“Sini kamu.” Syan menarik kuat pergelangan tangan seorang gadis yang berlinang air mata dengan mulut yang terus saja memohon balas kasihan darinya.
“A-mpun a-yah,” lirihnya begitu pelan. Kaki kecilnya mengikuti langkah besar Syan.
“Tidak ada ampun untuk anak tidak tahu diri seperti kamu!” Wajah Syan sangat merah menandakan dia sedang dikuasi amarah.
Syan memaksa gadis itu untuk masuk ke dalam kamar mandi, mendorong tubuh kecil itu dengan keras ke lantai kamar mandi tersebut. Mengisi bathtub hingga airnya penuh, lalu menarik tubuh gadis itu dengan cepat dan kasar.
“A-yah.”
“Mati saja kamu anak sialan!”
Syan menekan kuat kepala gadis tersebut hingga sepenuhnya tenggelam ke dalam air itu, seolah buta, pria tua itu semakin menekan kepala tersebut tanpa menghiraukan pemberontakan dari gadis yang sedang dia siksa.
Syan kembali mengangkat kepala tersebut, lalu menarik kuat rambut gadis itu sehingga wajahnya sedikit mendongak. “Saya bisa membunuh mu sekarang jika saya ingin, tetapi karena saya masih belum puas menyiksa mu. Melihat mu memohon ampun seperti itu membuat saya merasa senang anak pembawa sial.”
Gadis itu masih berusaha mengatur nafasnya, menghirup udara dengan rakus. Air matanya tidak terbendung lagi akibat siksaan yang ia dapatkan, menatap punggung lebar itu yang semakin hilang dalam pandangannya yang perlahan menghitam.
Gadis itu pingsan dengan wajah yang tidak bisa di katakan baik-baik saja, dinginnya lantai tersebut semakin menambah rasa sakit pada tubuhnya.
&&&
Di salah satu perumahan elit di Ibu Kota Jakarta terdapat satu rumah bak istana yang megah, salah satu rumah yang mungkin menjadi impian beberapa orang.
Di meja makan, tengah berlangsung sarapan pagi seperti biasanya. Tiga anggota keluarga menikmati sarapan mereka tanpa ada yang mengeluarkan suara, sang kepala keluarga baru saja kembali dengan wajah dinginnya.
“Ayah berangkat sekarang, ada meeting.” Syan mengambil ponselnya di atas meja makan tanpa menatap istri dan kedua anaknya.
“Mas tidak sarapan dulu?” Tanya sang istri. Wanita itu bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri suaminya.
Syan menatap istrinya. “Tidak, kalian saja,” jawabnya
dengan wajah tanpa ekspresi. “Kaliyah, berangkat sekolahnya sama abang,” lanjutnya.
“I-ya ayah,” balas seorang gadis dengan seragam putih abu-abunya menatap bingung kepergian ayahnya.
“Bunda, abang berangkat sekarang.” Seorang anak laki-laki yang juga menggunakan seragam sekolah putih abu-abunya menghampiri wanita yang dipanggil bunda itu.
“Ah iya, hati-hati bawah motornya jangan ngebut-ngebut. Ingat, kamu bonceng adek kamu,” katanya mengingatkan putranya itu.
“Siap bund,” balasnya. Melihat adik perempuannya, lalu mengatakan. “Lo lama, gue tinggal.” Setelah itu berlalu dari sana.
“LOH, ABANG TUNGGUIN.”
“SAYANG, TAS SEKOLAH KAMU KETINGGALAN.”
“IYA BUNDA, AKU BERANGKAT BUNDA!”
Wanita itu hanya terkekeh pelan melihat kelakuan anak-anaknya, setelah melihat pintu gerbang itu tertutup kembali. Istri dari pengusaha dan pembisnis sukses itu pun kembali masuk kedalam rumah yang megah itu, langkahnya membawanya ke salah satu kamar tamu dengan wajah menahan amarahnya.
“Ckkk, menyusahkan.”
Kakinya menendang kasar kaki seorang gadis yang masih terbaring dengan wajah pucatnya, tanpa ada rasa kasihan wanita tua it uterus membangunkannya dengan kakinya tanpa berniat membangunkan dengan benar.
