Sabtu, 21 September 2019
Hari ini aku datang lebih awal, terkadang tergantung situasi. Sekolah masih lumayan sepi, begitu juga kelasku. Begitu aku melewati parkiran yang menuju ke kelas, aku terus memperhatikan kelas 3 TKR 2. Masih dikunci kelihatannya. Biasanya para siswanya datang saat bel masuk berbunyi. Padahal Kak Sendy yang merupakan salah satu penghuni kelas itu, telah tiba disekolah pukul tujuh tepat. Aku sering berpapasan dengannya di area parkir luar sekolah. Tapi entah kemana batang hidungnya. Ia selalu masuk kelas saat bel masuk. Apa ia merokok dulu? Entahlah, biasanya memang banyak siswa yang merokok di warung yang terletak persis di belakang parkiran. Walaupun guru BK sudah turun tangan kesana katanya, tampaknya tak ada perubahan.
***
Beberapa menit yang lalu bel masuk sudah bergema di seluruh penjuru sekolah. Aku menatap keluar kelas. Tapi sosok yang sedari tadi kucari cari tak kunjung datang. Kemana ia? Tadi aku juga tak bertemu dengannya di parkiran. Apa Kak Sendy terlambat? Aku melihat teman sekelasnya yang satu persatu mulai bermunculan. Tapi tidak dengan pria itu.
***
"Ting... Ting... Ting..."
Bel pertanda sekolah telah usai berbunyi lebih nyaring dari biasanya saat itu. Aku buru-buru mengemasi barang-barangku. Aku sengaja memilih keluar paling terakhir karena tak ingin berdesakan.
"Temenin gua nungguin si Tami yuk. Gua mau ngambil buku bahasa yang tadi dipinjam sama dia." Ucapku kepada Zahra.
Aku, Zahra dan pacarnya duduk di kursi panjang didepan kelas Tami. Lumayan lama kami menunggu, sesekali terdengar suara lantang Bu Leni yang tampaknya sedang marah besar saat itu. Ada beberapa anak jurusan otomotif yang belum pulang. Sebagian besar masih ada yang praktek. Tapi kecuali kelasnya Kak Sendy. Beberapa temannya memang masih tampak duduk didepan kelas. Kemana pria itu? Hari ini aku tak melihatnya. Apa ia sakit?
Aku mengecek kontak WhatsApp nya. Ia terakhir online saat subuh tadi. Kemungkinan besar ia tak masuk sekolah hari ini.
***
Aku berjalan menuju lapangan utama. Hari ini seperti biasanya, kami akan latihan Marching band. Aneh, tak biasanya sekolah sepi seperti ini. Padahal aku sengaja datang agak terlambat. Aku menyibukkan diriku sambil bermain ponsel. Satu persatu anggota berdatangan. Tapi, tetap saja jumlahnya lebih sedikit daripada biasanya. Mungkin banyak yang tidak latihan hari ini. Termasuk pria yang dari tadi pagi tak kulihat batang hidungnya.
Barisan kami telah tersusun rapih. Seperti biasanya, aku menempati barisan paling belakang agar dekat dengan barisan anak perkusi. Kami belum juga memulai latihan. Ada yang kurang lengkap. Tak satupun dari pemain tom yang hadir. Musik yang kami mainkan akan terdengar janggal tentunya.
Dari arah yang berlawanan datang dua orang pria yang berboncengan seperti biasanya. Siapa lagi jika bukan Kak Sendy dan Kak Rezi. Mereka selalu bersama kemanapun itu. Perasaanku sedikit lega bisa melihat Kak Sendy hari ini. Setidaknya itu bisa mematahkan asumsiku jika Kak Sendy tidak sekolah karena sakit.
Ia buru-buru berlari menuju sanggar. Rambutnya tampak tersibak oleh angin yang ia ciptakan saat berlari. Aku menatapnya lekat. Ya Tuhan, kenapa aku bisa menyukai pria itu? Jika dilihat lihat, sebenarnya ia biasa saja. Sama seperti pria pada umumnya. Tapi kenapa aku melihatnya sebagai seseorang yang sangat istimewa dan berbeda dari pria lainnya. Aku mencoba menahan sudut bibirku agar tidak terangkat. Orang orang pasti akan mengira aku gila jika aku tersenyum tanpa alasan.
