NovelToon NovelToon

Kuliah Kerja Berhantu 40 Hari (KKB 40H)

Bagian I Awal Mula

Perkenalkan namaku Handaka Usada, seorang mahasiswa tingkat 6 yang kini diharuskan untuk mengikuti Kuliah Kerja Nyata, sebelumnya aku adalah seorang mahasiswa yang gemar menyendiri, egois dan hanya memikirkan tentang hidupku sendiri. Aku tidak terlalu peduli dengan Organisasi Kampus, lingkaran pertemanan yang ada di kampus dan hanya terfokus dengan nilai-nilai dan mata kuliah saja. Semuanya kulakukan sendiri, kuliah dan kemudian pulang tidak banyak hal spesial yang aku lakukan di Kampus, bisa kalian sebut diriku ini adalah Mahasiswa Kupu-Kupu.

Sebelumnya aku berkuliah di salah satu Perguruan Tinggi yang berada di salah satu kota di pulau Sumatera. Aku cukup puas dengan pencapaianku selama kuliah, terbukti dengan tidak banyaknya nilai jelek yang tertera di Kartu Hasil Semester (KHS) perkuliahanku. Aku tinggal di kota ini sendiri, tanpa adanya orang tua, semenjak kuliah aku dijawajibkan untuk merantau dan pergi jauh dari rumah demi menimba ilmu. Karena hal itu pula lah sebenarnya yang melatarbelakangi kenapa aku hanya terpaku dengan IPK (nilai) daripada hal lain, tujuan tersebut tidak lain adalah guna mendapatkan respek dari kedua orangtuaku.

Semester 6 mulai memasuki fase yang akan dituju. Aku sebelumnya sudah mengisi Kartu Rencana Studi (KRS) dan kemudian mengambil Kuliah Kerja Nyata (KKN) di semester ini, tujuannya cuma satu, apalagi kalau bukan menyelesaikan perkuliahan ini dengan secepat mungkin. Skrispi juga sudah aku ambil dan mulai berjalan diantara bab 1 dan bab 2, aku rasa KKN juga akan memperlancar moodku dalam menulis skripsi itu hingga tamat.

Aku berjalan gontai, di tengah terik panas matahari, menyusuri pedagang-pedagang yang menjajakan makanan di samping pintu kampus, memasuki gerbang kecil yang menghubungkan kampus dan salah satu Sekolah Dasar (SD) dan terakhir menyusuri koridor Kampus, hingga akhirnya tiba di depan salah satu ruangan kelas. Aku mulai melihat satu persatu, tempat itu penuh sesak dengan orang, tampaknya semuanya berkumpul disini. Aku kemudian mengecek handphoneku dan dikabari oleh Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) fakultasku untuk berkumpul di ruangan 6 pada pukul 13.20 Wib. Aku mulai mengetuk pintu dan masuk ke dalam kelas secara perlahan-lahan, tampaknya aku telat dan terlihat sudah ada beberapa mahasiswa lain di dalam ruangan kelas tersebut. Aku melihat ada seseorang yang kukenal di kelas ini namanya adalah Feranda. Feranda ini adalah wanita yang memiliki circle pertemanan yang cukup populer di kelasku. Aku sebenarnya tidak terlalu akrab dengan dia, namun karena aku sering ditunjuk menjadi Ketua Kelas mau tak mau dia tentunya juga mengenali keberadaanku saat ini.

"Kamu di kelas ini juga, Handaka?" tanyanya penasaran.

"Hmm ... kayaknya iya! Ini ruangan 6 kan?" ucapku pura-pura tidak tahu.

"Iya, ini ruangan 6 syukurlah kalau begitu! Aku tidak terlalu kenal dengan mahasiswa yang lain." ucapnya terus terang.

"Oh ... aku juga sama!" balasku pelan.

Obrolan kikuk itu akhirnya berhenti dengan ditandakannya seorang pria bertubuh gempal di sekitaran umur 38 (tiga puluh delapan) tahun dengan tinggi 170 cm lebih memasuki ruangan kelas, pria ini tersenyum ramah ke arah kami semua.

"Selamat siang!" ucap pria tersebut kepada kami semua.

"Siang pak." jawab kami berbarengan."

Semuanya kembali diam dan semua mata tertuju kepada pria tersebut. Pria ini bernama Pak Rahman, beliau adalah Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) untuk kelompok KKN kali ini. Beliau adalah Dosen di salah satu Fakultas Syariah yang kebetulan kali ini ditugaskan untuk membimbing kami semua.