“Bangun anak malas, bisanya cuman nyusahin orang!”
Eeghhh
Gadis tersebut perlahan membuka matanya dengan pelan, sedetik kemudian dia tersadar siapa yang berdiri tepat di depannya dengan mata tajam mengarah kepadanya. Walau rasanya sulit untuk bangun, dia tetap menahan rasa sakit pada tubuhnya termasuk pada kepalanya yang terasa amat berat.
“B-bun…,”
“Jangan panggil saya seperti itu, saya tidak sudi mendengar dari mulut kotor mu itu menyebut saya sebagai bunda.”
“Ma-af nyonya,” lirihnya menunduk dalam. Merutuki kebodohannya yang selalu lupa untuk tidak menyebut wanita itu bunda melainkan nyonya.
“Ckkk, bersihkan rumah, saya akan kebutik hari ini. Sebelum saya kembali, rumah ini harus sudah bersih dan makan malam untuk suami dan anak saya sudah harus siap sebelum saya tiba.”
“Baik nyonya.”
Wanita itu memandang gadis yang tertunduk di depannya dengan tatapan jijik, segera berlalu dari sana meninggalkan gadis tersebut yang kembali membuat tubuhnya duduk di lantai yang dingin itu.
&&&
Namanya Ayra, gadis itu terlihat fokus pada pekerjaannya tanpa peduli rasa pusing yang sedari tadi ketika dirinya terbangun dari pingsan setelah ayahnya memberinya hukuman.
Ayra tengah mengepel ruang tamu, tetapi pergerakannya terhenti saat tubuhnya tepat berada di depan sebuah bingkai foto dengan ukuran besar. Senyum tipis terukir dibibir tipisnya, melihat semua orang pada gambar tersebut tersenyum penuh kebahagiaan membuatnya ikut bahagia walau dirinya tidak ada dalam gambar tersebut.
“Kalau aja kakek masih ada, kira-kira aku bakal di ajak juga ngak ya foto bersama?” Gumamnya pelan.
Beberapa menit berlalu, pekerjaannya telah selesai. Tetapi, karena semua waktunya habis untuk membereskan rumah seorang diri membuatnya harus terburu-buru menyiapkan makan malam untuk keluarganya.
Tangannya begitu sibuk menyiapkan hidangan makan malam untuk keluarganya, menatanya di atas meja makan yang mewah itu dengan rapi tanpa terjadi kesalahan sedikit pun.
“Selesai juga,” ucapnya dengan senyum lega. Menatap puas pada hasil masakannya, walau dia sendiri tidak tahu seperti apa masakannya itu.
“Lo ngapain masih di situ? Nge harap lo di ajak makan? Jangan harap bocah sialan, lo hanya pembantu di rumah ini.”
Deretan kalimat itu mengalihkan tatapan Ayra, senyumnya kembali luruh dengan pandangan tajam Maverick di susul oleh Kaliyah yang berjalan angkuh menuju meja makan.
“Ngak k-kak,” lirihnya menunduk takut.
“Terus lo ngapain masih di sini? Sana,” hardik Kaliyah menatap penuh jijik kepada Ayra.
Ayra mengangguk patuh, dengan segera berlalu dari sana. Dirinya tidak mau memancing masalah lagi dan berakhir dirinya juga yang harus menjadi amukan dari ayahnya ataupun bundanya.
&&&
Ayra memandang keluarganya tengah menyantap masakannya dengan lahap membuatnya ikut tersenyum, merasa puas karena keluarganya tidak pernah menolak apapun yang dia hidangkan di atas meja makan walau dirinya selalu mendapat perlakuan tidak adil di rumah ini.
“Kapan juga ya bisa ikut makan dengan kalian?” Gumamnya pelan.
Ayra melihat luka pada kedua lengannya, menyentuh beberapa luka yang masih terlihat baru itu dengan pelan. “Cuman karena kelahiran ku tidak diinginkan, aku harus mendapatkan luka ini.”
“Ayah, bahkan ayah tidak pernah menatap ku seperti itu.” Ayra melihat ke depan.
Terlihat Syan memandang kedua kakaknya dengan tatapan penuh kasih sayang, cinta dan perhatian. Dadanya kembali bergemuruh, mengingat Syan selalu saja memandangnya dengan tatapan tajam dan penuh amarah.
