," ucap wanita baya itu, sambil menangis.
"Bapak, bangun bapak, jangan seperti ini bapak," Dinda juga berusaha untuk membangunkan bapaknya, tapi tetap saja hasilnya nihil pak Martin tak juga membuka mata.
"Innalillahi wainnailaihi Raji'un," ucap Bu Fatmin, dengan air mata yang tak dapat di bendung.
"Bapak gak mungkin, bapak gak mungkin ninggalin kita Bu, bapak masih baik-baik saja tadi Bu, bapak bangun pak, maafkan Dinda pak, bangun pak," Dinda memeluk bapaknya dengan erat, tapi pak Martin sudah terbaring diam dan tidak bergerak.
"Bapak, maafkan Dinda, semua ini salah Dinda pak," isak Dinda.
"Bapak kamu sudah tidak ada nak, bapak kamu sudah meninggalkan kita," ucap Bu Fatmin, menatap putrinya dengan sedih dan air mata terus mengalir.
"Bu, maafkan Dinda, ini semua adalah salah Dinda, Dinda yang sudah bikin bapak meninggal Bu, coba aja kalau Dinda tidak mengatakan hal yang bikin bapak kecewa, mungkin bapak gak akan ninggalin kita Bu, maafin Dinda Bu," kamar itu penuh dengan isak tangis ibu dan anak, melihat jasad pak Martin yang terbaring kaku di tempat tidur.
Dinda memeluk dan mencium bapaknya untuk yang terakhir kalinya, Dinda menatap wajah bapaknya yang terlihat pucat itu.
Baru beberapa jam lalu, ia melihat bapaknya baik-baik saja, tapi sekarang pria yang menjadi cinta pertamanya itu sudah pergi meninggalkan mereka.
"Kenapa masalah datang bertubi-tubi seperti ini, aku hamil dan ayah dari anak yang aku kandung pergi begitu saja, sekarang bapak juga sudah pergi meninggalkan aku sama ibu," ucap Dinda dalam hati, dengan tatapan kosong.
"Sudah malam, sekarang istirahat ya, bapak akan di makamkan besok jam sepuluh pagi, ibu sudah memberitahu tetangga-tetangga kita, untuk bantu-bantu besok," ucap Bu Fatmin, menyentuh pundak putrinya.
"Maafkan Dinda Bu."
"Sudah, ini sudah menjadi takdir, kita harus ikhlas menerimanya, sekarang kamu istirahat ya," ucap Bu Fatmin, yang mendapat anggukan dari Dinda.
Dinda berjalan pelan masuk ke dalam kamarnya, duduk di sisi ranjang dan mengusap perutnya yang masih rata.
"Sayang, ibu janji akan membesarkan kamu, cuma Oma dan kamu yang ibu punya, opa sudah pergi meninggalkan kita sayang," ucap Dinda, seorang diri dan air mata kembali mengalir lagi.
****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!