"Perkenalkan sebelumnya, nama saya Rahman. Saya adalah DPL kalian untuk KKN selama 1 bulan kedepan. Saya harap semuanya dapat berkerja sama dengan baik dalam membangun desa dan juga mendapatkan pembelajaran di masyarakat desa. Saya berharap tidak ada masalah yang berarti dan juga kondusif. Mulailah jalin hubungan pertemanan di antara kalian terutama yang berbeda-beda jurusan dalam perkuliahan. Karena kalian akan ditempatkan di tempat yang jauh dari perkotaan dan membangun desa tersebut sesuai dengan fokus KKN kita yaitu "Membangun Desa Terpencil".

Aku masih sibuk membolak-balik buku panduan tentang KKN. Buku ini sebenarnya sudah diberikan minggu kemarin, namun karena malas. Aku baru bisa membacanya saat ini juga. Melihat kelakuanku tersebut, Pak Rahman tampaknya tertarik untuk melirik ke arahku.

"Kalau begitu, ada baiknya kita lakukan perkenalan satu persatu dari kalian, dimulai dari kamu yang sedang membaca buku!" tunjuk Pak Rahman kepadaku.

Aku terdiam sebentar, menutup buku tersebut dan segera berdiri untuk memperkenalkan diri, "Selamat siang semuanya, perkenalkan nama saya Handaka Usada, Semester 6 (enam) dari Fakultas Hukum. Mohon bimbingan dan kerjasamannya." ujarku singkat.

Perkenalan kemudian dilanjutkan kepada Feranda, "Perkenalkan nama saya Feranda. Saya juga dari Fakultas Hukum. Mohong bimbingannya teman-teman sekalian!" ucap Feranda lemah lembut.

Perkenalan ini mungkin akan aku persingkat saja, intinya tim dalam KKN ini terdiri dari 6 (enam) orang wanita dan 5 orang pria. Semuanya hampir berbeda-beda fakultas yang ada di dalam KKN, mulai dari Fakultas Hukum, Teknik, FKIP, Ekonomi, dan Biologi. Perwakilan dari Fakultas Hukum ada aku dan Feranda, dari fakultas teknik ada 3 (tiga) orang pria mereka adalah Endi , Jawir dan Dwi, dari fakultas ekonomi ada Toni, Fakultas FKIP ada 4 (empat) orang yaitu Ceni, Ira, Dona dan Putri dan terakhir ada dua orang dari fakultas biologi yaitu Aisyah dan Mak (emak).

Setelah dirasa perkenalan itu cukup, Pak Rahman kemudian menunjuk aku sebagai ketua koordinator lapangan untuk KKN kali ini. Aku hanya mengangguk tanda setuju, karena memang aku sudah terbiasa mengatur anak-anak di kelas seperti biasa, tentunya pengalaman KKN ini akan menjadi batu loncatan dan pengalaman baru untukku di kemudian hari.

Rapat selanjutnya adalah yaitu pembagian regu, mengenai kewajiban barang-barang apa saja yang akan dibawa pada saat KKN. Pak Rahman menyarankan agar semua itu mulai dirapatkan agar semuanya mendapat bagian yang sama. Karena tentunya rumah yang nanti ditempati kemungkinan besar tidak memiliki isi apa-apa dan kewajiban untuk melengkapi isi dari rumah KKN itu adalah kewajiban bersama. Setelah acara pembagian tugas itu selesai, rapat pada hari itu pun ditutup oleh Pak Rahman, selanjutnya adalah di pertemuan selanjutnya akan ada peninjauan lokasi KKN yang diwakilkan kepada ketua dari setiap kelompok. Alhasil aku terpilih untuk mewakili kelompok ini melakukan peninjauan ke lokasi KKN seharusnya. Pada hari itu ada dua perwakilan dari setiap kelompok. Hari ini kami diantar oleh Pak Rahman, ternyata Pak Rahman tidak hanya membawahi KKN di kelompok kami namun ada sekitar 2 (dua) kelompok lain yang di bawahi olehnya, oleh karena itu kami semua kemudian berangkat bersama beliau selaku DPL untuk melakukan peninjauan lokasi.

Tidak banyak yang diobrolkan selama perjalanan, karena aku lebih memilih untuk tidur, tidak terasa 4 (empat) jam pun berlalu dari kota ke daerah tempat terlaksanannya KKN. Desa ini cukup jauh dari jalan raya, setidaknya butuh sekitar 30 (tiga puluh) menit menaiki kendaraan roda dua untuk sampai ke jalan raya, dengan kontur tanah yang belum diaspal, jadilah perjalanan ini penuh dengan becek akibat terkena lumpur disana-sini.

