NovelToon NovelToon

The Last Chance

Prolog

Langit terlihat sangat gelap malam ini. Petir juga terlihat menyambar-nyambar di luar jendela, disusul oleh hujan lebat yang tiba-tiba saja turun mengguyur kota. Tangan yang sejak tadi terbentang menyentuh jendela kaca, perlahan mengerut seolah menggenggam air yang tengah menempel di sana. 

Dingin, itulah yang dirasakan oleh telapak tangan Anggi, sebelum akhirnya menarik kembali tangan lentik itu dari jendela kamarnya. Tangan kanannya terangkat, mengayunkan sebatang rokok yang sejak tadi menyala, dan menyelipkannya di tengah bibir. Menghisap dalam-dalam aroma tembakau yang terasa panas, dan membuangnya lewat desah napas yang panjang. 

Sambil menikmati malam, pandangan Anggi turun menyusuri jalanan kota yang kian terlihat gelap. Basah dan dingin, terasa begitu menggigit meski Anggi tidak merasakan itu di kulitnya langsung. Pandangannya terasa datar, melihat satu per satu pengguna jalan yang berarak menepi menghindari hujan. Sedikit memiringkan kepalanya, ketika tanpa sengaja dia melihat sosok muda-mudi berseragam SMA tengah berteduh di sebuah emperan toko yang masih buka. 

Manis sekali, pikir Anggi, tatkala samar-samar dia melihat sang lelaki mengusap rambut gadis di sebelahnya dan melepaskan jaket yang dikenakan untuk dia sampirkan ke bahu perempuan itu. Tidak usah dijelaskan juga, Anggi bisa menebak, kalau dua orang muda-mudi itu adalah sepasang kekasih. 

Anggi terus menatap pasangan itu dari lantai apartemennya yang berada di lantai dua. Dari jarak yang terbilang cukup dekat ini, Anggi bisa menonton semua tingkah dua anak remaja itu dengan jelas. Sesekali tersenyum sinis, sebelum akhirnya mematikan rokok yang kini hanya tinggal sepertiganya saja. 

Pip! Pip! Pip! Pip!

Anggi yang baru saja akan kembali fokus melihat kelakuan anak remaja yang berpacaran di depan emperan toko dekat apartemennya, menoleh sekilas ke arah pintu apartemennya, begitu mendengar pin apartemennya ditekan. Tanpa melihat, dia juga sudah bisa menebak, siapa orang yang sedang mencoba masuk ke dalam tempat tinggalnya. 

Tidak peduli, Anggi kembali menoleh ke arah jalanan tempat dimana dia melihat pasangan muda-mudi yang tengah bermesraan tadi. Sedikit kebingungan, saat dia tidak mendapati siapa pun lagi di sana, selain orang lain yang baru akan mulai berteduh di tempat itu. 

"Kemana? Kok udah hilang?" gumam Anggi ber celingukan ke kiri dan kanan, mencari dua orang tadi, namun tak kunjung menemukannya. Mungkin, dua orang anak remaja tadi sudah pergi saat Anggi menolehkan kepalanya ke arah pintu. 

"Is…. Dasar," batin wanita itu, menyidekapkan kedua tangannya di dada. 

Baru juga ingin bersantai dengan memandangi hujan, ponselnya yang tadi diletakkan di atas meja kecil samping jendela, tiba-tiba saja berdering keras. Membuat dia menoleh sekilas, dan mengangkat panggilan ponsel tersebut tanpa melihat nama yang tertera pada layarnya. 

"Halo?"

"Lo di rumah 'kan? Nggak usah pura-pura bego' dan buka pintu apartemen lo sekarang!"

Tlut! 

Belum juga Anggi sempat mendengar orang di seberang sana membalas sapaan telepon darinya, panggilan telepon tersebut sudah putus begitu saja. Menyisakan rasa kesal di hati Anggi, karena dia tidak membaca nama si penelepon terlebih dahulu, sebelum menjawabnya. Alhasil, mau tidak mau, akhirnya dia pun berjalan dengan perasaan malas luar bisa ke arah pintu apartemennya yang masih tertutup rapat dan membukanya dengan perasaan jengkel. 

Cklek! 

"Mau apa lo--"

"Ya ampun, di luar hujannya lebat banget. Mana macet lagi…. Lo kok nggak bilang ganti pin apartemen, sih?!"

Tidak menggubris raut wajah Anggi saat membukakan pintu kepadanya, pria yang tadi mencoba masuk ke apartemen wanita itu --namun gagal--, tampak menyelonong begitu saja masuk dalam unit, tanpa dipersilakan. 

Di tangannya, sudah terdapat sebuah plastik kresek berwarna putih bertuliskan nama salah satu minimarket yang sedang menjamur di tengah kota. Meletakkannya ke atas meja bar yang berada di dekat dapur, dan membongkar isinya di sana. 

Tidak bisa berkata-kata lagi, Anggi pun hanya bisa menghelakan napas pasrah, sebelum kembali menutup pintu apartemennya dari dalam. 

"Mau ngapain lagi lo datang ke mari?" tanya Anggi, mendekati pria sibuk itu sambil melipat kedua tangannya di sana. 

