"Panggil Letnan Lee ke sini sekarang. Saya akan bicara dengannya. Misi kali ini tidak boleh gagal. Timnya akan berangkat ke negara itu sekarang," ucap seorang kapten yang berdiri cemas di sudut ruangannya.
Prajurit yang menerima perintah dari seorang kapten segera pergi untuk memanggil Letnan Lee. Ia berlari sangat cepat hingga melihat Letnan Lee sedang melatih timnya.
Ia segera menuju ke sana dan memberikan hormat kepada Letnan Lee. "Hormat, Letnan. Saya membawa pesan dari Kapten Kim," ucapnya.
Letnan Lee adalah salah satu tentara berbakat di Korea Selatan. Namanya telah diakui oleh organisasi dunia, bahkan presiden pun mengenalnya. Ia sering mendapatkan penghargaan atas kerja kerasnya, dan setiap misinya selalu membuahkan hasil yang baik.
"Katakan apa pesannya," ucap Letnan Lee kepada prajurit yang berdiri di hadapannya.
"Letnan diminta datang ke ruangan Kapten sekarang, karena ada misi yang harus Letnan laksanakan," jelasnya.
Letnan Lee tersenyum. Ia baru saja pulang dari misinya, dan sekarang sudah mendapatkan panggilan lagi. Bahkan, pulang ke rumah pun ia tak sempat.
"Jinwoo, kau harus kembali bertugas lagi. Entah ke mana misi kali ini," ucap Sersan Choi, sahabat sekaligus anggota tim Letnan Jinwoo.
Jinwoo merangkul Choi. "Ke mana pun aku pergi, aku harus pergi bersama timku. Dan timku adalah kau," ujarnya sambil tersenyum.
Choi melepaskan rangkulan Jinwoo. "Ya, aku akan ikut dengan Kapten, walau tidak tahu ke mana," ucapnya, lalu berjalan menuju ruang makan.
Jinwoo menatap prajurit itu. "Baik, saya akan datang ke sana. Kau bisa pergi," ucapnya.
Prajurit itu menatap Letnan Lee. "Hormat!" katanya, lalu berbalik dan melangkah menjauh.
Jinwoo mengenakan seragam lengkapnya, lengkap dengan semua bintang penghargaan yang telah ia dapatkan. Jabatannya di pasukan khusus sudah tinggi, semua berkat kerja kerasnya. Ia menatap dirinya di cermin.
"Aku harus menjalankan tugas lagi kali ini. Aku harap tidak ada yang gugur kali ini," gumamnya, lalu bergegas menuju ruangan Kapten Kim.
Setibanya di depan ruangan Kapten Kim, Letnan Lee menarik napas dalam, lalu mengetuk pintu dan masuk.
"Hormat!" ucapnya saat melihat Kapten Kim duduk di kursinya.
"Hormat," balas Kapten Kim dengan senyuman di wajahnya. Ia lega karena Letnan Lee telah kembali dan misinya berjalan dengan baik.
"Letnan Lee Jinwoo, aku memanggilmu ke sini karena ada tugas yang mungkin akan cukup lama untukmu dan timmu. Tugas kali ini tidak terlalu berbahaya karena tidak terlalu sering terjadi perang di sana," jelas Kapten Kim.
Dari penjelasan Kapten Kim, Jinwoo sudah paham bahwa ia akan dikirim ke Kedravia, negara yang sedang dilanda perang dan kekacauan besar. Memang tidak sering terjadi pertempuran di sana, tetapi jika perang pecah, maka skalanya akan besar.
"Aku, Kapten di pasukan khusus Korea Selatan, meminta agar Letnan Lee serta timnya pergi bertugas ke negara Kedravia, dengan batas waktu yang belum ditentukan," ucap Kapten Kim dengan lantang dan jelas.
Jinwoo sebenarnya tidak ingin menerima perintah ini, tetapi ia juga tidak bisa menolaknya. Ini adalah tugasnya. Ia harus pergi, meskipun hatinya tidak ingin. Inilah Jinwoo, letnan yang gagah namun tidak bisa menolak perintah.
"Baik, Kapten. Saya, Letnan Lee, akan membawa tim saya ke Kedravia, dan kami tidak akan kembali sampai ada panggilan untuk kembali," balasnya dengan lantang dan tegas.