Setelah tiba, Pak Rahman mengantarkan aku ke rumah Pak Kepala Desa (Kades). Awalnya kami disambut ramah oleh Pak Kepala Desa, namun tanggapan tidak enak muncul, ketika istri dari Pak Kades datang menemui kami dan berkata, "Kalian mending pulang saja! Tidak bagus KKN di tempat ini!" ucapnya ketus. Istri Pak Kades ini seolah bicara kepadaku, namun Pak Rahman tidak mendengar perkataan tersebut, karena ia sedang sibuk berbicara dengan Pak Kepala Desa. Aku yang terkejut sontak bertanya, "Apa maksudnya, Bu?" tanyaku penasaran. Namun Istri Pak Kepala Desa ini tanpa sepatah katapun ngeloyor pergi setelah menyuguhkan beberapa gelas teh manis, hal yang terlihat adalah ia memandangku dengan raut muka sinis sembari berlalu pergi.

"Ada yang tidak beres di tempat ini!" gumamku pelan.

Perasaanku menjadi tidak enak, aku merasa tampaknya istri dari Pak Kades ini tidak menyukai keberadaanku di tempat ini. Pak Kades yang sadar akan hal itu kemudian berkata, "Maafkan istri saya, mas! Orangnya memang sedikit ketus, tapi aslinya baik kok!" Pak Rahman yang mendengar itu sontak terheran-heran, sebenarnya apa yang sedang terjadi pikirnya.

Aku hanya tersenyum dan kemudian berkata, " Tidak apa-apa, Pak! Saya mungkin yang salah!" balasku terus terang.

Tidak lama kemudian, kami menyudahi obrolan di siang hari itu. Pak Rahman dan para peserta KKN dijanjikan oleh Pak Kades akan diberikan salah satu rumah yang berada di pinggiran desa, agar tidak jauh dari pemukiman penduduk, rumahnya juga masih layak huni namun kondisinya memang kosong, karena pemilik rumah sudah tidak tinggal lagi di desa tersebut.

Pak Kades kemudian mengantarkan aku dan Pak Rahman ke rumah tempat dimana kami akan melangsungkan KKN. Letaknya agak sedikit berada di selatan Desa, disampingnya tidak jauh terdapat pemukiman warga, sebelah barat terdapat sungai kecil yang mengalir dan terdapat tanah lapang untuk bermain voly, sedangkan di utara terdapat pemakaman warga masyarakat sekitar dan disebelah timur terdapat hutan dan perkebunan sawit.

Kami akhirnya sampai di rumah yang rencananya diberikan kepada kami para anak-anak KKN. Rumah ini semi permanen yang dikelilingi oleh pagar besi yang besinya sudah mulai berkarat dan atap rumah dari genteng, rumah ini terdiri dari dua lantai, lantai pertama dari semen dan lantai kedua dari kayu, terdapat tangga dari semen yang menghubungkan antara lantai 1 (satu) dan (dua) yang terletak di depan rumah dan tentunya kondisi rumah kosong ini terdapat banyak sarang laba-laba serta bubuk kayu yang mulai lapuk.

'Rumah ini tidak layak huni' batinku.

'Pak Kades tampaknya tidak terlalu memikirkan kami dengan memberikan rumah kosong yang tidak terawat ini.' batinku di dalam hati.

Mataku masih nanar, memperhatikan bangunan rumah yang terbengkalai sedemikian rupa seperti ini. Tidak ada tanda-tanda kehidupan yang tampak sama sekali, rasanya aku cukup tidak percaya dengan keterangan Pak Kades yang mengatakan kalau rumah ini baru 2 (dua) tahun tidak dihuni, rumah ini lebih mirip seperti sudah 10 (sepuluh) tahun lebih tidak ditinggali oleh manusia. Aku memang memiliki kecenderungan sebagai seorang yang agak sensitif dengan tempat baru, terutama kalau tempat itu seram, seringkali bulu kudukku berdiri sendiri dan kejadian itu terulang hari ini. Aku seolah tidak sanggup untuk mengecek ke dalam rumah lebih lanjut, sedangkan Pak Rahman dan Pak Kades sudah masuk duluan ke dalam rumah, mereka melihat-lihat isi rumah tersebut, sedangkan aku masih diam mematung di depan rumah sembari memperhatikan rumah itu dengan seksama.

Aku tiba-tiba melihat sekelebat bayangan hitam dari jendela di lantai dua.

'Apa itu gumamku!'. Aku masih mencoba untuk melihat sekali lagi. Aku takut kalau aku hanya berhalusinasi saja, namun tiba-tiba jendela itu terbuka dan kemudian menutup kembali, disertai dengan suara hentakan yang cukup keras.

'Brakk' suara benturan antara jendela yang seolah dibanting dari arah dalam.

Aku terkesiap karena terkejut. Aku melihat kembali terdapat bayangan hitam di atas rumah tersebut yang kini menatapku dalam-dalam. Aku yang takut, kontan menutup mata dan mengalihkan perhatianku dari jendela rumah tersebut.

'Rumah ini berhantu' ujarku sekali lagi.

Pak Rahman dan Pak Kades yang mendengar ada suara jendela yang dibanting segera keluar dan bertanya kepadaku. "Siapa yang membanting pintu barusan? Apa itu kamu?" tanya Pak Kades.

