Hari yang seharusnya menjadi momen terindah dalam hidup Ashana Octavia Zoeya berubah menjadi mimpi buruk.
Di dalam ruangan yang dipenuhi tamu undangan, suasana tegang menggantung di udara. Ayah dan ibu Shan berdiri dengan wajah merah padam, sementara para kerabat berbisik-bisik, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Di hadapan mereka, seorang pria dengan wajah penuh penyesalan berdiri kaku.
Raka.
Pria yang seharusnya menjadi suaminya, pria yang beberapa detik lalu hampir mengucapkan ijab kabul, kini menundukkan kepala, tangannya gemetar di sisi tubuhnya.
"Aku minta maaf…" Suaranya nyaris tenggelam dalam keheningan yang mencekam. "Aku nggak bisa melanjutkan pernikahan ini."
Waktu seakan berhenti. Shan merasakan tubuhnya membeku.
"Apa maksudmu, Raka?" Suara ayahnya bergetar, menahan emosi yang jelas sudah memuncak. "Pernikahan ini sudah dipersiapkan! Kau bahkan sudah ada di hadapan penghulu!"
Raka menutup matanya sesaat sebelum akhirnya mengangkat wajahnya, menatap Shan dengan sorot mata yang penuh rasa bersalah.
"Saya minta maaf pak, Saya tidak mencintai Shan lagi…"
Deg.
"Jihan… dia sedang mengandung anakku."
Ruangan seketika pecah oleh suara keterkejutan. Tamu-tamu ternganga, beberapa langsung menutup mulut mereka, tak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar. Ibu Shan terduduk lemas, sementara ayahnya mengepalkan tangan, menahan amarah yang hampir meledak.
Shan sendiri tidak bisa merasakan apa pun. Dadanya kosong. Suara-suara di sekelilingnya terdengar sayup, seperti jauh dari jangkauannya.
Raka menunduk dalam-dalam. "Aku minta maaf, Shan… Aku benar-benar minta maaf."
Tapi kata-kata itu tidak lagi berarti apa-apa.
Gaun putih yang membalut tubuhnya terasa begitu berat, seakan menenggelamkannya dalam lautan kekecewaan dan rasa sakit yang tak terkatakan.
Hari ini seharusnya menjadi awal yang baru. Tapi ternyata, ini adalah akhir dari segalanya.
Tamparan itu terdengar begitu keras di ruangan yang senyap.
Shan menatap Raka dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Napasnya tersengal, dadanya naik turun menahan gejolak amarah yang tak terbendung lagi.
“Kamu... tega banget sama aku Raka” suaranya bergetar, penuh dengan luka dan penghinaan. “Kenapa kamu baru mengatakan ini sekarang?! Di hadapan keluargaku! Di hadapan semua orang!”
Raka tidak membela diri. Wajahnya memerah karena tamparan Shan, tetapi yang lebih menyakitkan mungkin adalah rasa bersalah yang menghantamnya dari berbagai arah.
Shan tidak puas. Ia mendorong dada pria itu dengan sekuat tenaga, seakan berharap bisa menghancurkan pria yang telah menghancurkannya. “Aku mempercayaimu, Raka! Aku mencintaimu!” Ia terisak, tinjunya mengepal, lalu tanpa ragu, ia memukul dada pria itu berulang kali. “Kenapa kamu melakukan ini padaku?”
Raka tetap diam. Ia menerima pukulan Shan tanpa melawan, membiarkan wanita itu meluapkan segala emosi yang terpendam.
“Maafkan aku, Shan…” suaranya lirih, penuh penyesalan. “Tapi aku harus pergi.”
Shan mencengkeram kerah jasnya dengan tangan gemetar. “Pergi? Setelah semua yang terjadi, kau hanya akan pergi begitu saja?”
Raka melepaskan tangan Shan perlahan. Dengan wajah penuh duka, ia membungkuk dalam-dalam kepada keluarga Shan. “Saya sungguh meminta maaf. Saya tidak bisa melanjutkan pernikahan ini.”
Ibu Shan menutup wajahnya dengan kedua tangan, bahunya bergetar menahan tangis. Ayah Shan mengepalkan tangan begitu erat, berusaha menahan amarah yang sudah sampai di ubun-ubun.
