NovelToon NovelToon

AKSARA

SATU

Dorr.. Dorr.. Dorr..

Gedoran pintu rumah tetangga itu, sungguh memekikkan telinga dari seorang pemuda yang baru saja terbangun dari tidurnya. Ia sudah sangat terusik, sangat lelah, ditambah lagi dengan cahaya mentari yang sedikit demi sedikit memasuki kamarnya. Tentu saja membuat matanya terbuka lebar-lebar.

Pemuda itu mengutuk sejenak. Sial sekali, padahal ia masih mengantuk!

"Mamah! maafin Ara dong. Janji deh, nggak bakal didepak lagi dari sekolah. Sumpah, ini yang terakhir kali kok Mah. Please Mah, masa pintunya tetep dikunci sih?!" teriak seorang gadis diluar sana. "Kasih Ara masuk dulu dong. Masa Mamah tega ngebuat Ara serasa lagi diusir dari rumah, nanti dicap anak durhaka sama tetangga gimana Mah? Ara malu Mah! Ini masa Ara harus jadi gelandangan sih, Ara belum lulus sekolah!"

Pemuda itu menguap, sambil beradaptasi dengan cahaya mentari di dalam kamarnya, ia mulai berdiri dan hendak mencari letak sumber suara. Enak saja gadis itu mengganggu tidurnya. Tunggu pembalasannya saja, gadis itu pasti akan segera diberi pelajaran olehnya!

Dengan masih bertelanjang dada disertai dengan rambutnya yang masih sedikit acak-acakan, ia mulai berjalan lunglai tak bertenaga. Bibir pucat dan lingkar hitam yang tertoreh jelas di sepasang matanya itu, juga bisa dikatakan sebagai bentuk dominan dari tampilan wajahnya saat ini. Ia sudah seperti zombie, sudah seperti tak tidur selama berhari-hari.

"Mamah, tolongin Ara dong. Masa Mamah tega sih! Gini ya Mah, kalau kata Pak Ustadz sih jahatin anak berbakti dan baik hati semacam Ara ini bisa dikatakan dosa besar loh Mah. Kata Pak Ustadz juga, orang jahat itu imbalannya masuk neraka terpanas. Jadi bukain pintunya dulu dong Mah, biar Ara bisa dengan ikhlas mendoakan Mamah masuk syurga. Dosanya Mamah kan udah bergunung-gunung, emang nggak takut kalau ketika Mamah udah di akhirat nanti nggak pakai jalur hisab. Dapet VVIP ke Neraka langsung!" sungguh bocah biadab, benar-benar ingin dicoret dari kartu keluarga.

Pemuda itu hanya mengintip dari celah jendela. Terpampang jelas seorang gadis yang telah mengganggu aktivitas tidurnya itu, masih mengenakan pakaian SMA. Wajahnya babak belur seperti habis kena tinju, lalu dibagian rok belakangnya sedikit sobek hampir menampilkan pakaian dalamnya. Untungnya saja gadis itu memakai celana selutut, jadi gadis itu tidak perlu memamerkan paha mulusnya.

"Ciri khas gadis tomboy." ucap pemuda itu dalam hati. Ia berjalan menuju balkon kamar, dan ingin mencari tahu kelanjutannya dengan teliti. Sepertinya akan menarik.

"Mah, yakin nih Ara diusir! Nggak dikasih asuransi jiwa dulu gitu. Contohnya warisan, aset, properti dulu gitu!" teriak gadis itu dengan kembali menggedor-gedor pintu. Namun kemudian pintu rumahnya terbuka dengan sendirinya, tanpa curiga gadis itu masuk dengan membusungkan tubuhnya penuh bangga.

Pemuda yang sudah berdiri tepat di belakang pembatas balkon itu, hanya menatap lurus ke arah depan dalam diam. Nyatanya apa yang ia ekspetasikan tidak sesuai dengan realita, jadi membuatnya kehilangan minatnya. Bahkan Gadis itu bertingkah seolah tak gentar, sudah siap melawan maut.

Mau tak mau, pemuda itu menggeleng-gelengkan kepalanya dan memilih pergi. Mau bagaimanapun pertunjukkan telah usai, jadi untuk apa ia bertahan. Lagipun sudah tak ada tontonan lagi, jadi untuk apa ia masih berdiri di sana?

Namun ketika pemuda itu hendak masuk lagi kedalam kamar, gadis itu berteriak sembari berlari kencang keluar rumah. Cara berlarinya itu seperti kucing yang sedang dikejar oleh anjing, terkesan tidak beraturan. Ada raut kepanikan yang terpancar dari matanya.