Aku hanya menggeleng. Aku tidak berani menjelaskan apapun pada saat itu. Aku kembali mencoba melihat ke arah bayangan hitam yang ada di jendela tadi, namun sosok itu telah menghilang, kini hanya terlihat jendela kaca yang terbuka sedikit.

"Oh ... mungkin angin!" ujar Pak Rahman mencoba menenangkanku.

"Kamu tampak pucat? Kamu sakit?" tanya Pak Kades.

"Oh ... tidak terlalu, Pak! Tampaknya ini karena aku telat makan siang saja!" elakku.

Pak Rahman tampaknya sangat setuju kalau kami semua akan KKN di rumah ini sedangkan aku mencoba untuk berbicara kepada Pak Kades.

"Pak ....!" ujarku pelan.

"Ya kenapa, mas?" tanya Pak Kades terheran-heran.

"Apakah tidak ada rumah lain selain rumah ini, pak?" tanyaku kepadanya.

"Hmm ... seingatku tidak ada lagi mas! Hanya ini satu-satunya. Memangnya kenapa? Tidak suka sama rumahnya!" tanya Pak Kades sekali lagi.

"Tempat ini tampaknya seram pak!" ujarku polos.

"Ah mas bisa saja! Tidak terlalu seram kok mas! Nanti juga akan bagus lagi kalau sudah dibersihkan, masnya parnoan kali! Namanya juga rumah kosong mas, kalau sudah dihuni kondisinya jadi bagus lagi!" ujar Pak Kades mencoba menenangkanku.

Aku mencoba berdamai pada saat itu dan menerima rumah KKN tersebut. Kami pun pulang menuju kota, walaupun terasa ada hal yang benar-benar mengganjal mengenai rumah KKN kami ini nanti, sedangkan sosok hitam yang ada di lantai dua rumah KKN itu seolah tersenyum ke arahku yang melihat kearahnya barusan.

Bersambung

 

 

Bagian 2 Persiapan Sebelum KKN

Sepanjang perjalanan, aku dinasehati oleh Pak Rahman mengenai tindakanku yang dirasa kurang sopan. Menurutnya tidak baik untuk memilih-milih tempat, egoisme yang ada di lingkungan perkotaan harus ditinggalkan. Pak Rahman sebenarnya tidak tahu, bukan masalah tempat itu usang, jelek ataupun gubuk sekalipun. Namun aura, perasaan mencekam dan juga makhluk tak kasat mata yang ada di rumah tua itu yang membuatku takut. Tapi apa daya, kalau sekalipun aku memberitahukan yang sebenarnya, kurasa Pak Rahman tak akan percaya dengan apa yang sebenarnya terjadi.

Tidak terasa hari menuju KKN tinggal 7 (tujuh) hari lagi, hari ini Pak Rahman meminta kami untuk datang ke kampus dan bertemu kembali, selain untuk mengakrabkan diri, maksud dan tujuannya ialah agar memberitahukan barang-barang apa saja yang harus dibawa ketika KKN. Aku mendapatkan bagian membawa setengah kilo beras, galon air dan juga penggorengan, teman-teman yang lain juga mendapatkan bagiannya masing-masing.

Waktu terasa begitu cepat berlalu, hingga akhirnya hari dimana kami semua akan diberangkatkan menuju tempat KKN tiba. Aku diantar oleh Mama yang menyempatkan dirinya untuk datang ke ke kostku bersama dengan salah seorang Tanteku. Setelah acara berpamitan selesai, aku beranjak memasuki Mobil Bus kelompok kami. Pak Rahman terlihat mendata satu persatu peserta KKN, wajahnya terlihat berkerut. Ia tampaknya sedang sibuk dan kemudian berkata, "Ahmad Romli!!!" ujarnya sembari teriak.

Kami saling tengok, rasanya nama itu adalah salah seorang peserta KKN yang sampai pada saat ini aku juga belum tahu yang mana orangnya. Feranda yang duduk di depanku kemudian bertanya, "Ahmad Romli itu anak yang tidak pernah masuk, bukan?" tanyanya sekali lagi.

"Iya ... temannya Endy anak Teknik!" ujarku pelan.

"Coba kamu tanya, Han! Sama si Endy, kemana itu temannya! Kasian Pak Rahman dari tadi mukanya kusut!" saran Feranda.

"Oke deh ...!" Aku kemudian mendekati Endy dan bertanya kepadanya, "En!!" sapaku pelan.

Endy segera menoleh dan kemudian bertanya, "Ya kenapa, Han?" tanyanya penasaran.

"Itu Ahmad Romli kemana, En? Pak Rahman nyariin tuh!"

