Aku menyambut tangan dan senyum Arbian dengan ekspresi datar. Pun takkala tangannya melingkar melilit pinggangku. Namun, saat berhadapan dengan orang ramai di pesta itu aku memamerkan senyum paling indah yang pernah kumiliki.
Terlebih banyak mata yang memandang ke arah kami yang berjalan saling bergandengan. Diantara senyuman indah yang menyambut kehadiran kami tentunya ada beberapa senyum menyambut sinis.
Aku merapatkan tubuh ke sisi Arbian sehingga posisi kami semakin tanpa jarak.
Dengan sudut ekor mataku, aku melihat wajah itu. Wajah yang telah lama selalu tersenyum kecut saat melihatku. Wajah yang selalu berusaha menggoda lelaki disampingku. Lelaki bergelar suamiku yang telah hampir setahun ini hidup bersamaku sebagai pasangan suami istri.
Pernikahan yang terpaksa dijalani tanpa ikatan cinta. Kami adalah pasangan suami istri karena perjodohan keluarga.
Aku merasakan tubuh Arbi menciptakan jarak saat melintas di depan perempuan itu. Meski tidak seorangpun yang menyadari hal itu, tapi ada tusukan ratusan jarum menembus hatiku. Namun, aku harus kuat untuk menahan emosi. Kuabaikan sikap Arbian, aku tetap memamerkan senyum seolah tak terjadi apa-apa.
Aku memang tidak pernah berharap banyak atas pernikahan ini. Meski telah setahun menjalaninya kami tetap saja merasa jadi orang asing satu sama lain. Hanya didepan orang atau kedua orang tua kami masing-masing kami bersikap mesra. Menjaga sikap agar tidak seorang pun yang mencurigai hubungan kami yang berselimut sandiwara.
Terkadang aku heran sendiri, sampai kapan kami bisa bertahan seperti ini. Hidup serumah tanpa cinta. Hidup sebagai sepasang suami istri tapi seperti dua orang asing. Saling sapa hanya bila ada perlunya saja. Selebihnya saling tidak peduli satu sama lain.
Bagaimana sikap kedua orang tua kami seandainya mereka mengetahui hubungan kami selama ini. Tentu gelombang tsunami akan menghantam hubungan antar kedua keluarga.
Entah siapa yang hebat diantara kami berdua, karena bisa bersandiwara setahun lebih dari usia pernikahan kami.
"Jangan melamun, tetap fokus pada tugasmu." Bisik Arbian lirih ditelingaku. Lihatlah betapa lembut ia berbisik di telingaku dengan tubuh yang merapat seolah takut aku menjauh darinya. Tentu akan banyak pandangan yang salah mengartikan bahasa tubuhnya itu. Sementara hatiku seolah tersiram air es yang paling dingin, membekukan hati dan jantungku. Untuk tidak menyalah artikan sikapnya.
"Aku tidak melamun. Aku hanya merasa tidak enak karena sepasang mata yang terbakar cemburu." Sahutku tidak kalah dingin.
Sekejap bola mata Arbian mengeryit, alisnya membentuk bulan sabit yang terbalik mencerna kalimatku.
"Dia tepat dibelakangmu searah jarum jam sembilan," dengusku. Aku sengaja menyebut posisi perempuan itu agar kepala Arbian tidak berputar mencari sosok Gladys. Kekasih hatinya.
"Dia ada disini?" ucapnya dengan nada kaget. Aku sedikit heran dengan eskpresinya. Apakah dia benar-benar tidak melihat Gladys yang duduk dibaris ketiga urutan tamu undangan? Apa itu hanya eskpresi pura-puranya? Padahal aku sudah melihat Gladys begitu kami memasuki pintu dan jalan bersisian.
"Dia tidak seharusnya berada disini." Aku mendelik ke arah Arbian. Merasa heran atas ucapannya. Ada apa? Tidakkah dia seharusnya senang melihat keberadaan mantan tunangannya itu.
"Aku takut mama akan bersikap kasar padanya," lanjutnya lagi penuh rasa khawatir, dan kata itu kembali menancapkan duri di hatiku. Arbian masih peduli pada Gladys. Perempuan yang telah lima tahun bersamanya sebagai kekasih, bahkan diam-diam mereka telah bertunangan. Namun, karena aku adalah pariban-nya terpaksa harus dia nikahi karena adat kebiasaan di daerahku.