"Ampun Mah, jangan gebukin Ara sama sapu terbangnya nenek sihir lagi. Dosa loh Mah, nanti beneran masuk neraka loh karena udah jahatin anak yang polosnya kayak Ara ini." ucap gadis itu sembari mengaduh pelan, dan berusaha untuk terus menghindar.

"Lebih dosa Mamah atau kamu yang selalu durhaka sama orang tua hah?! Ingat syurga ada ditelapak kaki Ibu! Kalau Mamah masuk neraka, sudah jelas kamu masuk neraka!" bentak seorang wanita paruh baya yang masih terlihat awet muda. Wajahnya berapi-api, seakan sudah bersiap menerkam mangsanya.

Gadis yang bernama Ara itu terus mengaduh pelan, sambil terus menerus menghindari serangan kilat dari Mamahnya. Ara mengangkat kedua tangannya di samping telinga, tanda ia sudah menyerah.

"Janji deh, kali ini Ara bakal jadi anak baik dan rajin menabung." pinta gadis itu pada Mamahnya kemudian. Sekilas, ada sensasi menggelitik ketika ia menekankan kata anak baik.

Pemuda itu sedikit melengkungkan kedua sudut bibirnya. Sediikit-sedikit ia terkekeh pelan dengan kelakuan Ibu dan Anak itu.

'Mungkin dia termasuk gadis pembangkang, tubuhnya saja biru semua seperti habis adu jotos.' batin pemuda itu sembari memegangi pembatas balkon lagi, ia menyaksikan dengan cermat kembali.

"Janji, janji, janji! Berapa kali sih kamu udah janji sama Mamah? Beribu-ribu kali, dan kamu itu sudah sering berbohong sama Mamah! Saking kebalnya mungkin Mamah dibohongi kamu, Mamah jadi nggak tega lagi buat masukkin kamu ke pondok pesantren. Biar beneran tobat dan jadi anak baik beneran!" ucap wanita itu yang kemudian meletakkan sapunya begitu saja di atas tanah. "Cukup Mamah telepon Papah kamu, dan besok kamu sudah dimasukkin ke pesantren sana."

Gadis yang bernama Ara itu berjongkok, ia menangis pelan sambil memegangi lutut Mamahnya. "Jangan masukkin Ara ke pondok pesantren Mah, Ara beneran khilaf kok. Ara sekarang juga sadar, karena Ara Mamah jadi banyak menanggung dosa. Janji deh, mulai besok Ara jadi anak baik."

Wanita paruh baya itu berkacak pinggang. "Khilafnya kamu itu berkali-kali, apa masih pantas disebut khilaf?! Lagian tadi kamu ngapain buat anak orang sampai masuk got? Ngapain kamu lempar tas temen kamu sampai nyangkut di pohon beringin? Ngapain juga kamu ikut tawuran antar sekolah? Kamu perempuan, jangan bar-bar."

Gadis yang bernama Ara itu meringis. "Itu beneran khilaf kok Mah. Refleks aja pengin ngasih pelajaran cabe-cabean sekolah, lagian songong sih sama Ara. Pokoknya jangan di pondok pesantren ya Mah? Suwerr ini sekolah yang terakhir kok."

Wanita paruh baya itu menggeleng tegas, lalu mulai melenggang masuk ke dalam rumah diselingi dumelan tanpa jeda. Sesekali anak itu harus diberi pelajaran.

"Tinggal tunggu keputusan Papahmu saja, pokokny kamu lihat hasilnya nanti. Palingan koleksi skate board kamu, bakal dibakar sama Papahmu."

Gadis itu langsung mengerang, tetapi ditahan dalam-dalam. "Jangan yang satu itu dong Mah, Ara doain nih alis Mamah pendek sebelah. Kalau bisa ya, Ara do'ain bibir Mamah monyong lima senti. Kenapa sih Mamah nggak pernah bosan ceramahin Ara? Ara aja bosen sama suara cempreng Mamah, ngalahin toa mesjid tau!"

Wanita paruh baya itu melotot, secara refleks ia melempar sebelah sandal yang sedang dipakai olehnyanya ke arah Anak bandelnya itu. Tepat pada saat itu, sandal yang dilempar olehnya mendarat mengenai bibir Anaknya. Tentu saja membuat wanita paruh baya itu tersenyum sumringah, dengan hati yang berbunga-bunga ia mulai memasuki rumahnya dengan langkah ringan. Sekarang bibir anaknya lah yang akan monyong lima senti!