“Cukup.” Suaranya dalam dan penuh otoritas. “Kita sudah cukup dipermalukan hari ini.”
Ia mengalihkan tatapannya ke arah para tamu yang masih menonton dengan ekspresi tercengang. “Acara ini selesai. Silakan semua pulang.”
Suasana semakin kacau. Para tamu mulai bergerak, beberapa masih bergumam dengan rasa penasaran dan ketidakpercayaan.
Namun sebelum ayah Shan benar-benar membubarkan acara, suara lantang terdengar di antara keramaian.
“Aku akan menikahi Shan.”
Seketika semua kembali diam.
Shan mendongak dengan mata berkabut, berusaha memastikan ia tidak salah dengar. Ia menoleh dan menemukan seseorang berdiri tegak di tengah ruangan.
Ferdinand Naufal Ashby.
Anand.
Ruangan kembali berbisik. Tatapan semua orang tertuju pada pria yang baru saja melemparkan pernyataan yang tak terduga.
Ayah Shan memutar tubuhnya, menatap Anand dengan kening berkerut. “Apa yang kau katakan, Anand?”
“Aku akan menikahi Shan,” ulang Anand dengan lebih tegas. “Jika Raka tidak bisa bertanggung jawab atasnya, maka aku yang akan melakukannya.”
Semua orang terkejut. Ibu Anand langsung berdiri, raut wajahnya penuh kemarahan. “Anand!! Apa yang kau bicarakan? kau ngelantur ya anand, ayo pulang!!!”
Anand menoleh ke arah ibunya dengan mata penuh keyakinan. “Tidak ada yang salah, ini keputusan ku sendiri ma”
Ayah Shan terdiam, memandang pemuda itu dengan ekspresi sulit ditebak.
Sementara Shan, yang sejak tadi dilanda kehancuran, kini merasakan dadanya semakin sesak.
"Kenapa…?" suaranya lirih, nyaris tak terdengar.
Anand menatapnya dalam. Tidak ada kebohongan di matanya, hanya ketegasan yang membuat Shan semakin sulit bernapas.
"Gue cuman gak mau lihat Lo hancur" jawabnya.
Hari yang sudah berantakan ini kini berubah semakin kacau.
Dan tanpa disadari, babak baru dalam hidup Shan baru saja dimulai.
Cast :
Ferdinand Naufal Ashby
Ashana Octavia Zoeya
Mikhayla Angelina (Mantan pacar Anand, alias ibu tiri anand)
Ferdinand Naufal Ashby menatap wanita di hadapannya dengan senyum lembut. Mikha duduk di seberang meja, mengenakan blouse putih sederhana yang dipadukan dengan rok pastel. Ia tampak cantik seperti biasa, dengan rambut yang dikuncir kuda dan senyum yang selalu berhasil membuat hati Anand terasa hangat.
"Jadi, tadi pagi ada anak di kelas yang tiba-tiba bilang kalau dia mau menikah denganku," cerita Mikha sambil terkikik. "Anak TK itu memang polos sekali."
Anand tersenyum, menyesap kopinya. "Jadi Aku harus bersaing dengan anak TK sekarang?" candanya.
Mikha tertawa kecil. "Mungkin. Dia bilang aku guru paling cantik yang pernah dia lihat."
Anand meletakkan cangkirnya, menatap Mikha dengan tatapan penuh sayang. "Sayangnya, aku sudah lebih dulu jatuh cinta sama kamu"
Lima tahun. Sudah selama itu mereka bersama. Mikha mengenal Anand lebih dari siapa pun. Ia tahu jadwal pria itu yang padat sebagai dokter spesialis jantung, tahu bagaimana Anand selalu memprioritaskan pasiennya, dan tahu bagaimana pria itu begitu penyayang kepada orang-orang yang ia cintai.
Ia juga sudah mengenal keluarga Anand dengan sangat baik, termasuk sepupu yang sering disebut-sebutnya— Zoya.
Mikha masih ingat bagaimana Anand sering menceritakan masa kecilnya dengan Zoya. Mereka selalu bertengkar setiap kali bertemu. Tidak pernah akur. Selalu ada ejekan yang dilontarkan, selalu ada kejahilan yang dilakukan Anand untuk mengusik sepupunya itu.
