NovelToon NovelToon

Poppen

Prolog

Batavia, 1941.

Seorang wanita pribumi sedang fokus mengetik lembaran dokumen di meja kerjanya, jemarinya bergerak tangkas menghasilkan suara gemeretik yang riuh. Tubuhnya ramping dan mungil, seperti wanita pribumi pada umumnya. Rambut hitam panjangnya yang berkilau subur diikat rendah di belakang. Ia juga berkutat dengan data-data di kertas di yang harus ia periksa dengan saksama, sementara tidak jauh dari sana seorang pemuda Belanda pirang berdiri melipat tangan sambil memerhatikannya. Wanita tadi merasa risih diawasi kedua mata biru itu terus.

“Bisakah saya meminta tolong, Tuan?” Pinta wanita pribumi itu berusaha sopan.

“Oh tentu, apa yang bisa saya bantu?” Pemuda pirang itu maju dengan antusias sambil merekahkan senyum, merasa diberi kesempatan.

“Tolong jangan menatap saya terus, saya jadi sulit memusatkan pikiran pada pekerjaan saya. Saya bukan monyet sirkus.” Wanita itu memberi peringatan tegas sambil memperlihatkan senyum yang penuh kekesalan.

Pemuda itu tertegun dengan kelugasan wanita pribumi di hadapannya menyuarakan perasaan secara terus terang. Tapi responnya malah membuat pemuda itu tertawa terhibur, “Bukankah pekerja di sini harus memiliki kemampuan bekerja dibawah tekanan? Anggap saja ini ujian.”

“Bekerja di bawah tekanan tuntutan kerja, bukan di bawah pengawasan yang tidak perlu dan menghambat pekerjaan.” Wanita pribumi itu meralat dengan diplomatis, “Pun saya tidak mengenal anda, apa sebab Tuan datang kesini dan membuang-buang waktu dengan memerhatikan saya? Itu bukan pekerjaan anda, kan?” 

Lagi-lagi pemuda Belanda itu terkesima, jawaban perempuan itu terdengar penuh intelektualitas. “Saya hanya terkejut, menemukan seorang wanita pribumi di sini dengan pekerjaan yang memerlukan kepandaian. Ini bukan pemandangan yang biasa bagi saya. Biasanya wanita pribumi akan bercokol di rumahnya, berkutat dengan dapur, sumur, kasur. Tapi anda mampu mematahkan anggapan umum masyarakat dan melampaui wanita-wanita awam. Anda hebat.”

Alih-alih tersanjung, wanita yang disebut-sebut itu melirik dengan tatapan sinis sebelum kembali mengerjakan kertas demi kertas yang harus diketiknya.

“Saya masih mengerjakannya, yang anda sebut pekerjaan dapur, sumur, kasur. Dan itu pekerjaan yang baik, mulia, bukan hina. Wanita yang memilih berdiam di rumah mereka sepanjang hari berkutat dengan dapur, sumur, kasur, tidak kalah hebatnya dengan saya.” Dengan wibawanya ia membela kaumnya, “Pemikiran sempit itu kan anda sendiri yang membuat, lalu anda sendiri yang terkejut. Saya merasa biasa saja, wanita lain pun mampu mengurus pekerjaan kantor yang mudah semacam ini andai diberi kesempatan. Pekerjaan rumah yang anda remehkan itu nyatanya lebih sulit daripada semua pekerjaan di kantor ini digabung menjadi satu. Cobalah sesekali ikut mengurus rumah, pria manja, supaya tahu. Yang jarang ada bukan wanita pribumi pandai, tapi kesempatannya.” Terlihat wanita itu menyeringai.

Pemuda pirang itu kecele, tidak menyangka ucapannya justru menyinggung wanita pribumi yang ia kagumi. “Maaf, saya bukan bermaksud mengkerdilkan kaummu. Saya cuma berusaha memujimu. Saya akui saya terlalu gegabah menilai kemampuan wanita pribumi dengan sebelah mata, maaf. Saya cuma senang, wanita pribumi yang memiliki kepandaian berpikir seperti anda diberi kesempatan bekerja disini. Papa saya tidak keliru menempatkan orang.” Pemuda itu tampak malu dan menyesali ucapannya.

“Jadi Papa anda petinggi di sini? Tidak heran, anda bisa membuang waktu dengan leluasa disini. Tuan...Adrian Van Ankeren?” Perempuan pribumi itu menebak identitasnya dengan tepat sambil tersenyum sinis. “Kembalilah ke istana anda yang nyaman, atau bekerjalah dengan sungguh-sungguh disini. Jangan menganggap ini tempat bermain anda.” Saran wanita itu dengan nada tajam.

“Kamu tahu nama saya?” Pemuda pirang itu merasa bersalah dan tidak enak hati, “Maaf, saya tidak berniat sombong atau buruk. Bukankah saya sudah meminta maaf, anda masih marah?”

“Anda kira kata maaf cukup untuk meredam amarah? Apa gunanya maaf jika tiada hikmah yang dipetik atau perubahan sikap yang nyata? Maaf hanyalah awal, yang jauh lebih penting adalah perbaikan selepasnya.” Perempuan itu menjelaskan, “Jadi apa anda benar-benar paham kesalahan anda, atau kata maaf ini sekedar menyudahi masalah?”

Pemuda pirang itu menunduk, “Saya paham letak kesalahan saya, tapi sepertinya semakin banyak saya bicara, saya semakin mengganggu anda dan membuat anda kesal. Padahal saya sekadar menyuarakan kekaguman saya terhadap Puan, sekali lagi maaf, saya undur diri.” Ia berbalik dan menjauh dengan gontai.

