NovelToon NovelToon

AIRILIA

Bab 1. AIRILIA

Airilia adalah seorang gadis yang hidup dalam keterbatasan. Ia merupakan siswi kelas 3 IPA di SMA Nusa Bangsa. Sejak kecil, ia hanya tinggal bersama ibunya, Sumi, yang bekerja sebagai buruh cuci. Ayahnya telah lama meninggal, meninggalkan mereka dalam kondisi ekonomi yang sulit. Airilia adalah anak bungsu dari dua bersaudara. Kakaknya, Aluna, saat ini sedang berkuliah di salah satu fakultas di Banjarbaru.

Demi membantu perekonomian keluarganya, Airilia bekerja di kantin sekolah seusai jam pelajaran. Ia membantu Bibi Darmi mengantar pesanan serta mencuci piring dengan upah sebesar Rp10.000 per hari. Setelah pulang sekolah, ia juga turut membantu ibunya mencuci pakaian di rumah pelanggan.

Suatu sore, sepulang bekerja, Airilia meletakkan selembar uang berwarna merah di atas meja.

"Bu, ini ada uang untuk membeli beras," ucapnya pelan.

Sumi menatap uang itu lalu menggeleng. "Loh, ini kan uang kamu, Nak. Simpan saja untuk keperluanmu sendiri," tolaknya lembut. Sebagai seorang ibu, ia merasa bertanggung jawab atas kebutuhan rumah tangga.

Namun, Airilia tersenyum dan berkata, "Bu, Lia masih punya simpanan kok. Hari ini Lia ingin kita makan nasi. Emang Ibu nggak bosan makan singkong rebus terus?"

Sumi terdiam. Ia sadar, sudah tiga hari mereka hanya makan singkong rebus yang ia ambil dari halaman belakang rumah. Dengan berat hati, ia akhirnya mengambil uang itu. "Baiklah, Ibu ambil ya. Nanti kalau cucian Ibu banyak, Ibu ganti uangmu."

"Nggak perlu, Bu. Lia ikhlas, ini untuk kita berdua," ujar Airilia sambil tersenyum.

Sumi tersenyum haru. Ia merasa sangat beruntung memiliki putri seperti Airilia.

Setibanya di warung Pak Kumis, Sumi hendak membeli beras ketika seorang tetangganya, Asih, memanggilnya.

"Mbak Asih, ada apa?" tanya Sumi.

"Ini, saya mau membayar cucian yang kemarin," kata Asih sambil menyerahkan selembar uang berwarna hijau.

"Oh, terima kasih," balas Sumi sambil menerima uang itu.

Setelah membeli beras, Sumi segera pulang. Ia meletakkan kantong plastik hitam di atas meja, lalu duduk termenung. Akhir-akhir ini pikirannya dipenuhi kekhawatiran mengenai biaya kuliah Aluna. Penghasilannya dari mencuci semakin menurun karena banyak tetangga yang kini memiliki mesin cuci sendiri.

Saat sedang melamun, tiba-tiba suara Airilia membuyarkan pikirannya.

"Bu… Ibu kenapa? Ibu sakit?"

Sumi tersentak dan menoleh. "Ibu cuma sedikit pusing," jawabnya lemah.

"Kalau begitu, biar Lia saja yang memasak," ujar Airilia.

Sumi mengangguk lalu berjalan ke kamar. Sementara itu, Airilia membuka kantong plastik yang dibawa ibunya. Saat melihat isinya, ia terkejut.

"Kenapa cuma beli 1 kg beras? Padahal uangnya cukup untuk 3 kg," gumamnya heran.

Penasaran, ia berjalan ke kamar ibunya. Namun, sebelum sempat bertanya, ia mendengar suara benda jatuh dari dalam kamar.

"IBU…!"

Airilia bergegas masuk dan terkejut melihat Sumi sedang memecahkan celengan tanah liat. Pecahan uang kertas dan koin berhamburan di atas kasur.

"Bu, kenapa celengannya Ibu dipecahkan? Kalau butuh sesuatu, bilang sama Lia," tanyanya dengan suara khawatir.

"Tidak, Ibu nggak beli apa-apa," jawab Sumi pelan.

"Lantas, kenapa celengannya dipecahkan?"