Wajar memang kalau Arbi begitu khawatir. Takut kalau Inang atau mama mertua akan melabrak kembali, Gladys. Mengingat kejadian enam bulan yang lalu.
Saat itu aku dan Inang mau beli lauk di sebuah restoran langganan Inang sehabis belanja di pasar tradisional. Tanpa curiga aku ikuti saja langkah inang menuju restoran itu.
Setelah pesanan Inang selesai dibungkus kami menuju tempat parkir. Tiba-tiba langkah kaki Inang yang berjalan didepanku terhenti. Hampir saja tubuhku menabrak ibu mertua dan tas kresek hitam berisi lauk ditanganku terlepas.
"Ada apa Inang?" tanyaku keheranan.
"Itu mobil Arbi 'kan? Kok ada parkir disini?" Keryit kening ibu mertua penuh keheranan.
"Mungkin lagi makan siang dengan relasi, Nang." Ucapku memutus kecurigaan ibu mertua.
"Kalau cuma bersama relasi, kejauhan kesini. Kan ada kantin perusahaan." Delik Inang curiga berlipat. Kami yang tadinya hendak pulang malah batal masuk mobil. Ibu mertua putar langkah dan kembali memasuki restoran.
Kuikuti langkah Inang dengan perasaan kacau. Aku takut kalau Inang akan berbuat sesuatu dan Arbian akan menuduhku yang bukan- bukan.
Didalam ruangan ibu mertua mengedarkan pandangannya, menyapu setiap orang yang duduk menikmati hidangan di meja. Nun, dipojok menghadap kolam aku melihat punggung kekar itu. Aku mengenalinya dari kemeja yang dia kenakan.
" Sudahlah Inang, buat apa kita samperin Bang Arbi?" Aku berusaha membujuk inang agar mau pulang. Arbi duduk membelakangi jadi tidak menyadari kalau mamanya juga berada di restoran ini.
"Bentar Rania, Inang cuma ingin melihat siapa temannya kemari."
"Eh, itu Arbi! Siapa perempuan yang bersamanya itu?" Ibu mertua menunjuk ke arah tempat duduk Arbi.
Duh, gawat! Perasaanku mulai tidak enak. Aku memang belum jelas melihat siap wanita dihadapan suamiku itu. Karena terhalang vas bunga di atas meja.
Belum sempat aku menarik tangan ibu mertua untuk keluar, langkah beliau sudah melesak mendekati meja tempat Arbi makan.
"Oh, kamu rupanya ya? Berani-beraninya kamu menggoda putraku. Padahal kamu tau dia sudah menikah!" labrak ibu mertua mengagetkan keduanya.
"Mama!" ucap Arbi terlonjak. Wajahnya merah padam menahan rasa malu karena banyak mata yang melihat ke arah mereka. Terlebih lagi Gladys, wajahnya memucat karena kepergok ibu mertua. Buru-buru aku mendekati inang dan berusaha menenangkannya.
"Kamu Rania, apa-apaan ini!" bentak Arbian saat melihatku. Raut wajah gusar nampak jelas tercetak seolah menuduhku kalau semua ini ulahku.
"Jangan hardik Rania. Harusnya kamu malu, Arbi!" Inang meradang mendengar bentakan Arbi padaku.
"Kamu masih menemui perempuan gat*l ini ya."
"Mama, kami cuma makan siang. Tolong Mama jangan bikin malu, Arbi." Arbi berusaha menenangkan Inang yang menatap buas pada mereka sambil berkacak pinggang.
"Kamu tidak tahu malu, Arbi. Dan kamu juga, buat apa masih berhubungan dengan putraku. Kamu tau kan dia sudah beristri."
"Maaf Tante, a-ku tadi tidak sengaja bertemu. Arbi mengajak aku kemari." sahut Gladys terbata. Aku kasihan juga melihatnya karena telah dipermalukan ibu mertua.
"Inang, mari kita pulang. Ini cuma salah paham. Malu, semua orang melihat kita." Aku berusaha menarik lengan ibu mertua. Dengan kesal ibu mertua menurut saja.