“Silakan lakukan di luar waktu bekerja.” Pesan wanita pribumi itu menghembuskan angin segar. Adrian sontak memutar kepalanya demi menatap wanita pribumi itu dengan haru. Matanya berkilau-kilau seperti anak anjing terlantar yang baru saja menemukan pemilik baru.

“Jadi anda tidak keberatan berbincang lagi dengan saya setelah ini?” Adrian memastikan pendengarannya dan kesimpulan yang dia tangkap.

“Jika saya punya waktu luang dan anda tidak bermaksud buruk, ya.” Jawab wanita pribumi itu cuek sambil masih membolak-balik kertas dihadapannya.

“Baiklah, siapa nama Puan? Saya belum mengetahuinya.” Rasa tidak sabar menyelimuti pria pirang itu. Ingin ia semakin mengenal sosok wanita pribumi berintelektualitas yang dijumpainya kini.

“Kemuning.” Wanita bersetelan kerja rapi itu menjawab singkat sambil tersenyum kecil.

Maka sore itu juga Adrian menunggu Kemuning menuntaskan pekerjaannya. Saat waktunya pulang ia muncul mencegat perempuan pribumi yang manis itu, Kemuning.

“Ada waktu berbincang kali ini?” Adrian menawarkan dengan wajah riang.

“Baiklah, satu jam saja.” Kemuning berkompromi.

 

“Ikuti saya, akan saya tunjukkan tempat menarik.” Pemuda berkulit putih itu mengajak wanita pribumi tadi ke sebuah area di pekarangan kantor, dimana berdiri pohon Trembesi besar yang rindang menaungi sekitarnya hingga teduh. Di bayangan pohon itu Adrian mengembangkan koran-koran yang dikumpulkannya dan menjadikannya tikar.

“Bagaimana? Seperti picknick kan?” Ia menduduki koran tersebut disusul Kemuning di dekatnya.

Wanita berkemeja putih itu tertawa melihat sisi kekanakan dalam diri pria nederlander di hadapannya, “Sejujurnya aku tidak pernah picknick.” Bisiknya lirih, sarat keraguan.

Adrian memandangnya dengan raut wajah iba. “Itu berarti ini kali pertamamu ya?” Ia menyimpulkan, segera paham kesulitan hidup wanita pribumi di depannya. “Ini aku membawa beberapa roti, makanlah...itupun jika kamu suka.” Pemuda itu membongkar tasnya dan mengeluarkan kantong kain berisi roti-roti segar yang dilindungi kertas pembungkus.

Kemuning menatap Adrian yang tampak antusias, tersentuh dengan usahanya, “Sepertinya sedap, benarkah saya boleh memakannya?”

“Ambil saja, saya sudah bosan memakannya.” Adrian mempersilakan.

“Tidak boleh mencela makanan seperti itu, tidak baik. Nanti Tuhan tidak berkenan memberimu makanan lagi, bagaimana?” Wanita bijaksana itu menasihati.

“Tuhan, ampuni saya. Maaf roti, saya tarik lagi ucapan saya.” Pria Belanda itu segera menyesali tindakannya, bahkan sampai mengajak bicara roti di depannya. 

Kemuning terkekeh melihat aksi pemuda tampan di depannya, “Kamu lucu,”

“Memang,” jawab Adrian singkat, senyumnya manis penuh optimisme.

“Kenapa percaya diri sekali?” Wanita berambut lurus itu tersenyum geli.

“Karena percaya diri modal untuk hidup.” Pria pirang itu menjawab lugas.

“Bedankt (terima kasih).” Ucap Kemuning sambil mengambil roti didepannya. Ia menyantap roti pemberian Adrian sambil memperhatikan pemuda percaya diri di hadapannya. Tidak bisa ia pungkiri pemuda itu tampan dan sikapnya menawan, sungguh melenakan bagi wanita yang diberikannya perhatian. Ia tidak mengerti alasan pemuda ini mendekatinya, sedangkan ia merasa banyak wanita bersedia mengantri demi memperebutkan pemuda memesona dari keluarga makmur di depannya, “Kenapa mengajak saya?”

“Kamu menarik. Kamu menatap mukaku sewaktu berbicara denganku. Kebanyakan wanita pribumi menunduk ketika berhadapan dengan nederlander sepertiku, seperti punya rasa rendah diri.” Adrian menjelaskan alasannya.

Kemuning menghela napas, “Dengarkan ya, Tuan, wanita-wanita pribumi itu menunduk bukan karena mereka merasa rendah diri, tapi karena tatanan sosial kalian menuntut itu. Banyak wanita pribumi yang bekerja di keluarga Belanda seperti anda, dipaksa menurut seperti kerbau dicucuk hidungnya, bahkan keselamatannya menjadi taruhan, kalau melawan dihukum tanpa ampun. Mereka menjadi terbiasa mencari aman, menunduk takut seperti tawanan. Kalian yang membiasakannya, bukan kemauan kami. Justru semestinya Tuan mengasihani dan mempertanyakan, kenangan sepahit apa yang membuat mereka takut hingga bergidik seperti melihat hantu saat berhadapan dengan nederlander seperti kalian."

Pemaparan Kemuning itu tak pelak membuka pandangan Adrian, ia seperti tercerahkan dari pemikiran sempitnya. “Begitu buruknya perlakuan bangsaku terhadap bangsamu ternyata, maaf, sejujurnya aku malu.” Ia menyatakan, “Aku sangat membenci diskriminasi terhadap ras dan suku bangsa, perbedaan tidak seharusnya disikapi dengan buruk seperti itu.” Pria Belanda pirang itu tampak tidak enak hati. “Sejujurnya keluargaku mendirikan perusahaan ini dengan komitmen memberikan kesempatan kerja yang adil untuk setiap orang tanpa memandang warna kulit atau latar belakangnya, murni melihat kemampuannya. Keluargaku juga membenci diskriminasi antar bangsa.”