Sumi menghela napas. "Dua hari lagi, Aluna harus membayar uang kuliah. Karena cucian Ibu lagi sepi, jadi Ibu pecahkan celengan ini," ucapnya sambil menghitung uang di tangannya.

Airilia terdiam, menatap ibunya yang tampak lelah dan penuh beban. Tanpa disadari, air matanya mulai mengalir.

Sumi menoleh dan terkejut melihat putrinya menangis. "Lia, kamu kenapa, Nak? Kamu sakit? Atau ada yang menyakitimu?" tanyanya cemas.

Airilia menggeleng pelan dan menatap wajah ibunya yang penuh kasih sayang. "Bu, maaf… Lia nggak bisa bantu bayar uang kuliah Kak Aluna," ucapnya terisak.

Sumi mengusap air mata di pipi putrinya. "Jangan bilang begitu, Nak. Ini sudah kewajiban Ibu," katanya lembut.

"Tapi… Lia malah menyusahkan Ibu," ujar Airilia dengan suara bergetar.

"Tidak, sayang. Justru Ibu yang sering menyusahkan kamu," balas Sumi, semakin erat mengusap pipi anaknya.

Airilia menghapus air matanya dan bertanya, "Bu, kenapa tadi cuma membeli 1 kg beras?"

Sumi menundukkan kepala. "Sebenarnya, tadi Ibu mau beli 3 kg beras. Tapi ternyata Pak Kumis menagih utang bulan lalu," jawabnya pelan.

Airilia terdiam, mencoba menahan emosi yang bercampur aduk dalam hatinya. Namun, ia tidak ingin menambah beban ibunya. Dengan suara lirih, ia berkata, "Enggak apa-apa, Bu. Kalau begitu, Lia ke dapur dulu, mau memasak."

Airilia bangkit dan meninggalkan kamar, sementara Sumi masih duduk di kasurnya, menghitung sisa uang di tangannya.

Bersambung…

Bab 2. DO dari kampus

Di sebuah kamar kos, sepasang kekasih baru saja menuntaskan hasrat mereka setelah sekian lama tidak bertemu. Sang pria, Reza, sudah memiliki istri, sehingga pertemuan seperti ini menjadi semakin jarang terjadi.

"Reza, kenapa sih kamu keluar di dalam? Kalau aku hamil bagaimana?" tanya Aluna, kekasihnya, dengan nada khawatir.

"Berisik kamu, Luna. Biasanya juga aku keluar di dalam," balas Reza dengan nada tak suka disalahkan.

"Iya, aku tahu. Tapi setidaknya kasih tahu dulu dong kalau mau keluar di dalam! Sekarang aku lagi masa subur. Kalau aku hamil, kamu mau tanggung jawab?"

Reza menatap Aluna melalui pantulan cermin. "Biasanya juga kamu aborsi kalau hamil. Kamu tahu sendiri aku sudah punya istri."

Aluna terdiam sejenak sebelum menjawab, "Iya, tapi aku sudah dua kali aborsi. Kalau aku aborsi lagi, bisa-bisa aku nggak bisa hamil lagi. Kamu tahu umurku sudah kepala dua, kan? Harusnya kamu nikahi aku. Aku nggak keberatan jadi istri kedua."

"Nanti aku pikirkan," ucap Reza singkat. Ponselnya bergetar, menampilkan nama "Dinda" di layar. "Aku harus pulang. Dinda udah telpon, takutnya kita ketahuan," lanjutnya.

Sebelum pergi, Reza mencium kening Aluna dan menyerahkan beberapa lembar uang merah. "Ini buat kamu jajan," katanya, lalu pergi meninggalkan kamar.

Aluna menatap kepergian Reza dari ambang pintu, hendak menutupnya ketika tiba-tiba suara seseorang mengejutkannya.

"IBU YATI!"

"Iya, ini saya. Emang siapa lagi? Kenapa kamu kaget begitu lihat saya?" suara Ibu Yati, pemilik kos, terdengar tajam.

Aluna menunduk, sudah menduga alasan kedatangan Ibu Yati. "Ibu ke sini mau menagih uang kos, ya?" tanyanya pelan.

"Ya jelas! Kamu tahu kan kamu sudah nunggak dua bulan?"

Aluna mengangguk dan menyerahkan lima lembar uang merah kepada Ibu Yati.