"Dasar emak. Kalau aja, doain orang tua yang enggak-enggak itu sama sekali nggak dosa. Kenapa sih doa-doa gue yang pengin Emak baru nggak pernah dikabulin. Semoga saja sih bukan emak ara tuh." ratap Ara sembari menekan-nekan bibirnya. Ia mendapatkan karma.

"Awwww..." ringis Ara yang hendak mendudukkan diri, "Sejak kapan gue babak belur?"

Ara menggaruk-garuk dahinya yang tidak gatal. Tetapi sepertinya ia tak mendapatkan jawaban atas luka memar disekujur tubuhnya. Atau mungkin, ia saja yang pura-pura melupakan sesuatu?

Bodo amat, itu sudah biasa baginya! Ia memilih untuk tetap duduk disertai matanya yang menyapu ke sekeliling. Dan mendadak tatapannya berhenti pada satu titik, dia mendapati seorang pemuda tampan yang tengah menatapnya dalam-dalam.

Satu detik...

Dua detik...

Tiga detik...

Ara menganga. Apakah itu seorang pangeran yang jatuh dari khayangan? Enak saja, masa Pangerannya Mimi Peri sih. Ara tidak akan menerimanya! Lagipula, jelas-jelas pemuda itu adalah tetangganya. Tapi mengapa ia baru bertemu dengan pemuda itu? Padahal ia sudah lama tinggal ditempat ini, rumahnya juga tidak pernah bergeser kemana-mana semenjak dia lahir bukan?

Meskipun pemuda itu nampak dewasa atau lebih tua beberapa tahun darinya, itu tak membuat nyali Ara yang hobi jahil langsung menciut. Sekejap, Ara sedikit tersenyum. Kemudian melambai-lambaikan tangannya kearah pemuda itu.

"Hai Om, ganteng banget deh! Boleh minta line, nomor whatsapp, akun sosmed lainnya, atau segalanya deh. Hati Om juga nggak apa-apa, insyaallah dedek siap menampung hati Om kok. Tanda tangannya juga boleh, siapa tahu laku di pasaran nanti. Kalau gitukan, Ara jadi pengin buka bisnis. Oh ya, Om sudah punya gandengan belum? Mau digandeng sama Ara nggak? Truk aja gandengan, masa Om enggak." teriak Ara sambil terus mengedip-ngedipkan matanya.

Dalam sekejap, pemuda itu langsung menatap Ara dengan  jijik. Hilang sudah pemikiran tomboy tentang gadis dihadapannya ini. Nyatanya ia lebih parah dari para gadis yang selalu mengejarnya kemanapun dia pergi.

"Sinting!" hanya itulah yang keluar dari mulut pemuda itu kemudian masuk ke dalam kamarnya lagi.

Sedangkan gadis yang bernama Ara itu hanya menampilkan senyum cerah, kejahilannya itu memang tak pernah gagal. Ini mungkin bukan apa-apa, masih ada yang lebih pro dari ini. Ternyata jiwa sok polosnya selalu berhasil.

"Gila, padahal di sekolah-sekolah yang gue kunjungi nggak ada tipe-tipe cowok yang mirip kayak dia. Apa jangan-jangan dia artis ya?" Ara jadi menggaruk-garukan kepalanya, pasalnya ia tak cukup tahu soal artis-artis Ibukota. Kalaupun ia tahu, itupun karena rekan gosip kelasnya. ralat, mantan kelasnya sekarang.

"Gue harus nonton televisi nanti, siapa tahu dia artis beneran. Keren deh kalau dia beneran artis, lumayan gue bisa masuk televisi walaupun jadi figuran. Tahu-tahukan ada wawancara di depan rumah gue." seorang yang disapa ara itu kemudian pergi menuju kedalam rumahnya.

*****

**1500 Kata.

Yang pernah baca sampai tamat, pasti tau alur ceritanya kok. Cuma ganti cover dan sedikit revisi aja.

By: Vaa_Morn**.

DUA

"Delapan kali masuk BK, delapan kali bolos, delapan kali buat onar, delapan kalinya juga kamu buat Guru masuk rumah sakit karena jantungan, dan kesekian kalinya ini kamu dikeluarkan dari sekolah hanya karena satu alasan. Apa benar Kinara Casilda Freissy?"

