NovelToon NovelToon

BECOME A MAFIA QUEEN

Bab 1. Kelahiran Kembali Sang Jenderal

Bab 1: Kelahiran Kembali Sang Jenderal

Darah mengalir di medan perang yang telah menjadi saksi bisu dari banyak nyawa yang gugur. Jeritan para prajurit masih menggema di udara, bercampur dengan suara dentingan pedang yang beradu. Di tengah kekacauan itu, seorang wanita berdiri tegak, meskipun tubuhnya telah dipenuhi luka. Matanya menyala penuh determinasi. Dialah Jenderal Alexa, pemimpin perang yang namanya mengguncang seluruh negeri.

Namun, hari itu, keberuntungan tidak berpihak padanya. Sebuah pedang musuh berhasil menembus dadanya, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Alexa merasakan kelemahan. Dia tersungkur ke tanah, napasnya mulai melemah. Saat darah hangat mengalir dari tubuhnya, pikirannya mulai mengabur.

"Apakah ini akhir dari segalanya?" pikirnya. Tapi sebelum kegelapan benar-benar menelannya, dia merasakan sesuatu yang aneh. Ada tarikan kuat yang membawanya kembali ke dalam pusaran cahaya, dan kesadarannya menghilang.

Saat Alexa membuka matanya, dia merasakan sesuatu yang berbeda. Tidak ada suara pedang, tidak ada bau darah. Sebaliknya, dia merasakan kasur empuk di bawah tubuhnya dan suara langkah kaki di sekelilingnya.

Dia mencoba mengangkat tangannya, namun sesuatu terasa aneh. Kulitnya lebih halus, dan ketika dia melihat ke cermin di dekatnya, yang dia lihat bukanlah wajah seorang prajurit berpengalaman, tetapi seorang wanita muda dengan rambut hitam panjang yang terurai indah dan mata berwarna emas yang tajam.

Seketika, ingatan baru membanjiri kepalanya. Nama wanita ini adalah Alessia Moretti seorang ratu mafia yang ditakuti di seluruh dunia bawah. Dia adalah pemimpin keluarga kriminal terbesar di kota ini, dikenal karena kekejamannya, kecerdasannya, dan kekuatannya dalam mengendalikan bisnis ilegal. Namun, Alessia mengalami kecelakaan mobil yang mencurigakan, yang kini disadari Alexa bukanlah kecelakaan biasa.

Alexa terdiam sejenak, mencoba menyusun kembali pikirannya. Dia, seorang jenderal perang dari masa lalu, kini terlahir kembali sebagai seorang pemimpin mafia?

"Takdir macam apa ini?"

Namun, jika takdir memberinya kesempatan kedua, dia tidak akan menyia-nyiakannya. Jika dia bisa menaklukkan medan perang, maka dunia bawah pun bukanlah sesuatu yang tidak bisa dia kendalikan.

Tak butuh waktu lama bagi Alexa untuk memahami dunia barunya. Alessia memiliki reputasi sebagai pemimpin yang disegani, tetapi juga banyak musuh yang mengincarnya. Pengkhianatan, pembunuhan, dan perang antar kelompok mafia adalah hal yang biasa di dunia ini.

Dalam beberapa hari, dia mulai mempelajari jaringan bisnis Alessia—perdagangan senjata, kasino ilegal, serta hubungan dengan politikus dan polisi korup. Namun, yang menarik perhatian Alexa adalah bahwa meskipun Alessia kuat, ada banyak kelemahan dalam organisasinya. Para bawahannya tidak terlalu setia, dan ada banyak yang menunggu kesempatan untuk menggulingkannya.

Pada malam ketiga sejak kebangkitannya, Alexa duduk di ruang kantornya yang luas, ditemani oleh segelas anggur merah. Beberapa pria berbadan kekar berdiri di sudut ruangan, jelas merupakan pengawalnya.

Seorang pria tinggi dengan bekas luka di pipi masuk ke dalam ruangan. Dia adalah Lorenzo, tangan kanan Alessia, atau yang lebih tepatnya, orang yang mungkin berencana mengkhianatinya.

