NovelToon NovelToon

Poppen

Prolog

...Batavia, 1941...

Di sebuah ruang kerja kantor kolonial, seorang wanita duduk tegak di balik mesin tik. Jemarinya bergerak tangkas, menghasilkan deretan denting yang rapat dan berirama tubuhnya ramping, rambut hitam panjangnya diikat rendah, berkilau di bawah cahaya mentari yang menerobos dari jendela besar. Sesekali ia menunduk memeriksa tumpukan berkas di sebelahnya.

Tidak jauh dari sana, seorang pemuda Belanda berdiri bersandar di lemari arsip, kedua tangannya terlipat. Mata birunya mengamatinya tanpa jeda.

“Njonja… eh, Nona, bolehkah saya… menanyakan sesuatu?” suaranya memecah sunyi.

Kemuning tidak mengangkat kepala, hanya menjawab datar, “Kalau pertanyaan itu akan membuat pekerjaan saya tersendat, Tuan, sebaiknya ditunda saja.”

Pemuda pirang itu tersenyum kecil, seolah mendapat tantangan. “Mengapa Nona tidak menoleh barang sebentar? Saya merasa seperti bercakap dengan dinding.”

Kali ini Kemuning menghentikan ketikannya. Ia mengangkat wajah, menatapnya langsung. “Tuan, sudikah berhenti menatap saya sedemikian rupa? Sukar bagi saya menulis rapi apabila diawasi laksana pesakitan di pengadilan.”

Pemuda itu terperangah sejenak, lalu terkekeh. “Ah… apakah Nona selalu setegas ini kepada setiap orang baru?”

“Saya berlaku sewajarnya saja,” jawab wanita itu singkat. ”Lagipula, kita belum saling mengenal. Apa kiranya sebab Tuan berlama-lama di sini, bukankah Tuan punya urusan lain?”

Pemuda itu mengangkat bahu. “Saya terkejut menemukan seorang inlander, terlebih seorang perempuan, duduk di posisi ini. Biasanya… mereka di rumah, berkutat dengan dapur, sumur, dan—”

Kemuning memotong cepat, “—kasur? Saya masih mengurus rumah. Dan itu bukan pekerjaan remeh, Tuan. Perempuan rumah tangga tak kalah terhormatnya dari saya. Yang jarang bukanlah perempuan pribumi yang cakap, melainkan kesempatan yang diberikan,” bibirnya melengkung tipis. “Tuan sebaiknya mencuba mengurus rumah barang sehari. Nanti Tuan akan tahu kecakapan yang dibutuhkan untuk itu tidaklah remeh.”

Pemuda itu menggaruk tengkuknya, malu.

“Maaf, bukan maksud saya mengkerdilkan kaum perempuan, melainkan ingin memujimu. Saya akui, saya terlampau gegabah menilai kemampuan perempuan dengan sebelah mata. Saya malahan senang, pekerja perempuan dengan kepandaian seperti anda berada disini. Papa saya tidak keliru memilih pekerja.”

“Rupanya Papa anda petinggi di sini? Tak heran anda bisa leluasa di sini, Tuan Adrian Van Ankeren?” perempuan berkulit kuning langsat itu menyeringai sinis. Sepasang mata biru di hadapannya terbelalak, menandakan tebakan itu tepat.

“Kembalilah ke istana anda yang nyaman, atau bekerjalah dengan sungguh-sungguh. Ini bukan tempat bermain,” saran wanita itu dengan nada tajam.

Pemuda pirang itu menunduk. “Saya sungguh-sungguh memohon maaf.”

“Maaf hanyalah awal, yang lebih penting adalah perbaikan selepasnya,” perempuan itu menjelaskan. “Apakah anda sungguh paham kesalahan anda, ataukah permintaan maaf ini sekadar menyudahi masalah?”

Pemuda pirang itu menunduk, “Saya paham letak kesalahan saya, sayangnya semakin banyak saya berbicara, tampaknya semakin mengganggu anda. Sungguh saya sekadar ingin menyuarakan kekaguman saya terhadap Puan. Sekali lagi mohon maaf, saya undur diri,” ia berbalik dan menjauh dengan gontai.

“Lakukan selain di waktu bekerja,” pesan wanita pribumi itu mengembuskan angin segar. Adrian sontak memutar kepalanya demi menatapnya haru. Matanya berkilauan layaknya anjing terlantar yang baru saja menemukan pemilik baru.

“Apakah anda tidak keberatan berbincang lagi dengan saya setelah ini?” pria berkulit putih itu memastikan pendengarannya dan kesimpulan yang ia tangkap.

“Jika saya punya waktu luang dan anda tidak bermaksud buruk, ya,” jawab wanita pribumi itu sambil membolak balik kertas di mejanya, seolah tak peduli.

“Baiklah, siapa nama Puan?” rasa tidak sabar menyelimuti Adrian. Ia ingin semakin mengenal sosok wanita di hadapannya kini.

“Kemuning,” wanita berbusana kerja rapi itu menjawab singkat sambil tersenyum kecil.