“Aku bisa merasakan niat baik itu.” Kemuning tersenyum, “Perusahaanmu sangat baik memperlakukanku dan pekerja pribumi lainnya. Kami merasa dihargai. Tolong sampaikan ucapan terima kasih kepada Papamu, beliau pemimpin yang baik.”

Adrian tersenyum, meski dalam hati menyesali, ‘Kenapa kami jadi membahas keluargaku? Kesannya malah seperti aku menyombongkan diri sebagai anak manja pemilik perusahaan, sama sekali tidak mengesankan.’ Ia menengadah menatap langit, mencoba mencari topik lain.

“Kenapa ya langit siang berwarna biru?” Cetusnya spontan, “Apa karena samudra itu biru, membuat pantulan di langit juga biru?”

Kemuning terkekeh, “Itu kesalahan berpikir yang umum. Pada dasarnya semua warna dihamburkan oleh molekul udara, tetapi matahari lebih banyak memancarkan energi sebagai cahaya biru, dan kebetulan pula mata kita lebih peka terhadap cahaya biru. Itulah sebabnya langit siang terlihat biru.”

Adrian tertegun dengan jawaban ilmiah wanita pribumi di sampingnya, “Kamu selalu berhasil mengejutkanku, Kemuning. Darimana pengetahuan itu kamu dapat?”

“Aku gemar membaca. Seingatku itu tertulis di ensiklopedi pengetahuan alam yang pernah aku baca.” Gadis berambut indah itu mengingat-ingat.

“Kamu seperti golongan anak paling pandai dan berambisi di sekolah. Tunggu, apa kamu bersekolah?” Adrian penasaran.

“Iya, aku sudah lulus dari AMS (Algemene Middelbare School). Tapi bukan dikarenakan aku bangsawan atau anak priyayi, kebetulan Ibuku pengajar di AMS, jadi bisa memasukkanku kesana.” Kemuning menceritakan.

“Ibumu pasti wanita yang amat pandai, hingga bisa menghasilkan putri yang menggemari ilmu seperti kamu. Beliau pasti bangga denganmu.” Mata biru pemuda itu menunjukkan binar kekaguman.

“Terima kasih, aku anggap itu sanjungan.” Kemuning tertunduk.

“Aha, kamu ternyata suka disanjung ya?” Adrian meledek reaksi wanita itu yang tersipu malu.

“Aku pantas tersanjung karena kamu menghargai kemampuanku, bukan karena memandang penampilan.” Wanita itu mengungkap alasannya, “Seringkali laki-laki memandang wanita sebagai pemuas mata, semua sekadar tentang penampilannya saja.”

“Tenang saja, penampilanmu tidak semenarik itu.” Adrian terkekeh, yang disambut Kemuning dengan tepakan kesal di punggung, “Aduh, tapi aku kan jujur.”

“Terima kasih atas kejujurannya yang tidak diperlukan.” Gadis dengan rambut hitam legam itu merespon sinis.

“Tapi tenang, kamu tergolong menarik. Untuk menarik tidak perlu menjadi cantik kan.” Adrian berusaha menenangkan wanita di depannya itu masih sambil terkekeh.

“Meledek lagi?” Kemuning merajuk, “Aku pergi.” Wanita itu bangkit dari duduknya untuk beranjak dari tempat itu. Tangan Adrian menahan tangannya sambil memandang wajahnya lekat-lekat. Pemilik wajah menahan kikuk sejadi-jadinya.

“Aku berbohong. Kamu cantik.” Adrian berkata dengan tatapan serius, ‘Itu pula yang membuatku terpikat selain kepintaranmu.’ Suara hatinya menambahkan.

Bujukan itu berhasil membuat Kemuning duduk kembali, “Aku juga bergurau. Aku tidak masalah dibilang buruk rupa, yang penting tidak buruk hati.” Ia tersenyum tengil, menutupi debaran jantungnya yang tadi berpacu.

“Boleh aku berkawan denganmu untuk seterusnya?” Pemuda Belanda itu memberanikan diri bertanya.

“Bukankah sudah?” Kemuning menjawab lugas dengan senyum manisnya, “Justru harusnya aku yang bertanya, sudikah kiranya Tuan Muda Eropa ini berkawan dengan kasta pribumi seperti saya?” Ia mendramatisir ucapannya sambil menahan geli.

“Hei jangan menyindirku! Kamu kan tahu aku tidak seperti Belanda lain yang sombongnya menyaingi tingginya matahari.” Adrian membalas dengan tawa manisnya.

Mereka menikmati sore itu dengan perbincangan penuh gurauan dan sesekali gelak tawa, seperti sudah berkawan sejak lama. Itulah kali pertama perjumpaan Adrian dengan Kemuning. Setelah itu Adrian, nederlander sang anak pemilik perusahaan, terus mengekori Kemuning, perempuan inlander yang penuh potensi, di luar waktu bekerjanya. Mereka menjadi sering makan bersama sambil berbincang di tengah waktu istirahat siang, atau sepulang mereka bekerja. Kedua insan yang unik itu terlihat saling melengkapi, layaknya kawan yang telah ditakdirkan untuk bertemu dan berbagi sudut pandang yang berbeda.