“Bos,” katanya dengan suara rendah. “Ada laporan bahwa kelompok Russo sedang bergerak. Mereka tampaknya ingin mengambil wilayah kita di utara.”

Alexa menyesap anggurnya perlahan, menatap Lorenzo dengan mata dingin. Jika dia masih menjadi Alessia yang lama, mungkin dia akan panik atau ragu dalam mengambil keputusan. Tapi dia bukan Alessia. Dia adalah Alexa, seorang jenderal yang telah berperang seumur hidupnya.

“Siapkan pasukan kita,” katanya dengan tenang. “Kita tidak akan menunggu mereka datang. Kita yang akan menyerang lebih dulu.”

Lorenzo terkejut. Biasanya, Alessia akan mencoba berdiplomasi terlebih dahulu atau menunggu langkah lawan sebelum bereaksi. Tetapi kali ini, ekspresi wanita di hadapannya benar-benar berbeda. Ada ketegasan yang tidak biasa dalam suaranya.

“Bos, apakah Anda yakin?”

Alexa menatapnya tajam, membuat pria itu mundur setengah langkah.

“Aku tidak suka mengulang perintah, Lorenzo. Lakukan!”

Lorenzo menelan ludah dan segera pergi untuk menyusun pasukan. Alexa tersenyum kecil. Jika dunia ini adalah medan perang baru baginya, maka dia akan memainkannya dengan cara yang sama seperti dulu dengan strategi, keberanian, dan tanpa ampun.

Malam itu, keluarga Moretti menyerang lebih dulu, mengambil alih markas utama kelompok Russo sebelum mereka sempat bergerak. Alexa memimpin operasi itu sendiri, menunjukkan keahlian bertarungnya yang luar biasa.

Para bawahannya terkejut melihat cara dia bertarung gerakannya cepat, efisien, dan tanpa ragu. Seolah-olah dia bukan hanya seorang pemimpin mafia, tetapi seorang pejuang sejati.

Dalam waktu kurang dari satu jam, mereka telah menguasai wilayah yang sebelumnya dikuasai Russo. Alexa berdiri di tengah kekacauan, dengan tangan berlumuran darah, tetapi dengan senyum puas di wajahnya.

Para bawahannya mulai melihatnya dengan cara yang berbeda. Ketakutan berubah menjadi kekaguman, dan keraguan mereka mulai menghilang.

Saat Alexa berjalan keluar dari gedung yang kini menjadi miliknya, dia menatap langit malam dengan perasaan puas.

Dunia ini mungkin berbeda dari medan perang yang dia kenal, tetapi pada akhirnya, prinsipnya tetap sama hanya yang terkuat yang akan bertahan.

Matanya menatap sekeliling bau amis yang tercium oleh indra penciumannya sudah menjadi hal lumrah baginya di kehidupan sebelumnya, namun ini hal yang sulit dia tafsirkan di kehidupan barunya.

Wajahnya yang cantik dengan rambut panjang dan mata emas itu bergoyang dengan keringat yang bercucuran, darah mengalir di kedua tangannya.

Tentu saja itu bukan darahnya, itu adalah darah musuh-musuhnya yang baru saja dia lenyapkan.

Gudang besar dan sebuah Istana kini menjadi rampasan Alessia, dia tak begitu perduli dengan rampasan perang itu yang kini dia pikirkan adalah tentang apa yang akan dia lakukan selanjutnya.

"Haa, awal baruku yang payah." Gumam Alessia, dia tak pernah ingin jadi pembunuh atau menjadi predator mengerikan, namun bila ada yang menghalangi langkahnya maka dia akan menyingkirkan mereka tanpa ampun sedikitpun.

Begitulah prinsip hidup seorang Alexa sejak dulu, keras namun juga sangat disiplin. Dia adalah sosok yang baru saja kembali dari kematian, dan dia berjanji akan menjadi sosok yang lebih kuat lagi di masa depan.

.

.