Seorang lelaki hampir paruh baya itu mencatat semua ucapannya itu dibuku coklat tebal mirip seperti sebuah diary. Seakan-akan apa yang ditulisnya itu akan berharga dimasa depan layaknya sebuah hutang, dan ia bisa menagihnya kapan saja.

Lusuh, diary itu tampak tak seindah seperti barunya dulu. Mungkin sudah sangat lama, bahkan tiap kertas yang dulunya putih, kini mulai menyoklat seiring berjalannya waktu. Wajahnya sesangar orang yang menagih cicilan, bahkan kacamata yang siap merosot dari matanya itu, ia benarkan kembali ketempat semula.

Kinara Casilda Freissy, atau gadis yang sering disapa Ara itu langsung menggeleng. Ia benar-benar takut jika harus dihadapkan dengan seseorang sejenis dan setegas papahnya itu. Sering kali wajahnya  menunduk kebawah, ketika melihat sorot mata Papahnya yang semakin menajam. Hanya itu yang Ara lakukan selain diam saja.

Ara hanya manatap sekilas kepada kedua orang yang berada dihadapannya. Berbekal kaos oblong, dan celana selutut, ia menghadapkan diri kearah sang Bapak Negaranya. Disampingnya pun, ada Nyai Kanjeng ratu yang siap menertawainya kapan saja. Mau tak mau Ara harus siap dengan pakaian tempurnya dalam menghadapi kubu musuh dihadapannya sekarang ini.

"Kinara Casilda Freissy, bagaimana sikap seseorang ketika mendengar ceramah seseorang dengan cara baik!"

Ara lupa bahwa Bapak Negaranya itu adalah seorang anak dari mantan komandan tentara. Ia dituntut menjadi orang yang disiplin, sehingga apa yang Ara lakukan itu harus sesuai dengan dirinya yang pernah dia rasakan dulu.  Mungkin semata-mata hanya ingin membuat Ara ikut menjadi disiplin saja, namun apa yang dilakukan oleh Papahnya sudah hampir mencapai batas berlebihan.

Papahnya itu tidak mengikuti jejak Ayahnya yang mengabdikan diri pada negara, melainkan menjadi seorang pebisnis yang saat ini hampir berada dipuncak sukses. Cabangnya pun sudah ada dibeberapa tempat, dengan ambisi besarnya yang ingin menjadi sukses dengan tangannya sendiri dulu. Dari modal kecil, ia bisa mengembangkan usahanya menjadi sekarang ini. Semua itu semata-mata dari hasil kerja kerasnya.

Ara langsung menegakkan badannya, kemudian menyiapkan diri untuk mengistirahatkan tangannya kebelakang punggung. Ia terdiam seribu bahasa, seakan mulutnya terkunci tak ingin bersuara. Mengapa Papahnya selalu bersikap seakan-akan dia itu Kakeknya? Tak bisakah Papahnya itu menjadi diri sendiri saja. Ia sudah sering mengalami yang seperti ini.

"Ambil posisi!" seru Papahnya memerintah.

Ara dengan rasa malas-malasan langsung mengambil posisi push up, lalu menghitungnya dalam diam. Senyap, ia sama sekali tak ingin bersuara. Angin datang pun memilih untuk sekedar lewat dan pergi begitu saja. Ara sungguh bosan jika akhirnya harus berakhir seperti ini.

"Berapa kali kamu keluar dari sekolah? Sebutkan alasannya!" seru Papahnya kembali.

Sambil mengangkat turun tubunya dan menahan beban tubuhnya dengan kuat, ia hanya diam tanpa ingin menjawab. Sepertinya otaknya sudah diatur untuk tidak menerima apapun yang keluar dari mulut Papahnya.

"Ara?!" bentak Papahnya keras.

Ara berhenti dari kegiatannya, kemudian berdiri. Ia mungkin mau melakukan apapun yang diperintahkan kepadanya. Namun ia tak akan terima, jika ia dibentak begitu saja oleh siapapun termasuk Papahnya sendiri.

Apa yang ditunjukkan kepadanya mungkin adalah sebuah perhatian semata. Namun jika Papahnya hanya ada disaat-saat itu saja, Ara mungkin tak akan bereaksi seperti ini. Semua yang ia lakukan hanyalah wujud ingin suatu perhatian, dan Ara sangat menginginkan itu.

"Kenapa Pah?" hanya itu saja yang keluar dari mulut Ara. Tak ada kata lain yang mewakili isi hatinya, selain bertanya sebuah alasan.