My Best Buddy

Jakarta, 2014

Aku memasuki kamar dan langsung menutup pintu rapat-rapat, setelah melewati ruang tengah yang penuh tensi di rumahku sendiri. Masih terdengar suara Ayah dan Ibu berselisih disana.

“Hah, lagi-lagi.” Aku bergumam sambil mendudukkan diriku di bangku meja belajar.

Aku tidak percaya glorifikasi cinta. Bagaimana orang yang bersatu karena mengaku saling mencintai bisa begitu menyakiti? Sejak dulu aku sudah skeptis cinta tulus itu benar-benar ada. Bahkan cinta pertamaku mengkhianati kepercayaanku. Ayahku, Hugo Darmahadi, orang yang dulu aku kagumi dan aku jadikan panutan dalam mencari calon pendampingku nanti. Namun terpaksa namanya kucoret dari daftar role model dihidupku, karena ternyata ia sudah begitu jahat padaku dan Ibuku. Ibuku, Marcella Anita Darmahadi, hanya Ibu rumah tangga biasa yang kukira kurang bisa mengontrol emosinya saja. Kesabarannya setipis tisu dibelah dua, mudah marah. Ternyata selama ini ia stres karena memendam kepedihannya sendiri.

Ayahku berkhianat hingga memiliki seorang anak dengan wanita lain, dan tanpa rasa malu Ayah meminta maaf pada Ibu. Ibuku, dengan jiwa besarnya, menerima saja kehadirannya kembali seperti tidak ada masalah besar. Tapi aku sih tidak, aku sudah terlanjur terluka. Aku merasa seperti seluruh hidupku dilandasi oleh kebohongan pria yang harus kusebut Ayah itu.

Dulu ia begitu lembut memperlakukanku, sering ia menemaniku bermain dan bercerita, dan ia lebih sabar menghadapiku dibanding Ibu. Banyak yang menilai Ayahku family man, ternyata itu hanya kedok semata. Dibelakang itu sosok yang terlihat tidak neko-neko, baik, pembawaannya tenang, penyayang, bertanggung jawab, bahkan gigih dalam bekerja, bisa tergoda dengan wanita murahan. Dengan logika apa aku bisa memakluminya?

Padahal Ibuku wanita yang handal dalam mengerjakan segala hal. Aku percaya kalaupun Ibu memilih berpisah dengan Ayah, ia akan bisa membangun hidupnya sendiri dengan lebih indah dan bahagia. Ibu bahkan bisa menjadi lebih tinggi dan lebih menginspirasi daripada sekarang, tapi kenapa Ibu tidak mau lepas dari tekanan batin? Apa yang ia takutkan? Mengenai finansial aku bisa membantunya mengumpulkan uang nantinya. Ibu juga pasti sukses berjualan apapun, ia punya relasi yang luas, cekatan, dan pandai bicara. Kami juga bisa menuntut Ayah uang nafkah dengan nominal besar jika mereka bercerai, mengingat Ayah kini telah menjadi arsitek yang tersohor dengan penghasilan yang besar. Tapi kenapa Ibu tidak menyudahi saja hubungan tanpa komitmen dan cinta ini? Aku jadi merasa rumahku panggung sandiwara, dan memuakkan untuk bertingkah seolah semua baik-baik saja setiap hari.

Aku kembali mencurahkan perasaan hatiku ke boneka favoritku, Adri. Boneka porselen ini meski antik tapi tetap terlihat tampan dan menggemaskan, dengan kulit putih, rambut pirang, dan mata biru, belum lagi badan imutnya yang mengenakan kemeja putih dipadu vest warna cokelat tua dan celana warna khaki yang senada. Boneka itu bahkan mengenakan sepatu pantofel hitam yang parlente khas setelan busana tempo dulu. Ia sahabat berceritaku selama ini mengingat aku anak tunggal, tanpanya aku merasa seperti berjuang sendiri. Aku terlalu malu untuk menceritakan kondisi keluargaku kepada sahabatku di sekolah, rasanya seperti membongkar aib keluarga. Aku memeluk boneka porselenku sambil berusaha keras menahan air mataku agar tidak menetes. Pertahananku lengah, akhirnya menetes juga air mataku ke wajah bonekaku. Kuusap pelan dengan tisu untuk membersihkan wajahnya dari air mataku.

“Aduh maaf Adri. Aku aneh ya? Curhat dan nangis ke boneka, kalau ada yang lihat pasti aku dikira gila. Tapi mau gimana, masalah hidupku serumit ini. Dan gilanya Ayah meminta izin Ibu membawa anak itu kesini untuk dibesarkan. Aku tahu anak itu nggak bersalah, itu hasil kesalahan lama Ayah. Perempuan simpanan Ayah pun sudah wafat. Masalahnya aku nggak yakin bisa bersikap baik ke anak itu. Setiap ketemu pasti aku teringat dosa Ayahku. Rasanya jijik membayangkan Ayah punya anak dengan perempuan lain.” Aku tidak siap membayangkan anak itu berkeliaran di rumah ini. Ada sedikit rasa iri yang menjalar, ‘Ayah bisa sangat peduli pada hidup anak gelapnya itu, tapi kenapa nggak peduli pada hidupku dan Ibuku?’ Batinku merasakan ketidak-adilan.

“Aku kira selama ini aku satu-satunya anak Ayahku, ternyata itu pun kebohongan ya.” Tangisanku semakin pecah, namun kujaga suaraku agar tidak sampai terdengar keluar kamar. Aku sudah terbiasa menangis dalam senyap seperti ini, oleh karena itu kamarku adalah tempat favoritku menghabiskan waktu. Aku bisa melepaskan topengku dan menjadi apa adanya disini, disaksikan Adri. Aku menangkupkan kepalaku di meja belajar, menyembunyikan air mata yang tumpah. Aku meluapkan tangisku selama beberapa saat sebelum pada akhirnya menjadi lebih tenang dan berhenti menangis.