.

Hai hai semuanya.. Apa kabar?

Semoga baik dan sehat selalu ya semuanya, aamin. Untuk yang baru gabung aku ucapkan selamat datang, dan yang belum gabung udah lama aku ucapkan selamat membaca aja ya.

Nah saat ini Nuah lagi Hiatus kawan, jadi sementara waktu yang nulis novel Alik dulu ya.

Oke kenalin aku Alika kawan, kalian panggil aku Alik aja lah, nah kali ini temanya kita mafia ya. pokonya ini masalah dunia pergeludan dan juga arena menantang dan menggebu-gebu.

Jangan lupa satu klik untuk jari jempolnya ke tombol like, terimakasih.

Happy reading all...

Bab 2. Dendam

Darah menggenang di lantai marmer markas keluarga Russo. Bau mesiu dan besi berkarat bercampur dalam udara yang berat, seakan menjadi saksi bisu pembantaian yang baru saja terjadi. Mayat-mayat berserakan di seluruh penjuru ruangan, tubuh-tubuh mereka berlubang peluru atau terkapar dengan luka menganga.

Di tengah kekacauan itu, seorang wanita berdiri dengan penuh wibawa. Matanya yang tajam berwarna emas menatap pemandangan di hadapannya dengan ekspresi datar, seolah kematian bukanlah hal yang luar biasa baginya. Ia mengenakan setelan hitam elegan yang tetap bersih meskipun pertarungan baru saja berakhir. Wanita itu adalah Alessia Moretti—Ratu Mafia yang baru bangkit dari kematian sebagai seseorang yang berbeda.

Sebelumnya, ia adalah Jenderal Alexa, seorang pemimpin perang yang tangguh, yang mati dalam tugas terakhirnya. Namun, takdir rupanya menghendaki sesuatu yang lebih dari sekadar kematian baginya. Ia terbangun kembali di tubuh Alessia, seorang penguasa dunia hitam yang namanya ditakuti di seluruh penjuru kota. Dan malam ini, Alessia yang baru saja bereinkarnasi telah menancapkan kekuasaannya dengan menaklukkan keluarga Russo dalam satu malam.

"Pastikan semua yang tersisa bersumpah setia atau musnah," perintahnya dengan suara dingin dan mantap.

Orang-orangnya segera bergerak, menyeret para penyintas yang berlutut dengan ketakutan. Tidak ada belas kasih dalam dunia ini—sama seperti di medan perang. Jika mereka tidak tunduk, mereka harus dilenyapkan.

Di sudut gelap sebuah gedung bertingkat yang menghadap ke tempat kejadian, sepasang mata memperhatikan Alessia dengan penuh minat.

Ziad menyandarkan tubuhnya ke dinding kaca, mengamati dengan teleskop kecil dari lantai atas sebuah hotel. Ia telah lama mengawasi dunia mafia, tapi ini pertama kalinya ia melihat seseorang sekejam sekaligus secerdas Alessia. Wanita itu tidak hanya memimpin penyerbuan, tetapi juga mengatur setiap langkah dengan presisi seperti seorang jenderal di medan tempur.

‘Menarik,’ pikirnya.

Sebagai mata-mata dari Central Agency of Intelligence (CAI), Ziad terbiasa menghadapi banyak pemimpin kriminal. Namun, Alessia berbeda. Gerak-geriknya begitu disiplin, cara bertarungnya efisien, dan ekspresi matanya…

Bukan milik seorang mafia biasa.

Ziad memutar cincinnya pelan, kebiasaan yang selalu ia lakukan saat berpikir. Jika Alessia terus berkembang seperti ini, ia akan menjadi ancaman besar. Tidak hanya bagi dunia kriminal, tapi juga bagi keseimbangan kekuatan di kota ini.

Di bawah sana, Alessia berjalan melintasi reruntuhan dengan anggun. Ia berjongkok di depan tubuh seseorang Luciano Russo, mantan pemimpin keluarga Russo yang kini terkapar tak bernyawa dengan mata terbuka kosong. Alessia mengambil pisau yang tergeletak di dekatnya, mengangkatnya hingga cahaya bulan memantul di permukaannya, lalu menancapkannya ke jantung pria itu dengan satu gerakan tegas.