"Loh, cuma segini? Masih kurang. Kamu tahu, kan?"

"Maaf, Bu. Aku baru punya segini. Kasih aku waktu satu minggu lagi buat melunasinya," pinta Aluna, suaranya penuh harap.

Ibu Yati melirik tangan kiri Aluna. "Tuh, di tangan kamu masih ada uang. Kenapa nggak lunasin sekarang aja?"

Aluna tersentak. Ia lupa memasukkan sisa uang pemberian Reza ke dalam saku celananya. "Sial, tahu aja aku punya uang lebih," gumamnya dalam hati.

"Emmm... ini uang buat makan dan bayar kuliah, Bu..." jawabnya gugup.

Ibu Yati mendengus. "Ya sudah, karena kamu sudah bayar setengah, saya kasih waktu satu minggu lagi. Jangan sampai telat!" katanya sebelum pergi meninggalkan Aluna.

Begitu memastikan Ibu Yati sudah pergi, Aluna buru-buru menutup pintu. Ia menghela napas lega, lalu menatap sisa uang di tangannya.

"Untung uang ini selamat," gumamnya sambil menghitung. "Masih ada satu juta. Tapi nggak cukup buat beli makeup dan baju. Gajiku masih lama, apa aku minta sama Ibu aja, ya? Lagian ini udah waktunya bayar uang kuliah juga."

Aluna mengambil ponselnya dan mencari kontak seseorang.

"Halo, ini siapa?" terdengar suara wanita di seberang.

"Bibi Asih, ini aku, Luna," jawabnya.

"Oh, Luna toh! Ganti nomor lagi kamu? Gimana kabarmu?"

"Alhamdulillah, baik... cuma aku butuh..."

"Butuh uang, kan?" potong Bibi Asih cepat. "Saya tahu kalau kamu telepon pasti minta uang ke ibumu."

Aluna mendesah. "Iya..."

"Nanti saya sampaikan ke ibumu. Tapi kamu tahu perjanjian kita, kan? Kalau ibumu kirim uang, saya minta sedikit buat beli kuota," kata Bibi Asih.

"Iya... ingat kok," jawab Aluna malas sebelum buru-buru mematikan panggilan.

"Sial banget punya tetangga kayak dia. Bukannya bantuin, malah ikut-ikutan bikin susah," gerutunya. "Ibu juga sama Lia, kenapa sih zaman sekarang nggak punya ponsel? Bikin aku susah aja."

Dengan kesal, ia melempar ponselnya ke kasur. Namun, ketika berbalik, ia terkejut melihat seorang perempuan berdiri di belakangnya.

"Renata! Ngapain kamu di sini? Kagetin aja! Kalau aku serangan jantung gimana?"

Renata, sahabatnya sejak kecil, tertawa kecil. "Lebay banget sih kamu. Lagian tadi aku panggil, tapi kamu nggak dengar. Muka kamu bete banget. Ada masalah?"

Aluna menghela napas panjang dan mengangguk.

"Masalah apa? Siapa tahu aku bisa bantu?" tanya Renata, duduk di atas kasur berhadapan dengan Aluna.

"Rumit. Kamu nggak akan ngerti," jawab Aluna lemas.

Renata sudah kebal menghadapi tingkah sahabatnya itu. "Btw, kenapa hari ini aku nggak lihat kamu di kampus?"

"Aku udah dua minggu nggak masuk," jawab Aluna santai.

"APA?! Kenapa nggak masuk selama itu?"

"Aku di-DO karena nunggak bayar uang semester."

Renata melongo. "Astaga! Terus, uang hasil kerja dan uang yang dikasih Reza selama ini ke mana?"

Aluna memberi isyarat agar Renata melihat ke arah lemari. Dengan rasa penasaran, Renata membuka lemari itu—dan langsung terkejut.

"Luna... ini... ini semua baju dan tas mahal, kan?"

Aluna hanya mengangkat bahu.

"Ya ampun! Jadi uang gajimu selama ini buat belanja doang?!" Renata tak habis pikir.

"Ya terserah aku, lah. Itu uang aku, bukan uang kamu," balas Aluna cuek.

"Iya, aku tahu itu uang kamu. Tapi kasihan ibumu, Luna. Dia kirim uang tiap bulan padahal dia sendiri susah!"