“Padahal semua akan selesai kalau Ibu pisah dari Ayah. Aku bisa kok bantu Ibu dengan bekerja.” Gerutuku sebelum mendadak teringat, “O iya, aku harus print dan fotokopi CV dan lamaran kerja.” 

Aku mengusap wajahku untuk menghilangkan jejak-jejak tangisanku. “Aku harus buru-buru ke tukang fotokopi. Maaf Adri, sampai sini dulu sesi curhatnya. Sekarang aku pamit, mumpung belum mager.” Aku mengembalikan Adri ke tempat semula, terduduk di rak di atas meja belajarku.

Aku mencuci muka sebentar, memakai jaketku, dan membawa tas sekolahku kembali keluar kamar, tidak lupa menutup pintu kamar dengan rapat.

...oOo...

Sekeluarnya Akasia dari kamar tidurnya, sesuatu terjadi. Boneka porselen yang tadi diajaknya bicara dengan tiba-tiba jatuh ke meja belajarnya, lalu berubah menjadi pemuda tampan kaukasia dengan rambut pirangnya yang berkilau dan mata biru mudanya yang indah. Pakaiannya masih sama seperti bonekanya, kemeja putih dilapisi vest cokelat dan celana berwarna khaki yang terlihat senada. Pemuda itu menengok ke kanan dan kiri, memastikan situasinya aman. Setelah yakin ia seorang diri, ia pun mulai melihat-lihat rak buku di kamar itu, berisi novel-novel remaja yang umumnya bertemakan cinta.

“Nggak ada buku baru ya? Hari ini baca apa ya? Lagi nggak pengin cinta-cintaan sih,” gumamnya bosan. Belakangan ini ia memang seringkali berubah menjadi manusia, jadi sudah beberapa kali ia membaca buku-buku koleksi gadis pemilik kamar itu.

Cinta, ia juga tidak mengerti soal itu. Ia jadi teringat kisah hidup Akasia yang seringkali diceritakannya. Pemuda itu terhenti memilih buku dan jadi termenung. Ia sendiri juga gagal dalam percintaan, bagaimana bisa dia mengerti mengenai cinta tulus. Pemuda itu duduk di bangku belajar Akasia demi melanjutkan perenungannya.

‘Bahkan aku dikutuk jadi boneka begini akibat masalah cinta, jadi aku nggak punya cukup kredibilitas untuk berkomentar tentang cinta. Siapa aku?’ Batin pemuda itu mengingat nasibnya sendiri sambil tertawa menghibur diri.

Tapi ia juga merasa aneh, belakangan ini ia bisa kembali menjadi manusia beberapa kali dalam sehari, ‘Apa mungkin kutukannya mulai usang dan aku akan pulih kembali menjadi manusia di zaman ini? Atau ada syarat yang secara tidak sengaja terpenuhi untuk menghilangkan kutukan ini?’ Pikirnya curiga, ‘Coba pikirkan, kira-kira apa hal yang mungkin jadi penawar kutukan ini ya?’ Ia memaksa otaknya untuk mengingat. Biasanya ia berubah menjadi manusia setelah Akasia berbincang dengannya sebagai boneka. Mungkin kuncinya ada di Akasia, karena di tangan pemilik sebelumnya ia tidak pernah berubah menjadi manusia begini.

Akasia memang memperlakukan boneka Adri dengan istimewa. Sejak menerima boneka Adri sebagai hadiah di ulang-tahunnya yang ke-enam, Akasia memperlakukan boneka itu selayaknya teman akrab. Ia merawatnya dengan teliti, mengajaknya berbincang dan bermain hingga Adrian merasa kembali dimanusiakan. Semenjak bertemu Akasia semasa kecil, Adrian tidak lagi kesepian. Jiwanya yang bosan memperhatikan dunia dari sudut pandang boneka merasa bangkit, ia merasa dianggap ada kembali. Semenjak itu hatinya jadi menghangat setiap mengingat Akasia. Ia melihat sendiri perkembangan gadis itu sejak anak-anak hingga remaja seperti sekarang, dan tak pelak tumbuh rasa sayang yang besar terhadap gadis itu. Anak perempuan itu membangkitkan rasa ingin melindungi dan mengayomi yang ada di diri Adrian. Rasanya ingin senantiasa merengkuhnya untuk menghindarkannya dari kemalangan dan rasa sedih. Ia sangat peduli pada gadis itu. Ia merasa khawatir sekaligus tidak berdaya setiap kali Akasia menangis di hadapannya, ia bahkan tidak bisa mengusap air matanya meski ingin.

Kehidupan gadis itu memang seringkali dihiasi dengan tangisan. Malah seingatnya Akasia lebih banyak menangis daripada tertawa bahagia selama berada di kamarnya ini. Karena itu Adrian benar-benar ingin melindungi Akasia dari tangisan, ia ingin hidup gadis itu berubah menjadi lebih indah. Selama ini ia hanya bisa mendoakannya sebagai boneka, tapi jika ia mampu menjadi manusia, ia tahu siapa orang yang paling utama untuk ia bahagiakan.