“Aku iri,” ucapnya dengan senyum getir.
Ayra menggeleng pelan, dirinya berlalu dari sana karena membuat hatinya tidak baik. Lebih baik dia ke kamarnya saja yang berada di belakang dapur. Bukannya dia seorang anak di rumah ini? Lalu kenapa kamarnya berada di tempat pembantu?
Itu semua karena Vynessa yang tidak mau jika Ayra memiliki kamar yang layak di rumah besar ini. Bagi Vynessa, Ayra hanya anak pembawa sial dan tidak pantas menikmati kemewahan dari rumah ini.
Dengan kamar yang terbilang kecil, hanya muat untuk satu kasur saja serta lemari kayu yang usang berukuran kecil menjadi saksi bisu pertumbuhan Ayra kecil yang sudah mendapatkan perlakuan tidak adil hingga Ayra berumur delapan belas tahun.
“Huh, besok semoga hari yang baik.” Ayra menatap langit-langit kamarnya. “Boleh mengeluh ngak si?”
Tok, tok, tok.
Ayra memejamkan matanya saat suara ketukan pintu terdengar dari luar, dengan wajah yang terlihat lelah itu berusaha mengukir senyum kecil.
HAYYY, BALIK LAGI NIH😁😁
SETELAH ADIRA DKK MAKA TERBITLAH AYRA, JANGAN BOSAN-BOSAN DUKUNG AUTHOR YA👍
SEE YOU DI PART SELANJUTNYA 👋👋👋🙆♀️
Happy Reading
Pagi hari, saat matahari masih tersembunyi di balik horizon, udara terasa sejuk dan segar. Embun pagi masih menempel di dedaunan dan rumput, membuat semuanya terlihat seperti terselimuti oleh selimut putih yang tipis.
Suara burung-burung pagi mulai terdengar, bernyanyi dengan suara yang merdu dan menyenangkan. Seperti melodi pagi yang indah, mengiringi pagi hari yang sejuk dan tenang.
Sinar matahari mulai menembus jendela seorang gadis dengan wajah yang menggemaskan walau dalam keadaan tertidur, perlahan kelopak mata indah itu terbuka dengan pelan. Merasa lelah pada tubuhnya karena semalam dirinya harus begadang untuk mengurus rumah.
“Hooaammm.”
Dengan mata yang masih sedikit terpejam dia segera menyeret tubuhnya masuk kedalam kamar mandi, membasuh wajahnya agar kembali segar. Setelah selesai, pemilik rambut panjang dan lurus itu segera menuju dapur.
“Hm, masak apa ya pagi ini?”
Matanya sibuk melihat isi lemari pendingin itu, hingga memutuskan untuk menyiapkan sarapan pagi yang simpel saja seperti nasi goreng dengan pelengkap telur mata sapih dan sosi sebagai pelengkapnya.
“Kalau ada sisa aku bawah bekal aja ke sekolah,” ucapnya pelan. Menyiapkan segala peralatan masaknya.
Tak butuh waktu lama, nasi goreng dengan pelengkap telur mata sapih dan sosis telah siap disajikan. Membawa semuanya ke meja makan, sebelum tuan rumah datang lebih dulu, sarapan untuk mereka harus lebih dulu siap jika tidak maka dirinya yang akan di makan hidup-hidup.
“Nah, sudah siap! Saatnya mandi dan bersiap sekolah,” pekiknya dengan senang. Senang karena hari ini dia kembali bersekolah.
“MAU KEMANA KAMU?”
Gadis itu menghentikan langkahnya, menunduk saat tatapannya beradu dengan mata tajam milik Vynessa.
“M-au siap-siap ke sekolah nyonya.”
Vynessa mendengus pelan, tidak ingin membuat keributan pada pagi hari ini. Wanita itu kembali berkata. “Yaudah, sana! ngapain masih di situ?”
“T-idak nyonya.” Setelah mengatakan itu Ayra segera berlalu dari sana.
xxx
Ayra menatap pantulan dirinya dicermin, dengan seragam putih biru dibaluti dengan almamater abu-abu, rok abu-abu sebatas lutut dan rambut yang digerai membuat gadis itu terlihat cantik.