Sedikit menoleh, pria itu tersenyum kepada Anggi, lalu menjawab, "Pas terakhir kali gue ke sini, gue lihat kulkas lo kosong. Jadi, gue berinisiatif buat isi kulkas lo lagi biar rame,"

"Kosong? Kosong apanya?" dengus Anggi, lantas membuat laki-laki itu terdiam sejenak. 

Seperti berpikir, lelaki itu mundur beberapa langkah ke belakang, menuju pintu kulkas Anggi yang memang berada tidak jauh dari tempat dia berdiri saat ini, dan membukanya. 

"Kosong." Pertegasnya pada si pemilik apartemen, sebelum akhirnya tersenyum geli pada Anggi yang tampaknya tidak bisa berkata-kata lagi. 

Untuk sesaat, wanita itu hanya diam memandangi gerak laki-laki di depannya. Sangat cekatan dalam mengurus urusan dapur, seolah dia sudah sangat berpengalaman dalam hal rumah tangga. Padahal dulu, seingat Anggi, pria itu sangat payah dalam urusan rumah tangga. Jangankan untuk menyusun barang-barang seperti ini, melihat apa yang diperlukan untuk dapur mereka saja, dia tidak bisa. Selalu Anggi yang direpotkan dalam mengurus segala sesuatunya. Sementara dia, hanya bersantai dan bermain, sedang dia tahu kalau Anggi tengah hamil saat itu. 

"Eumh…." Tanpa sadar, Anggi melenguh. Dia menunduk, saat sadar mengingat apa yang seharusnya tidak boleh dia ingat. 

"Buat apa sih, lo ngelakuin hal ini?" tanya Anggi malas, menaikkan pandangannya pada Damar --tamu tidak diundangnya--, yang kini tengah memasukkan beraneka macam sayur dan buah ke dalam kulkas. 

"Ngelakuin apa?"

"Isi kulkas gue. Itu 'kan bukan kewajiban lo,"

"Belum kewajiban. Tapi, ntar juga jadi kewajiban gue," timpal Damar, menghentikan kegiatannya sebentar, hanya untuk tersenyum kepada Anggi. "...lagi,"

"Lagi?" dengus Anggi bosan, membuang pandangannya ke arah lain, seiring dengan Damar yang kembali melanjutkan kegiatannya. 

"Oke…. Berapa?"

"Apanya?"

"Semua belanjaan ini. Berapa? Gue bakal bayar."

Lagi, Damar menghentikan kegiatannya yang sedang menyusun buah ke dalam lemari pendingin. Pandangannya beralih, pada Anggi yang berjalan menuju sebuah kamar, dan menghilang beberapa saat. 

Lalu, selang berapa detik, Anggi keluar lagi dari ruangan yang merupakan kamar tidurnya itu dengan membawa sebuah dompet kulit berbentuk persegi panjang. 

"Berapa yang harus gue bayar untuk semua belanjaan ini. Sekalian uang parkir juga, lo sebutin aja. Gue nggak mau ada hitungan utang sama lo," kata Anggi serius, menghitung beberapa lembar uang dari dalam dompetnya, yang akan dia berikan kepada Damar. 

Namun, bukannya menyebutkan nominal yang sudah dia keluarkan untuk mengisi kebutuhan dapur Anggi, Damar malah diam sambil terus menatap wajah wanita itu dalam-dalam. 

"Gue nggak minta bayaran."

"Nggak minta bayaran? Terus, maksud lo apa, belanja segitu banyak, dan naruh di dalam kulkas gue? Lo mau numpang mesin pendingin gue?" tuduh Anggi sarkastik, kembali menutup dompetnya dan bersidekap menatap angkuh kepada Damar. 

"Gue nggak semiskin itu cuma untuk numpang kulkas sama lo,"

"Dan gue juga nggak semiskin itu untuk terima semua pemberian makanan dari lo!" balas Anggi cepat, lantas meninggalkan Damar yang terdiam lagi di tempatnya. 

Anggi berjalan dan berdiri di depan jendela apartemennya lagi dengan kesal. Hujan tampak semakin deras, seakan tahu isi hati wanita itu yang tengah bergejolak tidak menentu. Anggi merasa, dia mulai jenuh dan juga bosan dengan situasi yang saat ini dia hadapi. Beberapa hari dalam satu bulan, pria itu pasti akan datang mengganggu kesendirian Anggi di dalam apartemen. Entah bagaimana caranya, dia selalu bisa menembus pertahanan apartemen Anggi dengan caranya. Meskipun wanita itu sudah sering mengajukan protes kepada pihak apartemen, tetap saja, Damar selalu punya cara untuk lolos menemuinya. Lapor polisi, juga percuma, karena dia tahu, orang seperti Damar juga akan punya seribu cara untuk menghindar dan datang mengganggunya. 

Menyebalkan. Benar-benar seorang pria yang sangat menyebalkan. 

Tangan Anggi sudah bergerak mengambil sebungkus rokok yang dia letakkan di atas meja. Sebatang tembakau gulung sudah ada di tangannya dan terselip di antara bibirnya, ketika dua jari seorang pria langsung menyambar rokok tersebut lalu membuangnya ke tempat sampah. 