"Lambang kematian untukmu, Russo," gumamnya pelan.

Para anak buahnya bersorak. Alessia hanya tersenyum tipis.

Ini baru permulaan.

Dari kejauhan, Ziad menutup teleskopnya. Bibirnya melengkung dalam senyum samar.

"Aku rasa ini akan menjadi lebih menarik dari yang kuduga," bisiknya.

Darah masih mengalir di lantai marmer keluarga Russo. Udara dipenuhi aroma mesiu dan besi yang menyengat. Alessia berdiri di tengah ruangan, dikelilingi mayat-mayat yang terbujur kaku. Matanya menatap kosong ke depan, tetapi pikirannya kembali ke masa lalu.

Flashback dimulai

Dulu, sebelum menjadi Alessia, dia adalah Jenderal Alexa von Eisenhardt, seorang panglima perang yang tak terkalahkan. Ia mengabdikan seluruh hidupnya untuk negaranya, memimpin pasukan ke berbagai pertempuran, menghancurkan musuh-musuhnya dengan taktik dan keberanian.

Namun, dalam salah satu operasi militer yang menentukan, dia dikhianati. Informasi lokasi pasukannya bocor, menyebabkan penyergapan besar-besaran yang berakhir dengan kematian seluruh unitnya. Alexa sendiri terluka parah, tetapi yang paling menyakitkan bukan luka fisik, melainkan pengkhianatan dari orang-orang yang seharusnya berada di pihaknya.

Di ambang kematian, Alexa melihat wajah para pengkhianatnya. Salah satunya adalah seorang pria dengan senyum licik dan mata penuh penghinaan Matteo Russo.

Keluarga Russo bukan sekadar mafia biasa. Di kehidupan sebelumnya, mereka adalah perantara bayangan, yang menjual informasi, senjata, dan nyawa kepada pihak tertinggi. Mereka bekerja sama dengan musuh yang akhirnya menghancurkan pasukan Alexa. Keluarga Russo mendapat keuntungan dari pengkhianatan itu, sementara dia dan anak buahnya mati sia-sia.

Saat Alexa mengembuskan napas terakhirnya di dunia lama, kebencian itu tertanam dalam jiwanya. Dan ketika ia bereinkarnasi sebagai Alessia, kebencian itu tak pernah pudar—sebaliknya, ia tumbuh subur, menunggu saat yang tepat untuk membalas dendam.

Kembali ke masa kini

Alessia tersenyum dingin melihat tubuh Matteo Russo yang kini tak bernyawa.

"Kau pikir aku akan lupa?" bisiknya sambil menatap pria itu dengan penuh kebencian. "Aku tak hanya membunuhmu, Matteo. Aku menghapus seluruh jejak keberadaan keluargamu, sama seperti yang kalian lakukan padaku di kehidupan lalu."

Di sudut ruangan, Ziad mata-mata CAI memperhatikan Alessia dalam diam. Dia menyadari sesuatu: ini bukan sekadar persaingan mafia. Ada sesuatu yang jauh lebih dalam.

Dari tempatnya bersembunyi, Ziad menyaksikan semuanya. Dia bukan orang yang mudah terkejut dengan kebrutalan dunia bawah, tetapi malam ini—melihat bagaimana Alessia membantai keluarga Russo tanpa ragu sedikit pun—membuatnya berpikir ulang.

Ini bukan hanya tentang mafia. Ini tentang sesuatu yang lebih besar.

Dia memandangi Alessia dengan penuh perhatian. Dia adalah orang baru dalam dunia kejahatan ini, tetapi dalam waktu singkat, dia naik ke puncak dan menyingkirkan salah satu keluarga paling berpengaruh.