"Hmm ... aku juga kurang tau, Han! Anaknya tidak bisa dihubungin dari sebelum KKN, aku juga belum ketemu dengannya sampai saat ini! Tapi coba aja tanya ke yang lain, dia itu biasa dipanggil Jawir sama anak-anak yang lain." balas Endy sembari mengaruk kepalanya. Ia tampak binggung juga dengan keberadaan Jawir saat ini.

"Okelah kalau begitu!" Aku kemudian mendekati Pak Rahman. Aku berniat untuk membantunya mencari keberadaan Jawir, karena bus ini tidak akan berangkat kalau para peserta KKN belum lengkap.

Pak Rahman kemudian mengajakku untuk mencari keberadaan Jawir. Tindakan yang kami lakukan adalah mencari keberadaan Jawir di kelompok lain dengan harapan makhluk satu ini cepat segera ketemu.

'Belum dimulai KKN saja ini anak sudah bikin repot', batinku.

Setelah memakan waktu sekitar 15 (lima belas) menit, akhirnya kami mendapati nama Abdul Romli alias Jawir berada di kelompok 25 (dua puluh lima), ternyata nama Ahmad Romli juga ada di kelompok 25 (dua puluh lima) ini, tampaknya telah terjadi kesalahan input data oleh pihak panitia KKN. Pak Rahman kemudian melakukan negosiasi kepada DPL dari kelompok 25 (dua puluh lima). Bapak DPL itu menjelaskan kalau mereka sebenarnya sudah kelebihan peserta KKN dan Abdul Romli ini adalah peserta ke 13 (tiga belas) dari 12 (dua belas) peserta KKN yang semestinya. Setelah negosiasi selesai, DPL kelompok 25 (dua puluh lima) mempersilahkan Jawir alias Ahmad Romli ini untuk kembali ke kelompok KKN kami.

"Kau ini bikin repot saja!" balasku ketus.

Jawir hanya diam sembari mengangkat tasnya dan kemudian masuk ke bus KKN kami, kendaraan ini pun bergerak dan mulai meninggalkan parkiran kampus menuju ke tempat KKN. Tersirat senyum sumringah dari para peserta KKN, kecuali aku. Aku paham benar dengan tidak bersahabatnya lokasi tersebut, namun apa mau dikata semoga saja 40 (empat puluh) hari ke depan semuanya berjalan mulus tanpa halangan.

Hari Ke- 1 (satu)

Bus besar ini akhirnya tiba di desa yang dimaksud, seperti sebelumnya letak dari desa ini cukup jauh dari jalan besar memakan waktu sekitar 30 (tiga puluh) menit lebih, agar bisa sampai ke desa yang cukup terpelosok ini. Pemandangannya indah, dikelilingi perkebunan sawit, sawah, sungai yang mengalir dan penduduk yang ramah. Banyak warga yang menyapa kedatangan kami ke desa tersebut dengan sambutan yang ramah. Mereka tersenyum senang ke arah bus kami yang memulai memasuki desa tersebut.

Aku segera turun dari mobil, mengarahkan teman-teman yang lain untuk mengangkat barang-barang untuk diletakkan di depan pintu masuk rumah. Aku, Endy, Dwi, Tony dan Jawir memindahkan barang-barang ke dalam. Aku mengambil kunci rumah di dalam kantong celanaku yang sebelumnya kunci ini telah diberikan oleh Pak Kades tempo hari ketika kami mengecek rumah ini.

Aku paham benar, apa yang dipikirkan pertama kali oleh para wanita dari kelompok ini. Mereka tampaknya cukup risih dengan keadaan rumah yang cukup kotor. Namun mau bagaimana lagi, rumah ini memang sudah lama tidak dihuni oleh manusia, 2 (dua) tahun menurut Pak Kades, tapi menurutku lebih dari itu.

Tindakan pertama yang kami lakukan adalah mengadakan kebersihan setelah memasukkan barang-barang ke dalam rumah. Aku, Feranda, Jawir dan Toni kebagian salah satu kamar untuk dibersihkan, sedangkan yang lain sudah dibagi-bagi untuk membersihkan ruangan yang lain. Aku memegang sapu pada saat itu, Tony memegang kain pel dan Endy membawa ember berisi air. Jawir dan Feranda merapikan beberapa bantal dan tas yang mulai di tata di dalam kamar. Sekilas mengenai Jawir, ia adalah seorang pria berumur sekitar 23 (dua puluh tiga) tahun pada saat itu, jauh lebih tua dariku. Ia ternyata baru menikah, hal ini terlihat dengan henna di tangannya yang masih terlihat baru, menandakan bahwa usia pernikahannya belumlah terlalu lama, kepribadian anak ini boleh dibilang cukup sompral, mulutnya ceplas-ceplos, dan sok tahu. Aku sebenarnya tidak terlalu ambil pusing dengan tindakannya tersebut selama tindak menganggu kehidupanku.