"Heh! Lo--"

Tidak menggubris bentakan kemarahan Anggi, Damar --dengan wajah datarnya-- kembali merebut bungkus rokok dari tangan Anggi dan ikut membuangnya ke tempat sampah, setelah merusak batang rokok tersebut terlebih dahulu. 

"Damar! Lo--"

"Lo mau nyumpel mulut lo yang lagi kesel itu? Oke, sini gue bantu."

"Eh--?!"

Belum sempat Anggi menyadari maksud ucapan Damar, pria itu sudah langsung menahan wajah Anggi dengan kedua tangannya dan menyatukan bibir mereka. 

Bersambung

Bagian pertama

Beberapa bulan sebelumnya….

"Terima kasih, ini kopinya, dan selamat menikmati makan siang,"

Seorang penjaga kantin perusahaan besar tersebut tampak tersenyum ramah, saat memberikan segelas kopi dingin pada seorang pria yang sejak tadi mengantri di depannya. Setelah orang itu berlalu, dia pun kembali melemparkan senyum manisnya --bahkan lebih manis lagi, menurutnya-- pada seorang wanita yang sekarang menggantikan posisi pria tadi saat mengantri. 

"Halo, Mbak Anggi…. Mau pesan apa hari ini?" tanya penjaga kantin tersebut, terlihat begitu akrab pada seorang karyawati bertubuh seksi bernama Anggi. 

"Eum…. Pesan apa ya, enaknya? Saya bingung," gumam perempuan itu seperti berpikir, memutar pandangannya ke arah papan menu yang terpampang besar di dinding dalam bagian kantin. 

"Bingung? Tumben…. Nggak mesan yang kayak biasanya aja, Mbak?" tanya pemuda penjaga kantin itu tersenyum, terlihat mengernyitkan dahinya sejenak menatap Anggi. 

Sedikit menggeleng, Anggi menjawab, "Nggak ah, Mas…. Bosen, itu-itu mulu…. Saya mau coba yang lain aja," katanya, sekali lagi membuat si pemuda penjaga kantin tersenyum singkat. 

"Ya udah, mau pesan apa?" tanyanya lagi, melihat Anggi yang mengetuk dagunya pelan beberapa kali seolah tengah berpikir. 

"Eum…. Enaknya apa, ya? Coba saya pikir-pikir dulu," gumam Anggi sedikit menyipitkan mata, lalu menatap pemuda di depannya itu dengan gaya menggoda. "Gimana kalau…"

Pemuda penjaga kantin tersebut sudah siap akan mencatat pesanan Anggi, saat tiba-tiba saja wanita bertubuh sekal itu merapatkan tubuhnya ke batas meja pemesanan dan menyandarkan sebelah sikunya di sana. 

"... pesan Mas-nya aja? Kayaknya enak, deh,"

"Hah?"

Anggi menggigit bibirnya gemas, sambil menahan tawanya melihat tampang cengo pemuda penjaga kantin tersebut saat mendengar jawaban dari Anggi. 

Pesan dirinya untuk menu makan siang? Apa maksudnya, coba? 

"Emh, Mbak Anggi ini apa-apaan, sih? Mau pesan saya buat jadi makan siang? Memangnya, saya ini nasi rendang, apa? Ada-ada aja…." Ucap pemuda itu pelan, terlihat sekali dia gugup ditatap oleh Anggi.

"Lah, emangnya kenapa? Mas emang bukan nasi rendang, tapi Mas lebih menggiurkan daripada itu. Lihat dada Mas aja, saya hampir ngiler, loh…." Goda wanita itu lagi semakin genit, kali ini melayangkan tangannya sedikit, menyentuh dada pemuda tersebut dengan gaya yang gemulai. 

Dalam satu kali sentuh, Anggi terlihat cukup kaget, merasakan dada pemuda yang tertutup kaus longgar itu terasa sedikit padat. Sepertinya, ada tubuh yang kekar di balik kaus longgar berwarna hijau yang dikenakan oleh pemuda di depannya. 

"Eh, Mbak! Apaan, sih? Kaget saya…." Pekik pemuda itu, memang terlihat kaget dan membuat Anggi semakin gencar untuk menggodanya.

"Loh, kok kaget, sih? Jangan lebai, deh! Kayak baru pertama kali disentuh perempuan aja," kerling Anggi nakal, sedikit kaget kala melihat wajah pemuda di depannya itu bersemu merah. 

Apa? Apa ini? Kenapa dia terlihat seperti malu-malu? Selama ini, Anggi memang belum pernah menggoda laki-laki yang baru bekerja sekitar satu bulan itu, karena masih sangat sibuk dengan beberapa pekerjaan di divisinya. Tapi, dia tidak menyangka kalau reaksi pria itu akan sangat menggemaskan seperti ini. Antara tidak tega dan juga ingin semakin menggoda, Anggi hanya tersenyum simpul melihat wajah laki-laki itu yang merona.

"Apaan sih, Nggi? Udah, ah! Jangan digodain mulu…. Lo nggak lihat nih, antriannya panjang banget cuma karena dengerin lo gombalin Mas-Masnya ini? Gue laper, tahu!"