Dengan bentuk tubuh ideal, tinggi 155 cm membuat Ayra sering kali disangka seorang anak SMP yang menjelma menjadi siswi SMA.
“Nah, sekarang tinggal berangkat. Ayra semoga hari ini berjalan dengan baik, semangat!” Ayra mengembangkan senyumnya.
Seakan teringat oleh sesuatu, gadis berambut panjang tersebut menepuk pelan keningnya karena keteledorannya sendiri. “Lah, bekalnya kan masih ada di dapur. Kalau kembali lagi pasti melihat mereka sedang sarapan dong,” gerutunya pelan.
Dengan berat hati dirinya harus kembali ke dapur untuk mengambil bekal yang telah dia siapkan tadi pagi, sebelum masuk ke dalam dapur yang luas tersebut. Ayra menarik nafasnya pelan, karena biasanya dirinya akan lemah saat melihat kehangatan pada meja makan tersebut.
“Hahah, bagus dong kalau begitu.”
“Ih, bunda apa-apan si.”
“Lo jelek kalau pasang muka tampang kaya gitu, bukannya cantik malah kek remahan peyek.”
“Lo apa-apaan si bang! Ayah, bunda, lihat bang Verick!”
“Sudah-sudah, cepat habiskan sarapannya lalu segera berangkat sekolah. Bisa-bisa kalian telat nanti.”
Sudah Ayra katakan, hatinya tidak akan baik-baik saja jika kembali lagi. Melihat dan mendengar lontaran candaan empat anggota keluarga tersebut membuatnya lagi-lagi tersenyum miris. Bukankah dirinya juga bagian dari keluarga itu? Lalu kenapa dirinya di perlakukan seorang pembantu?
“Jangan menangis Ayra, kamu itu kuat. Ngak apa-apa,” lirihnya pada dirinya sendiri.
Setelah mengambil kotak makannya, tanpa mau berlama-lama lagi dia meninggalkan rumah yang katanya selalu menjadi tempat paling hangat tetapi tidak dengannya.
Ayra menunggu bus yang biasa ditumpanginya untuk ke sekolah, dari rumah ke sekolahnya menempuh waktu dua puluh menit.
xxx
“AYRA! TUNGGUIN GUE!”
Ayra menghentikan langkah kecilnya, tersenyum kecil saat melihat gadis sepantarannya berlari kecil ke arahnya dengan bando pink yang lucu itu.
“Kamu sendirian? Tumben ngak bareng Serin?” Tanya Ayra kepada gadis berbando pink itu.
“Tu anak katanya ngantar emaknya dulu belanja,” jawab Novia dengan tangan yang sudah menggandeng lengan kanan Ayra.
“Owhhh,” balas Ayra.
Mereka berdua melewati koridor kelas yang diisi oleh siswa kelas sepuluh, mereka kemudian berbelok menuju tangga penghubung lantai satu dan dua.
Gadis berbando pink itu sahabat Ayra, yaitu Novia Putri Julian yang memiliki hobi suka mengoleksi barang berwarna pink. Gadis bar-bar yang kelakuannya sulit di tebak, sangat suka memancing emosi dan mulutnya seperti perosotan yang licin.
“Lo buat kita khawatir kemarin, coba aja lo ngak balas pesan gue semalam. Gue, Serin bakal ke rumah lo.” Novia menatap tajam Ayra yang hanya tersenyum kecil.
“Heheh, maaf. Aku baru bisa main handphone itu saat semua pekerjaan rumah selesai,” jelas Ayra mengeluarkan buku paketnya.
Novia mendengus pelan. “Kalau ada apa-apa itu ngomong aja ke kita, lo punya kita untuk berbagi cerita.”
Novia tahu tentang kehidupan Ayra, bahkan Novia seringkali berpikir untuk menculik Ayra dari keluarga berhati iblis itu. Hanya saja, dirinya kurang bernyali.
“Serius amat.”
“Akkkhhh!”
“Aaiisss.”
Ayra dan Novia dikejutkan dengan pemilik suara yang tiba-tiba saja muncul itu, dengan wajah tampang polosnya si pelaku hanya tersenyum lebar hingga giginya yang rapi terlihat.