Aku mendekati lemari tua yang berada di tengah ruangan kamar ini, lemari ini membuatku penasaran, karena pintunya tiba-tiba terbuka sedikit padahal tidak ada siapapun yang menyentuh lemari tersebut dan angin pun dirasa tidak bisa lewat di kamar ini yang memang minim ventilasi. Aku membuka pintu lemari itu pelan-pelan, hingga kemudian terdengar suara benda yang terjatuh, 'Pluk'

'Benda apa ini' batinku dalam hati.

Jawir, Tony dan Feranda ternyata sudah berada di belakangku. Jawir yang sompral tiba-tiba saja langsung merebut benda itu dan menariknya keluar. Apa yang ada di hadapan kami saat ini adalah sebuah bungkusan kecil terbungkus kain putih khas kain kafan dan terdapat suatu lekukan yang menonjol, setelah diperhatikan secara seksama, ternyata itu adalah gagang dari sebuah keris. Benda yang dibungkus oleh kain putih adalah keris berukuran kecil panjangnya tidak lebih dari 10 (sepuluh) centi meter yang ketika balutannya dilepas, maka terlihatlah sarung keris berwarna kuning yang terbuat dari perunggu.

"Hehe ... menarik!" ujar Jawir.

Aku yang melihat tindakannya segera merebut keris itu dan berkata, "Sudahlah ... benda itu ada disini.  Kau kembalikan saja ke tempatnya!" ucapku. Aku paham benar dengan apa yang kulihat, tampaknya benda ini adalah barang kepunyaan pemilik rumah.

Jawir yang melihat aku merebut benda tersebut hanya tersenyum dan kemudian ngeloyor pergi. Feranda akhirnya bertanya kepadaku, "Memangnya itu apa, Han?"

"Oh ... itu ada keris!" jawabku datar.

"Punya siapa?" tanyanya kepadaku.

"Entahlah, mungkin punya pemilik rumah!" balasku cepat.

"Hiii ..." ia pun kemudian meninggalkan aku dan Tony yang masih sibuk membersihkan ruangan tersebut.

Endy kemudian berteriak dari ruangan yang berada di seberang kamar ini. Rumah ini memiliki 6 (enam) bagian. Bagian pertama adalah ruang tamu, bagian kedua adalah garasi, bagian ketiga adalah kamar yang kami tempati sekarang dan kamar sebelah yang terkunci rapat, sisanya adalah dapur yang tersambung langsung ke kamar mandi di pintu samping rumah. Bagian lantai dua rumah ini belum kami tempati, karena anak-anak masih takut untuk tinggal di lantai dua karena menurut mereka cukup seram.

Endy memanggilku dengan setengah berteriak, "Han!!" ujar Endy.

Aku, Tony dan Jawir segera mendekat ke arah Endy, "Ada apa, En?" tanyaku penasaran.

"Lihat nih! Rumah ini ternyata ada sumur di dalam rumah." Endy kemudian menunjukkan bagian yang tertutup oleh kayu berbentuk bulat dan menggesernya perlahan-lahan. Apa yang kami lihat adalah sumur yang memiliki air yang cukup jernih.

Tony bukan memperhatikan sumur tersebut. Ia malah menunjuk tepat ke arah belakang sumur tersebut, "Hmm tangga ini mengarah ke lantai dua kan ya?" ujarnya pelan. Ia tampaknya penasaran dengan tangga yang menuju ke lantai dua.

"Tampaknya iya!" jawabku datar.

Tony sebenarnya tak pernah tahu, kalau sepasang bola mata berwarna merah kini tengah memperhatikannya dari balik pintu.

Bersambung

 

 

Bagian Ketiga Kecurigaan Jawir

Part sebelumnya :

Tony bukan memperhatikan sumur tersebut. Ia malah menunjuk tepat ke arah belakang sumur tersebut, "Hmm tangga ini mengarah ke lantai dua kan ya?" ujarnya pelan. Ia tampaknya penasaran dengan tangga yang menuju ke lantai dua.

"Tampaknya iya!" jawabku datar.

Tony sebenarnya tak pernah tahu, kalau sepasang bola mata berwarna merah kini tengah memperhatikannya dari balik pintu.

***

Hari sudah hampir menjelang petang, rumah ini sudah dibersihkan sedemikian rupa dan beruntunglah sudah terlihat kalau rumah ini cukup layak untuk dihuni. Aku tidak terlalu lagi memikirkan mengenai lantai 2 rumah ini yang masih terbengkalai, sebelumnya Pak Kades menyarankan agar para wanita tinggal di lantai dua dan kami para pria di lantai 1. Namun karena banyak dari anak-anak yang lain itu takut terhadap suasana di lantai 2 rumah itu, mereka akhirnya menyepakati untuk melakukan pembagian kamar, sebenarnya hanya ada 1 kamar di rumah ini. Tapi, para wanita berpikir kalau tidak masalah untuk tidur berdesakan di kamar berukuran 5x5 meter tersebut yang tidak lain adalah tempat dimana keris sebelumnya ditemukan.