"Hormat!" ucap Kapten Kim dengan senyuman, senang karena Letnan Lee menerima perintahnya.
Jinwoo keluar dari ruangan itu dengan raut wajah murung. Belum lagi ia menerima pesan dari ibunya, Han Mira, yang meminta agar ia pulang untuk makan malam bersama.
Jinwoo menatap mobilnya, lalu segera masuk ke dalam. Ia melepaskan topinya dan mengemudi menuju rumahnya—rumah yang sudah dua tahun tidak ia datangi.
Di Rumah Jinwoo
"Aku pulang," ucap Jinwoo saat masuk ke dalam rumah, lalu mengganti sepatunya dengan sandal rumah.
Han Mira segera menuju pintu dan menatap putranya yang sudah lama tak pulang. "Akhirnya kau pulang juga, Nak. Ibu dan Ayah sudah lama menunggumu," ujarnya dengan senyuman di wajahnya.
Jinwoo melihat sekeliling. "Di mana Ayah?"
Han Mira menatapnya. "Ayahmu sedang menjemput tamu kita. Ini adalah hari bahagia karena kau pulang, jadi Ibu meminta Ayah mengundang satu orang lagi," ucapnya bahagia.
Jinwoo tidak terlalu peduli. Ia masuk dan duduk di kursinya. Ia menatap semua makanan yang telah dimasak ibunya. "Aku sangat merindukan masakan Ibu. Boleh aku makan sekarang?" tanyanya sambil menatap Han Mira.
"Tunggu Ayah dulu. Kita akan makan bersama hari ini, bukan makan sendirian," ujar ibunya sambil menata makanan.
Tak lama kemudian, bel rumah berbunyi.
"Sebentar!" ucap Han Mira, lalu berlari ke arah pintu.
Han Mira membuka pintu dan menerima wine yang dibawa oleh Lee Sanghyun, ayah Jinwoo.
"Sayang, kau membeli banyak wine," ujar Han Mira sambil menatap tas belanjaan suaminya.
"Tentu saja! Kita akan minum sampai mabuk malam ini. Hyejin, masuklah, Nak," ucap Sanghyun.
Wajah Jinwoo langsung berubah saat mendengar nama Hyejin. Ia menatap ke arah pintu dan melihat Hyejin berdiri di sana. Mantan kekasihnya saat kuliah.
Mereka dulu putus karena ingin fokus pada karier masing-masing. Kini mereka berdua sudah sukses, dan rupanya orang tua Jinwoo ingin mereka kembali bersama. Itulah alasan Ayahnya mengundang Hyejin.
Hyejin masuk dan menatap Jinwoo yang masih duduk di meja makan. "Halo, Jinwoo," ucapnya sedikit canggung.
"Halo. Sudah lama tidak bertemu. Duduklah, kita akan makan bersama," ucap Jinwoo dengan datar.
Hyejin, Han Mira, dan Lee Sanghyun duduk di meja makan. Mereka makan, minum, dan bersenang-senang. Awalnya, pembicaraan mereka menyenangkan—sampai akhirnya Jinwoo berkata:
"Aku akan pergi bertugas lagi. Pesawatku berangkat besok pagi."
Han Mira langsung terdiam. Ia paling tidak suka jika putranya pergi bertugas. Wajahnya berubah, lalu ia bangkit dan pergi meninggalkan meja makan.
Sanghyun, berbeda dari istrinya, justru senang jika putranya mendapat tugas. Sebagai mantan Kapten pasukan khusus, ia berkata, "Jalankan tugasmu. Ayah akan membujuk Ibu."
Ia pun masuk ke dalam, meninggalkan Jinwoo dan Hyejin berdua di meja makan.
Hyejin menatap Jinwoo. "Kau akan pergi lagi? Setelah dua tahun?"
Jinwoo menatapnya tanpa ekspresi. "Hyejin, kumohon. Hubungan kita sudah lama berakhir. Aku tidak ingin kembali ke masa lalu."
"Aku tahu. Aku memang salah karena menolak lamaranmu waktu itu. Aku pikir kau tidak akan kembali lagi,aku sudah menunggu mu cukup lama, jadi aku..."