Anggi menolehkan sedikit kepalanya dengan bibir yang masih mengukir senyum tipis, pada Ditha, teman satu divisinya yang sedang mengantri di belakang. Dalam satu kali lihat, dia sudah bisa membandingkan antrian pada barisannya itu memang jauh lebih panjang ketimbang antrian di sebelahnya. 

"Iya, Nggi. Mending lo cepat milih, deh…. Kasihan, ntar Mas-nya dikira nggak becus melayani karyawan, sampai bisa bikin antrian macet kayak gini," imbuh Roni, teman divisinya yang lain, kali ini berdiri di antrian sebelah mereka, dimana pesanannya sudah selesai dicatat dan dibayar. 

"Apaan sih, lo berdua? Ganggu kesenangan gue aja! Gue kan juga lagi mikir mau pesan apa. Ya nggak, Mas?" sahut Anggi ketus pada kedua temannya, lalu terlihat kembali melemparkan senyum menggodanya ke arah pemuda penjaga meja kantin. 

"Ehm, i--iya, Mbak…." Angguk pemuda itu kikuk, semakin membuat Anggi mengulum senyum melihatnya. 

Dalam hati, Anggi pun bergumam. "Sasaran yang empuk,"

"Eh, Mas! Kenapa dijawab, sih?! Udah, bikin aja pesanan dia yang kayak biasa. Dia mah, nggak usah dikasih kendor! Ntar pekerjaan Mas malah nggak kelar-kelar lagi, cuma karena ngeladeni dia doang!" celetuk Ditha sewot, mendengus sinis, , sebelum akhirnya dia bersidekap jengkel melihat tingkah penjaga kantin yang seperti anak remaja. 

Eh? Atau jangan-jangan, penjaga kantin yang baru ini memang masih remaja, ya? Duh, karena sibuk mengurus ini dan itu dalam kurun waktu satu bulan, Ditha jadi tidak tahu tentang gosip apa saja yang tengah beredar di perusahaan tempat mereka bernaung ini. Soal penjaga kantin yang tampan ini, memang masih remaja, atau sudah dewasa, sih? 

"Iya, Mbak Ditha, saya catat sekarang." Ujar pemuda itu akhirnya, menyebutkan total yang harus Anggi bayar, untuk bisa membawa makan siangnya menuju meja yang disediakan. 

°°°

"Gue dengar-dengar, sebentar lagi divisi kita bakal ada orang baru yang bakal bergabung!"

"Orang baru? Siapa?"

"Nggak tahu! Kata anak-anak sih, mereka cuma tahu nama, sama statusnya doang. Karena, lo tahulah, gimana pelitnya Bu Intan ngasih informasi tentang karyawan baru yang mau bergabung di tiap divisi. Jadi, ya anak-anak cuma tahu dua informasi umum itu aja dari beliau."

Ditha mengerutkan dahinya sedikit samar, mendengar apa yang dikatakan oleh Roni padanya dan juga Anggi. Saat makan siang seperti ini, memang adalah saat yang tepat untuk membicarakan segala sesuatu --a.k.a gosip-- yang tengah beredar sekitar perusahaan. Maklumlah, satu bulan terakhir ini, Anggi dan juga Ditha yang memang berada dalam satu tim pada divisi pemasaran memang sangat sibuk mengurus produk mereka yang baru dikeluarkan. Jadi, mau tidak mau, mereka jadi menyampingkan segala pikiran mereka yang ingin mengetahui tentang kabar yang beredar. 

Dan apa yang dikatakan oleh Roni tadi, cukup membuat dua orang itu merasa terkejut, karena sebelumnya mereka baru tahu kalau penjaga kantin yang mereka temui selama ini adalah seorang anak remaja yang bekerja paruh waktu di sana. 

"Oh, ya? Statusnya?" tanya Anggi penasaran, alih-alih menanyakan soal nama orang yang tengah mereka bicarakan tersebut. 

"Duda,"

"He?" kernyit Anggi tampak tidak suka, dengan langsung membuang pandangannya ke arah lain. Sepertinya, dia kecewa deh, dengan status orang baru yang dibicarakan oleh Roni tadi.

"Cerai mati, atau gimana?" tanya Ditha penasaran, yang hanya dibalas Roni dengan gidikan bahu. 

"Mana gue tahu! Orang anak-anak cuma tahunya dia itu duda. Entah itu duda cere mati atau hidup, juga… mereka nggak tahu! Bu Intan cuma bilang kayak gitu sama mereka." Kata Roni sedikit keras, menyeruput es teh manis yang menjadi menu penutupnya siang ini. 

"Oh," desah Ditha tersenyum datar, seperti halnya Anggi yang tidak tertarik lagi dengan pembahasan mereka tentang orang baru. 

"Namanya Andi. Katanya sih, harusnya dia udah mulai masuk kerja hari ini. Cuma, karena ada beberapa urusan lagi, dia baru bisa datang siang nanti." Cerita Roni lagi, sontak membuat Ditha membelalakkan matanya sejenak. 

