Airilia seorang gadis yang hidup serba kekurangan, ia menempuh pendidikan sebagai SMA Nusa Bangsa kelas 3 IPA. Ia tinggal bersama ibunya yang bernama Sumi bekerja sebagai buruh cuci, ayahnya sudah lama meninggal sejak Airilia masih kecil. Airilia anak kedua dari dua bersaudara. Kakaknya bernama Aluna yang masih menjadi seorang mahasiswa disebuah fakultas yang ada di Banjarbaru.
Demi memenuhi kebutuhannya, Airilia bekerja di kantin sekolah membantu bibi Darmi mengantar pesanan, mencuci piring dengan upah sebesar Rp.10.000. Setelah pulang sekolah, ia juga membantu pekerjaan ibunya sebagai buruh cuci.
"Bu, ini Lia ada uang untuk membeli beras". Airilia meletakkan uang satu lembar berwarna merah diatas meja.
"Loh, inikan uang kamu, kamu simpan saja untuk keperluan kamu sendiri". Sumi menolak menerima uang yang diberikan Airilia, karena Sumi merasa bahwa kebutuhan makan dan lain sebagainya adalah kewajibannya bukan tanggung jawab anaknya.
"Bu, Lia masih ada simpanan kok, hari ini Lia ingin kita makan nasi. Emang ibu enggak bosen makan singkong rebus melulu". Sumi terdiam mendengar perkataan putrinya. Sumi sadar sudah tiga hari, ia dan putrinya makan singkong rebus yang ia ambil di halaman belakang rumahnya.
"Ya sudah, ibu ambil ya uangnya. Nanti jika cucian ibu banyak, ibu akan ganti uang kamu".
"Enggak perlu bu, Lia ikhlas. Untuk makan kita berdua". Sumi tersenyum dan bersyukur mempunyai putri seperti Airilia.
Ketika Sumi sampai di warung pak kumis, Sumi mendengar seseorang memanggil dirinya. Ia berbalik dan melihat Asih tetangga seberang rumah yang memanggilnya.
"Mbak Asih, ada apa?".
"Ini, saya mau membayar cucian yang kemarin". Asih memberikan uang satu lembar berwarna hijau.
"Oh, terima kasih".
Setelah dari warung pak kumis, Sumi bergegas masuk rumah dan meletakkan kantong plastik hitam diatas meja. Akhir-akhir ini Sumi memikirkan tentang biaya kuliah Aluna, pasalnya ia tidak mempunyai banyak uang, karena cuciannya sedang sepi, lantaran tetangga yang jadi pelanggannya membeli mesin cuci.
"Bu...bu, ibu kenapa?ibu sakit?". Sumi terkejut mendengar suara Airilia yang berada dibelakang.
"Ibu cuma sedikit pusing".
"Kalau begitu, biar Lia aja yang memasak". Sumi mengangguk dan berjalan ke kamarnya.
Airilia segera mengambil kantong plastik hitam yang berada diatas meja, ia membawa beras itu dan meletakkannya didekat tungku. Saat dibuka, Airilia terkejut karena isinya 1kg beras, 2 butir telur dan sedikit cabai.
"Kenapa ibu cuma beli 1kg?padahal uangnya cukup untuk beli 3kg beras?". Merasa penasaran, Airilia berjalan menuju kamar Sumi dan menanyakan perihal beras itu. Namun tiba tiba Airilia mendengar suara seperti barang jatuh di kamar Sumi. Ia berlari ke kamar Sumi, takutnya ada sesuatu yang terjadi pada ibunya.
"IBU..!".
Airilia terkejut melihat Sumi sedang memecahkan celengan, dari hasil cucian yang Sumi tabung dua tahun terakhir.
"Bu, kenapa celengannya ibu pecahkan?kalau beli sesuatu bilang sama Lia".
"Enggak, ibu enggak ada yang mau dibeli".
"Lantas, kenapa celengannya ibu pecahkan?".
"Dua hari lagi, Aluna mau pembayaran uang kuliah. Karena cucian ibu lagi sepi, jadi ibu pecahkan celengan ibu". Sumi menghitung uang pecahan diatas kasur.
Airilia diam menatap Sumi sedang menghitung uang kertas, tanpa ia sadari air matanya lolos begitu saja tanpa bisa dicegah.