"Hyejin, keluarlah. Aku dan keluargaku sedang tidak baik-baik saja," ujar Jinwoo dingin.
Ia meraih gelasnya, meneguk wine, lalu bangkit dan pergi ke kamarnya.
"Iya, Ibu, aku akan pulang jika jam istirahatku panjang. Ini saja aku hanya istirahat selama sepuluh menit, mana mungkin bisa sampai di rumah dalam waktu sesingkat itu," ucap seorang dokter wanita dengan rambut dikuncir satu. Ia mengenakan jas lab rumah sakit dengan namanya tertulis di sana: Dr. Renata Ivanova.
Ia duduk di salah satu kursi di depan Hope Memorial Hospital, menikmati angin malam sambil meneguk sebotol minuman yang tampaknya untuk meredakan sakit tenggorokannya.
Saat sedang bersantai, tiba-tiba suara sirene ambulans menarik perhatiannya. Ia kehilangan fokus pada teleponnya dan langsung menatap ambulans yang baru tiba. Tak lama setelah itu, panggilan dari ruang UGD masuk ke ponselnya.
"Ibu, aku akan menelepon lagi nanti," ucap Renata sebelum berlari cepat menuju ruang gawat darurat.
Sesampainya di sana, ia langsung melihat seorang perawat yang sedang membawa pasien dari ambulans.
"Apa yang terjadi padanya?" tanyanya sambil berlari di samping perawat.
"Pasien pria, usianya sekitar 35 tahun, mengalami nyeri dada dan patah tulang rusuk sejak 35 menit lalu. Tekanan darahnya 140/40, dengan oksigen nasal 4 liter per menit. EKG menunjukkan STEMI di dinding inferior. Pasien sudah diberikan aspirin 160 mg," jelas perawat tersebut.
Renata menatap pasien yang tampak sekarat. "Bawa dia ke ruang operasi. Aku akan memanggil dokter yang akan mengoperasinya. Tolong panggil juga dokter jantung untuk datang ke ruang operasi," perintahnya.
Pasien segera dibawa ke ruang operasi, sementara Renata membuka room chat dengan timnya.
Renata: Ke ruang operasi sekarang. Ada pasien kecelakaan lalu lintas.
Rafael: Aku akan datang, Renata. Aku juga akan membawa dokter anestesi kita.
Renata mematikan ponselnya setelah mendapat respons dari Rafael. Ia segera berlari ke ruang operasi, mengganti pakaiannya, mengenakan penutup kepala dan masker, lalu mencuci tangan dengan sabun yang telah disediakan. Sambil menatap tangannya, ia menyadari bahwa waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Namun, ia tetap harus fokus. Menarik napas dalam, ia akhirnya masuk ke dalam ruang operasi.
Di dalam, ia melihat pasien serta dokter Rafael dan perawat Lily yang sudah bersiap.
"Pasien berumur 35 tahun, mengalami nyeri dada dan patah tulang rusuk sejak 35 menit lalu. Tekanan darahnya 140/40, dengan oksigen nasal 4 liter per menit. Kita akan melakukan operasi singkat karena lukanya tidak terlalu dalam. Anestesi siap?" tanya Renata pada perawat Lily.
"Pasien sudah diintubasi, oksigen stabil. Operasi bisa dilakukan," jawab Lily.
"Ada perdarahan pada arterinya, kita harus mulai dari sana, Dr. Renata," ujar Rafael.
"Baik, kita lakukan eksplorasi. Suction, berikan padaku," kata Renata sambil mengulurkan tangan kanannya ke perawat di sebelahnya.
"Suction diberikan," jawab perawat.
Renata dan Rafael memulai operasi mereka. Tidak terlalu lama, karena keadaan pasien cukup stabil, dan mereka menyelesaikannya dalam waktu kurang lebih dua jam.
"Anestesi bagaimana?" tanya Renata.
"Stabil," jawab Lily.
"Kita hanya tinggal menjahit lukanya, lalu operasi malam ini bisa ditutup," ujar Renata.
Setelah jahitan terakhir selesai, Renata keluar dari ruang operasi. Ia merasa kakinya sakit, jadi ia memutuskan untuk duduk sebentar di kursi tunggu untuk wali pasien. Menatap jam tangan, ia bergumam, "Sudah larut. Sepertinya aku tidak akan pulang."