“Lo kalau datang bisa permisi dulu kek, salam dulu kek. Jangan kek nenek jelangkung,” omel Novia kepada gadis tomboy di depannya ini.
“Iya, kita kaget tahu,” timpal Ayra.
“Hahah, yaudah sorry. Habisnya gue lihat kalian serius amat ngobrolnya, ngobrol apaan?” Tanya Serin.
Serin Alexandra adalah sahabat Ayra dan Novia, gadis tomboy yang memiliki rambut panjang yang sering dicepol asal-asalan, gadis yang sulit mengontrol emosinya dan gadis maniak coki-coki rasa keju.
Mereka bertiga seperti saudara, mereka sudah berteman lama.
“Ngak ada, kenapa lo telat?” Tanya Novia lagi. Padahal gadis berbando pink itu sudah tahu mengapa Serin telat.
Serin mendengus. “Temanin emak belanja dulu, perasaan gue udah ngasih tahu lo. Ngapain nanya kalau udah tahu Munaroh,” kesal Serin.
“Kan basah basi aja, iyakan Novia?” Ayra menatap Novia.
Novia mengangguk. “Ho’o, basah basi doang.”
“Ckkk, emang agak lain lo.”
xxx
Olympus School adalah sebuah sekolah swasta yang terletak di sebuah kota besar dan mewah yaitu di Ibu Kota Jakarta. Sekolah yang dikenal karena keunggulannya dalam bidang akademik, olahraga dan seni.
Olympus School memiliki fasilitas yang sangat lengkap dan modern, termasuk laboratorium, perpustakaan, lapangan olahraga dan auditorium. Biaya untuk bergabung dengan sekolah ini begitu menguras kantong, dompet para orang tua menjerit. Tetapi, sekolah ini mampu melahirkan siswa siswi yang berkualitas.
Sekolah ini di isi oleh siswa siswi yang memiliki kepintaran yang luar biasa, tetapi memiliki otak yang pintar dan cerdas bukan berarti juga memiliki intitud yang baik. Perlu diingat, kepintaran bukanlah satu-satunya factor yang menentukan kesuksesan.
“Lo benaran ngak mau nebeng gue?” Tanya sekali lagi Serin kepada Ayra.
Ayra kembali menggeleng. “Ngak Rin, rumah kita itu ngak searah. Lagi pula busnya bentar lagi juga datang kok, kamu duluan aja gih.”
Serin menghela napas pelan, sahabatnya ini memang sangat sulit di ajak pulang bersama. Walau tempat tinggal mereka memang tidak searah, dirinya tetap tidak merasa kerepotan. Tetapi, Ayra lah yang selalu saja merasa tak enak hati.
“Yaudah, supir gue udah datang tuh. Kalau ada apa-apa langsung hubungi gue atau Novia, ingat langsung kita.”
“Iya Serin.”
SEE YOU PART SELANJUTNYA👋👋👋👋
Ayra mengela napas lelahnya, menatap bangunan mewah di depannya dengan tatapan sendu. Rumah mewah yang membawa mimpi buruk setiap harinya, rumah yang tida pernah mengizinkan dirinya untuk bernafas dengan tenang.
“Mobil bunda ada, berarti bunda ngak ke butik.” Ayra menatap satu mobil yang terparkir di garasi.
Kaki kecilnya melangkah masuk ke dalam dengan senyum kecilnya, saat hendak melewati ruang keluarga. Ayra menggeleng pelan melihat lantai yang penuh dengan bungkus jajanan, kulit kacang yang berserakan dan bantal sofa yang tidak pada tempatnya.
“Kenapa diam aja lo? Beresin cepat!”
Ayra sedikit kadet dengan kemunculan Maverick, ia segera menunduk karena tatapan tajam dari kakaknya itu selalu saja berhasil membuatnya takut.
“I-ya kak,” jawabnya pelan.
“Nunggu apa lagi lo? Buruan!” Hardiknya menatap tajam Ayra. Sosok yang selalu saja berhasil membuatnya marah tanpa sebab.