...-oOo-...

Sore itu, selepas jam kantor, Adrian menunggu di dekat pintu keluar. Ketika Kemuning muncul, ia menyapanya dengan senyum penuh harap.

“Boleh saya meminta waktu Nona sebentar?”

“Hanya satu jam,” Kemuning berkompromi.

Pemuda berkulit putih itu mengajaknya menuju halaman kantor. Di bayangan pohon trembesi tua itu Adrian membentangkan Bataviaasch Nieuwsblad yang dikumpulkannya sebagai alas duduk. “Silakan duduk, Nona.”

Wanita berkemeja putih itu tertawa kecil melihat sisi kekanakan di diri pria Nederlander di hadapannya. “Seperti hendak piknik saja.”

“Memang. Piknik kecil. Apakah Nona sering piknik?”

“Tak pernah,” jawab Kemuning sambil menatap rerumputan.

Adrian membuka tas kulitnya, mengeluarkan bungkusan kertas berisi roti. “Kalau begitu, biarkan ini menjadi piknik pertama Nona. Alsjeblieft (silakan).”

Kemuning menatap roti itu, “Benarkah saya boleh ambil?”

“Boleh. Saya bahkan jemu menyantapnya,” pemuda Belanda itu mengangguk.

“Tak patut mencela makanan seperti itu. Andaikata Tuhan tidak lagi berkenan memberimu makanan, bagaimana?” wanita bijaksana itu menasihati.

“Tuhan, ampuni saya, terima kasih. Mohon maaf roti, saya tarik kembali ucapan saya.” Adrian segera menyesali tindakannya, bahkan sampai mengajak bicara roti di depannya.

Kemuning terkekeh melihat aksi pemuda tampan di depannya, “Tuan sungguh jenaka!”

“Saya tahu,” sahut Adrian singkat, binar mata birunya penuh optimisme.

Kemuning meraih roti di depannya, “Dank je wel (terima kasih),” ia menyantapnya sambil memerhatikan pria percaya diri itu.

Tidak bisa ia pungkiri ketampanannya, dengan sikapnya yang menawan pasti melenakan bagi wanita yang ia beri perhatian. Ia tidak mengerti alasan pemuda ini mendekatkan diri padanya, sedangkan ia bisa menebak, pasti banyak wanita bersedia mengantre demi memperebutkan pemuda memesona dari keluarga makmur ini.

“Mengapa mengajak saya?”

“Nona menarik. Nona mampu menatap mata saya ketika bercakap. Kebanyakan perempuan bumiputra menunduk pada Nederlander seperti saya, seakan rendah budi.” Adrian menjelaskan alasannya.

Kemuning menghela napas, “Begini Tuan, perempuan bumiputra itu acap kali menunduk bukanlah lantaran rendah budi, melainkan karena tekanan dan timpangnya kedudukan. Ancaman dari bangsa Anda, nyata ataupun tersirat, membuat banyak di antara mereka segan mengangkat muka. Semestinya Tuan beriba hati dan bertanya-tanya, apakah gerangan yang membikin mereka bergidik seperti melihat hantu tatkala bertemu seorang Nederlander.”

Uraiannya tak pelak membuka pandangan Adrian, seakan tersadar dari pemikiran sempitnya. “Alangkah buruknya, rupanya, perlakuan bangsaku terhadap bangsamu,” katanya dengan nada berat.

“Izinkan saya, mewakili kaum saya, menyampaikan maaf. Sejujurnya, Nona, saya malu mendengarnya.”

“Saya benci akan perbedaan yang dijadikan alasan untuk merendahkan,” lanjutnya perlahan. “Di keluargaku, usaha ini didirikan dengan tekad memberi kesempatan yang setara, tanpa memandang warna kulit atau asal-usul. Vader dan Moeder sama sekali tidak menyukai pembedaan bangsa.”

“Saya percaya akan niat baik itu, Tuan.” Kemuning tersenyum tipis, “Di sini kami diperlakukan dengan patut, dan itu lebih dari sekadar upah. Kami merasa dihargai. Tolong sampaikan terima kasih kami kepada ayahanda Tuan. Beliau pemimpin yang bijaksana.”

Adrian mengangguk, meski dalam hati menyesal, Mengapa pula pembicaraan ini jadi menyerempet keluargaku? Bukankah ini terkesan aku menyombongkan diri sebagai anak majikan? pikirnya.

Ia menengadah menatap langit, berusaha mencari topik lain. “Mengapa langit siang itu biru?” cetusnya spontan, “Apakah lantaran memantulkan warna laut?”

Kemuning terkekeh halus, “Ah, itu keliru yang kerap terjadi. Semua warna dihamburkan oleh molekul udara, Tuan. Hanya saja, sinar matahari lebih banyak memancarkan cahaya biru, dan mata kita pun lebih peka terhadapnya. Itulah sebabnya langit tampak biru pada siang hari.”

Adrian menatapnya takjub, “Nona selalu berhasil mengejutkan saya. Dari mana kiranya pengetahuan itu diperoleh?”