Papahnya memijit pelipisnya yang entah mengapa terasa pusing. Disampingnya masih ada sang pendamping hidup yang sesekali mencekal lengannya untuk tetap fokus dengan tujuannya.

"Kenapa Pah? Jawab, Ara ingin tahu segalanya kenapa Papah selalu nggak ada waktu untuk Ara. Sibuk! Sibuk! Sibuk! Ara nggak tahu sesibuk apa diri Papah, tapi tolong kasih Ara waktu untuk bersama Papah." jeda Ara kemudian menatap Papahnya dengan tatapan berharap. "Jika bukan untukku Papah ada, tolong lihat Reval yang sedari dulu kurang perhatian dari Papah. Ambisi Papah menelan habis semuanya, yang ada diotak Papah cuma kerja dan kerja aja."

Reval, Ara jadi teringat dengan adiknya. Hanya selisih 3 tahun saja darinya, namun Ara tahu tentang apa yang ingin Reval katakan dari dalam hatinya.

Revalio Ananta. Cowok kelas tiga SMP itu selalu menyibukkan dirinya dengan banyak organisasi di sekolah. Ia tak betah dirumah meskipun hanya semenit saja. Fasilitas, dan kehidupan dirinya mungkin terjamin. Tapi bukan itu yang Reval mau? Reval hanya ingin ada kebersamaan dalam kehidupan kecil keluarganya itu. Hanya itu saja, tapi sulit untuk digapai. Lagi-lagi karena ambisi Papahnya!

"Pa.. Pah.." hanya itu yang terlontarkan dari mulut lelaki paruh baya itu.

Ara menunjuk sang Adik yang baru saja turun dari tangga. Bukannya berpamitan, Reval malah menganggap semua orang yang berada di sana hanyalah angin lalu. Termasuk good boy memang, tapi terlalu sukar untuk berlama-lama di dalam rumah. Baginya udara di dalam sana sangat menyayatkan hati, untuk itu  setiap hari libur tiba, ada saja kegiatan sekolah yang membuatnya jauh dari rumah. Reval tidak terlalu menyesal dengan perbuatannya itu.

"Lihat Reval sekarang Pah.. Karena ambisi Papah sendiri, Reval udah jauh dari semuanya. Ia memilih untuk menghindar, menghindar, dan menghindar. Jadi tolong, beri kita sedikit waktu untuk berkumpul bersama. Karena apa yang Ara lakukan itu, semata-mata hanya ingin memancing Perhatian Papah saja."

Nafas lelaki paruh baya yang tak lain adalah Papahnya itu dibuat kembang kempis. Pasokan udara seakan habis tergantikan dengan udara kotor yang merajalela. Seakan dia tak diberi waktu lagi untuk bernafas normal sekali saja. Ada gejolak amarah, namun ada juga gejolak sesal dalam tubuhnya.

"Ara, masuk kamar dan ambil tas kamu. Lalu cepatlah pergi untuk berangkat sekolah! Mamah tidak mau kamu terlambat dihari pertama sekolah ditempat baru kamu. Turutin Mamah dan jadilah anak baik di sana. Jika kamu tidak mau  menurut, maka mau nggak mau Mamah akan asramakan kamu. Ingat, kamu tinggal memiliki satu kesempatan aja, jadi jagalah dan jadi anak baik-baik." ucap Mamahnya sedikit mengancam.

Ara mendengus, kemudian berlari menuju kamarnya. Tidak ada lagi yang bisa ia lakukan, selain menjadi anak baik yang diharapkan. Ancaman Mamahnya membuatnya sedikit bergidik ketika dibayangkan, ia masih ingin kebebasan.

"Selamat tinggal kenangan, selamat tinggal kejahilan berlanjut kejahatan. Kinara Casilda Freissy, untuk kali pertamanya lo bakal akting jadi anak baik-baik. So, lakukan semampumu. Jika lo udah nggak tahan, segara tinggalkan wajah palsumu." semangat Ara diakhiri kekehan kecil, kemudian melangkahkan kakinya lebar-lebar menuruni tangga.

Pokoknya hanya di sekolah saja ia bertindak seperti anak baik-baik. Tidak ada kejahilan, dan tidak akan ada perkelahian. Sepertinya akan ada 80% untuk diam, sisanya ia akan memilih untuk bertahan dan menjadi dirinya sendiri.