Maverick Alviz Aledrick anak kedua dari Syan dan Vynessa, laki-laki yang memiliki tubuh atletis karena dia seorang anggota club basket. Memiliki rahang yang tegas, mata tajam, hidung yang mancung dan wajahnya yang selalu saja terlihat marah.
“Minggir.” Maverick mendorong Ayra dengan keras tanpa peduli gadis tersebut terjatuh. Maverick hanya melirih Ayra dari ekor matanya, lalu pergi begitu saja.
Ayra bernafas lega saat mampu menjaga keseimbangan tubuhnya. “H-ampir aja,” lirihnya.
Gadis berambut panjang dengan seragam sekolah yang masih melekat pada tubuhnya itu dengan cepat membereskan sampah-sampah yang berserakan, tanpa mengeluh sedikit pun karena telah terbiasa dengan semuanya.
PRANG!
Ayra mengusap dadanya, spontan membalikkan tubuhnya guna melihat sumber suara itu. Matanya membulat sempurna. “Astagfirullah kak,” lirihnya.
“Upsss, gua ngak sengaja.” Kaliyah menatap prihatin gelas yang telah berceceran di lantai. “Beresin ya,” lanjutnya dengan nada mengejek.
“Apa-apaan ini?” Suara wanita lainnya menyahut dari balik tubuh Kaliyah.
Kaliyah tersenyum sinis, lalu dalam hitungan detik mimik wajahnya berubah. “Bund, akhirnya bunda datang.”
Kaliyah Revanna Aledrick adalah anak ke tiga atau adik dari Maverick. Gadis berambut sebatas bahu, pemilik warna mata hitam pekat dan wajahnya copy paste dari Syan dan Vynessa, serta bentuh tubuhnya yang bak model. Gadis itu begitu manja, segalanya harus dituruti dan sangat membenci Ayra.
“Kenapa sayang? Bunda dengar seperti ada yang pecah, kamu ngak apa-apakan?” Tanya Vynessa penuh perhatian. Ayra yang melihat itu meringis pelan, bundanya memang sangat perhatian pada saudarinya.
Kaliyah menunjuk wajah Ayra. “Bunda, anak itu sengaja jatuh in gelas kesayangan bunda sampai pecah.”
Penuturan Kaliyah membuat Ayra membelalakkan matanya, jelas-jelas Kaliyah lah yang dengan sengaja menjatuhkan benda itu hingga pecah.
“T-tidak nyonya, aku tidak melakukannya,” papar Ayra dengan wajah sedikit takut melihat wajah Vynessa yang tidak bersahabat.
Vynessa maju dan menarik rambut Ayra tanpa aba-aba, menyebabkan Ayra mengadu kesakitan. “KAMU SENGAJA HA?”
Ayra menggeleng kuat. “T-tidak nyonya.”
“Dasar anak tidak tahu diuntung! Kamu tahu kan itu gelas mahal, lebih mahal dari pada harga diri kamu.” Vynessa masih belum melepaskan cengkramannya pada rambut Ayra.
Wajah Kaliyah begitu puas menyaksikan tontonan gratis di depannya. “Rasain lo.”
Plak
“Kamu itu bisanya cuman selalu buat masalah!” Vynessa menampar wajah Ayra.
Plak
“Kamu anak yang tidak tahu terimakasih, nasib baik saya tidak menyuruh suami saya mengusir mu dari sini.”
Ayra menggeleng dengan wajah penuh air mata, matanya menatap sayu wanita yang sedang memarahinya ini hanya karena masalah yang tidak dia lakukan. “B-bukan aku nyonya,” belanya lagi.
Dengan cepat Vynessa memaksa Ayra duduk di lantai, mengambil pecahan kaca itu lalu meraih tangan kecil Ayra yang sudah penuh dengan memar serta luka yang terlihat masih baru.
Ayra berusaha menahan tangan Vynessa, menangis dan memohon ampun agar Vynessa tidak melakukan hal yang sama padanya. Tetapi, kekuatannya tidak seberapa hingga akhirnya pecahan gelas itu berhasil menggores telapak tangannya.