Latihan kami terhenti sejenak, kali ini latihan hanya terfokus kepada terompet yang akan membentuk formasi. Sementara bell, perkusi, dan color guard hanya mengiringi di tempat masing-masing. Kak Sendy beberapa kali mondar-mandir di depanku. Pertama ia pergi ke wastafel lalu membasuh rambutnya, kemudian membawa stick bass milik Kak Rezi. Tak lama, ia kembali dengan membawa stick tom miliknya. Tingkahnya masih berlanjut, ia juga mencoba memainkan alat musik snare.
"Woy! Diem dulu bising kali anak perkusi ini." Tegas Gitapati.
"Oke, siap!" Balas Kak Sendy.
"Ish, ada aja tingkahnya. Kok bisa-bisanya gua suka sama dia." Batinku dalam hati.
Pria itu banyak berubah. Dulu ia lebih seperti cowok cool yang tak banyak omong dan terkesan mager. Tapi sekarang, aku benar-benar tak habis pikir. Tapi, bagaimanapun itu, aku tetap menyukainya. Tak ada hal yang mampu merubah rasa ini termasuk waktu.
Latihan bersama dilanjutkan setelah terompet benar-benar paham dengan formasi mereka. Kami berlatih sambil berjalan untuk persiapan parade bulan Desember mendatang. Aku tau Kak Sendy menempati barisan dibelakang ku. Hanya selang beberapa alat. Aku, snare, simbal, lalu tom nya Kak Sendy. Setiap di ujung barisan, kami memutar balik arah. Dan aku berpapasan dengan pria itu untuk kesekian kalinya. Sebenarnya, saat disekolah terbilang cukup sering aku melihat Kak Sendy wara-wiri di depan kelasku. Tapi, berbeda saat latihan Marching band berlangsung. Benar-benar berbeda. Aku sangat senang jika bertemu dengan Kak Sendy saat latihan, entahlah kenapa. Sesekali aku sengaja mencuri pandang kepada pria itu.
***
Jam sudah menunjukkan pukul 16.30 yang artinya waktunya pulang. Kali ini kami benar-benar latihan penuh tanpa istirahat. Pinggangku pegal sekali rasanya. Aku duduk di depan kelas bersama dua orang temanku sambil menunggu gerbang lumayan sepi untuk kami melintas. Kak Sendy dan Kak Rezi langsung menyalakan sepeda motornya kemudian terlihat meninggalkan area parkiran. Tak biasanya Kak Sendy pulang secepat ini. Biasanya, ia menunggu sampai sekolah sepi.
Aku dan salah satu temanku memutuskan pergi ke depan gerbang. Masih agak ramai, cuma tak terlalu padat dan sesak. Ada beberapa sepeda motor yang tampak menepi di trotoar, termasuk sepeda motor Kak Sendy. Sudah kuduga, mereka tak akan pulang secepat ini.
"Beli minuman ke minimarket yuk!" Ajak temanku.
"Skuy lah." Balasku.
"Eh, ga jadi deh. Beli jus aja."
"Dasar plin plan."
Kami mengurungkan niat untuk ke minimarket. Dan memilih tukang jus buah kaki lima.
"Bang, jus alpukat nya satu." Ucap temanku.
"Pisang molen nya lima ribu, sama jus jambu nya satu." Sambung ku.
"Sip non." Balas Abang tukang jus.
Tak lama kemudian
"Ini non." Ucap Abang tukang jus sambil menyodorkan pesanan kami.
"Makasih ya bang." Balas kami serempak.
"Ish, sok kompak." Ejek ku seraya menepuk pundak temanku.
Kami kembali ke gerbang. Dan lagi-lagi aku berpapasan dengan Kak Sendy. Ia duduk di atas sepeda motornya sambil menunggu bakso pesanannya selesai.