Dari informasi yang CAI kumpulkan, Alessia tidak memiliki latar belakang yang jelas. Tidak ada catatan kriminal sebelum ini. Tidak ada sejarah panjang dalam dunia kejahatan. Seolah-olah dia muncul begitu saja dari kegelapan, langsung menjadi ancaman terbesar bagi semua orang.

Dan yang lebih aneh lagi—cara bertarungnya.

Ziad melihat rekaman bagaimana Alessia membantai anak buah keluarga Russo. Gerakannya terlalu terlatih, terlalu strategis, seperti seorang tentara veteran yang telah menghabiskan bertahun-tahun di medan perang.

Seorang mafia tidak bergerak seperti itu.

"Siapa kau sebenarnya?" gumamnya pelan.

Dia seharusnya melaporkan semua ini ke atasannya di CAI. Tetapi entah mengapa, dia ragu.

Jika dia melaporkan Alessia sekarang, besar kemungkinan CIA atau organisasi lain akan mulai memburunya. Dan Ziad merasa… Alessia terlalu berbahaya untuk ditangani dengan cara biasa.

Tidak. Dia tidak akan melaporkannya. Dia akan menyelidiki ini sendiri.

Dan mungkin, jika dia cukup pintar, dia bisa mengetahui rahasia terbesar yang disembunyikan Alessia.

.

.

.

Nah kepo untuk selanjutnya boleh kok aku tambahin lagi nih satu bab ya, tapi jangan lupa ulurkan jempol kalian untuk tekan tombol like ya kawan.

Sekecil apapun dukungan kalian, itu akan sangat berarti untuk Author kecil sepertiku, tetap stay dan siapkan kembali cemilan kalian ya.

Happy reading....

Bab 3. Identitas Tersembunyi

Bab 3. Identitas Tersembunyi

Malam itu masih membekas di benak Ziad. Sosok Alessia Moretti bukanlah ratu mafia biasa—ada sesuatu yang lebih dalam, lebih kompleks, lebih mematikan. Setelah menyaksikan bagaimana Alessia menghabisi keluarga Russo, Ziad semakin tertarik untuk mengungkap siapa dia sebenarnya.

Penyelidikannya dimulai dengan cara yang sederhana: menyusup ke dalam jaringan informasi bawah tanah, melacak identitas Alessia di dunia biasa. Yang mengejutkannya, di luar kehidupannya sebagai Ratu Mafia, Alessia Moretti dikenal sebagai seorang mahasiswa biasa di Universitas Firenze. Lebih dari itu, dia bukan seseorang yang menonjol atau berpengaruh—sebaliknya, dia adalah sosok yang lemah, culun, dan kerap menjadi sasaran perundungan brutal.

Ziad menelusuri jejaknya lebih dalam, menyelinap ke dalam arsip akademik dan rekaman CCTV kampus. Fakta yang terkuak sungguh bertolak belakang dengan gambaran Alessia yang selama ini dia kenal.

Di dunia akademik, Alessia bukan siapa-siapa. Dia hanya seorang gadis berkacamata tebal dengan pakaian lusuh dan rambut selalu diikat asal-asalan. Mahasiswi jurusan sejarah ini kerap datang lebih awal ke kelas, duduk di sudut ruangan, dan jarang berinteraksi dengan siapa pun. Rekan-rekannya mengabaikannya—bahkan lebih buruk lagi, mereka mengolok-oloknya setiap kesempatan yang ada.

Dari rekaman CCTV di lorong kampus, Ziad menyaksikan sendiri bagaimana Alessia dipermalukan oleh teman-temannya. Suatu hari, seorang gadis berambut pirang menjulurkan kakinya saat Alessia berjalan, menyebabkan tubuhnya terjungkal ke lantai. Bukunya terjatuh, kacamatanya meluncur ke depan, dan gelak tawa terdengar di sekelilingnya. Namun Alessia hanya terdiam, meraih kacamatanya, dan berjalan pergi seolah tak terjadi apa-apa.