“Saya gemar membaca,” jawab Kemuning sambil mengingat-ingat. “Sepertinya saya membacanya dalam ensiklopedi pengetahuan alam.”

“Bisa kuterka Nona termasuk murid pandai di sekolah. Boleh tahu, pernahkah Nona bersekolah?” Adrian penasaran.

“Ya, saya sudah lulus dari AMS—Algemene Middelbare School,” sahut Kemuning. “Bukan lantaran saya bangsawan, melainkan kebetulan Ibu mengajar di sana, sehingga saya bisa bersekolah.”

Mata biru pemuda itu menunjukkan binar kekaguman, “Ibu Nona pasti seorang yang terpelajar dan berbudi, hingga membentuk putri yang gemar akan ilmu. Beliau pasti berbangga hati.”

“Terima kasih, Tuan. Saya anggap itu sebagai sanjungan,” jawab Kemuning sambil menunduk malu.

“Aha, rupanya Nona senang disanjung juga?” goda Adrian.

“Saya pantas tersanjung apabila yang dihargai adalah kemampuan, bukan sekadar paras.” jawab wanita itu. “Sering kali kaum lelaki hanya memandang perempuan sebagai pemanis mata.”

Adrian terkikik. “Tenang saja, paras Nona tidak semenarik itu.”

Kemuning menepuk punggungnya pelan dengan kesal. “Terima kasih atas kejujuran yang tidak diminta.”

Namun Adrian segera menambahkan dengan nada lembut, “Tetapi Nona tetap menarik. Cantik tidaklah selalu menjadi syarat untuk menarik hati, bukan?”

“Ah, Tuan ini mengolok-olok lagi,” sahut Kemuning pura-pura merajuk. “Kalau begitu, saya pergi saja,” ia bangkit, hendak melangkah.

Adrian segera menahan tangannya. Tatapannya kini serius. “Saya berbohong. Nona cantik.”

Dalam hatinya tersirat pikiran, Itu pula yang membuatku terpikat selain kepintaranmu.

Bujukan itu berhasil membuat Kemuning duduk kembali, “Aku pun bergurau. Tidak mengapa disebut buruk rupa, asalkan tidak buruk hati,” ia tersenyum geli.

Sejenak mereka saling pandang, hingga Adrian memberanikan diri berkata, “Boleh saya berkawan dengan Nona seterusnya?”

“Bukankah kita telah berkawan, Tuan?” Kemuning menjawab dengan senyum manisnya. “Mestinya justru saya yang bertanya, sudikah Tuan Muda Eropa ini berkawan dengan kasta bumiputra seperti saya?”

“Hei jangan menyindirku,” respon Adrian sambil tertawa. “Nona tahu benar, saya bukan seperti Nederlander kebanyakan, yang sombongnya menyaingi tingginya matahari.”

Mereka menikmati sore itu dengan perbincangan penuh gurauan dan sesekali gelak tawa, seperti sudah berkawan sejak lama. Itulah kali pertama perjumpaan Adrian dengan Kemuning. Semenjak itu Adrian, Nederlander sang anak pemilik perusahaan, terus mengekori Kemuning, Inlander yang penuh potensi, di luar waktu bekerjanya. Mereka menjadi sering menikmati waktu makan bersama sambil berbincang di tengah waktu istirahat siang, atau sepulang mereka bekerja. Kedua insan yang unik itu saling melengkapi, layaknya kawan yang telah ditakdirkan untuk bertemu dan berbagi sudut pandang yang berbeda.

My Best Buddy

Jakarta, 2014

Aku memasuki kamar dan langsung menutup pintu rapat-rapat, setelah melewati ruang tengah yang penuh tensi di rumahku sendiri. Masih terdengar suara Ayah dan Ibu berselisih disana.

“Hah, lagi-lagi.” Aku bergumam sambil mendudukkan diriku di bangku meja belajar.

Aku tidak percaya glorifikasi cinta. Dulu kupikir cinta menyatukan manusia—ternyata bisa juga jadi alasan untuk menghancurkan.

Ayahku, Hugo Darmahadi, pernah jadi sosok panutan. Tapi kini, cukup kusebut pria yang kebetulan ayahku secara biologis.

Ibu—Marcella Anita—kukira hanya ibu rumah tangga yang terlalu sensitif, mudah marah. Nyatanya, ia menyimpan luka yang panjang.

Ayahku berkhianat hingga memiliki seorang anak dengan wanita lain, dan tanpa rasa malu Ayah meminta maaf pada Ibu. Ibuku, dengan jiwa besarnya, menerima saja kehadirannya kembali seperti tidak ada masalah besar. Tapi aku sih tidak, aku sudah terlanjur terluka. Aku merasa seperti seluruh hidupku dilandasi oleh kebohongan pria yang harus kusebut Ayah itu.

Padahal dulu, ia sering menemaniku bermain, sabar, penyayang. Tapi semua itu hanya kedok. Di balik wajah teduh dan gelar arsitek suksesnya, ia ternyata laki-laki biasa yang bisa tergoda oleh tubuh dan kesempatan.