Aluna mendecak kesal. "Terus, kamu ke sini cuma buat kasih ceramah, gitu?"

Renata nyengir. "Ya nggak lah, bestie! Aku ke sini mau ngajak kamu ke kafe baru di depan kampus."

"Mau ngapain kita ke sana?" tanya Aluna malas.

"Emangnya kita mau ke sana buat tidur atau numpang mandi?" ledek Renata.

Aluna tertawa kecil. "Hahaha, oke. Jam berapa?"

"Jam tujuh malam," jawab Renata mantap.

"Pas banget, aku libur kerja," sahut Aluna.

"Ya udah, aku pulang dulu. Jangan lupa jam tujuh!" kata Renata, bangkit berdiri.

"Mau pulang ke mana? Kamar kita sebelahan, Ren. Baru jam tiga sore, di sini aja temenin aku nonton film horor," rayu Aluna.

"Nggak ah! Aku mau nonton sinetron Ikan Terbang. Biar nanti kalau ada pelakor kayak kamu, aku bisa basmi sampai ke akar-akarnya!" goda Renata sambil tertawa.

"Sialan kamu, Ren!"

Renata tertawa lebih keras sebelum buru-buru keluar dari kamar Aluna.

Bersambung...

Bab 3. Dinda

Setelah menerima telepon dari Aluna, Asih segera keluar dari kamarnya untuk menemui Sumi dan menyampaikan bahwa anaknya meminta dikirimkan uang. Saat melewati dapur, ia melihat putrinya, Yuni, hendak membuang semangkuk sayur sop.

"Yuni, jangan dibuang, mubazir!" Asih buru-buru mengambil mangkuk dari tangan putrinya.

"Enggak mubazir, Bu. Sayurnya sudah basi. Emang Ibu mau makan ini?"

"Ya enggaklah! Bisa-bisa Ibu sakit perut. Cepat ambilkan kantong plastik!"

Yuni mengambil kantong plastik dari laci meja dan menyerahkannya kepada Asih.

"Buat apa, Bu? Kenapa sayurnya dimasukkan ke dalam plastik?"

"Jangan banyak tanya. Ibu mau kasih ke ayam tetangga. Sana pergi!"

Yuni menurut dan masuk ke kamarnya. Melihat putrinya sudah tak ada, Asih segera mengendap-endap keluar lewat samping rumah. Sesampainya di halaman rumah Sumi, ia melihat wanita itu sedang menyapu teras.

"Sumi… Sumi!" panggil Asih.

Sumi menoleh dan melihat Asih mendekatinya sambil membawa kantong plastik hitam di tangan kanan.

"Eh, Mbak Asih, ada apa?" tanya Sumi, merasa heran dengan gelagat tetangganya.

"Tadi Aluna menelepon saya. Katanya dia butuh uang segera dan minta saya mengantarkannya ke bank," ujar Asih dengan senyum licik yang tak diketahui siapa pun.

"Astaghfirullah… Kemarin saya lupa mengirim uang untuk Luna. Tunggu sebentar, ya."

Sumi masuk ke dalam rumah. Beberapa menit kemudian, ia kembali membawa beberapa lembar uang pecahan puluhan ribu yang diikat karet.

"Maaf ya, Mbak Asih, jadi merepotkan. Ini totalnya Rp700.000."

"Enggak apa-apa. Namanya juga tetangga, kita saling membantu. Oh, ini ada sedikit sayur sop buat Mbak Sumi. Kebetulan saya masak banyak," ujar Asih, menyerahkan kantong plastik hitam.

"Wah, terima kasih banyak. Kebetulan kami sudah lama ingin makan sayur sop," kata Sumi sambil menerima pemberian itu.

"Sama-sama. Saya pergi dulu ya, takut bank keburu tutup."

Sumi masuk ke dalam rumah dan menuju dapur, tempat putrinya, Airilia, sedang menggoreng tempe.

"Lia, ini ada sayur sop dari Bibi Asih. Tolong hangatkan, ya. Ibu mau salat Zuhur dulu. Nanti kita makan bareng."

Airilia mengangguk, mengambil panci, dan membuka kantong plastik itu. Namun, begitu melihat isi kantong, matanya membelalak. Sayur sop itu sudah basi—berbuih dan berlendir.