Lalu ada rekaman lain sekelompok mahasiswa laki-laki menuangkan minuman di atas buku Alessia, membuat catatan kuliahnya rusak. Wajah Alessia tetap datar, seolah dia sudah terbiasa dengan perlakuan itu. Dia tak pernah melawan.

Ziad mengepalkan tangan saat menyaksikan semua itu. Apakah ini benar-benar wanita yang sama dengan Alessia Moretti yang menghancurkan mafia Russo dengan tangannya sendiri?

Ziad menggali lebih dalam. Dia menemukan bahwa Alessia tinggal di apartemen kecil tak jauh dari kampus, hidup hemat dengan beasiswa penuh. Kehidupan akademiknya nyaris tanpa cela—nilai-nilainya sempurna, tugasnya selalu dikumpulkan tepat waktu, dan dia dikenal sebagai mahasiswa yang jenius dalam sejarah perang.

Namun ada satu hal yang membuatnya curiga: tidak ada catatan kehidupan Alessia sebelum dia masuk universitas. Tidak ada data keluarga, tidak ada informasi tentang sekolah menengahnya. Seolah-olah dia muncul begitu saja di dunia ini tiga tahun yang lalu.

Semakin banyak fakta yang dia temukan, semakin jelas bahwa Alessia menjalani dua kehidupan yang bertolak belakang. Di satu sisi, dia adalah mahasiswa culun yang sering dirundung. Di sisi lain, dia adalah Ratu Mafia yang memimpin dengan tangan besi.

Bagaimana mungkin seseorang bisa menjalani dua kehidupan ini tanpa terbongkar?

Ziad tahu bahwa mengawasi Alessia dari jauh saja tidak cukup. Dia harus lebih dekat. Dan satu-satunya cara adalah masuk ke dalam lingkungan universitasnya.

Dengan keahlian dan koneksi yang dimilikinya, Ziad dengan cepat memalsukan identitas sebagai "Dr. Luca Moreau," seorang dosen sejarah militer dari Prancis. Universitas Firenze sedang membutuhkan dosen tamu untuk semester baru—kesempatan yang sempurna bagi Ziad untuk menyusup ke dunia Alessia.

Hari pertama sebagai dosen, Ziad melangkah ke dalam aula besar, mengenakan kemeja putih dan jas hitam, tampil sebagai akademisi terhormat. Mahasiswa-mahasiswa mulai berdatangan, dan di antara mereka, di barisan paling belakang, duduklah Alessia.

Penampilannya sama seperti di rekaman CCTV—rambutnya diikat asal-asalan, kacamata tebalnya hampir menutupi wajahnya, dan pakaiannya terlihat sederhana. Dia tidak menonjol di antara mahasiswa lainnya.

Namun, Ziad merasakan sesuatu yang berbeda. Meski Alessia tampak seperti gadis biasa, ada aura ketegangan yang selalu mengelilinginya. Cara dia mengamati lingkungan sekitarnya, bagaimana matanya secara refleks mencari titik keluar di ruangan, dan bagaimana dia duduk dengan posisi strategis yang memungkinkannya untuk pergi kapan saja—semua ini adalah kebiasaan seorang pejuang, bukan mahasiswa biasa.

"Selamat pagi, semuanya. Saya Dr. Moreau, dan saya akan mengajar Sejarah Perang Eropa semester ini."

Semua mahasiswa memperhatikannya, kecuali Alessia, yang tetap menunduk ke bukunya.

"Kita akan memulai dengan satu pertanyaan sederhana," lanjut Ziad sambil berjalan perlahan ke tengah kelas. "Menurut kalian, apakah pemimpin yang kuat itu lahir dari keadaan yang nyaman, atau dari penderitaan?"

Mahasiswa mulai berdiskusi, tetapi Alessia tetap diam.

Ziad tersenyum. "Nona Moretti, bagaimana pendapat Anda?"

Alessia tersentak. Semua mata kini tertuju padanya. Dia menyesap napas, lalu menjawab dengan suara datar, "Sejarah membuktikan bahwa pemimpin yang paling berbahaya adalah mereka yang lahir dari penderitaan. Ketika seseorang kehilangan segalanya, dia juga kehilangan rasa takut."