"Hey, Sha!" Sahut salah satu temanku yang berdiri di trotoar.
"Hey! Pulang lu." Balasku sambil bercanda.
Aku sedikit terkejut, tiba-tiba seseorang menarik tanganku ke tepi trotoar. Kak Sendy menarik tubuhku ke samping sepeda motornya. Aku terpelongo tak percaya.
"Ngapa lagi dah ini." Batinku dalam hati.
Detak jantungku semakin tak beraturan. Kedua mata pria itu menatapku lekat dengan sorot mata sinis. Raut wajahnya benar-benar dingin saat itu, sesekali mengunyah bakso yang masih tersisa di mulutnya. Agak ngerih memang melihat ekspresinya saat itu. Ia menyelesaikan kegiatannya, kemudian menelan bakso yang terakhir.
"Buruan naik." Ucapnya.
"Ha?" Tanyaku yang masih kebingungan dengan situasi saat itu.
"Buruan naik, biar gua bonceng." Jelasnya.
"Bonceng?" Tanyaku lagi.
Pria itu tampak menghela nafasnya sebentar.
"Udah buruan naik." Perintahnya.
Aku hanya mengangguk mengiyakan perkataannya. Aku sama sekali tak mengerti apa yang terjadi saat itu. Otakku tak bisa berfikir lebih jauh. Aku mengikuti perkataan Kak Sendy dan segera naik ke atas sepeda motornya.
"Zi, gua pergi bentar ya. Nanti gua balik kesini lagi." Teriak Kak Sendy sambil membenarkan helmnya.
"Jangan lama-lama." Balas Kak Rezi.
"Udah?" Tanya pria itu kepadaku.
Lagi-lagi aku hanya mengangguk. Aku selalu kehabisan kata-kata saat berada di dekat Kak Sendy.
Kami pergi meninggalkan sekolah. Entah kemana kami akan pergi. Ia tak memberi tahukan hal itu sebelumnya. Senja sudah menyapaku kembali kala itu. Hawanya jauh lebih hangat dari biasanya. Sinarnya juga lebih jingga dari sebelumnya. Mimpi apa aku semalam? Aku tak menyangka bisa berada di jarak sedekat ini dengan dirinya. Biasanya, aku hanya berani mengaguminya dari kejauhan dan berandai tentang semua imaji ku.
Kami berhenti didepan sebuah minimarket. Aku langsung turun dari sepeda motornya. Kemudian Kak Sendy tampak memarkirkan kendaraannya. Aku membiarkan pria itu berjalan didepanku. Kami menuju salah satu meja di depan minimarket.
"Lo tunggu disini dulu ya. Gua mau kedalam bentar." Ujarnya.
"Iya." Jawabku singkat.
Aku meletakkan tasku diatas meja. Kemudian menyibukkan diriku dengan bermain ponsel. Tanganku benar-benar dingin saat itu. Jantungku juga masih tak beraturan temponya sedari tadi.
"Nih." Ucapnya sambil menyodorkan sepotong roti kacang merah dan susu kotak.
"Buat lo." Sambungnya.
"Tapi aku tadi udah beli pisang molen sama jus." Ujar ku.
"Ya udah makan ini aja dulu. Pisang molen nya buat ntar lo makan dirumah." Jelasnya.
Pria itu tampak membuka bungkusan roti miliknya. Padahal beberapa menit yang lalu ia baru saja selesai makan bakso.
"Kakak belum kenyang emangnya?" Tanyaku dengan polos.
"Belum." Balasnya.
"Kok belum dimakan?" Tanya pria itu.
Aku buru-buru membuka bungkusan roti milikku.
"Setiap pulang latihan, lo selalu kesini kan? Makan roti kacang merah sama minum susu kotak? Terus lo sambil suka nulis sesuatu gitu kan? Dan ini meja yang selalu jadi tempat duduk lo kan?" Tanya pria itu.
Aku tercengang, hampir tak percaya. Bagaimana pria itu tau semua hal itu?
"Kakak tau dari mana?" Tanyaku balik.