"Aku ingat dulu kamu pernah bilang Zoya itu musuh bebuyutan kamu waktu kecil," kata Mikha, mengangkat alis.
Anand tertawa kecil. "Memang benar. Kami tidak pernah berhenti bertengkar saat kecil. Aku selalu usil menjahilinya."
"Kukira kamu yang lebih banyak cari gara-gara," goda Mikha.
Anand mengangkat bahu. "Mungkin. Tapi yang jelas, dia juga tidak pernah mau kalah."
"Aku dengar dia akan segera menikah"
"Ah iya, Mungkin tahun depan. Ya kan kamu tahu sendiri Shan itu masih seperti anak-anak, dia itu belum dewasa"
"Tapi mungkin setelah menikah dia bisa jadi pribadi yang lebih baik lagi"
"Pribadi baik apanya? mungkin setelah menikah Raka akan selalu datang kerumah sakit ku untuk periksa jantung"
Mikha terkekeh. Ia selalu menikmati mendengar cerita masa lalu Anand. Itu membuatnya semakin mengenal pria yang duduk di hadapannya ini.
"Besok aku ada operasi pagi, jadi mungkin tidak bisa menjemputmu," ujar Anand sedikit menyesal.
Mikha mengangguk mengerti. "Tidak apa-apa. Aku tahu jadwalmu padat."
Anand meraih tangan Mikha di atas meja, menggenggamnya dengan hangat. "Tapi aku janji, akhir pekan ini kita makan malam bersama. Aku ingin membahas sesuatu yang penting."
Mikha menatapnya penasaran. "Penting? Tentang apa?"
Anand tersenyum, matanya berbinar lembut. "Rahasia. Kamu akan tahu nanti."
Di dalam hatinya, Anand sudah mempersiapkan sesuatu yang sangat berarti. Ia ingin membawa hubungan ini ke tahap yang lebih serius.
Ia ingin menikahi Mikha, sudah lima tahun mereka berpacaran dan Anand tidak mau bermain-main dalam hubungan ini. Anand benar-benar serius, ia sangat mencintai Mikha.
***
Malam itu, setelah seharian bekerja, Anand akhirnya bisa meluangkan waktu untuk Mikha. Mereka berjalan santai di taman kota yang diterangi lampu-lampu kecil, ditemani semilir angin yang menyejukkan. Mikha menggandeng lengan Anand, kepalanya sedikit bersandar pada bahu pria itu.
"Rasanya udah lama ya kita nggak jalan-jalan begini," kata Mikha, tersenyum kecil.
Anand menoleh, memperhatikan wajah gadis di sampingnya. "Iya, aku juga merasa begitu. Aku terlalu sibuk ya, sampai calon istriku harus menunggu lama untuk kencan?"
Mikha mencubit pelan lengan Anand. "Bukan menunggu lama, tapi menunggu selamanya."
Anand terkekeh, lalu tiba-tiba menarik tangan Mikha dan membawanya ke dekat air mancur yang berkilauan di bawah cahaya lampu taman. "Tunggu sebentar," katanya sambil merogoh sesuatu dari saku jasnya.
Mikha menatapnya curiga. "Apa lagi?"
Anand tersenyum jahil. "Tutup mata kamu dulu."
"Aku nggak mau."
"Sebentar aja, percaya sama aku," bujuk Anand.
"Kamu mau ngapain sih Anand?" Tanya Mikha penasaran.
"Tutup mata dulu"
"Kamu mau cium aku ya?" Tanya Mikha dengan polos, Anand terkekeh.
"Memangnya kenapa kalau aku cium kamu?"
"Ih genit..."
Anand mencubit gemas pipi kekasihnya.
"Nggak... Aku cuman mau kasih surprise aja, aku nggak bakal macam-macam"
Dengan sedikit ragu, Mikha menurut. Beberapa detik kemudian, ia merasakan sesuatu melingkar di pergelangan tangannya. Saat ia membuka mata, ia melihat sebuah gelang perak sederhana yang indah di sana.
Mikha menatap Anand dengan mata berbinar. "Anand, ini..."
"Aku tahu kamu nggak suka perhiasan yang berlebihan," potong Anand lembut. "Tapi aku ingin kamu selalu memakai ini. Anggap aja ini sebagai pengingat kalau aku selalu ada untuk kamu, meski aku nggak selalu bisa nemenin kamu setiap saat."