"Emang, bisa begitu? Tanggung banget, hidupnya! Mending besok aja sekalian!" ujar gadis berwajah tirus itu berdesis, lalu ikut menyeruput sisa es teh manisnya yang tadi juga dia pesan untuk menemani nasi soto makan siangnya. 

"Nggak, tahulah! Ini juga gue dengar dari anak-anak lain. Kenapa dia bisa bertingkah seenaknya begitu, mungkin dia punya koneksi dengan para petinggi. Siapa tahu?" gidik Roni tidak begitu peduli, lantas bangkit dari duduknya, diiringi oleh Anggi dan juga Ditha. 

Mereka berjalan menuju ruang divisi mereka sambil membahas segala yang menarik untuk dibicarakan. Mulai dari hal konyol, hingga masalah serius, tak luput dari bahan obrolan bibir mereka. 

"Jam makan kita udah habis aja, gara-gara si Anggi yang asyik gombalin penjaga kantin yang baru itu. Gue jadi nggak sempat nyebat dulu kan," keluh Roni malas, begitu mereka keluar dari lift yang membawa mereka ke lantai sebelas dimana ruang kerja mereka berada. 

"Lah, kok jadi malah nyalahin gue, sih? Yang nyuruh lo nungguin emang siapa? Gue? Keluarga gue? Nenek moyang gue? Enggak, kan?" dengus Anggi tidak terima, lantas berjalan berlenggak-lenggok dengan santainya di depan pria tersebut.

Tampak jam makan siang memang sudah selesai sekitar sepuluh menit yang lalu. Namun, tiga sekawan itu baru saja kembali, karena terlalu asyik mengobrol sambil makan, tanpa sadar kalau jam istirahat sudah hampir selesai. Untung saja tadi Ditha sempat melihat ponselnya saat sedang makan. Dia membaca notifikasi sebuah pesan yang mengatakan kalau mereka harus segera kembali ke ruangan begitu selesai makan, karena supervisor mereka akan mengenalkan seorang karyawan baru --yang sempat mereka bicarakan sekilas saat sedang makan tadi-- di divisi mereka. 

"Eh, itu Pak Edwin sama siapa?"

Begitu masuk, pandangan Roni langsung tertuju pada meja supervisor mereka yang berada di paling depan ruangan tersebut. Terlihat, orang yang bernama Edwin itu sedang berbicara pada karyawan lain di divisinya, dengan seseorang yang berdiri di sampingnya. 

"Eh, kalian bertiga baru pada balik? Lama amat? Perkenalannya udah hampir selesai," tegur Edwin santai, melihat Anggi, Ditha dan juga Roni yang baru saja masuk ke ruangan berdinding kaca tebal tersebut. 

"Hehe, iya ni, Bos…Maklumlah, makan sama cewek gimana…. Pasti lama," sahut Roni. 

"Lama apanya, nih? Makannya, atau ngegosipnya?"

"Ya dua-dua,"

"Heh!"

Roni hanya tersenyum simpul, melihat Ditha yang menyikut lengannya sambil melotot. Lalu, seolah tidak peduli lagi, dia kembali duduk di meja kerjanya yang memang berada dalam satu deretan dengan Anggi dan juga Ditha, ketika dia mendengar Ditha berbicara. 

"Eh, Nggi! Kok lo diam aja? Kesambet?" senggol wanita itu pada Anggi, yang sepertinya baru mereka sadari sudah terdiam sejak mereka tiba di ruangan tadi. 

Seperti orang yang tiba-tiba kehilangan jiwanya, Anggi menatap lurus pada sosok pria yang saat ini sedang berdiri tegap di sisi Edwin, yang juga masih berdiri memandangnya.

"Nggi? Kamu kenapa? Ada masalah?" tanya Edwin bingung, melihat wajah Anggi yang tidak memiliki ekspresi itu tidak berkedip ke arahnya.

"Itu…." Seperti suara yang hilang terbawa hembusan angin, samar, Edwin mendengar Anggi bertanya sambil mengangkat tangannya menunjuk lemah ke arah pria yang tengah berdiri di sampingnya. 

Siapa? Karyawan baru ini? Pikir Edwin, kemudian tersenyum maklum kepada Anggi. Mungkin perempuan itu kenal kali, ya? Dia kan tipe orang yang punya kenalan paling banyak. Mungkin, anak baru ini adalah salah satunya? Batin Edwin. 

"Kamu kenal, sama Andi?" tunjuk Edwin pada lelaki yang berdiri di sampingnya, menggunakan jempol yang dia miringkan ke arah kiri. 

"Andi?" gerak bibir Anggi, tampak tidak mengeluarkan suara sama sekali. 

"Ya, Andi. Damar Alfandi. Dia karyawan baru yang kemarin dibilang sama bagian HRD bakal masuk dalam divisi marketing kita. Kalian juga pasti udah pada dengar 'kan, kabarnya? Karena sesuatu hal, dia baru bisa masuk siang ini." Terang Edwin sangat tenang, tanpa melupakan senyum simpulnya melihat Anggi, yang tanpa sadar malah membuang napas beratnya begitu samar. 