Dengan logika apa aku bisa memakluminya?

Kurasa Ibuku bisa hidup lebih baik tanpanya. Ia pintar, tangguh, pandai bicara. Kalau dia mau, dia bisa saja lepas dan mulai dari awal. Tapi Ibu memilih bertahan. Untuk apa?

Apa yang ia takutkan? Uang? Aku bisa bantu bekerja. Kami juga bisa menuntut Ayah uang nafkah dengan nominal besar jika mereka bercerai, mengingat Ayah kini telah menjadi arsitek yang tersohor dengan penghasilan yang besar.

Status? Kami sudah rusak sejak lama. Yang membuatku muak: rumah ini seperti panggung sandiwara yang tak pernah berhenti dipentaskan.

Seonggok boneka porselen menduduki rak di atas meja belajarku. Meski antik tetap tampan dan menggemaskan, dengan kulit putih, rambut pirang, dan mata biru. Ia mengenakan kemeja putih dengan vest cokelat tua, celana khaki yang senada, dan sepatu pantofel hitam. Sangat... klasik.

Ia sahabat berceritaku selama ini. Sebagai anak tunggal, tanpanya aku merasa seperti berjuang sendiri. Aku terlalu malu untuk menceritakan kondisi keluargaku kepada sahabatku di sekolah, rasanya seperti membongkar aib keluarga.

Aku memeluk boneka porselenku sambil berusaha keras menahan air mataku agar tidak menetes. Pertahananku lengah, akhirnya menetes juga air mataku ke wajah bonekaku. Kuusap pelan dengan tisu untuk membersihkan wajahnya dari tetesan air mataku.

“Aduh maaf Adri. Aku aneh ya? Curhat dan nangis ke boneka, kalau ada yang lihat pasti aku dikira gila. Tapi mau gimana, masalah hidupku serumit ini. Dan gilanya Ayah meminta izin Ibu membawa anak itu kesini untuk dibesarkan.

Aku tahu anak itu tidak bersalah, itu hasil kesalahan lama Ayah. Perempuan simpanan Ayah pun sudah wafat. Masalahnya aku tak yakin bisa bersikap baik ke anak itu. Setiap ketemu pasti aku teringat dosa Ayahku. Rasanya jijik membayangkan Ayah punya anak dengan perempuan lain.” Aku tidak siap membayangkan anak itu berkeliaran di rumah ini.

Ada sedikit rasa iri yang menjalar, ‘Ayah bisa sangat peduli pada hidup anak simpanannya itu, tapi kenapa nggak peduli pada hidupku dan Ibuku?’ Batinku merasakan ketidak-adilan.

“Aku kira selama ini aku satu-satunya anak Ayahku, ternyata itu pun kebohongan ya.” Tangisanku semakin pecah, namun kujaga suaraku agar tidak sampai terdengar keluar kamar. Aku sudah terbiasa menangis dalam senyap seperti ini, oleh karena itu kamarku adalah tempat favoritku menghabiskan waktu. Aku bisa melepaskan topengku dan menjadi apa adanya disini, disaksikan Adri. Aku menangkupkan kepalaku di meja belajar, menyembunyikan air mata yang tumpah. Aku meluapkan tangisku selama beberapa saat sebelum pada akhirnya menjadi lebih tenang dan berhenti menangis.

“Padahal semua akan selesai kalau Ibu pisah dari Ayah. Aku bisa kok bantu Ibu dengan bekerja.” Gerutuku sebelum mendadak teringat, “O iya, aku harus print dan fotokopi CV dan lamaran kerja.” 

Aku mengusap wajahku untuk menghilangkan jejak-jejak tangisanku. “Aku harus buru-buru ke tukang fotokopi. Maaf Adri, sampai sini dulu sesi curhatnya. Sekarang aku pamit, mumpung belum mager.” Aku mengembalikan Adri ke tempat semula, terduduk di rak di atas meja belajarku.

Aku mencuci muka sebentar, memakai jaketku, dan membawa tas sekolahku kembali keluar kamar, tidak lupa menutup pintu kamar dengan rapat.

...oOo...

Sekeluarnya Akasia dari kamar tidurnya, sesuatu terjadi.

Boneka porselen di raknya jatuh perlahan ke meja belajar. Tidak retak. Tapi... berubah. Sosoknya melebar, membentuk tubuh pria muda berkulit pucat, rambut pirang keemasan, dan mata biru yang hidup. Pakaiannya masih sama—kemeja putih, vest cokelat, celana khaki.

Adrian menengok kanan dan kiri, memastikan situasi aman. Nafasnya teratur. Ia... hidup.

Ia berjalan ke rak buku, melihat-lihat koleksi novel di sana.

“Nggak ada buku baru ya? Hari ini baca apa ya? Lagi nggak pengin cinta-cintaan sih,” gumamnya bosan.

Belakangan ini ia memang seringkali berubah menjadi manusia, jadi sudah beberapa kali ia membaca buku-buku koleksi gadis pemilik kamar itu.