Tak lama, Rafael datang dan memberikan sebotol minuman padanya. Lalu ia duduk di sebelahnya.
"Terima kasih," ucap Renata sambil tersenyum menerima minuman itu.
Rafael menatapnya. "Aku dengar profesor akan meminta beberapa tim untuk pergi ke negara Kedravia sebagai dokter relawan. Apa kau tertarik untuk datang ke sana? Aku yakin jika kau datang ke sana, kau akan sangat banyak membantu warga di sana " Rafael yang seperti nya ingin ke negara itu, namun dia tak ingin pergi sendirian, dia harus pergi bersama Renata,
Renata membuka botol minumannya dan meneguk isinya, lalu menatap Rafael "Jika aku dan timku ditugaskan ke sana, maka aku akan datang. Lagipula, sudah lama rumah sakit tidak mengadakan hal seperti itu, tapi di sana juga berbahaya, mungkin akan ku pertimbangkan lagi, sebagai ketua tim, aku harus menjaga keselamatan tim ku " ujarnya sambil memijat tangannya.
"Ya, aku yakin kau dan timmu akan dikirim ke sana. Kalian adalah yang terbaik. Bahkan semua orang di rumah sakit mengatakan bahwa tim Dr. Renata adalah jantung rumah sakit, kau sudah banyak membantu pasien di rumah sakit ini, mereka semua menyukai mu " kata Rafael dengan senyuman di wajah nya.
Saat mereka asyik berbincang, tiba-tiba suara Anna terdengar keras.
"Renata!!" teriak Anna, membuat semua wali pasien di ruang tunggu operasi menoleh ke arahnya.
"Anna, kenapa kau berteriak? Semua orang melihat mu " tanya Renata sambil menutup mulut Anna.
Anna menarik tangan Renata dari mulutnya. "Tentu saja aku harus berteriak! Ini kabar buruk untuk tim kita! apakah kalian tidak tau? "
"Tolong katakan dengan jelas. Aku sama sekali tidak mengerti apa maksudmu," ujar Renata, bingung dengan ucapan Anna yang tak langsung ke intinya.
Anna duduk di sebelah Renata. "Di papan mading ruang dokter, sudah ditentukan tim mana saja yang akan menjadi relawan ke negara Kedravia. Dan kalian tahu apa?!"
Anna sengaja berhenti berbicara untuk membuat Renata dan Rafael penasaran.
"Anna, tolong jangan buang-buang waktu kami. Katakan ada apa?" desak Renata yang sudah tidak sabar.
"Tim Dr. Renata yang akan berangkat ke sana. Batas waktu kepulangan kita tidak ditentukan. Dan di sudut kanan pengumuman itu tertulis bahwa jika terjadi sesuatu pada kita, rumah sakit tidak akan langsung turun tangan," jelas Anna dengan ekspresi serius.
Renata langsung terdiam. Ia sama sekali tidak ingin pergi jika ini melibatkan seluruh timnya, apalagi dengan kebijakan rumah sakit yang tidak akan turun tangan langsung jika ada keadaan darurat. Semua orang sudah tahu bagaimana situasi di Kedravia saat ini.
Apa mungkin ini adalah perintah dinas terakhir bagi aku dan timku?
Renata sempat mengajukan keberatan kepada direktur rumah sakit dan profesornya. Namun, keputusan tetap tidak bisa diubah. Lebih parahnya lagi, timnya justru tidak sabar untuk berangkat ke sana. Mereka semua setuju untuk pergi.
Akhirnya, mereka akan berangkat bersama keesokan paginya. Jadwal penerbangan sudah ditentukan, dan semua persiapan sudah siap—hanya persiapan pribadi yang belum dilakukan.
Karena malam itu Renata tidur di rumah sakit, ia tak sempat mampir ke rumah. Ia hanya mengirim pesan kepada ayah dan ibunya secara terpisah. Ayahnya saat ini sedang dalam perjalanan dinas, jadi hanya ibunya yang ada di rumah.