"Astaghfirullah… Kenapa Bibi Asih memberi sayur sop basi?" bisiknya, suaranya bergetar. Air mata menggenang di matanya.

"Ya Allah… Apa yang harus aku lakukan? Ibu sudah lama ingin makan sayur sop, tapi uang kami hanya cukup untuk beli beras," lirihnya.

Tiba-tiba, ia mendengar pintu kamar Sumi terbuka. Dengan cepat, Airilia menjatuhkan kantong plastik ke lantai, pura-pura tak sengaja.

"Lia, kenapa menangis? Apa yang terjadi, Nak?" Sumi segera menghampiri putrinya yang tampak panik.

"Bu, maaf… Lia enggak sengaja menjatuhkan sayurnya. Tangan Lia licin," ujar Airilia dengan suara bergetar.

Sumi menatap lantai yang kini kotor oleh sayur sop tumpah, lalu menarik putrinya ke dalam pelukan.

"Enggak apa-apa. Kamu enggak luka, kan?"

Airilia menggeleng. Rasa bersalah menyelimutinya.

"Tapi, Bu… Gara-gara aku, Ibu enggak bisa makan sayur sop itu."

"Sudahlah, Nak. Ibu enggak apa-apa. Yuk, kita makan. Nasi dan tempenya keburu dingin."

Saat mereka hendak makan siang, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu rumah, disertai suara seorang perempuan memanggil nama Aluna.

"Lia, siapa itu? Biar kamu saja yang buka pintu. Ibu istirahat dulu," ujar Sumi.

Airilia segera berjalan ke pintu dan membukanya. Ia melihat seorang wanita seusia kakaknya, mengenakan dress hitam polos dan berambut panjang bergelombang.

"Cari siapa, ya?" tanya Airilia.

Wanita itu menatap Airilia dari ujung kaki hingga kepala, memperhatikan kaos ungu dengan pita di lengan yang dikenakannya.

"Perkenalkan, saya Dinda. Saya mencari Aluna. Apakah ini rumahnya?"

"Benar, ini rumah Kak Luna. Tapi dia enggak ada di sini. Dia sedang di Banjar. Ada keperluan apa, ya?"

"Boleh saya masuk?"

Airilia mempersilakan Dinda duduk di ruang tamu. Wanita itu menatap kondisi rumah yang tampak reyot dan hampir roboh.

"Lia, siapa yang datang?" Sumi keluar dari kamar, berjalan ke ruang tamu, lalu duduk di sebelah Airilia.

"Nama saya Dinda," kata wanita itu, menatap Sumi dengan mata berkaca-kaca. "Saya datang untuk mencari Aluna karena dia telah selingkuh dengan suami saya. Aluna telah menghancurkan rumah tangga saya."

Sumi dan Airilia terkejut. Sementara itu, air mata mulai mengalir di pipi Dinda.

"Putri saya enggak mungkin melakukan itu!" seru Sumi, menolak tuduhan tersebut. "Mungkin Anda salah orang. Banyak yang bernama Luna di kampung ini."

Dinda mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya dan meletakkan sebuah foto di meja.

"Apa benar wanita di foto ini putri Tante?"

Sumi menatap foto itu. Aluna tampak tersenyum sambil berpelukan dengan seorang pria di sebuah kafe.

"Enggak… Enggak mungkin…" gumam Sumi, tubuhnya gemetar. "Aluna enggak mungkin melakukan ini!"

Air mata jatuh dari wajah Sumi. Tubuhnya limbung, nyaris jatuh jika tidak segera dipeluk oleh Airilia.

"Tante, sebaiknya saya pamit. Saya hanya ingin menyampaikan ini langsung," ujar Dinda, suaranya penuh kepedihan.

Airilia, yang melihat ibunya semakin terpukul, segera berkata, "Tante Dinda, Ibu saya sedang enggak enak badan. Sebaiknya Tante pulang dulu."

Dinda mengangguk, lalu beranjak pergi.

Setelah menutup pintu, Airilia memapah ibunya masuk ke kamar.

"Bu, ayo ke kamar. Ibu butuh istirahat."

Sumi masih menangis dalam diam, sementara di kepalanya, bayangan Aluna terus berputar.

Bersambung…

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!