Feranda adalah salah satu orang yang mendukung kebijakan tersebut untuk para wanita mendapatkan kamar, sedangkan kami para laki-laki bebas untuk tidur di antara ruang tamu ataupun ruangan yang sebelumnya menjadi garasi. Aku akhirnya memutuskan untuk mengambil bagian garasi bersama dengan Endy, Toni, Dwi dan Jawir, bagian garasi ini cukup kecil namun memanjang, terkadang juga Toni ataupun Dwi lebih suka untuk tidur di ruang tamu dengan membawa bantal ataupun kasur, hal itu juga dikarenakan adanya televisi yang mereka bawa dan ditaruh di ruang tamu.

Aku masih berkutat membersihkan sampah, debu dan juga kotoran yang berada di garasi, kemudian membersihkan kasur usang yang terdapat disana, setelah dirasa cukup aku pun merebahkan tubuhku di atas kasur tersebut. Endy, Tony dan Dwi tampaknya sedang ada di belakang rumah, mereka sedang membantu para wanita membersihkan kamar mandi yang ternyata sangat kotor. Jawir kemudian mendekat ke arahku dan duduk sembari bersender di dinding garasi.

"Boleh aku lihat gelangmu, Han?" tanyanya pelan.

"Hmm ... ada apa memangnya, Wir?" ujarku penasaran.

"Ah tidak ada apa-apa! Aku hanya ingin memastikan sesuatu!"

Aku mendekatkan tanganku kepadanya dan Jawir pun berkata, "Ahh pantas saja! Kamu memiliki penjaga ya?" ujarnya ceplas-ceplos.

"Penjaga apa?" balasku.

"Ahh sudahlah, aku tahu semuanya!" ujarnya cepat sembari pergi.

Aku tidak mau ambil pusing dengan asumsi seseorang. Jawir kemudian meninggalkan aku sendiri di dalam garasi tersebut. Aku memang mengenakan sebuah gelang tasbih berwarna hitam yang terbuat dari olahan kayu yang dicat cantik, gelang ini diberikan oleh orang tua angkat mama yang merupakan orang dari daerah Banten berdarah sunda. Aku biasanya memanggilnya dengan Kakek Min.

Aku kembali mengingat dengan bagaimana sebenarnya kepribadian Jawir ini. Dia bercerita kalau baru saja menikah, berprofesi sebagai seorang driver, berdarah Jawa dan bisa dibilang memiliki keyakinan yang berbeda dari orang kebanyakan, ditambah dengan sifatnya yang sok tahu dan juga sedikit arogan membuatnya menjadi sosok komplit yang boleh dibilang sangat mudah untuk disukai orang banyak. Tapi dibalik itu semua, aku tidak membenci sosok Jawir, aku tau kalau sebenarnya dia kesepian dan tidak memiliki banyak teman, namun caranya mengakrabkan diri terhadap orang lain mungkin berbeda dengan orang kebanyakan.

Jawir kemudian lewat sekali lagi di depan pintu. Ia kembali berkata dengan nada pelan, "Hati-hati rumah ini ada yang menjaga! Hal buruk pasti terjadi hahaha!" ujarnya dengan nada mengejek.

Aku segera bangkit dari posisiku sebelumnya, "Setiap tempat pasti ada penunggunya, hal itu tergantung padamu. Apakah ingin bertingkah sompral seperti ini terus? Atau mau sekedar merendahkan diri, kau tidak pernah tau apa yang akan terjadi, kawan!" balasku dengan nada santai. Aku paham benar dengan maksudnya barusan, namun aku memilih untuk tidak terlalu meladeninya, lagipula akan menimbulkan kegaduhan yang besar, bisa-bisa acara KKN ini tidak berjalan dan diharuskan untuk mengulang di tahun depan. Aku tentunya mengejar target untuk segera menyelesaikan S1ku pada saat ini.

Aku kembali ke posisiku semula dan tiba-tiba terdengar teleponku berdering dengan cukup keras, "Halo, Kakek!" ujarku cepat mengangkat telpon tersebut, ternyata Kakek Min yang sekarang ini sedang meneleponku.

"Bagaimana kabarmu, cucuku?" tanyanya datar. Aku paham benar dengan keadaan ini, tampaknya beliau mengkhawatirkan keadaanku sekarang ini.

"Oh ... lancar saja, kakek! Tidak ada banyak hal yang berarti!" ucapku dengan nada riang.