"Lia, kira kira jam segini, toko amang ujang buka atau enggak, ya?ibu mau..". Ucapan Sumi terhenti ketika melihat Airilia menangis tersedu-sedu.
"Lia, kamu kenapa, nak?kamu sakit?atau ada yang nyakitin kamu?". Airilia menggeleng pelan lalu menatap wajah Sumi yang selama merawatnya dengan kasih sayang.
"Bu, maaf. Lia enggak bisa bantu bayar uang kuliah kak Alu a".
"Enggak papa, ini udah kewajiban ibu".
"Maaf, jika Lia menyusahkan ibu".
"Lia, jangan ngomong seperti itu, Lia enggak pernah menyusahkan ibu, yang ada ibu sering menyusahkan Lia". Sumi menghapus bekas air mata yang ada di pipi Airilia.
"Bu, kenapa ibu cuma membeli 1kg beras?".
"Maaf Lia, sebenarnya tadi ibu mau beli 3 kg beras, tapi ternyata pak kumis menagih hutang bulan lalu". Ucap Sumi dengan suara pelan.
"Enggak papa, kalau begitu Lia ke dapur dulu, mau memasak". Airilia meninggalkan Sumi dalam kamar yang masih menghitung uang.
*Bersambung*
Disebuah kamar kost terdapat sepasang kekasih yang baru saja selesai menuntaskan hasrat mereka, karena sudah lama tidak melakukannya lantaran sang lelaki sudah memiliki istri.
"Reza, ngapain sih kamu keluar didalam?kalau aku hamil bagaimana?".
"Berisik kamu, Luna. Biasanya juga keluar didalam". Reza tidak terima disalahkan oleh kekasihnya Aluna lantaran ia keluar di dalam.
"Iya, aku tau, seharusnya kamu bilang dulu dong sama aku kalau mau keluar didalam, sekarang aku lagi masa subur. Kalau aku hamil bagaimana?emang kamu mau tanggung jawab?".
Reza menatap Aluna melalui pantulan cermin "Biasanya, juga kamu aborsi kalau hamil. Kamu tau kalau aku udah punya istri".
"Iya, tapi aku udah dua kali aborsi, kalau aku aborsi lagi, bisa-bisa aku tidak bisa hamil lagi. Kamu kan tau kalau umurku udah kepala dua. Harusnya kamu nikahi aku dong, aku enggak papa kok, jadi istri kedua".
"Nanti aku pikirkan, Dinda udah telpon aku, takutnya kita ketahuan. Aku pulang dulu, ya sayang". Reza mencium kening Luna sebelum pergi dan tidak lupa ia memberikan Aluna uang.
"Ini untuk kamu jajan". Reza memberikan beberapa lembar uang merah yang ia keluarkan dari dompetnya.
Aluna memandangi Reza yang baru saja keluar dari kostnya, namun saat mau menutup pintu Aluna di kagetkan dengan suara ibu Yati, ibu kost berdiri tepat didepannya.
"IBU YATI.."
"Iya, ini saya, emang siapa lagi?kenapa kamu kaget gitu liat saya?". Aluna menggeleng dan gugup, pasalnya ia tahu kedatangan ibu Yati pasti ingin menagih uang bulanan.
"kamu taukan, saya kesini untuk apa?". Aluna mengangguk dan memberikan lima lembar uang merah kepada Yati.
"Loh, cuma segini, enggak cukup. Kamu itu belum bayar 2 bulan".
"Maaf bu, aku punya segitu. Kasih aku waktu satu minggu lagi untuk melunasinya". Aluna menunduk, ia takut menatap Ibu Yati.
"Tuh, ditangan kiri kamu masih ada uang, enggak mau lunaskan sekarang aja?". Aluna terkejut, ia lupa memasukkan sisa uang kedalam kantong celananya. Sisa uang yang diberikan kekasihnya. "Sial, tau aja aku punya uang lebih".
"Emmmm...,ini....,ini uang untuk aku makan dan bayar kuliah".
"Ya udah, berhubung kamu udah bayar setengah, saya akan kasih waktu satu minggu buat kamu melunasinya".
"terima kasih, bu Yati". ibu Yati segera berjalan dan meninggalkan Aluna yang masih berdiri ditempat.
Aluna segera menutup pintu kamar kostnya, saat melihat ibu Yati sudah tidak terlihat batang hidungnya.