Jawaban itu membuat ruangan hening.

Ziad menatapnya dengan tajam. Untuk pertama kalinya, dia melihat sekilas sosok Alessia yang sebenarnya bukan gadis culun yang ditindas, tapi seorang ratu yang telah mengarungi perang dan kembali dengan darah di tangannya.

Kini dia yakin. Alessia bukan hanya seseorang yang menjalani dua kehidupan. Dia adalah seseorang yang menyembunyikan kekuatannya dengan sangat baik.

Dan Ziad akan mencari tahu alasannya.

Ziad sudah memperkirakan bahwa mendekati Alessia Moretti tidak akan mudah. Namun, dia tidak menyangka akan sesulit ini. Alessia bukan hanya sekadar dingin, dia membangun tembok yang begitu kokoh hingga siapa pun yang mencoba mendekat akan merasakan hawa dingin yang menusuk.

Sejak pertemuan pertama mereka di kelas, Alessia menunjukkan sikap yang nyaris tanpa cela. Dia datang tepat waktu, duduk di tempat yang sama setiap hari, mencatat dengan rapi, dan tidak pernah berpartisipasi dalam diskusi kecuali dipaksa.

Bagi mahasiswa lain, Alessia adalah gadis pemalu dan penyendiri. Tapi bagi Ziad, dia melihat lebih dari itu, setiap gerak-geriknya terlatih, setiap tatapannya penuh perhitungan. Alessia bukan menghindari interaksi karena malu, tetapi karena dia tidak ingin ada orang yang terlalu dekat dengannya.

Ziad mulai mencoba mendekatinya secara halus. Setelah kelas selesai, dia sengaja memanggil Alessia.

"Nona Moretti, bisakah Anda tetap sebentar?"

Alessia berhenti sejenak, menatapnya dengan mata tajam dari balik kacamatanya sebelum akhirnya berjalan mendekat.

"Ada apa, Profesor?" suaranya datar, tanpa emosi.

"Saya perhatikan esai Anda tentang strategi perang Napoleon sangat mengesankan. Anda menulis dengan pemahaman yang mendalam, bukan sekadar mengulang teori dari buku."

Alessia hanya mengangguk kecil. "Saya suka sejarah perang."

"Saya bisa lihat itu. Jika Anda tertarik, saya punya beberapa jurnal militer yang mungkin belum Anda baca. Anda bisa datang ke ruang saya jika ingin melihatnya."

"Tidak perlu," jawabnya cepat. "Saya sudah memiliki cukup referensi."

Ziad menahan senyum. Dia tahu Alessia akan menolak. Tapi dia juga tahu ini bukan sekadar sikap acuh tak acuh—ini adalah strategi bertahan. Alessia tidak ingin memiliki hubungan apa pun dengan siapa pun.

"Sangat disayangkan," ujar Ziad santai. "Saya jarang menemukan mahasiswa yang memiliki wawasan sebaik Anda."

Alessia tidak menanggapi. Dia hanya sedikit membungkuk sebagai tanda hormat, lalu berbalik dan pergi.

Ziad menghela napas. Ini akan lebih sulit dari yang dia kira.

Setelah beberapa kali gagal mendekati Alessia secara langsung, Ziad mulai mengubah strategi. Dia tidak lagi mencoba berbicara dengannya secara personal, melainkan mencari cara untuk membuat Alessia secara alami berada di dekatnya.

Salah satu kesempatan datang ketika dia mengumumkan bahwa akan ada sesi diskusi khusus untuk mahasiswa yang tertarik mendalami strategi perang klasik.

"Akan ada sesi tambahan setiap Rabu sore bagi mereka yang ingin mendalami lebih jauh tentang taktik militer. Ini opsional, tapi saya sangat menyarankan bagi kalian yang memiliki ketertarikan di bidang ini."

Sebagian besar mahasiswa tidak terlalu peduli, tetapi ada beberapa yang tampak tertarik. Alessia? Dia tetap diam, tapi Ziad menangkap sedikit perubahan dalam sorot matanya.