"Mama ingin kamu jelaskan semua ini di rumah!" bentak ibu mertua sebelum pergi. Arbi menyugar kasar rambutnya. Menghela napas berat dan tatapannya tajam mengarah padaku.
"Apa lagi yang kau lamunkan, hah!" suara dingin itu menyadarkanku. ***
Catatan.
Pariban : saudara sepupu.
Inang : Panggilan untuk ibu mertua.
Aku tergeragap mendengar teguran itu. Lalu menoleh ke arah Arbian.
"Kamu benar. Inang jangan sampai tau kalau Gladys berada di sini. Kasihan dia." sahutku tak kalah dingin. Walaupun aku berusaha bersikap datar dan acuh. Namun, jauh dilubuk hati perih menyayat hati.
"Bagaimana caranya. Mama juga kan berada disini. Tidak mungkin menghindarinya." nada khawatir itu jelas terpatri hingga ke raut wajahnya. Arbi menatap terus ke arah Gladys, duduk.
"Yah, memang tidak mungkin. Kita kan sama-sama undangan disini. Semoga saja Inang bisa menjaga emosinya kalau melihat Gladys nanti."
"Atau perlu aku peringatkan dia."
" Buat apa. Adanya kamu malah menarik perhatian. Kamu juga harusnya bisa menjaga sikap.Jangan menatap terus ke arah sana. Kalau nggak samperin aja sekalian." dengusku. Karena duduk Arbian menjadi gelisah. Entah karena takut ketahuan sama Inang atau ingin mendekati Gladys.
Semoga saja dia bisa menahan diri jika tebakkan ku yang terakhir betul. Atau Ibu mertuaku juga tidak kumat bar-barnya saat melihat mantan pacar putranya juga berada di gedung ini.
"Eh, menantu Inang sudah datang. Kok gak menyapa Inang. Sudah pulih sakit perutnya?" tiba-tiba suara dari belakang datang menyapa.
"Eh, iya Inang sudah mendingan. Tadi liat Inang asyik ngobrol sama teman Inang." sahutku. Seraya menyalam ibu mertua dan memeluknya. Arbian juga melakukan hal yang sama.
"Oh, tadi Inang ngobrol sama istrinya pendeta. Ayo biar Inang kenalkan sama beliau." Wanita paruh baya yang nampak cantik dan anggun dengan balutan kebaya itu menarik lenganku.
"Aduh, nanti aja Inang. Sepertinya acara udah mau mulai." tolakku halus. Karena memang pembawa acara sudah mengucapkan salam pembuka dan pihak keluarga pengantin pria siap-siap menyambut kehadiran pihak keluarga pengantin perempuan.
Hari ini memang pesta pernikahan dari sepupu Arbian. Pesta adatnya dilaksanakan di sebuah gedung megah dengan dekorasinya yang mewah.
Acara pernikahan di gereja tadi pagi dilaksanakan. Tetapi aku tidak bisa hadir karena mendadak tamu bulananku hadir. Sepanjang pagi perutku mual terus dan melilit. Ibu mertua sampai mengira kalau sakit perutku karena ada hubungannya dengan kehamilan. Sehingga mengiyakan saja saat aku tidak bisa mengikuti prosesi pernikahan di gereja.
Andai saja beliau tahu kalau aku dan putranya belum pernah melakukan hal itu. Meski kami tidur satu kamar, tapi tidak pernah satu ranjang. Mungkin perang dunia ketiga akan terjadi dalam keluarga besar kami.
Aku dan Arbian sebelum menikah telah membuat perjanjian pra nikah, bahwa masing-masing dari kami tidak akan saling menuntut soal kewajiban yang satu itu. Tidak saling mencampuri urusan pribadi masing-masing. Tetapi dihadapan orang banyak terutama keluarga kami harus nampak mesra satu sama lain.
Setahun sudah berlalu pernikahan ini. Kami menjadi sepasang artis yang memerankan peranan dengan sangat piawainya. Terbukti tidak seorangpun yang curiga melihat akting kami.
Andai kami diikutkan dalam sebuah perlombaan, mungkin kamilah sang juaranya. Atas kesuksesan kami menjalankan pernikahan yang penuh kepura-puraan ini. Andai ada lima jempol jari, kami patut diacungi lima jempol itu.