"Untung uang ini selamat". Gumam Aluna sambil menghitung sisa uang yang diberikan Reza.
"Masih ada sisa satu juta, enggak cukup uang segini untuk beli make up dan baju. Gajih aku masih lama, apa aku minta sama ibu aja, ya?kan ini udah waktunya bayar uang kuliah".
Aluna mengambil handphonenya yang terletak di atas kasur, ia segera mencari nomor kontak seseorang.
"Halo, ini siapa?". Suara seorang wanita diseberang sana.
"Bibi Asih, ini aku Luna".
"Ooh Luna tuh, ganti nomor lagi kamu. Bagaimana kabar kamu, Luna?".
"Alhamdulillah, kabar aku baik, cuma aku butuh...".
"Butuh uang, kan. Saya tau kamu telepon saya mau minta uang ke ibumu". Tebak Asih yang sudah hapal kebiasaan Aluna. Aluna akan menelpon Asih, jika ia membutuhkan uang tanpa tahu kabar ibu dan adiknya.
"Iya. .".
"Nanti, akan saya katakan pada ibumu kalau kamu butuh uang. Tapi ingat perjanjian kita, kalau ibumu kasih uang, saya minta sedikit. Hitung-hitungan buat saya beli kouta".
"Iya.., ingat kok aku". Aluna langsung mematikan telepon seluler, ia kesal dengan Asih yang selalu memeras dirinya.
"Sial banget punya tetangga, bukannya dibantu malah bikin sengsara. Enggak tau aja, aku sedang susah disini, malah minta sedikit, untung enggak dibagi dua. Ibu juga sama Lia, ngapain coba jaman sekarang enggak punya ponsel. Bikin aku susah aja".
Aluna yang kesal tanpa sadar melempar ponselnya ke kasur. Saat berbalik badan Aluna kaget melihat seorang perempuan rambut sebahu berada dibelakangnya.
"Renata, kamu ngapain disini?bikin aku kaget aja, kalau aku serangan jantung gimana?".
Renata adalah sahabat Aluna, mereka berteman dari kecil sampai sekarang. Renata juga kuliah di kampus yang sama tapi beda jurusan dengan Aluna.
"Lebay banget kamu. Lagian aku tadi panggil kamu, kamu aja enggak dengar. Kenapa muka kamu bete gitu, ada masalah?". Aluna menghela nafas dan mengangguk.
"Masalah apa?siapa tau aku bisa bantu?". Renata duduk diatas kasur berhadapan dengan Aluna yang juga duduk diatas kasur.
"Rumit, kamu enggak akan ngerti?".
Renata menghela nafasnya, ia sudah kebal menghadapi tingkah laku Aluna.
"Btw, kenapa hari ini aku enggak liat kamu di kampus?".
"Aku udah dua minggu enggak masuk kampus". Renata kaget mendengar perkataan Aluna, bahwa ia tidak masuk kampus selama itu.
"Kok bisa, kenapa kamu enggak cerita sama aku?kamu ada masalah?". Aluna mengangguk dan matanya menatap langit-langit kamar.
"Aku di DO karena nunggak bayar uang semester".
"APA..., terus selama ini, uang hasil kerja dan uang yang diberikan Reza kemana?". Aluna memberikan kode Renata agar melihat ke arah lemari. Renata berdiri dan berjalan ke arah lemari. Saat dibuka, Renata syok melihat lemari itu penuh dengan baju dan tas yang harganya diatas lima ratus ribu.
"Astaga, jadi uang gajian kamu selama ini untuk memenuhi isi lemari doang". Renata tidak habis pikir sama Aluna, bisa-bisanya ia menghabiskan uang gajian yang total hampir 3 juta ditambah tiap minggu, Aluna selalu diberi uang dari Reza dan tiap bulan juga ibunya selalu kirim uang.
"Berisik banget kamu, Ren. Ya terserah aku lah, kan uang aku. Bukan uang kamu".
"Iya, aku tau itu uang kamu. Tapi kamu enggak kasihan sama ibumu selalu kirim uang tiap bulan padahal mereka juga susah".
"Terus, kamu kesini cuma untuk memberi nasihat aku doang, gitu". Renata nyengir ke arah Aluna, lalu ia menutup pintu lemari.
"Ya enggaklah my besti, aku mau ngajak kamu ke cafe kenangan. Itu loh, cafe yang baru saja buka di seberang kampus kita".