Cinta, ia juga tidak mengerti soal itu. Ia jadi teringat kisah hidup Akasia yang seringkali diceritakannya. Pemuda itu terhenti memilih buku dan jadi termenung. Ia sendiri juga gagal dalam percintaan, bagaimana bisa dia mengerti mengenai cinta tulus. Pemuda itu duduk di bangku belajar Akasia demi melanjutkan perenungannya.

‘Bahkan aku dikutuk jadi boneka begini akibat masalah cinta, jadi aku nggak punya cukup kredibilitas untuk berkomentar tentang cinta. Siapa aku?’ Batin pemuda itu mengingat nasibnya sendiri sambil tertawa menghibur diri.

Tapi ia juga merasa aneh, belakangan ini ia bisa kembali menjadi manusia beberapa kali dalam sehari, ‘Apa mungkin kutukannya mulai usang dan aku akan pulih kembali menjadi manusia di zaman ini? Atau ada syarat yang secara tidak sengaja terpenuhi untuk menghilangkan kutukan ini?’ Pikirnya curiga.

‘Coba pikirkan, kira-kira apa hal yang mungkin jadi penawar kutukan ini ya?’ Ia memaksa otaknya untuk mengingat.

Biasanya, ia bisa berubah setelah Akasia berbicara dengannya. Akasia berbeda. Ia tidak hanya merawat, tapi memperlakukan boneka itu seperti manusia. Sejak kecil.

Sejak menerima boneka Adri sebagai hadiah di ulang-tahunnya yang ke-enam, Akasia memperlakukan boneka itu selayaknya teman akrab. Ia merawatnya dengan teliti, mengajaknya berbincang dan bermain hingga Adrian merasa kembali dimanusiakan. Semenjak bertemu Akasia semasa kecil, Adrian tidak lagi kesepian. Jiwanya yang bosan memerhatikan dunia dari sudut pandang boneka merasa bangkit, ia merasa dianggap ada kembali. Semenjak itu hatinya jadi menghangat setiap mengingat Akasia.

Ia melihat sendiri perkembangan gadis itu sejak anak-anak hingga remaja seperti sekarang, dan tak pelak tumbuh rasa sayang yang besar terhadap gadis itu. Anak perempuan itu membangkitkan rasa ingin melindungi dan mengayomi yang ada di diri Adrian. Rasanya ingin senantiasa merengkuhnya untuk menghindarkannya dari kemalangan dan rasa sedih. Kepeduliannya berkembang. Ia merasa khawatir sekaligus tidak berdaya setiap kali Akasia menangis di hadapannya, ia bahkan tidak bisa mengusap air matanya meski ingin.

Kehidupan gadis itu memang seringkali dihiasi dengan tangisan. Bahkan seingatnya Akasia lebih banyak menangis daripada tertawa bahagia selama berada di kamarnya ini. Karena itu Adrian benar-benar ingin melindungi Akasia dari tangisan. Ia ingin hidup gadis itu berubah menjadi lebih indah. Selama ini ia hanya bisa mendoakannya sebagai boneka, tapi jika ia mampu menjadi manusia, ia tahu siapa orang yang paling utama untuk ia bahagiakan.

Tiba-tiba terbersit dalam benaknya, ‘Apa mungkin karena selama ini Akasia tulus memperlakukanku seperti temannya, jadi itu bisa menghidupkan lagi jiwa manusiaku, dan perlahan menghilangkan kutukanku? Itu kemungkinan terbesar.’ Pemuda itu tertegun menyadarinya. ‘Berarti apa yang harus kulakukan kalau aku terus-terusan berubah menjadi manusia begini?’ 

Ia mulai memikirkan strategi selanjutnya demi keberlangsungan hidupnya. Karena ini rumah Akasia, cepat atau lambat ia akan memerlukan bantuan Akasia untuk menyembunyikannya, menjaga rahasianya, dan mungkin membuat identitas baru, karena semakin kesini durasi perubahannya menjadi manusia bertahan semakin lama dan semakin sering. Meski sebenarnya ia belum siap mengejutkan Akasia mengenai kenyataan kondisi tubuhnya ini, tapi cepat atau lambat Akasia pasti akan tahu.

'Jika kutukan ini benar akan berakhir… haruskah aku tetap tinggal sebagai boneka di sisinya, atau mencoba hidup kembali sebagai manusia?'

Pintu kamar tiba-tiba terbuka dan masuklah Akasia dengan santainya. Begitu melihat ada pemuda asing di bangku belajarnya ia tertegun. Adrian pun terpaku bingung, tidak tahu harus menjelaskan seperti apa, ‘Iya sih cepat atau lambat akan ketahuan, tapi nggak secepat ini juga dong! Belum siap nih,’ batinnya protes.

“Kamu siapa? Kok nggak sopan banget masuk kamar orang tanpa izin?” Akasia memasang sikap waspada.