Tiba-tiba terbersit dalam benaknya, ‘Apa mungkin karena selama ini Akasia tulus memperlakukanku seperti teman manusianya, jadi itu bisa menghidupkan lagi jiwa manusiaku dan berangsur-angsur semakin menghilangkan kutukanku? Bisa jadi, itu kemungkinan terbesarnya.’ Pemuda itu tertegun menyadarinya. ‘Berarti selanjutnya apa yang harus kulakukan kalau aku terus-terusan berubah menjadi manusia begini?’ 

Ia mulai memikirkan strategi selanjutnya demi keberlangsungan hidupnya. Karena ini rumah Akasia, cepat atau lambat ia akan memerlukan bantuan Akasia untuk menyembunyikannya, menjaga rahasianya, dan mungkin membuat identitas baru, karena semakin kesini durasi perubahannya menjadi manusia bertahan semakin lama dan semakin sering. Meski sebenarnya ia belum siap mengejutkan Akasia mengenai kenyataan kondisi tubuhnya ini, tapi cepat atau lambat Akasia pasti akan tahu.

Pintu kamar tiba-tiba terbuka dan masuklah Akasia dengan santainya. Begitu melihat ada pemuda asing di bangku belajarnya ia tertegun. Adrian pun terpaku bingung, tidak tahu harus menjelaskan seperti apa, ‘Iya sih cepat atau lambat akan ketahuan, tapi nggak secepat ini juga dong! Belum siap nih,’ batinnya protes.

“Kamu siapa? Kok nggak sopan banget masuk kamar orang tanpa izin?” Akasia memasang sikap waspada.

“Kamu ngerti bahasa Indonesia kan? Should i speak english (haruskah aku pakai bahasa inggris)? Go out of here (pergi dari sini)!” Akasia memperhatikan penampilan pemuda itu dari atas sampai bawah. 

“Are you probably my dad's client (apa mungkin kamu klien ayahku)? This is my bedroom, not my father's office, you come to the wrong place (ini adalah kamar tidurku, bukan kantor ayahku, kamu masuk ke tempat yang salah).” Mata Akasia memicing, sejujurnya ia sedikit penasaran dengan siapa pemuda pirang di kamarnya, karena ia merasa familiar dengan penampilannya.

“Tenang dulu Akasia, aku Adri.” Pemuda itu akhirnya mengaku dengan ragu. Ia juga tidak tahu akankah gadis di depannya itu percaya dengan penuturannya.

“Nama kamu Adri? Kok nggak asing ya?” Gadis muda itu merespon bingung.

“Iya...Adri yang biasanya disitu.” Pemuda itu menunjuk rak tempat boneka Adri biasa diletakkan.

“Hah?” Akasia masih belum menangkap maksudnya.

Adrian menunjuk pakaiannya, itu membuat Akasia menyadari sesuatu. Ia tercengang melihat begitu banyak kesamaan pemuda itu dengan bonekanya. Tapi kemana bonekanya? Gadis itu mencari-cari. Adrian bingung menjelaskannya, hingga ia memilih mengubah tubuhnya lagi menjadi boneka.

Melihat perubahan itu langsung di depan matanya, Akasia terkejut dan kehilangan kesadaran.

Sebelum tubuh gadis itu tersungkur ke lantai, Adrian secepat kilat berubah menjadi manusia untuk menangkap tubuhnya dengan sigap.

“Yah dia pingsan! Untung sempat ditangkap.” Adrian sedikit lega, ia membopong tubuh gadis itu dan membaringkannya di tempat tidur dengan hati-hati. 

“Apa dia bakal mengira semua ini mimpi ya?” Gumam pemuda kaukasia itu sambil memperhatikan wajah Akasia, “Nggak tahu deh, lihat nanti aja, sementara ini berubah jadi boneka aja dulu.” Ia kembali ke tempat boneka Adri biasa didudukkan dan menjadi boneka.

and Now Partner in Crime

Aku melihatnya dengan jelas, pemuda kaukasia tampan di kamarku itu terlihat berkilauan memantulkan cahaya matahari dari jendela kamar di sisi belakangnya. Ia memiliki rambut pirang lurus yang terurai setelinga, sepasang matanya berwarna biru laut, indah sekali. Tubuhnya cukup tinggi, sekitar 180 cm, hidungnya mancung, alisnya tebal dan rahangnya tegas, namun kulit putihnya membuat wajahnya terkesan baby face. Bibirnya tipis dan bersemu sehat, terlihat mirip boneka.

Penampilan pemuda itu sempat membuatku terpesona sejenak dan bersemu seandainya aku tidak ingat dia orang asing di kamarku. Ingatan itu diputar lagi dibawah alam sadarku, ia mirip sekali dengan bonekaku, apalagi namanya sama. Apa mungkin bonekaku merupakan boneka jelmaan? Lalu siapa sosok pria itu, apakah dia hantu?

Aku terkesiap dan bangkit terduduk, sadar dari pingsan. Aku menolak menganggap ini hanya mimpi, karena ingatan ini terasa sangat nyata. Aku mempersiapkan mentalku, melirik bonekaku yang sudah kembali ke tempatnya semula.

“Adri, aku tahu tadi itu kamu, dan itu nyata. Aku sudah siap dengan semua kemungkinan. Jadi, bisa tolong jelaskan kejadian tadi? I'll try to be open minded. (aku akan mencoba berpikiran terbuka)” Aku berseru, berharap bonekaku itu meresponnya.

“Nanti...kamu pingsan lagi,” terdengar suara pria menjawab ragu-ragu.

“Hidupku sudah rumit, jadi menambah sedikit kerumitan lagi kayaknya nggak masalah deh. Sudah terbiasa,” aku meyakinkannya. “Kamu ini sebenarnya apa? Hantu? Siluman? Atau apa?”