"Lo juga biasanya kalo udah selesai makan, pulang naik ojol kan? Nanti ga usah naik ojol. Biar gua anterin." Sambung pria itu.
Saat itu benar-benar hening. Tak ada satupun dari kami yang memulai obrolan.
"Eresha."
Sampai akhirnya pria didepanku membuka suara.
"Iya."
"Ehmmm. Ga jadi." Balasnya.
Situasi kembali hening seperti tadi. Aku meremas bungkusan roti ku. Kemudian menenggak beberapa teguk susu.
"Pulang yuk." Ajak Kak Sendy.
"Iya." Balasku sambil mengangguk.
"Ting... Ting... Ting..."
Bel pertanda masuk telah berbunyi, menandakan jam istirahat kedua telah usai. Aku mengambil sapu dibalik pintu kelas. Hari ini jadwalku kebersihan kelas. Bersama dua orang temanku yang lain, kami menyapu kelas yang lumayan berantakan setelah jam istirahat. Aku menyapu koridor depan kelas, sesekali mencuri pandang ke kelas Kak Sendy. Dari tadi pagi kelas itu tampak sepi. Apa seluruh penghuninya tak memiliki semangat hidup sama sekali? Aku segera menyelesaikan pekerjaanku, karena Bu Leni sudah berada di ujung koridor.
***
"Ayo mulai dari ujung." Perintah Bu Leni.
Aku duduk di bangku paling ujung di dekat pintu. Artinya yang dimaksud adalah aku. Aku berjalan kedepan kelas sambil membawa buku tugasku untuk dinilai. Aku berdiri di samping Bu Leni sambil menunggu ia selesai mengoreksi tugasku. Aku menatap keluar kelas. Dan aku mendapati Kak Sendy duduk di bangku panjang didepan kelas 3 TKR 1. Padahal itu bukan kelasnya. Ia duduk disana bersama beberapa siswa lain sambil memakan sebungkus kerupuk yang ia beli di kantin. Padahal bel masuk sudah berbunyi sedari tadi.
”Dasar saja, bukannya masuk kelas malah makan kerupuk.”
"Tok... Tok... Tok..."
Itu Pak Wawan, guru BK bagian SMA. Ia berdiri di ambang pintu sambil mengetuk pintu kelas kami. Aku segera kembali ketempat dudukku.
"Permisi Bu, boleh saya minta waktunya sebentar?"
"Silahkan pak."
"Baiklah terimakasih ya bu, Siang anak anak!"
"Siang pak!"
"Kali ini bapak mau memberitahu hal yang kurang baik. Kemarin siswa SMA kita dan SMA Harapan berkelahi di lapangan balai kota. Jadi, salah satu siswa SMA Harapan terluka dan mereka melapor ke kantor polisi sekitar. Dan baru saja, tadi selepas istirahat kedua, mereka melempari kantor guru dengan batu, sehingga beberapa kaca dan komputer rusak. Bapak dengar, mereka bersekongkol dengan lima sekolah lain untuk menyerang sekolah kita. Jadi bapak harap, kalian nanti langsung pulang kerumahnya masing-masing untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan." Jelas Pak Wawan.
Spontan kami cemas dengan hal itu. Itu bisa saja mengancam nyawa kami. Tawuran antar pelajar sempat beberapa kali terjadi di kotaku dan itu benar-benar membuat kekacauan besar. Mereka tak mengenal belas kasih dan akan membabi buta terhadap siapapun dihadapan mereka.
***
Pelajaran Bu Leni berlangsung seperti biasanya. Syukurlah tak ada apapun yang terjadi sampai sekarang. Semuanya masih bisa dikendalikan oleh pihak sekolah. Aku sempat beberapa kali mendengar selentingan, bahwa hampir separuh siswa dari lima sekolah yang kabarnya akan menyerang sekolah kami sudah mengepung setiap sisi bangunan ini. Suasana benar-benar mencekam saat itu.
"Anak-anak! Ayo semuanya berkumpul di lapangan. Bawa tas kalian masing-masing." Perintah Bu Rama dengan nada agak tinggi.