“Kamu ngerti bahasa Indonesia kan? Should i speak english (haruskah aku pakai bahasa inggris)? Go out of here (pergi dari sini)!” Akasia memperhatikan penampilan pemuda itu dari atas sampai bawah. 

“Are you probably my dad's client (apa mungkin kamu klien ayahku)? This is my bedroom, not my father's office, you come to the wrong place (ini adalah kamar tidurku, bukan kantor ayahku, kamu masuk ke tempat yang salah).” Mata Akasia memicing, sejujurnya ia sedikit penasaran mengenai siapa pemuda pirang di kamarnya, karena ia merasa familiar dengan penampilannya.

“Tenang dulu Akasia, aku Adri.” Pemuda itu akhirnya mengaku dengan ragu. Ia juga tidak tahu akankah gadis di depannya itu percaya dengan penuturannya.

“Nama kamu Adri? Kok nggak asing ya?” Gadis muda itu merespon bingung.

“Iya...Adri yang biasanya di situ.” Pemuda itu menunjuk rak tempat boneka Adri biasa diletakkan.

“Hah?” Akasia masih belum menangkap maksudnya.

Adrian menunjuk pakaiannya, itu membuat Akasia menyadari sesuatu. Ia tercengang melihat begitu banyak kesamaan pemuda itu dengan bonekanya. Tapi kemana bonekanya? Gadis itu mencari-cari. Adrian bingung menjelaskannya, hingga ia memilih mengubah tubuhnya lagi menjadi boneka.

Melihat perubahan itu langsung di depan matanya, Akasia terkejut dan kehilangan kesadaran.

Sebelum tubuh gadis itu tersungkur ke lantai, Adrian secepat kilat berubah menjadi manusia untuk menangkap tubuhnya dengan sigap.

“Yah dia pingsan! Untung sempat ditangkap.” Adrian sedikit lega, ia membopong tubuh gadis itu dan membaringkannya di tempat tidur dengan hati-hati. 

“Apa dia bakal mengira semua ini mimpi ya?” Gumam pemuda kaukasia itu sambil memerhatikan wajah Akasia, “Nggak tahu deh, lihat nanti aja, sementara ini berubah jadi boneka aja dulu.” Ia kembali ke tempat boneka Adri biasa didudukkan dan menjadi boneka.

and Now Partner in Crime

Aku melihatnya dengan jelas, pemuda kaukasia tampan di kamarku itu terlihat berkilauan memantulkan cahaya matahari dari jendela kamar di sisi belakangnya. Rambut pirangnya lurus terurai setelinga, sepasang mata biru lautnya indah sekali. Posturnya tegap dan tingginya sekitar 180 cm. Hidungnya mancung, alisnya tebal dan rahangnya tegas, namun kulit putihnya membuat wajahnya terkesan baby face. Bibirnya tipis dan bersemu sehat, terlihat... mirip boneka.

Penampilannya sempat membuatku terpesona sejenak dan bersemu seandainya aku tidak ingat dia orang asing di kamarku. Ingatan itu diputar lagi dibawah alam sadarku, ia mirip sekali dengan bonekaku, apalagi namanya sama. Apa mungkin bonekaku merupakan boneka jelmaan? Lalu siapa sosok pria itu, apakah dia hantu?

Aku terkesiap dan bangkit terduduk, sadar dari pingsan. Aku menolak menganggap ini hanya mimpi, karena ingatan ini terasa sangat nyata. Aku mempersiapkan mentalku, melirik bonekaku yang sudah kembali ke tempatnya semula.

“Adri, aku tahu tadi itu kamu, dan itu nyata. Aku sudah siap dengan semua kemungkinan. Jadi, bisa tolong jelaskan kejadian tadi? I'll try to be open minded. (aku akan mencoba berpikiran terbuka)” Aku berseru, berharap bonekaku itu meresponnya.

“Nanti...kamu pingsan lagi,” terdengar suara pria menjawab ragu-ragu.

“Hidupku sudah rumit, jadi menambah sedikit kerumitan lagi kayaknya nggak masalah deh. Sudah terbiasa,” aku meyakinkannya. “Kamu ini sebenarnya apa? Hantu? Siluman? Atau apa?”

“Sebentar, aku berubah dulu supaya enak menjelaskannya.” Suara itu meminta izin, tidak lama kemudian ukuran boneka porselenku itu berubah membesar dan menjadi seorang pemuda yang aku lihat sebelumnya.

Aku mempersiapkan mental dan hati, pasalnya pemuda di depanku ini terlalu tampan. Aku khawatir terpikat kalau aku tidak membentengi hatiku. “Jadi siapa kamu sebenarnya?”

“Panggil aja aku Adri seperti biasa," ia berkata santai. "Aslinya manusia dari masa kolonial. Belanda totok. Lahir dan besar di Batavia, eh Jakarta maksudnya. Aku banyak bergaul dengan warga lokal, jadinya ya begini deh, bahasa Indonesiaku bagus kan?” Pemuda itu menceritakan, sedikit berharap pengakuan.

“Ehm...sedikit haus pengakuan sih.” Komentarku risih, “Jadi gimana ceritanya kamu bisa jadi boneka?”