Andi… Damar Alfandi…. Entah kenapa, Anggi merasa hidupkan akan terasa gelap lagi mulai sekarang. 

"Kenapa? Kamu kenal sama dia?"

Bersambung….

Bagian kedua

Suara grasak-grusuk yang terdengar dari sisi kiri dan kanan Anggi terasa begitu mengganggu konsentrasi. Sejak tadi, Anggi sudah berusaha untuk fokus pada pekerjaannya yang ada di meja. Tentang daftar target pasar mereka yang akan mereka survei bulan depan. Bukan main pecahnya konsentrasi Anggi, ketika dia mendengar Roni dan juga Dita tampak kompak mengganggu waktu kerjanya. 

"Pst! Nggi! Lo beneran nggak kenal sama cowok itu?" 

Anggi kembali memejamkan kedua matanya jengkel, menahan emosi yang sejak tadi tengah bergelung dalam dadanya. 

"Lo beneran nggak kenal, apa pura-pura nggak kenal sih, Nggi? Kok kayaknya, gue curiga gitu, ya?"

Berusaha tidak menjawab, Anggi mengabaikan pertanyaan Ditha yang kali ini hanya saling lempar lirik penuh kode kepada Roni. 

"Itu salah satu mantan lo, ya? Atau malah jadi korban lo? Gue nggak heran ya, kalau misalnya--"

Roni yang sejak tadi sibuk mengoceh, mendadak mengulum bibirnya kaku, melihat Anggi yang langsung menoleh ke arahnya dan melototkan mata tidak suka kepadanya. Membuatnya perlahan-lahan mulai berbalik, menghadap meja kerjanya yang sejak tadi diabaikan penggunaannya. 

Yakin kalau beberapa menit ke depan pria itu tidak akan mengoceh, Anggi pun lantas kembali berbalik dan terfokus pada lembar kertas di atas mejanya. 

Sejak tadi, dia memang berusaha fokus pada tugasnya untuk bulan depan. Hanya saja, kehadiran seseorang yang kini berada tidak jauh dari mejanya, tengah mengusik ketenangan Anggi dalam bekerja. Bukan hanya soal perasaan, pikirannya pun jadi berantakan akibat tatapan pria yang sejak tadi dia ketahui terus menatapnya dalam diam. 

"Jadi, apa prospek kalian sama bagian vendor yang kemarin nelepon itu berjalan dengan baik? Kamu belum ada ngasih laporan sama saya kan, Nggi? Gimana hasilnya? Apa perlu, pertemuan kedua lagi untuk membicarakan kontraknya?"

Suara Edwin yang tiba-tiba saja mendekat dan menutupi bayangan pria yang sejak tadi memperhatikan Anggi, membuat wanita itu merubah posisinya semakin tegak dan tersenyum. 

"Udah Anggi laporan kok, Pak. Tadi pagi, Anggi letak di atas meja kerja Bapak. Bapak belum lihat?" tanya Anggi manis, menutupi perasaannya yang sebenarnya terasa panas. 

"Oh, ya? Mungkin belum saya lihat. Oke, sebentar lagi saya baca. Thanks, ya…! "

Merasa tidak ada yang perlu mereka bicarakan lagi, Edwin pun langsung bergegas pergi meninggalkan meja kerja Anggi. 

Sedangkan wanita itu, hanya bisa tersenyum kering, sebelum akhirnya kembali menunduk, meratapi nasibnya yang mungkin akan berantakan lagi. 

Beginikah akhir dari perjuangannya selama ini? Setelah berusaha selama bertahun-tahun untuk hidup dengan tenang dan juga bebas, dia harus kembali berurusan dengan masa lalunya yang suram? Tidakkah Tuhan sangat keterlaluan namanya, jika dia harus kembali pada kubang kesedihan yang pernah coba untuk dia kubur? Apa tidak berlebihan namanya, jika dia harus melihat kembali gambaran masa-masa suram yang pernah dia alami dari jarak yang sangat dekat? Apa dosa Anggi di kehidupan yang lalu, hingga dia harus mendapatkan cobaan hidup yang seperti ini sekarang? 

"Permisi, apa saya mengganggu?"

Kedua mata Anggi yang terpejam rapat saat merenung, kembali terbuka tatkala suara orang yang sangat dia hapal --di masa lalu-- kembali terngiang di telinganya. 

Tolong katakan kalau ini semua hanyalah mimpi. 

"Iya, Mas? Ada apa?"

Bukan Anggi yang menjawab panggilan tersebut. Melainkan Ditha, yang sejenak melihat tingkah laku Anggi di sampingnya terlalu aneh. Kalau biasanya wanita itu akan sangat cepat menanggapi panggilan dari orang lain --terlebih dari seorang lelaki--, tidak untuk kali ini, dimana wanita itu justru hanya diam saja di tempatnya bak patung yang tidak bisa mendengar ataupun berbicara. 

"Maaf, sebelumnya. Apa boleh, saya berbicara sebentar dengan temannya? Dia…"

Mendengar permintaan Andi yang terdengar halus dan sopan, namun terkesan sedikit canggung terhadapnya, membuat baik Ditha maupun Roni --yang sejak tadi juga ikut memperhatikan Anggi dalam diamnya--, menatap kembali pada wanita itu. Tidak usah diperjelas lagi pun, mereka tahu kelanjutan ucapan Andi yang sepertinya ingin berbicara dengan teman mereka itu. 