Menatap jam tangan, Renata segera mengambil kopernya dan berangkat ke bandara bersama timnya,
Lee Jinwoo bersama rekan timnya sudah sampai di negara Kadravia. Ia sangat terkejut melihat suasana di sana—asap di mana-mana, gedung-gedung yang dulu menjulang tinggi kini telah hancur. Bekas tembakan memenuhi tembok yang tersisa. Warga sipil duduk di bawah reruntuhan, berusaha berlindung agar tidak terkena bom atau tembakan.
Hanya ada satu orang yang mendekati mereka saat itu, seorang pria bernama Ryan, seolah-olah relawan yang sudah sangat lama berada di negara ini.
“Kalian pasukan khusus dari Korea Selatan?” tanyanya, menatap Jinwoo dan rekan-rekannya yang masih terpukau oleh kekacauan kota ini.
Sebagai kapten, Lee Jinwoo maju paling depan dan menatap Ryan. “Iya, benar. Kami datang untuk melaksanakan tugas di sini. Perkenalkan, saya Kapten Lee Jinwoo. Anda bisa memanggil saya Kapten Lee.”
Karena sudah sering bertugas di berbagai negara, kemampuan bahasa Lee Jinwoo sangat baik. Ia menguasai banyak bahasa, membuatnya mudah bersosialisasi.
Ryan menyambut mereka dengan senyuman hangat. Di matanya terlihat sedikit harapan yang ia titipkan kepada pasukan khusus pertama yang datang ke negara ini.
“Aku Ryan, hanya seorang relawan. Aku diminta untuk menjemput kalian semua dan membawa kalian ke kamp,” ucapnya.
Hari Jinwoo bergetar saat tatapannya bertemu dengan Ryan. Ada hal yang tidak biasa yang ia rasakan saat ini. Seolah semua warga di sini, terutama Ryan, berbisik padanya, “Tolong kami, kau adalah harapan kami.” Kata-kata itu terus terngiang di telinganya.
Lee Jinwoo dan timnya mengikuti Ryan. Mereka menatap warga yang terluka parah. Tak ada dokter yang bisa memberikan pengobatan yang layak. Luka-luka mereka hanya diperban seadanya dan diberikan obat apa adanya.
Mereka hanya duduk di bawah reruntuhan gedung, di antara kepingan semen besar. Mereka tidur di bawah sana, menatap langit dan berdoa agar Tuhan memberikan kedamaian, karena tak ada satu hari pun yang tenang di tempat ini. Terlalu banyak ledakan dan tembakan.
Sesampainya di kamp, Jinwoo dan timnya disediakan satu tenda, karena memang benar-benar tidak ada tenda lain yang tersedia.
“Kami semua akan tinggal dalam satu tenda?” tanya Jinwoo memastikan.
Ryan tersenyum. “Maaf, Kapten Lee. Kami hanya bisa memberikan ini kepada kalian, karena hanya ada dua tenda kosong.”
“Dua tenda? Kenapa kami tidak bisa menggunakan keduanya?”
“Karena tenda yang satu lagi akan dipakai oleh tim dokter. Sepertinya doa warga negara ini telah dikabulkan oleh Tuhan. Mereka sudah lama meminta pasukan khusus untuk melindungi mereka dan dokter yang bisa mengobati luka-luka mereka,” jelas Ryan.
Jinwoo menatap tenda yang akan dijadikannya tempat tinggal, lalu menatap timnya. Ia berpikir bahwa jika mereka tinggal lama di sini, mungkin mereka bisa membangun rumah sendiri. Untuk saat ini, mereka akan tinggal di tenda ini.
“Kalian masuklah ke dalam. Susun barang kalian dengan rapi. Dua jam lagi aku akan membagi tugas untuk kalian. Aku dengar ada sekelompok dokter yang akan datang, jadi beberapa dari kita akan menjemput mereka, sementara yang lain berjaga dan membantu warga yang terluka,” ucap Jinwoo.
Dua jam berlalu, dan untuk pertama kalinya, tak ada ledakan. Jinwoo meminta timnya untuk melindungi warga serta membagikan makanan yang sudah mereka bawa, juga beberapa yang mereka terima dari negara tetangga.
Sementara itu, ia dan Letnan Choi pergi untuk menjemput para dokter, menggunakan mobil yang mereka bawa.