Mikha menggigit bibirnya, berusaha menahan haru. "Kenapa kamu selalu bisa membuatku merasa dihargai seperti ini?"
Anand tersenyum. "Karena aku ingin kamu tahu, aku sayang sama kamu Mikha, aku cinta sama kamu, aku serius sama kamu"
Mikha tak tahan lagi. Ia melangkah maju dan memeluk Anand erat.
"Aku sayang banget sama kamu Mikha, aku nggak mau kehilangan kamu" ucap Anand.
Mikha melompat kecil dan mencium pipi Anand dengan lembut.
"Itu hadiah dari aku" ucap gadis itu.
"Ah kamu mah, tiba-tiba... Mana sebentar banget lagi"
"Ya habisnya kamu tinggi, aku kan nggak sampai Anand"
Mikha terlihat sangat menggemaskan, Anand mencubit pipi chubby nya.
Anand pun sedikit membungkuk kearah Mikha.
"Ke.. ke.. kenapa kamu?"
"Tapi tadi katanya aku ketinggian"
"Yaa terus?"
"Ya sekarang udah sampai kan"
"Apasih kamu..." Pipi gadis itu merona, Anand mencubit pipinya lagi.
"Aku pegel nih sayang bungkuk terus, cepetan lah kalau mau dicium"
"Nggak maaauuuuu" Mikha berlari menjauh dari Anand.
"Eeeehh kok malah lari??"
Mikha tertawa penuh kemenangan.
"Awas yaa kamu, kalau dapat aku nggak mau lepasin kamu"
Mikha tertawa geli, namun ekspresi wajah Anand membuat hatinya berdebar-debar.
Di tengah malam yang tenang, di bawah sinar lampu taman yang temaram, mereka berdua menikmati momen kebersamaan yang begitu sederhana, namun begitu berarti.
***
Suasana restoran sudah mulai sepi. Raka dan Shan masih duduk di meja bersama klien mereka, yang terus-menerus menuangkan minuman ke dalam gelas Shan.
Mata Zoya sudah terlihat sayu, kepalanya sedikit terangguk, tapi klien itu tetap bersikeras.
Raka menahan tangan klien itu. "Maaf sebelumnya Pak, tapi saya rasa dia sudah cukup."
Klien itu tertawa santai. "Ah, Raka. Ini kan hanya pertemuan bisnis, jarang-jarang loh saya ajak minum begini. Santai aja lah. Lagi pula, shan nggak keberatan, kan?"
Shan mengangkat wajahnya, tersenyum lemah. "Yaaa... Aku... aku baik-baik aja."
Tapi jelas, dia tidak baik-baik saja. Matanya mulai kehilangan fokus, dan saat dia hendak mengambil gelasnya, tangannya sedikit gemetar.
Raka menahan napas, lalu meraih gelas itu dari tangan Shan. "Kita sudah cukup lama di sini. Aku rasa kita harus pulang."
"Pulang? Baru jam segini?"
"Saya minta maaf pak, Shan sudah terlalu mabuk, kami harus pulang"
Jihan, yang sejak tadi duduk diam di meja lain, berdiri dan mendekati mereka. "Shan, kamu masih bisa berdiri?"
Shan tertawa kecil, lalu mencoba berdiri, tapi langsung oleng. "Raka..." panggilnya dengan suara menggantung.
Raka segera meraih lengannya. "Oke, kita pulang sekarang."
Jihan membantu menahan tubuh Shan dari sisi lain. Bersama-sama, mereka membopong Shan keluar dari restoran. Namun, saat itu, tangan Jihan dan Raka tak sengaja bersentuhan.
Jihan langsung menoleh, begitu juga Raffa.
Tatapan mereka bertemu sejenak, canggung, dan terasa aneh. Jihan menelan ludah, buru-buru mengalihkan pandangannya.
Tapi momen itu buyar ketika Shan tiba-tiba bersuara lemah. "Uhh... aku muall..."
Dan dalam hitungan detik Shan muntah.
Jihan dan Raka refleks menjauh sedikit, tapi tetap menahan tubuh Shan.
Jihan menghela napas panjang. "Kayaknya bakal lebih gampang kalau kamu gendong aja, Raka."