Baru saja Ara hendak masuk ke dalam mobil yang sudah berdiri sang sopir, sosok dengan figur tampan keluar dari rumahnya. Sekejap Ara tersenyum, kemudian melambai-lambaikan tangannya penuh semangat tatkala pemuda itu menatapnya. Sisi jahilnya mendadak muncul, meskipun tak ia tidak bisa bereaksi penuh. Itu tak masalah, yang terpenting hatinya berangsur-angsur berubah lebih baik dari sebelumnya.

"Hai Om ganteng! Mau berangkat kerja ya. Jangan lupa makan siangnya nanti. Kalau bisa, jangan lupakan Ara yang cantiknya melebihi Selena gomez dan imutnya melebihi Ariana grande. Catat! Wajah Ara lebih sempurna dari mereka yang menganggap dirinya sempurna. Untuk itu jangan lupakan gadis cantik di depan Om Ini, semangat kerjanya ya Om! Cari uang yang banyak ya Om, untuk bekal calon anak-anak kita di masa depan!"

Pemuda yang baru saja membuka mobilnya itu, langsung cepat-cepat masuk kedalam dan meninggalkan bocah sinting itu. Untung saja hanya satu, jika tidak ia akan mati muda secepatnya.

'Pokoknya harus sabar Sen. Skripsi akhir lo aja belum kelar. Jangan sampai bocah sinting itu menambah beban diri lo.' batin pemuda itu sambil mengangkat kedua tangannya sedikit berdoa.

"Huft... Huft..." pemuda itu hanya menghembuskan napas, kemudian menghirupnya kembali. "Lo harus fokus kerja sekarang, jangan lagi mikirin bocah sinting itu."

Dengan hitungan satu detik, pemuda itu telah melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Meninggalkan Ara yang hanya membuka mulutnya lebar-lebar tak percaya.

"Gue dicuekkin nih!" Ara hanya menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya diselingi tawa yang menggelegar.

*****

1314 Kata.

TIGA

Kinara Casilda Freissy. Seperti namanya yang mengandung banyak makna, maka orangnya sendiripun memiliki banyak makna dari orang-orang yang mengenalnya lebih dekat.

Meskipun memiliki hobi gonta-ganti sekolah, tak sedikitpun orang yang ingin berteman tulus dengannya. Sedikit pecicilan dengan banyak kejahilan yang dilakukan, mungkin banyak mengandung hiburan tersendiri bagi orang-orang yang bisa resmi menjabat sebagai teman olehnya. Disisi itu ia bisa dibilang cerdas, bisa memahami materi dalam sekali tangkap.

Hanya saja yang dipermasalahkan di sini, Ara tidak terlalu menanggapi mereka yang ingin berhubungan baik dengannya. Sebaliknya, ia menganggap keseriusan mereka sebagai barang lelucon dan menjadikan mereka sebagai objek kejahilannya sendiri. Untuk itu, banyak orang yang memusuhi dirinya karena terlalu sombong. Ara selalu memiliki kebahagian meskipun ia sendiri.

Gadis yang sering disapa Ara itu, kini telah resmi menjadi anak baru dari sekolahan swasta bernuansa megah. Tak ada kebanggaan diri ataupun tatapan memuja untuk gedung-gedung sekolah yang menjulang tinggi. Kali ini Ara menganggapnya sebagai penjara dan meratapi nasibnya yang entah akan terjadi apa di masa depan nanti.

"Come on Ara! You can do it." ucap Ara yang menyemangati dirinya sendiri. Namun nyatanya gagal, hatinya bergemuruh hebat untuk melakukan sesuatu yang jarang pernah ia lakukan.

Menghela nafas panjang, Ara mulai memasuki gerbang sekolah yang masih terbuka lebar dengan pengamanan ketat dari para satpam di mana-mana. Ara memilih untuk menghiraukan, kemudian menapakkan kakinya dilingkungan baru itu secara perlahan.

Sembari mengeratkan genggaman tas nya, ia menghitung langkah tiap langkah yang sedang dipijak olehnya. Ia terdiam tanpa mengucapkan sepatah dua patah kata saja. Namun langkahnya terhenti tatkala tatapan matanya mendapatu kerumunan yang menghalangi jalannya.

Sesekali berjinjit meskipun tetap tidak melihat apapun selain lautan manusia, namun rasanya Ara bisa melihat sesuatu yang mengganjal diotaknya. Ada sesuatu yang membuatnya ingin sekali melihat lebih dekat, meskipun ia masih bisa melintasi jalan lain yang untuk ia tempuh. Tapi ya sudahlah, lagipula ia masih tak tau arah saat ini.