Pemuda itu tertunduk, bingung menyampaikannya, “Aku dikutuk. Kamu tahu kan pribumi di zaman dulu punya banyak ilmu dan kesaktian yang diluar nalar, sepertinya karena itu deh.” Ia meringkas ceritanya.

“Kenapa bisa dikutuk? Memang kamu melakukan kesalahan apa? Nyolong arca? Ngerusak candi?” Aku menatapnya curiga.

“Ya ampun tuduhannya, nggak kriminal gitu lah!” Pemuda itu cepat-cepat menangkis tuduhan tak berdasar itu. “Memang sih, kesalahanku sepele, tapi berakibat fatal,” mata pemuda itu terlihat berkaca-kaca mengenang masa lalu, ia seperti ragu untuk membongkar kisahnya.

‘Kesalahanku... fatal. Aku nggak siap cerita sekarang,’ Adri sibuk berkutat dengan pikirannya sendiri.

“Oke, aku mengerti. Kamu boleh simpan sendiri ceritamu kalau sulit diceritakan. Aku nggak sekepo itu kok. Lagipula wajar setiap orang punya rahasia.” Akasia berusaha terlihat tidak peduli untuk menjaga perasaan pemuda di depannya. Ia kasihan melihat matanya yang berkaca-kaca seperti mau menangis.

“Terima kasih ya atas pengertiannya. Mungkin nanti kalau aku sudah siap aku bakal cerita. Soalnya ceritanya akan panjang.” Pemuda itu tersenyum haru, membuat Akasia kembali tersentuh.

‘Bisa nggak sih nggak usah seganteng itu? Susah nih membentengi hati kalau dia senyum kayak begitu terus!’ Keluh gadis itu dalam hati.

“Lalu sekarang gimana? Untung aku yang pergoki kamu, bukan orang rumahku yang lain. Bisa gawat kalau orangtuaku lihat kamu, nanti dikira aku bawa masuk cowok ke kamar. Aku nggak mau ya dituduh mesum terus diarak warga keliling kampung.” Akasia memperingatkan dengan tegas, yang direspon pemuda itu dengan menahan tawa, manis sekali.

“Sudah besar ternyata kamu, Nak...kemana perginya ya gadis kecil enam tahun yang polos itu?” Gumamnya jahil.

“Sok tua banget sih! Iya deh, Puh Sepuh. Engkong maunya gimana?” Kali ini Akasia membalas dengan sedikit salah tingkah.

“Heeii aku nggak setua itu ya! Eh tapi...benar juga.” Adrian tidak bisa menampik kenyataan itu.

“Iya kan, harusnya Aki tuh sekarang udah jadi fosil.” Ledek Akasia puas.

“Songong ya, dibilang fosil! Gini-gini gue tuh up to date.” Adrian pamer kemampuannya, demi menampik kesan kolot yang ia hindari.

“Tetap aja umur nggak bisa bohong, generation gap kita terlalu jauh. Sorry but it's a fact (maaf tapi itu faktanya).” Akasia membalas tidak mau kalah.

“Heh, jangan nggak sopan sama orang yang lebih tua!” Pemuda itu akhirnya terpancing emosinya.

“Tuh kan pakai ultimate card umur, khas orang berumur.” Akasia memvalidasi tuduhannya.

“Ingat, bobrok-bobroknya kamu aku tahu semua loh! Jangan macam-macam!” Adrian menyeringai sambil mengacungkan telunjuknya, mengingatkan gadis itu akan kebersamaan mereka selama ini.

Akasia baru ingat ia sudah bercerita terlalu banyak pada boneka Adri dulu, “Waduh, iya lagi,” ia langsung diam tak berkutik.

“Bagus, sekarang buka laptop kamu. Kita buat perjanjian hitam di atas putih.” Adrian mengkomando tegas.

Akasia membuka laptopnya di meja belajar dan segera menyalakannya, ‘Kenapa aku menurut ya?’ herannya dalam hati, ‘Tapi akan aku buat aturannya menguntungkan aku juga. Harus adil!’ Tekadnya.

Sementara dalam diamnya Adrian terperangah kagum dengan gawai bernama laptop itu. Ia sudah lama penasaran melihatnya dan ingin mencoba menggunakannya. Di zamannya dulu mesin ketik manual saja sudah kelihatan canggih, sekarang bahkan ada alat secanggih laptop yang serba bisa dan praktis dibawa kemana-mana. Tapi ia gengsi menyuarakan keheranan dan kekagumannya. Selagi Akasia mengoperasikan laptopnya ia hanya memperhatikan cara kerjanya dengan sorot mata berbinar-binar.

“Oke, mau diketik apa ini?” Akasia membuka aplikasi pembuat dokumen.

“Beri judul ‘Surat Kesepakatan Persetujuan Tinggal’.” Adrian mencetuskan, gadis itu segera menuruti meski pikirannya masih linglung.

“Loh memang sudah aku izinkan tinggal disini?” Respon Akasia polos.