Dan benar saja, pada hari Rabu pertama sesi diskusi tambahan, Alessia datang.

Dia duduk di pojok ruangan seperti biasa, mendengarkan dengan tenang saat Ziad menjelaskan tentang strategi pengepungan dalam sejarah Eropa. Saat mahasiswa lain mulai berdiskusi, Ziad memperhatikan Alessia yang mencatat tanpa mengangkat kepalanya.

"Bagaimana menurut Anda, Nona Moretti?" tanyanya tiba-tiba.

Alessia mengangkat wajahnya, seolah tak menyangka dirinya dipanggil. Beberapa mahasiswa lain menoleh ke arahnya.

Dia menghela napas sebelum akhirnya berbicara. "Pengepungan bisa menjadi strategi yang efektif, tapi juga berisiko. Jika perbekalan bertahan lebih lama daripada kesabaran penyerang, maka pengepungan bisa berbalik menjadi bumerang."

Ziad tersenyum tipis. "Analisis yang bagus. Jadi menurut Anda, apa yang lebih baik? Serangan langsung atau pengepungan?"

Alessia menatapnya sejenak sebelum menjawab, "Tergantung musuhnya."

Jawaban itu membuat Ziad semakin tertarik. Alessia tidak hanya memahami teori—dia memahami cara berpikir seorang pemimpin perang.

Setelah diskusi berakhir, Ziad memperhatikan bahwa Alessia adalah yang pertama meninggalkan ruangan, bahkan sebelum mahasiswa lain sempat merapikan barang-barang mereka. Seolah dia tidak ingin terjebak dalam percakapan lebih lama dari yang diperlukan.

Ziad mulai menyadari sesuatu. Alessia tidak hanya menjaga jarak darinya—dia menjaga jarak dari semua orang.

Hari demi hari berlalu, dan Ziad terus mencari cara untuk lebih dekat dengan Alessia. Hingga akhirnya, kesempatan itu datang secara tidak terduga.

Suatu sore, Ziad melihat Alessia sedang berjalan sendirian di taman kampus, membawa tumpukan buku tebal di tangannya. Dia berjalan dengan cepat, seolah ingin segera sampai ke tempat tujuan.

Namun, tiba-tiba seorang mahasiswa laki-laki menabraknya dengan sengaja, menyebabkan Alessia kehilangan keseimbangan dan bukunya terjatuh ke tanah.

"Heh, awas kalau jalan, kutu buku!" seru mahasiswa itu sambil tertawa bersama teman-temannya.

Alessia tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya berjongkok untuk mengambil bukunya, tetapi sebelum dia sempat meraih buku terakhir, mahasiswa itu menginjaknya.

Ziad sudah bergerak sebelum dia menyadarinya sendiri.

"Langkah yang buruk," katanya dengan suara rendah namun penuh ancaman.

Mahasiswa itu tersentak ketika melihat siapa yang berbicara. "P-Profesor?"

Ziad menatapnya dengan dingin. "Jika saya melihatmu melakukan hal semacam ini lagi, saya akan memastikan hidup akademikmu berakhir di sini."

Mahasiswa itu langsung mundur dengan gugup sebelum berlari pergi bersama teman-temannya.

Ziad menoleh ke Alessia, yang sudah berdiri sambil memeluk bukunya. Dia tidak terlihat marah, tidak terlihat takut—dia hanya menatap Ziad dengan ekspresi datar.

"Kau tidak perlu melakukan itu," katanya tenang.

"Seorang dosen harus memastikan mahasiswa tidak berbuat semena-mena," jawab Ziad santai.

Alessia menatapnya sejenak, lalu menghela napas pelan. "Terima kasih," katanya akhirnya, sebelum berbalik dan pergi.

Ziad tersenyum kecil. Itu bukan banyak, tapi setidaknya itu sebuah awal.

Mungkin, perlahan-lahan, dia bisa menemukan celah di dinding Alessia.

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!