Ara memilih ikut berdesak-desakkan, demi menyaksikan peristiwa apa yang sedang terlaksana. Berulang kali ia mendorong beberapa orang yang menghalangi jalannya, kemudian mendapatkan banyak cemooh dari orang itu. Namun apa pedulinya? Ingatkan Ara yang selalu bersikap semaunya sebelum ini. Lagipula Ara ingin tahu aksi apa yang sedang mereka lakukan disekolah yang seelit ini.

Ara berhasil menerobos ke depan dan mendapatkan jarak paling terdekat. Ternyata ada sebuah aksi tindas menindas yang sedang dilakukan, ditambah lagi tanpa ada satupun yang ingin melerai. Ara jadi menggigit bawah bibirnya yang bergetar. Apa yang harus ia lakukan ketika ada seseorang yang sangat membutuhkan bantuannya?

"Lo itu cuma seonggok debu di sini. Lebih cocok dihempas, kemudian dilempar kayak sampah! Kaya sih, tapi **** nggak ada otak. Sama aja nggak guna!" seru salah satu orang yang tengah melakukan aksinya dengan seember penuh berisi adonan terigu. Semua orang secara serempak tertawa bahagia.

Ara mengeratkan genggaman tasnya. Ia memang jiwa berandal, tapi dia menolak tegas adanya penindasan.

"A.. Aku nggak sengaja kok." jawabnya sesekali sesenggukan karena menangis.

Ara meniup-niup poninya. Dasar lemah, baru digituin aja udah nangis kayak ditinggal mati aja. Pantas aja dibully!

"Udah bodoh, tukang ngeles lagi. Untung aja lo anak orang kaya, kalau nggak! Gue pastiin, lo nggak bakal diterima di sekolah ini. Secara, nilai akademik lo jauh dibawah rata-rata, begonya sampai ke sumsum tulang belakang sih."

Sudah tidak dibenarkan lagi oleh Ara. Jika beberapa orang yang tengah melakukan penindasan itu, sudah bermain fisik dengan seseorang yang sedang ditindas. Tanpa rasa ragu sedikitpun, ia berjalan ringan sembari menyenggol bahu kanannya dengan keras, tentu saja membuat ringisan kesakitan. Seakan tidak peduli, Ara berjalan tanpa rasa bersalah sedikitpun.

"Hahaha.." gema banyak orang tertawa ketika seember adonan terigu yang tersisa itu tidak jatuh ke dalam sasarannya melainkan dirinya sendiri.

Ara sedikit tersenyum. Sedikit membantu, tak membuat citranya buruk lagi dimata Papah dan Mamahnya. Emang dasarnya dia anak baik, tapi kebaikannya tidak pernah dianggap orang lain.

"Woyyy lo?!" bentak siswi yang sepertinya penindasan yang hendak dilakukannya telah gagal. sembari memegang bahunya yang setengah sakin, ia mengeluarkan rasa murkanya.

Ara berbalik, kemudian memasang wajah polos seakan tak terjadi apa-apa.

"Kenapa?" tanya Ara sebari menggaruk-garukkan kepalanya yang tidak gatal.

"Lo tanya kenapa? Disaat lo udah ngehancurin semuanya. *****!" bentak siswi itu lagi.

Ara bersedekap dada, lalu tersenyum sinis. "Lebih ***** gue atau lo? Nggak sadar diri ya, kalau lo itu orang terbodoh yang pernah gue lihat selama gue pindah sekolah berkali-kali." serobot Ara, "Katanya mah orang kaya, tapi nindas orang masih pakai tepung terigu. Cari yang mahal dikit kek, nggak ada duit ya?"

Siswi itu sudah mengepalkan tangannya penuh emos sedari tadi, dan Ara sudah membaca gerak-geriknya.

"Lo salah nantangin orang?!" Bentak siswi itu disertai dengan pukulan yang siap menerjangnya. Namun dengan gesit, Ara menangkisnya. Ia terkekeh, kemudian memelintir lengan siswi itu yang langsung mengaduh kesakitan.

"Satu hal yang harus lo tahu, bahwa hukum karma di dunia ini masih berlaku. Apa yang lo terima dari gue, emang itulah yang lo lakuin sedari dulu. Semakin lo menebar banyak kebencian kepada orang-orang yang pernah lo sakitin, semakin banyak juga orang yang menaruh dendam terhadap diri lo." Ara dengan santainya kembali menekan bahu siswi itu, dan membuat siswi itu kembali menggelinjang hebat karena kesakitan.