“Loh memangnya belum?” Adrian terhenyak kaget, “Ayolah, apa artinya kebersamaan kita selama ini? Kita kan teman. Dulu kamu sering ajak aku main masak-masakan bareng, rumah-rumahan, dokter-dokteran.”

“Stop-stop, oke mengerti! Iya boleh, tapi aku juga boleh mengatur pasal-pasalnya.” Akasia mensyaratkan dengan panik, teringat aib-aibnya.

“Tentu, kamu kan pemilik kamar. Tadi aku bilang ini demi kebaikan kita bersama, justru pendapat kamu sangat diperlukan.” Adrian menenangkannya, “Apalagi kita menempati kamar yang sama, harus ada aturan yang berlaku untuk meminimalisir konflik kedepannya.”

Perkataan Adrian tadi justru membuat Akasia tersipu, pikirannya berkelana kemana-mana. ‘Teman sekamar, kok kedengarannya ambigu ya? Bahaya nggak nih?’ Ia berpikir ulang risiko keputusan yang diambilnya ini.

Adrian sedikit banyak bisa menebak isi kepala Akasia dan merasa salah bicara, “Maksudnya aku kan seringnya berwujud boneka. Tenang, walaupun aku aslinya ganteng begini aku pemuda bermartabat kok. Soal perempuan aku juga pilih-pilih, di mataku kamu mah bocah! Kecil, nggak menarik!” Ia sedikit meralat ucapannya, namun tampaknya malah semakin memancing emosi Akasia.

“Pemilik kamar ini kamu sebut apa? Bocah, nggak menarik?” Akasia mengulang ucapan Adrian dengan senyum geram, membuat pemuda itu sadar ia semakin salah bicara, “Kamu benar-benar nggak takut diusir dari sini ya? Kamu bisa loh berakhir di TPS Bantar Gebang, disana luas, enak, beratapkan langit berlantaikan tumpukan sampah, kamu jadi banyak teman.” Gadis itu mengancam dengan sarkas.

“Maaf Paduka Ratu, hamba salah bicara. Izinkan hamba menebus kesalahan hamba. Paduka Ratu wanita yang agung, mana berani hamba menyentuh Paduka atau bersikap tidak sopan, membayangkannya saja sudah lancang bagi hamba.” Adrian kali ini membujuk dengan totalitas penghayatan peran. Ia membungkuk, tangan kanannya ditangkupkan di dada, gestur memberi hormat.

“Bagus kalau kamu sadar posisimu, sekarang biarkan Ratu Wilhelmina-mu ini mengetik dulu pasal-pasal yang aku perlukan.” Akasia meminta waktu dengan gaya yang sama.

“Lebih mirip windmill sih.” Ledek Adrian asal sambil menahan tawa.

“Kamu bilang apa tadi?” Akasia curiga.

“Saya cuma bicara dengan lalat, Paduka.” Adrian menjawab asal, mencari aman, "O iya Paduka, boleh saya meminta izin Paduka?"

“Untuk apa wahai rakyat jelata?” Sang pemilik kamar menanyakan dengan pongah.

“Bolehkah saya memakai alat elektronik paduka saat paduka tidak ada di kamar? Seperti menyalakan televisi atau laptop kalau sedang bosan? Saya berjanji akan mengecilkan suara agar orang-orang dirumah tidak ada yang mendengar.” Adrian menjelaskan keinginan terpendamnya.

“Loh, memangnya kamu bisa?” Akasia terkejut.

“Ya bisa lah!” Jawab Adrian yakin, “Kalau diajarin,” tambahnya kemudian sambil cengengesan, "Tolong ajari aku ya? Ya?" Pintanya merajuk.

“Demanding banget deh, iya deh iya.” Akasia menyanggupi.

“Kalau...HP?” Adrian menyatukan kedua telunjuknya dan memainkannya dengan malu-malu.

“Waduh, kalau pinjam HP nggak boleh! Terlalu privasi, sorry nih.” Akasia menolak cepat, “Tapi kamu kayaknya memang bakal membutuhkan HP sih. Gini aja…” Akasia beranjak untuk mengambil sesuatu di laci lemarinya. Ia membawa benda tersebut dan memberikannya ke tangan Adrian, ternyata ponsel android yang lain. Adrian terkesiap, matanya berbinar-binar.

“Itu HP lamaku, kamu pakai aja. Disitu juga sudah diinstal aplikasi pemantau CCTV di rumah ini, kamu bisa mengintai keberadaan orang rumah dari sana dan belajar menghindar dari kamera CCTV setiap keluar rumah. Disitu ada nomor HP-ku juga. Nggak apa-apa kan HP lama?”

Adrian mengangguk cepat, “Nggak masalah banget! Aku justru berterima kasih dipinjamkan satu HP khusus untuk aku, terima kasih Paduka Ratu!” Ia tampak terharu dan bahagia, seperti mendapatkan bongkahan emas.

“Dijaga ya, jangan lupa baterainya di-charge.” Akasia berpesan, “Ini titahku!”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!