"Mau ngapain kita kesana, Ren?".
"Emang kamu pikir kita kesana mau ngapain?mau tidur atau numpang mandi?".
"Hehehe, bercanda. Jam berapa kita kesana?".
"Bagaimana kalau kita kesana jam 7 malam?".
"Oke, mumpung aku libur kerja". Aluna menyetujui ajakan Renata untuk makan malam di sebuah cafe yang baru saja dibangun.
"Ya udah, aku pulang dulu, dan jangan lupa jam 7 malam".
"Mau pulang kemana?kamar kitakan bersebelahan?baru juga jam 3 siang, disini aja temenin aku nonton film horor".
"Enggak, aku mau nonton sinetron ikan terbang. Biar nanti kalau ada pelakor seperti kamu, aku bisa basmi sampai ke akar-akarnya".
"Sialan kamu, Ren". Renata lari dari kamar kost Aluna sambil menahan tawanya.
\*Bersambung\*
Setelah menerima telepon dari Aluna, Asih segera keluar dari kamarnya. Ia akan pergi menemui Sumi untuk memberi tahu Sumi bahwa anaknya Aluna meminta dikirimin uang. Namun saat melewati dapur, Asih melihat putrinya Yuni sedang ingin membuang sayur sop yang berada di dalam mangkok.
"Yuni, jangan dibuang, mubazir". Asih segera mengambil mangkok yang berada di tangan Yuni.
"Enggak mubazir kok, bu. Sayur udah basi, emang ibu mau makan sayur sop itu?".
"Ya enggaklah, bisa-bisa ibu sakit perut. Cepat kamu ambilkan kantong plastik". Yuni mengambil kantong plastik didalam laci meja dan memberikan kepada Asih.
"Buat apa bu?kenapa sayurnya di masukkan kedalam kantong?".
"Berisik banget kamu. Ibu mau memberikan pada ayam tetangga, sana pergi". Yuni segera pergi mendengar Asih mengusirnya.
Melihat Yuni sudah masuk ke kamarnya, Asih mengendap- endap keluar lewat samping rumah. Sesampainya dihalaman rumah Sumi, Asih melihat Sumi sedang menyapu teras rumahnya.
"Sumi...Sumi". Sumi menoleh kebelakang, ia melihat Asih menghampirinya sambil membawa kantong plastik hitam ditangan kanannya.
"Eh mbak Asih, ada apa, ya?". Sumi merasa aneh melihat gelagat aneh tetangganya itu, namun ia tetap berfikir positif.
"Tadi Aluna nelpon saya, katanya ia butuh uang dan menyuruh saya aja untuk mengantar uangnya ke bank, karna Luna butuh uang sekarang".
"Astaghfirullah, kemarin saya lupa kirim uang untuk Luna. Tunggu sebentar, ya". Asih mengangguk dan senyum menyeringai yang tidak diketahui siapapun.
Selang beberapa menit, Sumi keluar membawa beberapa lembar uang puluhan yang diikat menggunakan gelang karet.
"Maaf ya, jadi ngerepotin mbak Asih. Uangnya pecahan semua totalnya ada Rp.700.000". Sumi menyerahkan uang itu kepada kepada Asih.
"Enggak papa kok, namanya tetangga kita saling bantu. Oh, ini ada sedikit sayur sop buat mbak Sumi, kebetulan saya bikin banyak".
"Wah, terima kasih banyak. Kebetulan sekali kami udah lama enggak makan sayur sop". Sumi menerima pemberian Asih. Asih tersenyum dan mengangguk"Sama-sama, saya pergi dulu ya, takutnya kalau kesiangan bank bisa tutup".
Sumi masuk membawa sayur sop yang diberikan Asih. Saat di dapur, Sumi melihat putrinya sedang menggoreng tempe.
"Lia, ini ada sayur sop dari bibi Asih. Tolong kamu hangatkan, ibu mau sholat Zuhur dulu. Nanti kalau selesai sholat, kita makan bersama". Airilia mengangguk dan mengambil panci untuk menghangatkan sayur sop. Namun saat membuka kantong plastik itu, Airilia kaget melihat sayur sop itu berbuih dan berlendir.
"Astaghfirullah, sayurnya udah basi. kenapa bibi Asih memberikan sayur sop yang udah basi?". Airilia menangis, ia memikirkan bagaimana mengatakan kepada Sumi bahwa sayur sop yang diberikan Asih ternyata basi.