Selama setahun ini, aku yakin Arbian tetap berhubungan dengan Gladys, secara diam-diam di depan publik. Terang-terangan kalau dihadapanku. Karena aku sering memergokinya menelepon atau tanpa sengaja melihat chat mereka. Ini sih karena aku kepo saat ada notifikasi masuk ke WhatShap Arbian.
Lantas terbuat dari apakah hatiku, sampai bisa bertahan hingga hari ini menjadi istrinya. Tepatnya hanya jadi istri pajangan. Orang mungkin melihat kami jadi pasangan yang paling bahagia atau romantis. Tapi menjadi paling dingin bila berada di kamar.
Apakah aku tidak pernah cemburu atau sakit hati? Tentu saja, perasaan itu kerap hadir dihatiku. Lantas sampai kapan aku bertahan dalam sandiwara ini. Apa yang aku perjuangkan sebenarnya. Kenapa aku mau menjalani pernikahan yang menyakitkan ini.
Sepertinya alasanku sangat bodoh. Di zaman yang sudah canggih ini mau-maunya aku menikah karena perjodohan. Aku mau menikah karena dia adalah pariban ku. Ibu mertuaku adalah saudara kandung dari bapak. Kami telah dijodohkan sejak kecil. Dan alasan kami dijodohkan karena Amangboru (mertua laki-laki ) pernah menyelamatkan hidupku, dari sebuah kecelakaan yang hampir merenggut nyawaku kala itu.
Hingga beliau menjadi cacat, kakinya menjadi pincang. Setelah aku dewasa Namboru memintaku untuk dinikahkan dengan Arbian karena tidak suka dengan Gladys. Cerita yang sempat aku dengar mereka malah sempat bertunangan meski hanya dipihak Gladys saja. Dan entah apa sebabnya Inang tidak menyukai Gladys dan menolak jadi menantunya.
Bapak setuju saja dan meminta kesedianku untuk menerima lamaran beliau. Bapak mengingatkan pengorbanan Amangboru dulu. Sehingga aku hanya pasrah dan mau menikahi Arbian.
Walaupun saat itu aku sudah memiliki seorang pacar. Dan aku sangat berharap kelak Robin lah pasangan hidupku. Tetapi tiga tahun pacaran tidak pernah sekalipun dia membicarakan kemana arah hubungan kami. Hingga akhirnya aku meragukannya. Ketika aku mengutarakan niat bapak pun yang hendak menjodohkan aku dengan Arbi, Robin tidak berusaha menahanku.
Aku sangat kecewa saat itu, sehingga aku memutuskan menerima perjodohan itu.
Seminggu sebelum hari H-nya, Arbian mengajakku kesuatu tempat. Ada hal penting yang harus kami bahas.
"Jangan terlalu banyak berharap dari pernikahan ini, Rania." ucapnya datar seraya melemparkan kerikil ke arah danau. Air danau beriak menciptakan gelombang.
"Maksudnya?" aku bingung dengan ucapan itu.
"Kamu tau jelaskan, pernikahan kita tanpa dasar cinta. Aku sudah bertunangan dengan seseorang. Dan ku dengar juga kamu sudah punya pacar. Jadi, saat menikah nanti kita tetap bebas dengan pasangan masing-masing."
Dadaku serasa dihantam palu godam mendengar ucapan itu. Begitu gamblangnya dia bicara. Hendak mempermainkan sebuah pernikahan yang terjalin saklar.
"Jika kamu memang tidak setuju, kenapa tidak menolak saja perjodohan ini. Jangan pernah mempermainkan janji suci pernikahan." ucapku sedikit sesak.
"Andai saja kamu tau usahaku menolak semua ini. Harusnya kamu juga menolak, bukannya menerima begitu saja." dia malah menyalahkan kesediaanku menikahinya.
"Aku hanya menuruti kemauan orang tuaku, baktiku sebagai seorang anak. Jika memang tidak setuju, batalkan saja perjodohan ini. Itu lebih baik daripada bersungut-sungut. Atau kamu ingin aku sendiri yang membatalkannya?" tantangku kesal karena sikapnya yang plin plan.
Calon suami macam apa yang berdiri dihadapanku ini. Tidak punya sikap tegas dalam menentukan masa depannya. Arbian menyugar kasar rambutnya. Wajah tampan itu nampak resah.