“Ini hukuman untuk mu anak sialan,” ujar Vynessa dengan wajah puasnya. Tangannya kembali mencengkram wajah Ayra. “Terus melakukan kesalahan, agar saya bisa menyiksamu anak sialan,” lanjutnya.
xxx
Vynessa Rania Aledrick adalah istri seorang pengusaha dan pembisnis sukses, wanita itu seorang model majalah yang telah pensiun dan memilih mengurus rumah, anak-anaknya dan suaminya.
Walau sudah pensiun, wanita itu masih telihat cantik dan awet muda. Perawatannya saja bisa memakan ratusan juta, itu hanya untuk merawat kulitnya. Bentuk tubuhnya masih sama, membuat beberapa temannya merasa iri.
“Kamu apakan lagi anak itu?” Tanya Syan dengan pandangan keluar jendela.
Vynessa yang tengah fokus pada majalah di tangannya pun menatap suaminya. “Sedikit bermain mas,” jawabnya.
Syan menghela napasnya dengan mata terpejam menikmati suara rintikan hujan yang mulai mengguyur Ibu Kota. “Bagaimana dengan butik mu, apa ada masalah?”
Selain mantan model majalah, wanita itu juga mulai merintis usahanya sendiri yaitu sebuah butik yang terkenal.
“Aman mas, tidak ada masalah.”
“Baguslah.”
Syan Alvarez Aledrick adalah pemilik perusahaan raksasa yang memiliki kekayaan yang tiada habisnya bahkan tujuh turunan pun tidak akan ada habisnya. Dia adalah sosok yang pekerja keras, berdedikasi, bertanggung jawab dan selalu disiplin.
Namun, pria tua yang masih sangat tampan tanpa keriput di wajahnya itu memiliki sisi pribadi yang dunia luar tida tahu. Sifat brigasnya tertutupi dengan wajah yang selalu dingin itu, sifatnya sangat kejam.
“Mas, katanya mama mau nginap di sini.”
“Kapan?”
“Aku tidak beritahu, tapi mama bilang dalam waktu yang dekat.”
xxx
Ayra tidak peduli pada lukanya, dia harus segera menyiapkan makan malam untuk keluarganya. Dia tidak mau jika salah satu dari mereka akan kembali memberinya luka karena terlambat menyiapkan makan malam.
“Aawssss, perih.” Ayra menatap telapak tangan kanannya yang telah diperban. Walau tidak begitu dalam, tetapi luka itu begitu perih.
“Huuufffttt, aku harus cepat sebelum ayah turun lebih dulu.”
Benar, jika Syan turun lebih dulu tetapi tidak mendapatkan apapun di meja makan. Maka ucapkan selamat tinggal pada Ayra, ayahnya itu begitu membencinya bahkan hal sekecil apapun harus Ayra perhatikan.
Di rumah yang besar ini tidak memiliki pembantu, itulah sebabnya Ayra merasa kewalahan mengurus semuanya. Tetapi, dia tidak mengeluh. Selagi bisa tinggal bersama kedua orang tuanya dan saudaranya maka Ayra tidak masalah, walau harus mendapat perlakuan kasar dari mereka.
“Nah, tinggal ditatah dan selesai.”
Ayra menata masakannya di meja makan besar itu, dengan tatapan kagum karena berhasil menyiapkan makan malam tepat waktu. Walau dia sangat ingin ikut makan hasil masakannya sendiri, tetapi Vynessa tidak pernah mengizinkannya.
Saat hendak berbalik dan meninggalkan meja makan, tubuh kecilnya tak sengaja menabrak dada biding seseorang.
“Pergi.”
Suara berat dan dalam itu milik Syan, membuat Ayra segera melihat wajah ayahnya. Benar saja, saat ini Syan menatapnya seperti hendak memakan dirinya. Tatapan Syan begitu tajam dan menusuk.
“I-ya yah,” balanya lalu segera pergi dari sana.
Syan melihat punggung yang telah berlalu dari sana, tatapannya tidak lepas dari punggung yang kian menjauh dan menghilang dari pandangannya. Kembali menarik nafas pelan, kemudian duduk sembari menunggu istri dan kedua anaknya.
“Ada apa dengan ku?”
“Aku tidak mungkin…,”
“Loh, mas?”
SEE YOU PART SELANJUTNYA👋👋👋
TINGGAL JEJAK KALIAN DAN TERIMAKASIH BANYAK🤗🤗
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!