Raffa mengangguk, lalu berjongkok sedikit di depan Shan. "Oke, Shan, naik ke punggungku, ya?"
Shan menggumamkan sesuatu yang tidak jelas, lalu dengan susah payah naik ke punggung Raka.
Saat mereka mulai berjalan menuju mobil, Jihan menatap punggung Raka yang membawa Shan. Ada sesuatu di dadanya yang terasa aneh.
***
Malam itu, suasana makan malam keluarga Ashby dipenuhi dengan kehangatan. Suara piring dan sendok beradu, diiringi tawa kecil dari beberapa anggota keluarga yang menikmati hidangan. Anand duduk di kursinya, sesekali menyesap air mineralnya, menunggu waktu yang tepat untuk berbicara.
Ketika obrolan mulai mereda, ia meletakkan sendoknya dan membersihkan tenggorokannya. Semua mata langsung tertuju padanya.
"Aku ingin mengatakan sesuatu," ujar Anand, suaranya tenang namun penuh ketegasan.
Ayahnya, Virzha Ashby, menatapnya dengan penuh perhatian. "Apa itu, Nak?"
Anand melirik Ranika, ibunya, sebelum kembali menatap semua orang. "Akhir pekan ini, aku akan membawa Mikha ke sini."
Sekejap, ekspresi semua orang berubah. Mata Ranika berbinar penuh kebahagiaan, sementara yang lain pun tampak senang dengan kabar itu.
"Aku akan segera melamar Mikha dan menikahinya," lanjut Anand dengan mantap.
Ranika hampir menjatuhkan sendoknya karena terlalu bersemangat. "Kamu serius nak?"
Anand mengangguk dengan yakin, "Iya ma... Aku sudah memikirkan ini dengan matang"
"Anand, Ayah sangat senang mendengar nya. lagipula memang sudah waktunya kamu itu menikah" serunya dengan senyum lebar.
"Mikha gadis yang sangat baik. mama sudah menganggapnya seperti putri sendiri." puji Ranika.
"Iya Anand, yang mama mu bilang itu benar" sahut Virzha sambil mengangguk puas. "Dia akan menjadi istri yang baik untukmu."
Anand tersenyum mendengar dukungan keluarganya. Ia memang sudah yakin dengan Mikha, dan mengetahui bahwa keluarganya menyetujui pilihan itu membuat hatinya semakin mantap.
Namun, sebelum pembicaraan berakhir, Anand kembali membuka suara. "Aku juga ingin mengundang Shan dan keluarganya untuk hadir di makan malam itu."
Sejenak, suasana berubah hening. Ekspresi bahagia Ranika seketika memudar. Ia meletakkan sendoknya dengan gerakan pelan, lalu menatap Anand dengan pandangan tajam.
"Apa maksudmu?" tanya Ranika, suaranya lebih dingin.
"Aku ingin Shan dan keluarganya datang, lagipula kita kan keluarga" ujar Anand dengan nada yang tetap tenang.
Virzha dan beberapa anggota keluarga tampak saling berpandangan. Mereka tampaknya tidak keberatan, tetapi mereka juga tahu bahwa Ranika pasti akan menolak.
"Ini acara keluarga inti, Anand," ujar Ranika tegas. "Shan dan keluarganya bukan bagian dari keluarga inti."
Anand menghela napas. "Mereka tetap keluarga, ma. Aku hanya ingin berbagi kebahagiaan dengan mereka."
"Nggak Anand! " potong Ranika dengan cepat. "Mama nggak setuju."
Anand menatap ibunya dengan tajam, tetapi ia tahu bahwa Ranika keras kepala dalam hal ini. Sejak dulu, ia memang tidak pernah menyukai keluarga Shan. Persaingan bisnis antara ayah Anand dan ayah Shan telah menciptakan jurang pemisah di antara mereka, dan Ranika tidak pernah berusaha menjembataninya.
Anand mengepalkan tangannya di bawah meja, mencoba menahan perasaannya. Ia tidak ingin memperdebatkan hal ini malam ini, tetapi ia juga tidak akan menyerah begitu saja.
"Aku tetap akan mengundang mereka," ujar Anand akhirnya, suaranya tenang namun penuh ketegasan.