Sejak kapan ia berdiri di pintu? Baru saja mungkin. Wajah Bu Rama tampak cemas, tak bisa dipungkiri lagi. Otomatis kami juga ikut was-was dibuatnya. Zahra menarik tanganku agar bergegas keluar dari kelas. Kami berjalan hampir setengah berlari. Diparkiran, kami bertemu dengan Rini yang tampak kebingungan. Tanpa basa-basi, Zahra langsung menggandeng tangan Rini. Kami bertiga saling bergandengan mencoba melindungi satu sama lain. Situasi semakin tak terkendali. Sampai kami tiba di lapangan utama. Disana sudah padat dan sesak, sudah tak beraturan, benar-benar kacau.
"Perhatiannya anak-anak!" Suara lantang itu terdengar sangat jelas.
Bu Ida berdiri di podium sambil memegang pengeras suara. Ia mencoba menenangkan kami yang sama sekali tak tau apa yang terjadi. Walau aku tau itu sebenarnya juga panik.
"Semuanya dengar ibu. Sekolah kita sudah dikepung dari berbagai sisi. Dan beberapa jendela sudah rusak karena lemparan batu. Kami pihak sekolah sengaja mengumpulkan kalian dilapangan utama, karena ini adalah tempat yang paling aman untuk menghindari serangan itu. Jadi, sampai situasi benar-benar kondusif, kita akan berlindung untuk sementara. Jangan ada yang keluar dari sekolah sebelum ada aba-aba. Mengerti?" Jelas Bu Ida.
"Mengerti Bu!" Jawab kami serempak.
Keadaan semakin tak terkendali. Beberapa pihak keamanan membantu kami. Banyak mobil polisi yang berjejer di sepanjang gerbang utama. Suara sirine nya terdengar nyaring hingga ke lapangan.
Aku, Rini dan Zahra masih terus bergandengan. Berharap situasi segera mereda. Kami tak bisa berbuat apa-apa untuk saat ini. Jika kami keluar dari sekolah, tentu akan sangat berbahaya. Tapi, jika kami tetap berada di dalam sekolah, serangan mungkin saja bisa terjadi.
Kami bertiga berteduh di bawah pohon Ketapang yang tak terlalu besar namun cukup untuk menghalau panas di siang itu. Seseorang menyerobot tanganku dari belakang. Mencoba menepis tangan Rini yang kala itu sedang menggandeng tangan juga. Spontan aku menoleh.
"Lo ga kenapa kenapa kan?" Tanya pria itu.
Ternyata Kak Sendy yang barusan menepis tangan Rini. Ia berdiri tepat disampingku.
"Enggak." Balasku.
Kami berdiri bersebelahan. Rini yang tadinya berdiri disampingku pindah posisi ke sebelah Zahra. Rini mencoba mengkode ku dengan matanya. Yang jika diartikan akan berbunyi seperti ini.
"Ngapain dia disitu?"
Aku menaikkan kedua pundak ku menyatakan ketidaktahuan ku.
"Tasss..."
Beberapa suara kaca yang pecah terdengar begitu jelas. Aku semakin takut. Aku merapatkan tubuhku kepada ketiga orang temanku. Beberapa siswa tampak bersorak dengan emosi yang sudah tersulut. Terlihat para siswa SMA Harapan dan beberapa SMA lain yang kabarnya akan menyerang sekolah kami telah memanjat tembok sekolah dan menerobos pertahanan sekolah kami. Bahkan tak sedikit yang sudah masuk ke area lapangan utama dan berkelahi dengan siswa sekolah kami. Sebagian siswa laki-laki mempertahankan area lapangan utama. Termasuk pria yang dari tadi berdiri disampingku. Aku tau emosinya sudah tak dapat dibendung lagi. Aku buru-buru menarik lengannya, mencoba menghentikan langkahnya saat ia akan beranjak dari sini.
"Mau kemana?" Tanyaku cemas.
"Mereka ga bisa di biarin! Makin ngelunjak tau gak!" Jelasnya dengan emosi yang meluap-luap.
"Jangan ikutan plis." Cegah ku.