Bahkan ketika siswi itu nampak akan menangis, Ara masih belum ingin melepaskan lengan siswi itu.

"Lo mungkin hebat, tapi ada orang yang lebih hebat dari lo. Dia yang lemah, akan ada saatnya dia bangkit. Siap-siap aja lo kena imbas!" Ara dengan tenaga yang masih tersisa itu, langsung menghempaskan lengan siswi itu begitu saja. Ia menatap seorang siswi yang telah menjadi korban penindasan tadi.

"Lo mau di sini atau mau ngikut?" tanya Ara sembari memperhatikan siswi yang nampak gemetar hebat dengan tangisnya yang mulai reda.

"I... I... I...Ikut..." jawab siswi itu terbata-bata.

Ara menghembuskan napas kesal. Apakah ia menakutkan layaknya hantu? Ara menatap kakinya yang masih memijak tanah, kemudian tersenyum lega.

"Bisa berdiri kan, gue pikir lo nggak selemah bayi yang masih pakai popok."

Siswi itu mengangguk, namun masih urung untuk berdiri. Sedikit melirik jam tangannya, Ara sudah telat untuk menemui kepala sekolahnya. Ditambah dengan letak ruangannya yang tidak tahu.

"Lo bisa berdiri kan?" tanya Ara untuk yang kesekian kali, dan yang ia dapat hanyalah sebuah anggukan kecil saja.

Satu menit, dua menit, lima menit, Ara masih tidak bergeming ditempat lantaran menunggu siswi itu berdiri. Ia mengusap-usap wajahnya dengan kasar, kemudian menatap siswi itu dengan tatapan kesal.

"Lo lelet kayak siput. Bikin gue enek aja!" kesal Ara yang sudah tak tahan lagi.

Ara langsung pergi meninggalkan siswi  yang masih mematung. Dengan sedikit bersenandung nada, Ara menghentak-hentakkan jarinya dengan earphone yang baru saja terpasang ditelinganya. Sambil menengok kesana kemari, Ara tak henti-hentinya tersenyum ketika harus menatap bangunan yang nampak asri di depan mata. Sungguh pemandangan yang membuat siapa saja merasa tenang. Tidak bohong jika ia merasa nyaman ditempat baru seperti ini.

Tet... Tet... Tet...

Bel masuk baru saja dibunyikan, namun Ara masih belum menemukan ruang kepala sekolah. Ia mendengus, padahal sudah setengah jam yang lalu Ara berkeliling. Namun tak kunjung mendapatkan.

"Bagi siapa saja yang ber name tag Kinara Casilda Freissy, diharapkan untuk menemui Guru di ruang BK atas kasus yang baru saja terjadi. Sekian dan terimakasih." sebuah pengumuman muncul dari banyak speaker yang terpasang diseluruh penjuru sekolah.

Ara menganga lebar, kemudian menatap kearah pakaian yang dikenakan olehnya. Hampir semua kelengkapan seragam terpasang rapi di sana, termasuk namanya yang berada disisi kanan itu. Ara menepuk jidat, sejak kapan ia memasang name tag di seragamnya?

Mamahnya ternyata tidak segan-segan memasukkan dirinya kesekolah ini. Bahkan dengan begitu niatnya, semua atribut sekolah sudah terpampang dengan jelasnya. Padahal hampir beberapa kali ia berpindah-pindah sekolah, atribut seragamnya tak pernah terpangsang dengan lengkap.

Kali pertamanya, Ara terjerat kasus dimana ia baru saja menjadi anak baru disekolah. Dan untuk kali pertamanya juga, Mamahnya telah berniat mengubah dirinya menjadi anak baik-baik seperti yang ditetapkan.

Saat itu juga Ara mengeluh. Kenapa dirinya harus dituntut untuk menjadi anak baik-baik, disaat ia telah merasa cocok dengan kehidupan sebelumnya. Rasanya tak cukup adil untuk kehidupan yang dulu pernah ia jalani.

"Satu kali mendapatkan sanksi, untuk pertama kali gue dateng kesekolah. Great!  Sepertinya ini ide yang  nggak terlalu buruk, untuk meliburkan diri sejenak dari sekolah. Gue harap semoga gur kena skorsing." doa yang tidak terlalu buruk bagi Ara. Rasanya ia tidak sabar jika diliburkan untuk sesaat. Begitulah pikirnya, tapi tidak untuk yang lain.

*****

1375 Kata.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!