Malam itu, makan malam keluarga Ashby yang awalnya hangat berubah menjadi tegang setelah Anand menyampaikan keinginannya mengundang Shan dan keluarganya. Ranika dengan tegas menolak, ekspresinya dingin, penuh ketidaksetujuan.
"Anand, mama nggak setuju," ujar Ranika. "Ini acara keluarga inti. Nggak perlulah ada mereka di sini. Shan akan mengacaukan semuanya"
Virzha, yang sejak tadi diam dan mendengarkan, akhirnya membuka suara. Suaranya dalam dan tegas, membuat suasana meja makan sedikit berubah.
"Memangnya kenapa kalau adikku datang ke sini?" tanya Virzha, tatapannya tajam pada Ranika.
Ranika menoleh ke arah suaminya dengan ekspresi tidak suka. "Aku nggak ingin membahas ini, Virzha."
Namun, bukannya melanjutkan perdebatan, Virzha malah mengambil ponselnya. Dengan santai, ia mencari kontak seseorang dan menekan tombol panggil. Semua orang di meja makan menatapnya dengan penasaran, sementara Ranika menghela napas panjang, sudah bisa menebak apa yang akan dilakukan suaminya.
"Assalamu’alaikum, Mitha," sapa Virzha dengan suara hangat saat panggilannya tersambung.
Di seberang sana, suara seorang wanita menyahut dengan lembut, "Wa’alaikumussalam, Kak Virzha. Ada apa?"
"Aku ingin mengundangmu dan keluarga untuk makan malam di akhir pekan ini," ujar Virzha. "Anand akan melamar Mikha, jadi kami ingin membahas pernikahan mereka."
Sejenak, ada keheningan sebelum suara Mitha terdengar lagi. "MasyaAllah, selamat untuk Anand! Iya kak, kami akan datang."
Namun, sebelum pembicaraan berlanjut, terdengar suara lain dari belakang Mitha.
"Kenapa Anand bisa dapat istri duluan, sih?" Suara Shan terdengar mengejek di telepon. "Kasihan, pasti Mikha nggak tahu betapa menyebalkan Lo di setiap saat. Nanti Mikha malah jadi pasien Lo sendiri nand..."
Anand langsung mendengus, "Yang ada mah malah raka yang jadi pasien gue kalau dia jadi nikah sama lo"
"Dihh nggak yaaaa... gue pasti bakal jadi istri idaman"
"Mau muntah gue"
"Mikha buta banget, kok mau yaaa sama cowok jelek kayak lo, nyebelin lagi"
"Hehhh sembarangan lo kalau ngomong"
Tawa kecil terdengar dari telepon, disusul suara Mitha yang mencoba meredam kehebohan.
Virzha ikut terkekeh. "Kalian emang nggak pernah berubah sejak kecil."
Namun, tidak semua orang di meja makan terlihat terhibur. Ranika hanya duduk diam, tidak berkomentar, ekspresinya semakin dingin.
"Baiklah, sampai jumpa akhir pekan nanti," kata Virzha sebelum mengakhiri panggilan.
Saat ia meletakkan ponselnya, Anand melirik ibunya. Ia tahu Ranika tidak suka dengan ini, tetapi keputusan sudah diambil.
"Sepertinya acara makan malam ini akan semakin menarik," gumam Anand.
***
Setelah makan malam selesai, Ranika duduk di ruang tamu sambil menyeruput teh hangat. Pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian tadi. Ia benar-benar tidak habis pikir mengapa suaminya begitu peduli pada Mitha dan keluarganya.
Tak lama kemudian, Mona, ibunya, duduk di sebelahnya dengan wajah yang sama kesalnya.
"Aku benar-benar nggak ngerti dengan suamimu, Ranika," ucap Mona, mendengus. "Dia selalu memperlakukan Mitha dengan sangat baik dan hati-hati, dia selalu melibatkan Mitha dalam segala hal dirumah ini, padahal jelas-jelas dia hanya adik tiri!"
Ranika mengangguk, ekspresinya dingin. "Itulah yang membuatku kesal, Ma. Virzha selalu membela mereka, seolah-olah mereka itu lebih penting dari aku dan anak-anaknya sendiri."
Mona mendecakkan lidah. "Dan sekarang kau lihat sendiri? Shan itu benar-benar tidak tahu sopan santun! Apa-apaan dia tadi di telepon? Mengejek Anand di depan banyak orang? Itu anak memang nggak punya adab!"