"Tapi kalo dibiarin, mereka bakal terus neror sekolah kita. Dan itu bisa ngancam keselamatan kita."
"Kan murid yang lain juga udah pada turun."
"Justru karena aku bagian dari sekolah ini, aku harus ikut ngebela keselamatan kita Sha."
"Plis jangan." Pintaku.
"Duar!"
Entah suara apa itu. Yang pasti itu cukup membuatku takut. Kaki ku gemetar, suasana semakin riuh. Jika kalian tahu, ini hampir sama persis dengan salah satu adegan di film Dilan.
Aku masih menggenggam erat tangan pria itu. Mencoba mencegahnya turut terlibat dalam kejadian hari itu. Ia menatapku cemas. Tampaknya ia mulai ragu, antara pergi atau tetap disini.
"Gua bakal tetep disini, gua bakal jagain lo dan temen temen lo." Ucapnya.
Aku sedikit lega mendengarnya. Tapi, aku baru sadar. Kenapa ia mau menuruti permintaanku. Aku bukan siapa-siapa nya. Lagipula aku hanya sebatas pengagum rahasianya yang tak ia kenali mungkin. Tapi, hari ini berbeda. Kami terasa begitu akrab walau sebelumnya tak pernah berbicara atau bahkan hanya sekedar tegur sapa.
***
Pihak sekolah dibantu pihak keamanan berhasil meredam situasi. Aku bisa bernafas lebih lega rasanya. Perasaaanku juga lebih tenang.
"Gua anterin ya." Tawar Kak Sendy.
"Ga usah makasih." Balasku.
"Gapapa kok. Lagian situasi lagi kayak gini masa lo mau pulang sendiri."
"Nanti bakal dijemput sama papa kok Kak. Kakak pulang duluan aja."
"Ya udah deh kalau enggak mau dianterin. Gua temenin nunggu jemputan ya." Tawarnya lagi.
"Terserah kakak deh."
Aku menjatuhkan diriku diatas sofa. Melepas penatku untuk sejenak. Tadi pria itu benar-benar menemaniku hingga jemputan papa datang. Tadi adalah dialog terpanjang yang pernah terjadi di antara kami. Biasanya kami hanya saling menatap dari kejauhan.
"Drtttdrtt" Ponsel yang berada di saku ku bergetar.
Ada telepon dari grup WhatsApp kelasku. Aku buru-buru mengangkatnya. Siapa tau ada hal penting.
"Halo" Ucap salah satu temanku.
"Ada apa?" Tanyaku penasaran
" Tadi gua denger mereka tetep tawuran di belakang sekolah. Terus gua denger juga dari temen gua kalo mereka besok ga bakal nyerang lagi. Tapi mereka bakal nyulik siapapun itu anak sekolah Nusantara. Dan yang gak bersalah juga bakal terancam." Jelas Temanku.
"Iya gua denger nya juga gitu." Sambung temanku yang lain.
Aku sedikit terkejut, hampir tak percaya. Tapi bagaimanapun itu, benar atau tidak tetap saja kami harus waspada. Pak Ahmad tiba-tiba saja bergabung dengan panggilan grup kami yang sedang berlangsung.
"Halo anak-anak, besok kalian tetap sekolah, bawa jaketnya. Besok kalian pulang sekolah pakai jaket supaya lambang sekolah kita tidak terlihat dan kalian tidak terancam." Instruksi Pak Ahmad.
"Baik pak." Ucapku.
Panggilan berlangsung sebentar. Hanya sekedar memberikan informasi yang yang mereka tahu tentang tawuran tadi. Tadi, setelah aku pulang tawuran masih berlanjut berlanjut. Hanya saja aku tak tahu apakah Kak Sendy ikut-ikutan juga atau tidak.
Hari ini kami sekolah seperti biasanya. Sejauh ini situasi masih aman, meski sebenarnya keadaan kami sudah terancam. Sekarang sudah masuk jam pelajaran ketiga. Bu Misma belum tiba dikelas. Aku mengecek ponselku, Rini mengirimiku sebuah pesan screenshot.