“Sebentar, aku berubah dulu supaya enak menjelaskannya.” Suara itu meminta izin, tidak lama kemudian ukuran boneka porselenku itu berubah membesar dan menjadi seorang pemuda yang aku lihat sebelumnya.

Aku mempersiapkan mental dan hati, pasalnya pemuda di depanku ini terlalu tampan. Aku khawatir terpikat kalau aku tidak membentengi hatiku. “Jadi siapa kamu sebenarnya?”

“Panggil aja aku Adri seperti biasa, aku hidup di masa kolonial sewaktu negara ini belum merdeka. Aku aslinya manusia, sama kayak kamu, cuma ya murni keturunan Belanda. Aku lahir dan besar di Batavia, eh Jakarta maksudnya. Aku banyak bergaul dengan warga lokal, jadinya ya begini deh, bahasa Indonesiaku bagus kan?” Pemuda itu menceritakan, sedikit berharap pengakuan.

“Iya iya, haus pengakuan banget.” Komentarku risih, “Jadi gimana ceritanya kamu bisa jadi boneka?”

Pemuda itu tertunduk, bingung menyampaikannya, “Aku dikutuk. Kamu tahu kan pribumi di zaman dulu punya banyak ilmu dan kesaktian yang diluar nalar, sepertinya karena itu deh.” Ia meringkas ceritanya.

“Kenapa bisa dikutuk? Memang kamu melakukan kesalahan apa? Nyolong arca? Ngerusak candi?” Aku menatapnya curiga.

“Ya ampun tuduhannya, nggak kriminal gitu lah!” Pemuda itu cepat-cepat menangkis tuduhan tak berdasar itu. “Memang sih, kesalahanku sepele, tapi berakibat fatal,” mata pemuda itu terlihat berkaca-kaca mengenang masa lalu, ia seperti ragu untuk membongkar kisahnya, ‘Bayaran dari kesalahanku mahal, aku sampai kehilangan nyawa perempuan yang aku cintai karena kebodohanku. Bagaimana caranya aku menceritakan aibku ini, aku terlalu malu mengakuinya.’ Adri sibuk berkutat dengan pikirannya sendiri.

“Oke, aku mengerti. Kamu boleh simpan sendiri ceritamu kalau sulit diceritakan. Aku nggak sekepo itu kok. Lagipula wajar setiap orang punya rahasia.” Akasia berusaha terlihat tidak peduli untuk menjaga perasaan pemuda di depannya. Ia kasihan melihat matanya yang berkaca-kaca seperti mau menangis.

“Terima kasih ya atas pengertiannya. Mungkin nanti kalau aku sudah siap aku bakal cerita. Soalnya ceritanya akan panjang.” Pemuda itu tersenyum haru, membuat Akasia kembali tersentuh.

‘Bisa nggak sih nggak usah seganteng itu? Susah nih membentengi hati kalau dia senyum kayak begitu terus!’ Keluh gadis itu dalam hati. “Lalu sekarang gimana? Untung aku yang pergoki kamu, bukan orang rumahku yang lain. Bisa gawat kalau orangtuaku lihat kamu, nanti dikira aku bawa masuk cowok ke kamar. Aku nggak mau ya dituduh mesum terus diarak warga keliling kampung.” Akasia memperingatkan dengan tegas, yang direspon pemuda itu dengan menahan tawa, manis sekali.

“Sudah besar ternyata kamu, Nak...kemana perginya ya gadis kecil enam tahun yang polos itu?” Gumamnya jahil.

“Sok tua banget sih! Iya deh, Puh Sepuh. Engkong maunya gimana?” Kali ini Akasia membalas dengan sedikit salah tingkah.

“Heeii aku nggak setua itu ya! Eh tapi...benar juga.” Adrian tidak bisa menampik kenyataan itu.

“Iya kan, harusnya Aki tuh sekarang udah jadi fosil.” Ledek Akasia puas.

“Songong ya, dibilang fosil! Gini-gini gue tuh up to date.” Adrian pamer kemampuannya, demi menampik kesan kolot yang ia hindari.

“Tetap aja umur nggak bisa bohong, generation gap kita terlalu jauh. Sorry but it's a fact (maaf tapi itu faktanya).” Akasia membalas tidak mau kalah.

“Heh, jangan nggak sopan sama orang yang lebih tua!” Pemuda itu akhirnya terpancing emosinya.

“Tuh kan pakai ultimate card umur, khas orang berumur.” Akasia memvalidasi tuduhannya.

“Ingat, bobrok-bobroknya kamu aku tahu semua loh! Jangan macam-macam!” Adrian menyeringai sambil mengacungkan telunjuknya, mengingatkan gadis itu akan kebersamaan mereka selama ini.

Akasia baru ingat ia sudah bercerita terlalu banyak pada boneka Adri dulu, “Waduh, iya lagi,” ia langsung diam tak berkutik.

“Bagus, sekarang bagaimana kalau kamu menyalakan laptop kamu? Kita buat perjanjian MOU demi kebaikan dan ketentraman kita bersama.” Adrian mengkomando tegas.

Akasia membuka laptopnya di meja belajar dan segera menyalakannya, ‘Kenapa aku menurut ya?’ herannya dalam hati, ‘Tapi akan aku buat aturannya menguntungkan aku juga. Harus adil!’ Tekadnya.

Sementara dalam diamnya Adrian terperangah kagum dengan gawai bernama laptop itu. Ia sudah lama penasaran melihatnya dan ingin mencoba menggunakannya. Di zamannya dulu mesin ketik manual saja sudah kelihatan canggih, sekarang bahkan ada alat secanggih laptop yang serba bisa dan praktis dibawa kemana-mana. Tapi ia gengsi menyuarakan keheranan dan kekagumannya. Selagi Akasia mengoperasikan laptopnya ia hanya memperhatikan cara kerjanya dengan sorot mata berbinar-binar.