Ranika mendengus sinis. "Memang, Ma. Dari dulu aku sudah bilang, anak itu tidak tahu diri. Ibunya aja hidup dari belas kasihan keluarga ini, tapi lihat kelakuan mereka. Seperti merasa sejajar dengan kita!"
Mona melipat tangan di dadanya, matanya menyala penuh amarah. "Kalau dekat, sudah kutampar mulutnya tadi! Berani banget dia bicara seperti itu. nggak hormat, kurang pendidikan dari orang tuanya. nggak tahu sopan santun! Dasar anak kurang ajar!"
Ranika menatap ibunya dengan mata penuh kebencian. "Itulah kenapa aku tidak mau mereka datang ke makan malam nanti. Mereka itu cuma akan mengotori suasana. Tapi Virzha... dia malah mengundang mereka dengan tangannya sendiri!"
Mona menggeleng penuh kecewa. "Virzha itu terlalu baik, terlalu lemah! Dia nggak sadar kalau keluarga itu hanya membawa masalah! Kalau aku jadi kau, aku nggak akan membiarkan mereka merasa diterima di rumah ini!"
Ranika mengepalkan tangannya di atas pahanya. "Aku akan pastikan mereka tahu tempat mereka, ma. Aku tidak akan membiarkan mereka merasa seperti bagian dari keluarga ini."
Mona tersenyum puas. "Bagus. Aku yakin kau bisa mengatasinya."
***
Di sisi lain, di rumah keluarga Shan, suasana makan malam terasa lebih tenang, meski percakapan di meja makan sedikit lebih serius. Hasan menatap istrinya dengan penuh pertimbangan sebelum akhirnya membuka suara.
"Sayang? kamu yakin akan datang ke sana?" tanyanya hati-hati. "Bukannya nanti malah bertengkar dengan kakak iparmu?"
Mitha menghela napas pelan, sudah bisa menebak arah pembicaraan ini. "Virzha sendiri yang mengundang kita, mas. Dia yang meminta kita datang."
Hasan mengangguk pelan, tetapi raut wajahnya masih menyimpan kekhawatiran. "Mas tahu. Tapi kamu kan juga tahu bagaimana sikap Ranika padamu dan keluarga kita. mas nggak mau kamu dan anak-anak merasa tidak nyaman."
Mitha tersenyum kecil. "Aku nggak yakin Ranika akan berbuat sesuatu di hadapan kak Virzha dan keluarganya. Lagipula, ini acara besar untuk Anand. Aku ingin menunjukkan dukunganku."
Hasan masih tampak ragu, lalu melirik Shan yang sibuk memainkan sendoknya. "Setidaknya, mungkin lebih baik Shan nggak ikut."
Mendengar itu, Shan yang sejak tadi diam langsung mendongak dengan ekspresi tak percaya. "Apa?"
Hasan menghela napas. "Kamu tahu sendiri kan gimana tantemu? dan neneknya Anand memandang kita. Ayah cuma ingin menghindari hal-hal yang nggak perlu."
Shan mendengus sinis. "Nggak perlu? Ayah Anand sendiri yang mengundang kita, dan Ayah bilang aku tidak perlu datang?"
"Shan..." Mitha mencoba menenangkan putrinya.
"Nggak maaa...," potong Shan tegas. "Aku tuh diundang, dan aku akan datang. nggak ada yang bisa melarangku."
Hasan menatapnya, ingin mengatakan sesuatu, tetapi Shan sudah lebih dulu melipat tangan di dada. "Aku akan datang, dan aku akan membawa Raka."
Hasan dan Mitha saling bertatapan. Mereka tahu Shan bukan tipe yang bisa dibujuk begitu saja, terutama jika ia sudah mengambil keputusan.
Mitha akhirnya mengangguk pasrah. "Yaudah, kalau itu maumu."
Shan tersenyum penuh keyakinan.
Namun, di balik senyum itu, ada sesuatu yang tidak disadari Shan—ia baru saja melangkah menuju sebuah permainan yang lebih besar dari yang ia bayangkan.
***
Ferdinand Naufal Ashby
Ashana Octavia Zoeya
Mikhayla Angelina
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!