"Gue sibuk." Sahut Anggi datar, menoleh ke arah Ditha yang mengerjap bingung ke arahnya. 

"Gue masih harus bikin laporan pertemuan kemarin buat Pak Hengki. Kalo anak baru ini ada perlu mau nanya-nanya soal perusahaan, lo aja yang kasih tahu. Gue cabut dulu," ujar Anggi dingin, bangkit dari kursi kerjanya dan berlalu meninggalkan Ditha yang terbengong. 

Wait…. Anggi lagi tidak berpikir kalau Ditha itu adalah asisten pribadinya, kan? Kok dia bisa seenak itu sih, memberikan perintah ini itu kepada Ditha? Memangnya, dia berani bayar berapa?

"Anggi--"

Baru saja Ditha menoleh ingin memarahi Anggi yang dia pikir masih berada di ruangan divisi itu, dia justru dibuat terbengong sedikit, karena tidak mendapati sosok Andi yang tadi berdiri di sebelah meja kerjanya. 

"Kemana?" gumamnya pelan, menoleh ke kiri dan kanan, mencari sosok pria tampan yang tadi berbicara dengannya. 

Saat pandangannya bertemu dengan wajah datar Roni, dia menaikkan alisnya bertanya. "Lo lihat?"

Dan seolah mengerti dengan apa yang sedang dicari oleh Ditha, pria itu pun menjawab dengan nada yang ketus. "Ngejar Anggi."

"Hah? Ngejar Anggi? Maksudnya?" tanya Ditha bingung, yang alih-alih mendapat jawaban bagus dari Roni, dia malah melihat pria itu mendengus meninggalkannya. 

"Mana gue tau! Lo pikir gue emaknya?!"

***

Tangan Anggi terkepal erat menunggu lift yang saat ini tengah dinaikinya terasa begitu lambat. Sekarang, di dalam kotak besar berbahan besi itu hanya ada dirinya dan juga si anak baru. Entah apa maunya, dia terus saja mengejar Anggi tanpa berkata apa-apa. Bahkan saat Anggi berusaha untuk bersikap seolah tidak kenal dengan bertanya dengan nada formal pada anak baru itu, pria itu malah terlihat sok akrab dengannya. 

"Kamu mau ngapain ke roof top?"

Pintu lift baru saja terbuka, dan mulut si anak baru juga ikut-ikutan terbuka, bertanya pada Anggi ketika melihat wanita itu keluar. 

Tidak menjawab, Anggi yang mengira kalau laki-laki itu akan segera meninggalkannya pun pergi begitu saja. Dia berjalan menuju pintu roof top yang terbuat dari kaca, tanpa menoleh lagi ke arah belakang. 

"Kamu mau ngapain ke sini? Katanya ada urusan sama manager,"

Anggi langsung saja tersentak kaget, ketika mendengar pertanyaan dari pria itu. Bukan soal pertanyaannya, sih. Tapi, soal pria itu yang baru saja disadari Anggi terus mengikutinya sampai ke lantai paling atas bangunan tersebut. 

"Lo ngapain ngikutin gue?!" sentak Anggi marah, memasang sikap defensif, melihat pria itu mendekat ke arahnya. 

"Wah, ternyata udara di sini cukup segar, ya? Biarpun udah sore, kerasa banget sejuknya," ucap pria itu terkagum, menghirup udara bebas yang tengah berhembus di antara mereka. 

Bukan, bukan soal udaranya lagi yang membuat Anggi menahan napas. Melainkan tingkah pria itu, yang main berdiri di depan Anggi seenak jidat, dan mengurung wanita itu di antara tembok pembatas dan juga dirinya, yang membuat Anggi merasa kesulitan bergerak dengan otak yang mendadak macet melihatnya. 

"Minggir," usir wanita itu halus, menatap wajah Andi dengan lekat dengan sorot mata yang tidak bisa didefinisikan. 

"Kenapa?" tanya Andi dengan nada rendah, menundukkan sedikit wajahnya ke arah Anggi, hingga membuat wanita itu menelan ludahnya susah payah. 

Oh, tidak…. Anggi pernah jatuh dalam pesona mata yang mematikan itu beberapa tahun lalu. Dan dia tidak boleh lagi terperosok untuk kesekian kalinya dengan tatapan itu. Cukup beberapa tahun lalu menjadi hal paling bodoh bagi Anggi karena sudah jatuh untuk berkali-kali karena mata itu. Tidak untuk kali ini. 

"Lo ganggu pemandangan gue!" bentak Anggi tersadar, langsung mendorong tubuh Andi kasar, hingga hampir terjatuh ke atas lantai. 

Seolah tidak peduli, Anggi segera menepuk kedua tangannya yang tadi mendorong Andi, seperti tengah membersihkan tangannya dari debu, sebelum memutar tubuhnya ke pembatas roof top. 