Sementara di Pelabuhan
Renata dan timnya menatap negara yang kacau ini. Ada rasa sedih dan pilu dalam dirinya melihat kehancuran yang begitu besar. Begitu banyak gedung indah yang kini hancur. Begitu banyak asap dan suara ledakan di mana-mana.
Apakah warga sipil negara ini bisa tidur dengan suasana seperti ini?
Renata mengambil foto keadaan negara ini. “Sungguh, aku tidak tahu jika ada negara yang seperti ini. Aku pikir aku akan menyesal datang ke sini. Ternyata aku salah.” Matanya penuh dengan air mata.
Anna, yang juga ikut bersama Renata, menatap sekelilingnya. “Taman bunga yang indah kini penuh dengan debu. Awan biru berubah menjadi abu-abu. Apa yang terjadi dengan negara ini?” ucapnya, sama herannya dengan Renata.
Tak lama setelah mereka mengamati keadaan, Kapten Lee dan Letnan Choi tiba. Jinwoo turun dari mobil Jeep-nya dan menatap mereka semua.
“Saya Kapten Lee Jinwoo, bertugas menjemput kalian,” katanya sambil menatap tim dokter.
Sebagai ketua tim dokter, Renata maju paling depan. “Saya Dr. Renata, ketua tim mereka. Terima kasih sudah bersedia datang ke sini dan menjemput kami,” ucapnya dengan senyum hangat.
Jinwoo terdiam. Ia tidak bicara dan tidak bergerak sama sekali. Ia hanya menatap. Dalam tatapannya, seolah tersirat sesuatu—rasa ingin tahu, ketertarikan, dan satu hal yang begitu besar yang bahkan ia sendiri tidak tahu apa itu.
“Dia hanya memperkenalkan dirinya. Dia hanya tersenyum. Tapi mengapa aku merasa seolah sudah menunggunya seumur hidupku?” batinnya.
Letnan Choi yang menyadari tingkah aneh Jinwoo segera mengambil alih dan menyapa Renata serta timnya.
“Baiklah, karena kita sudah saling kenal, lebih baik kalian semua masuk ke dalam mobil. Ada banyak pasien yang membutuhkan kalian,” ucap Choi.
Mereka semua masuk ke dalam mobil, sementara Jinwoo masih terdiam dalam lamunannya.
“Kapten, kau tidak akan ikut? Kau terpukau dengan keindahan alam di sini atau... dengan dokter Renata?” sindir Choi.
Lee Jinwoo tersadar. Ia menatap sekitar, lalu melihat Renata yang duduk di antara timnya.
“Ayo kita berangkat sekarang,” ucapnya sebelum masuk ke dalam mobil.
Di Kamp
Jarak yang mereka tempuh tidak terlalu jauh. Setelah sampai, Ryan menunjukkan tempat yang akan mereka gunakan. Semua anggota tim dokter masuk ke dalam tenda, kecuali Renata.
Ia berjalan mengitari kamp dan melihat seorang gadis kecil yang terluka cukup parah. Renata mendekatinya dan memeriksa kakinya. Tak banyak yang bisa ia lakukan karena alat dan obat sangat terbatas.
Dengan hati-hati, ia membersihkan luka gadis itu dengan alkohol, membalutnya, lalu mengoleskan salep.
“Ini tidak akan terasa sakit lagi nanti. Aku harap lukamu cepat pulih,” ucap Renata dengan senyuman lembut.
Gadis kecil itu menatap Renata yang saat itu sedang mengenakan jas dokternya.
“Kau seorang dokter?” tanyanya.
Renata hanya mengangguk.
“Saat aku besar nanti, aku juga ingin menjadi dokter sepertimu. Dokter yang cantik dan baik hati,” ucap gadis itu.
Renata tak kuasa menahan air matanya. Ia memeluk gadis itu dengan lembut. “Aku harap doamu dikabulkan Tuhan,” bisiknya sambil mengelus rambut gadis kecil itu.
Dari kejauhan, Jinwoo melihat momen itu. Tatapannya tidak lepas dari Renata dan gadis kecil itu.
“Jika ini adalah mimpi, maka ini adalah mimpi paling indah dalam hidupku.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!