“Oke, mau diketik apa ini?” Akasia membuka aplikasi pembuat dokumen.

“Beri judul ‘Surat Kesepakatan Persetujuan Tinggal’.” Adrian mencetuskan, gadis itu segera menuruti meski pikirannya masih linglung.

“Loh memang sudah aku izinkan tinggal disini?” Respon Akasia polos.

“Loh memangnya belum?” Adrian terhenyak kaget, “Ayolah, apa artinya kebersamaan kita selama ini? Kita kan teman. Dulu kamu sering ajak aku main masak-masakan bareng, rumah-rumahan, dokter-dokteran.”

“Stop-stop, oke mengerti! Iya boleh, tapi aku juga boleh mengatur pasal-pasalnya.” Akasia mensyaratkan dengan panik, teringat aib-aibnya.

“Tentu, kamu kan pemilik kamar. Tadi aku bilang ini demi kebaikan kita bersama, justru pendapat kamu sangat diperlukan.” Adrian menenangkannya, “Apalagi kita menempati kamar yang sama, harus ada aturan yang berlaku untuk meminimalisir konflik kedepannya.”

Perkataan Adrian tadi justru membuat Akasia tersipu, pikirannya berkelana kemana-mana. ‘Teman sekamar, kok kedengarannya ambigu ya? Bahaya nggak nih?’ Ia berpikir ulang risiko keputusan yang diambilnya ini.

Adrian sedikit banyak bisa menebak isi kepala Akasia dan merasa salah bicara, “Maksudnya aku kan seringnya berwujud boneka. Tenang, walaupun aku aslinya ganteng begini aku pemuda bermartabat kok. Soal perempuan aku juga pilih-pilih, di mataku kamu mah bocah! Kecil, nggak menarik!” Ia sedikit meralat ucapannya, namun tampaknya malah semakin memancing emosi Akasia.

“Pemilik kamar ini kamu sebut apa? Bocah, nggak menarik?” Akasia mengulang ucapan Adrian dengan senyum geram, membuat pemuda itu sadar ia semakin salah bicara, “Kamu benar-benar nggak takut diusir dari sini ya? Kamu bisa loh berakhir di TPS Bantar Gebang, disana luas, enak, beratapkan langit berlantaikan tumpukan sampah, kamu jadi banyak teman.” Gadis itu mengancam dengan sarkas.

“Maaf Paduka Ratu, hamba salah bicara. Izinkan hamba menebus kesalahan hamba. Paduka Ratu wanita yang agung, mana berani hamba menyentuh Paduka atau bersikap tidak sopan, membayangkannya saja sudah lancang bagi hamba.” Adrian kali ini membujuk dengan totalitas penghayatan peran. Ia membungkuk, tangan kanannya ditangkupkan di dada, gestur memberi hormat.

“Bagus kalau kamu sadar posisimu, sekarang biarkan Ratu Wilhelmina-mu ini mengetik dulu pasal-pasal yang aku perlukan.” Akasia meminta waktu dengan gaya yang sama.

“Lebih mirip windmill sih.” Ledek Adrian asal sambil menahan tawa.

“Kamu bilang apa tadi?” Akasia curiga.

“Saya cuma bicara dengan lalat, Paduka.” Adrian menjawab asal, mencari aman, "O iya Paduka, boleh saya meminta izin Paduka?"

“Untuk apa wahai rakyat jelata?” Sang pemilik kamar menanyakan dengan pongah.

“Bolehkah saya memakai alat elektronik paduka saat paduka tidak ada di kamar? Seperti menyalakan televisi atau laptop kalau sedang bosan? Saya berjanji akan mengecilkan suara agar orang-orang dirumah tidak ada yang mendengar.” Adrian menjelaskan keinginan terpendamnya.

“Loh, memangnya kamu bisa?” Akasia terkejut.

“Ya bisa lah!” Jawab Adrian yakin, “Kalau diajarin,” tambahnya kemudian sambil cengengesan, "Tolong ajari aku ya? Ya?" Pintanya merajuk.

“Demanding banget deh, iya deh iya.” Akasia menyanggupi.

“Kalau...HP?” Adrian menyatukan kedua telunjuknya dan memainkannya dengan malu-malu.

“Waduh, kalau pinjam HP nggak boleh! Terlalu privasi, sorry nih.” Akasia menolak cepat, “Tapi kamu kayaknya memang bakal membutuhkan HP sih. Gini aja…” Akasia beranjak untuk mengambil sesuatu di laci lemarinya. Ia membawa benda tersebut dan memberikannya ke tangan Adrian, ternyata ponsel android yang lain. Adrian terkesiap, matanya berbinar-binar.

“Itu HP lamaku, kamu pakai aja. Disitu juga sudah diinstal aplikasi pemantau CCTV di rumah ini, kamu bisa mengintai keberadaan orang rumah dari sana dan belajar menghindar dari kamera CCTV setiap keluar rumah. Disitu ada nomor HP-ku juga. Nggak apa-apa kan HP lama?”

Adrian mengangguk cepat, “Nggak masalah banget! Aku justru berterima kasih dipinjamkan satu HP khusus untuk aku, terima kasih Paduka Ratu!” Ia tampak terharu dan bahagia, seperti mendapatkan bongkahan emas.

“Dijaga ya, jangan lupa baterainya di-charge.” Akasia berpesan, “Ini titahku!”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!