Sementara itu, Andi yang diperlakukan sedemikian kasarnya oleh Anggi, hanya bisa terdiam di tempat, sambil menatap wajah manis itu dari samping. Sungguh, Andi tidak menyangka, kalau Anggi akan bersikap seperti ini terhadapnya.

Dan apa kata wanita itu tadi? "Ello?" Ch! Dia bahkan sudah berani memanggil Andi dengan sebutan seperti itu. Dasar tidak sopan!

"Delapan tahun nggak ketemu… sikap kamu jadi berubah begini, ya? Seratus delapan puluh derajat," ujar Andi menyindir, memandang lekat pada wajah Anggi yang terlihat masa bodoh. 

Wanita itu bahkan berani mengeluarkan sekotak rokok dari dalam saku depan kemejanya dan sebuah korek untuk menghidupkan rokok tersebut. 

"Nggi!" bentak Andi refleks, melihat Anggi menyelipkan satu barang rokok itu di antara bibirnya. 

Masih tidak peduli, Anggi meneruskan kegiatannya, dan hampir menghidupkan rokok tersebut dengan korek, andai Andi tidak langsung mencegahnya. 

"Heh! Apaan--"

Anggi kesal dengan tingkah Andi yang main rebut rokoknya sembarangan, tampak akan memarahi pria itu, ketika dilihatnya Andi membuang rokoknya ke bawah gedung, beserta korek Anggi yang tadi dibawanya. 

"Heh! Apaan sih, lo?! Kenapa rokok gue lo buang?! Nggak punya otak lo, ya?! Itu rokok gue tinggal satu, goblok!" maki Anggi habis-habisan, menatap nanar ke arah bawah, dimana rokok serta koreknya tadi sudah pasti mendarat.

Wajahnya terlihat memerah, menatap sengit pada Andi yang juga lekat menatapnya dengan wajah yang ketat. 

"Delapan tahun kita nggak ketemu, dan kamu langsung berubah jadi orang nggak beres kayak gini! Sejak kapan kamu ngerokok?! Dan panggilan kamu juga, kenapa jadi kayak gitu? Aku ini lebih tua dari kamu, tau? Aku ini mantan suami kamu! Kamu harus--"

"Nggak ada urusannya sama gue! Seperti yang lo bilang, lo itu cuma mantan suami gue! Dan lo nggak ada hak apa pun lagi untuk ngelarang gue berbuat ini dan itu! Ngerti lo?!" serobot Anggi keras, menunjuk dada Andi dengan satu jarinya. 

"Gue udah coba untuk bersabar ngelihat muka lo hari ini. Tapi, bukan berarti, lo bisa dapat toleransi dari gue dengan cara ngikuti gue kayak gini. Gue cuma malas berhubungan sama lo lagi, entah itu sebagai teman kantor ataupun mantan di masa lalu. Jadi, jangan lo kira, gue diam itu karena gue baik-baik aja ngelihat muka lo di dekat gue. Ngerti lo!" pertegas Anggi lagi, menatap tajam pada Andi yang sontak terdiam memandangnya. 

Maksud Anggi adalah, dia mendiamkan keberadaan Andi sejak tadi, bukan karena dia merasa baik-baik saja di dekat pria itu. Melainkan, karena dia berusaha untuk tidak terlibat pembicaraan apa pun dengan pria itu yang membuat hubungan mereka bisa terkuak, dimana masa lalu mereka itu adalah sesuatu yang sangat tidak enak untuk diingat. 

Baiklah, sepertinya, Andi harus bisa memahaminya sekarang. 

"Tapi, sekarang, mau tidak mau, kamu itu--"

"Jangan sampai ada yang tau soal hubungan gue sama lo sebelum ini. Gue nggak mau, ada orang yang bertanya soal apa pun yang berkaitan tentang kesialan gue di masa lalu. Lo paham, maksud gue, kan?"

Bagaikan sebuah belati, Anggi menorehkan sayatan kecil dalam hati Andi. Biarpun Andi sadar kalau itu tidak ada apa-apanya dengan perasaan sakit Anggi di masa lalu, tetap saja Andi merasa terluka mendengar hal itu dari bibir Anggi sendiri. 

"Dan satu hal lagi yang gue minta dari lo," tukas Anggi lagi, menatap mata Andi yang sejak tadi tidak berkedip memandangnya. 

"Ini pertama dan terakhir kalinya lo ngikutin gue kayak gini. Dan gue harap seterusnya, lo jangan ada di sekitar gue, entah itu berjarak dua atau pun lima meter. Anggap kita nggak pernah saling kenal. Lo ngerti kan?"

Dan setelah mengatakan hal itu, Anggi dan segala egonya pun langsung pergi dari hadapan Andi. Menyisakan rasa pedih dan sesak di hati laki-laki itu, sebelum akhirnya berpikir keras untuk menuruti semua perkataan sang mantan istri. 

Apa? Haruskah Andi menurutinya kali ini? Sejak dulu, Andi tidak pernah mempedulikan keinginan Anggi atas dirinya. Sekarang, haruskah dia mengikuti ucapan wanita itu sebagai bentuk penebusan dosa? 

"Terus, buat apa gue ke mari, kalo gitu?"

Bersambung

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!