"Tidak usah kau tutup-tutupi! Aku tau semua apa yang sedang terjadi!" balasnya dengan nada tinggi.

'Sial' batinku.

"Hehe ... maaf, kakek! Ya seperti yang kakek tahu, ada beberapa gangguan di tempat ini!" balasku cepat.

"Perbanyak istighfar di desa itu! Desa itu bukanlah desa yang terlalu suka beragama, masih banyak orang di daerah itu yang melakukan hal-hal yang di luar nalar, jangan asal makan pemberian orang, selalu mengucap doa sebelum bertingkah ataupun berkerja dan yang pasti jangan terlalu berbuat sembarangan. Kau tau apa yang aku maksud, cucuku!" terang Kakek Min.

Aku hanya diam, tidak berani membantahnya, hal itu memang benar dan merupakan sebuah pertanda, karena sebelumnya aku sudah melihat sosok hitam bermata merah yang berada di lantai dua.

"Tidak usah terlalu takut dengan makhul yang ada di lantai dua. Dia tidak akan menganggu selama tidak ada hal buruk yang kalian lakukan, tapi harap berhati-hati dengan daerah pemakaman di desa ini. Itu saja pesanku, dan jangan lupa untuk melaksanakan shalat lima waktu serta shalat malam. Aku memantaumu dari sini! Ingat jangan takabur!" Kakek Min kemudian menutup telponnya dan aku hanya mencoba mengingat-ingat apa saja pesan yang ia sampaikan barusan. Kakek Min memang terlihat keras, namun sebenarnya ia adalah orangtua yang baik. Ia selalu memperhatikanku, beliau adalah keluaran salah satu Pesantren yang cukup terkenal di kota Jawa, mendalami ilmu kebatinan, suka membantu orang-orang yang kesurupan seperti ruqiah dan lain-lain serta merupakan salah satu tukang urut patah tulang yang cukup terkenal di kotaku, pasiennya sudah banyak dan tentunya sudah banyak juga yang sembuh dari sakitnya setelah berobat dengan beliau.

Aku kemudian terlelap dalam tidurku untuk sementara waktu. Aku tak pernah sadar, kalau Jawir menyelinap ke dalam kamar dan memasukkan keris berkain putih dengan kepala naga itu ke dalam tas kecil yang ada di pinggangnya. Matahari pun terbenam menuju ke ufuk barat. Aku bergegas bangun dan bersiap untuk mandi, air yang kami andalkan adalah air yang ada dari sumur rumah ini yang penuh melimpah ruah, tidak memerlukan tenaga yang banyak, hanya tinggal mengambil gayung dan mengambil air dari sumur tersebut, hal ini tentunya terjadi karena air di sumur itu sudah tahunan tidak pernah diambil airnya.

Aku segera mandi, membasuh semua badanku dengan sabun dan kemudian membilasnya kembali. Aku juga berniat untuk mengambil air wudhu pada saat itu, namun tiba-tiba bulu kudukku meremang, aku merasakan seperti ada sosok yang sedang memperhatikanku dari arah lantai dua, tepatnya anak tangga yang mengarah ke lantai dua, tangga tersebut terbuat dari kayu dan memiliki pintu kayu untuk mengarah ke lantai dua, pintu itu tiba-tiba terbuka secara perlahan-lahan disusul dengan munculnya bayangan hitam dengan bola mata merah itu untuk kesekian kalinya.

Aku benar-benar takut kala itu, sosok itu kembali menampakkan wujudnya semenjak terakhir kali aku melihat sosoknya di jendela lantai dua. Apa yang dikehendaki makhluk ini pikirku, makhluk tersebut perlahan-lahan mendekat dan kemudian tertahan oleh suatu hal hingga tidak bisa mendekat ke arahku, setidaknya ada jarak sekitar 2-3 meter saat ini dari tempatku berdiri dengan makhluk ini. Aku kemudian membaca doa-doa sesuai apa yang diajarkan agamaku untuk menghalau makhluk ini pergi dan berhasil. Makhluk itu menghilang sembari berteriak dengan sangat keras, hingga membuat aku terpaksa harus menutup daun telingaku rapat-rapat, "Arghhh!!!" kemudian sosok itu hilang menembus pintu kayu tersebut dan disusul dengan suara daun pintu yang terbanting serta menutup kembali, 'Brak!!'

Aku segera menuntaskan mandiku dan berpakaian kembali. Tony sudah ada di depan pintu kamar mandi, karena aku penasaran. Aku mencoba bertanya kepada Tony, "Apa kau mendengar sesuatu di dalam, Ton?" Tony yang kelihatan binggung hanya menjawab, "Tidak ... memangnya kenapa? Kau tadi main sabun ya, Han?" ejeknya kepadaku.

"Ah sudahlah ... lupakan saja!" sambil ngeloyor pergi.

Bersambung

 

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!