"Sha, anak SMA Harapan tadi rame banget di deket paud sama di depan ayam geprek. Tadi gua lewat sana pas beli sarapan."
Aku tak sempat membalas pesannya karena Bu Misma sudah datang.
Tiba-tiba saja semua anak jurusan otomotif yang sedang praktek mengemudi dilapangan berlari menuju gerbang. Begitu pula yang sedang berada dikelas, mereka berhamburan keluar dari kelasnya. Tak lama para guru langsung mencegah mereka. Semua siswa segera kembali ke kelas masing-masing.
***
"Kalian latihan kan?" Tanyaku pada Zahra dan Rini.
"Iya." Jawab Zahra.
Sementara Rini hanya mengangguk.
Kami sedang makan siang dikelasku. Rini biasanya selalu ke kelasku untuk makan siang bersama aku dan Zahra, atau hanya sekedar menggosip.
"Eresha!" Sahut seseorang dari pintu.
Aku mendongakkan kepalaku, mencari tahu siapa itu.
"Kak Sendy? Ngapain?" Tanyaku.
"Enggak apa-apa kok. Cuma main aja. Boleh kan?" Tanya pria itu lalu langsung mengambil posisi di depanku.
Rini dan Zahra menatapku heran. Mereka memang tau jika aku mengagumi pria ini sejak kelas satu. Bahkan aku sering bercerita kepada mereka tentang Kak Sendy.
"Kakak mau?" Tanyaku canggung sambil menawarkan makan siang ku.
"Oh, enggak makasih. Makan aja. Kenyangin." Ujarnya.
Aku mengangguk sambil mengunyah sisa makanan yang ada di mulutku. Nafsu makan ku hilang seketika. Aku segera menyudahi kegiatanku. Aku benar-benar canggung saat ini. Apa yang ia lakukan disini.
"Nanti pulang sekolah bareng yuk." Ajak pria itu.
"Nanti aku ada jadwal latihan dulu kak." Jawabku.
"Yah, semalam ga jadi. Masa sekarang juga ga jadi." Keluhnya.
"Ya mau gimana lagi." Jawabku dengan nada datar.
" Ya udah gua balik ke kelas dulu ya." Pamitnya padaku.
"Iya." Balasku.
Aku menatap punggungnya yang semakin menjauh.
"Sumpah deg-degan gua tau. Dia kok jadi kayak gitu sih." Ujar ku.
"Cie... Eresha. Ehmmm. Jangan-jangan." Goda Rini.
Aku langsung memukul geram pundak Rini.
***
Kami dipulangkan lebih cepat dari biasanya. Tak ada satupun yang tahu alasannya. Aku dan Zahra keluar paling akhir dari kelas. Karena biasanya kami mengunci kelas. Aku bersandar di samping pintu sambil menunggu Zahra keluar. Mataku menyisir setiap orang yang lewat. Terutama anak jurusan otomotif. Kalian pasti tahu siapa yang sedang kucari.
"Yuk Sha." Ajak Zahra.
Kami berjalan ke ujung koridor, tepat dibawah tangga. Rini belum turun dari kelasnya, jadi kami mengunggu nya ditangga.
***
Latihan selesai pukul lima sore. Masih ada beberapa anak voli dan paskibra yang sedang latihan waktu itu. Aku dan kedua sobat karibku menuju gerbang bersama. Suasana di gerbang utama sangat ramai. Mereka bukan anak voli atau paskibra yang sedang latihan. Mereka siswa sekolah kami. Entah apa yang mereka lakukan, padahal kelas XII tak ada jadwal les hari ini. Dan beberapa anak otomotif tampak disana, padahal mereka tak ekskul, les, atau bahkan PKL. Semua guru tampak mencoba menertibkan situasi. Mereka didominasi siswa laki-laki. Aku sempat mendengar beberapa selentingan jika sekolah Harapan dan lima sekolah lainnya kembali menyerbu sekolah kami.
”Dasar! Beraninya main keroyokan!”
Aku buru-buru menelepon papa untuk menjemput ku karena hari sudah mulai gelap dan situasi sedang tak kondusif.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!