"Ya Allah..., aku harus bagaimana?aku enggak mau liat ibu sedih. ibu udah lama ingin makan sayur sop, namun belum kesampaian karna uangnya hanya cukup untuk beli beras".
Saat mendengar pintu kamar Sumi terbuka, Airilia sengaja menjatuhkan sayur sop itu ke lantai. Airilia kembali menangis saat Sumi menghampiri dirinya.
"Lia, kenapa kamu menangis?apa yang terjadi, nak?". Sumi menghampiri dan menenangkan Airilia yang sedang menangis.
"Bu, maafkan Lia. Lia enggak sengaja menjatuhkan sayur sop karena tangan Lia licin". Sumi memeluk Airilia, ia melihat sayur sop yang diberikan Asih berserakan di lantai.
"Enggak papa, tapi kamu enggak ada yang lukakan?". Airilia menggeleng, ia merasa bersalah sudah membohongi Sumi.
"Tapi bu, gara-gara aku, ibu enggak bisa makan sayur sop itu".
"Udah, ibu enggak papa. Yuk kita makan, nanti nasi dan tempenya dingin".
Saat Sumi dan Airilia sedang makan siang, tiba-tiba mereka mendengar pintu rumah mereka diketuk seseorang dan memanggil nama Aluna.
"Siapa ya, bu?biar aku aja yang buka pintunya, ibu istirahat aja dulu". Airilia berjalan menuju pintu rumahnya. Saat membuka pintu, Airilia melihat seorang perempuan yang seusia dengan kakaknya Aluna. Perempuan itu memakai dress hitam polos dan rambut panjang bergelombang.
"Cari siapa ya?". Perempuan itu melihat penampilan Airilia dari ujung kaki sampai kepala, dimana Airilia memakai baju kaos ungu dengan dihiasi pita di kedua lengannya.
"Perkenalkan saya Dinda. Saya kesini mau cari Aluna?apakah benar rumah Aluna?".
"Benar, tapi kak Luna enggak ada disini. Kak Luna sedang ada di banjar, ada apa ya nyari kakak aku?".
"Boleh saya masuk". Airilia persilahkan Dinda untuk masuk. Dinda duduk diruang tamu, ia melihat kondisi rumah Aluna yang hampir mau roboh.
"Lia, siapa yang datang?". Sumi keluar dari kamarnya karena ia mendengar Airilia berbicara dengan seorang perempuan. Sumi melangkah keruang tamu, ia melihat seorang perempuan sedang duduk diseberang Airilia.
"Ada apa ya?". Sumi duduk di samping Airilia, ia penasaran dengan perempuan itu.
"Perkenalkan nama saya Dinda, kedatangan saya kemari untuk mencari Luna?".
"Putri saya Aluna enggak ada dirumah. Ada apa, nak Dinda mencari putri saya?". Sumi memandangi perempuan bernama Dinda itu.
"Tujuan saya mencari Luna, karna Luna selingkuh dengan suami saya. Aluna telah merusak rumah tangga saya". Airilia dan Sumi terkejut mendengar perkataan Dinda, sedangkan Dinda meneteskan air matanya karena menceritakan rumah tangga yang dibangunnya hampir tiga tahun harus berantakan karena orang ketiga.
"Putri saya enggak mungkin ngelakuin itu. Mungkin aja nak, Dinda salah orang karna banyak yang namanya Luna dikampung ini". Dinda mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya, ia memperlihatkan foto Aluna dan Reza yang berada disebuah cafe.
"Apa benar Aluna ini anak, tante?". Sumi syok melihat foto anaknya Aluna sedang berpelukkan dengan seorang laki-laki.
"Enggak...enggak mungkin putriku Aluna ngelakuin itu". Sumi menangis, badannya gemetar. Airilia melihat Sumi histeris, ia memeluk dan menenangkan Sumi.
"Sebaiknya tante pulang, ibu saya sedang enggak enak badan". Airilia mengusir Dinda secara halus, Dinda yang situasinya tidak memungkinkan untuk bercerita, ia pun memutuskan untuk pergi dari rumah Airilia.
"Bu, yuk ke kamar. Biar Lia antar ibu. Ibu butuh istirahat". Airilia memapah Sumi yang masih menangis menuju kamar.
\*Bersambung\*
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!