"Jika aku menolak sama saja dengan membunuh Mama. Mama memiliki riwayat sakit jantung." desahnya bingung.
"Lantas maumu apa? Menerima tidak menolak juga tidak. Apa kamu ingin pernikahan ini hanya sebuah sandiwara?" ucapku gusar.
"Nah, itu maksudku." seketika Arbi menjentikkan jarinya. Seolah dapat ide cemerlang dari ucapanku. ***
Aku memandang wajah Arbian tanpa kedip. Kata-kata yang barusan keluar dari mulutnya sungguh membuatku syok. Makhluk macam apakah yang berdiri dihadapanku ini. Segitu gilanya dia mencetuskan ide itu.
"Kamu masih waras kah? Sampai melontarkan ide gila itu?" pelotot ku nyaris tak percaya. Pupus sudah rasa kagumku melihatnya. Aku yang tadinya berharap pernikahanku nantinya akan berjalan baik-baik saja. Hanya butuh waktu untuk saling mengenal pribadi masing-masing. Meskipun tanpa didasari cinta. Mungkin seiring waktu rasa itu akan tumbuh.
"Iya, kita terima saja perjodohan ini. Demi menyenangkan hati orang tua kita. Kamu tidaks perlu khawatir aku tidak akan menyentuhmu. Sebaliknya biaya hidupmu aku tanggung. Kamu cuma perlu berakting saja sebagai istri yang baik." ucapnya enteng. Seraya menyodorkan kertas berisi point perjanjian. Dia ingin aku menandatanganinya.
Bagai sebilah sembilu mengiris hatiku mendengar kata itu. Aku tidak sanggup untuk membacanya. Kuremas ujung kertas itu.
"Tidak! Aku tidak mau melakukannya. Biar aku saja yang membujuk Namboru membatalkan perjodohan ini." cecarku dengan nafas tersenggal. Kutinggalkan Arbi begitu saja. Tapi dia mengejarku dan berhasil menarik lenganku.
"Rania, aku mohon. Jangan lakukan itu. Aku tidak akan memaafkanmu bila terjadi sesuatu pada mamaku. Aku akan bayar kamu sebagai kompensasi. Katakan, berapa aku harus bayar. Anggap saja kamu sedang bekerja untukku. Harusnya itu tidak akan bermasalah, karena kita tidak saling cinta."
Plak! Aku menampar pipi Arbian.
Astaga, sombongnya. Aku makin tidak percaya sepicik ini ternyata sosok Arbian yang sukses sebagai seorang pengusaha muda.
"Aku tidak peduli dengan uangmu. Sewa saja orang lain untuk jadi istri bayaranmu." sergahku kasar. Kutinggalkan Arbi begitu saja. Sekalipun dia teriak-teriak memanggil namaku. Harga diriku serasa hancur dengan ide gilanya itu. Terbayang wajah Namboru Imel yang selalu bersikap lembut padaku. Juga wajah Mama dan Bapak yang begitu bahagia menjelang pernikahanku.
Segala sesuatu sudah dipersiapkan. Tinggal menghitung hari pesta itu akan digelar. Kenapa tiba-tiba Arbi menohokku dengan rencana gila itu. Dia ingin pernikahan kami hanya sebatas kertas saja. Padahal janji suci itu akan diikrarkan di depan altar. Dibawah tumpangan tangan Pastor yang akan memberkati pernikahan kami. Janji setia seumur hidup hingga maut memisahkan.
Sungguh, aku tidak bisa membayangkan kalau pernikahan ini akan dibatalkan. Betapa kecewa hati kedua orang tuaku nantinya. Tapi, jika pernikahan ini dilanjutkan tidakkah akan sia-sia belaka juga? Banyak hati yang akan terluka bila hal ini tersingkap. Tapi bila menurutinya pun sama saja resikonya karena akan membohongi banyak orang. Sungguh, tanganku ibarat menggenggam buah simalakama.
Pernikahan itu pun akhirnya terjadi. Tanpa terasa bahkan satu tahun sudah terlampaui. Sejauh ini kami berhasil memerankan lakon masing-masing tanpa cela. Hanya satu yang menjadi kendala. Semua menunggu penuh harapan akan lahirnya seorang cucu ditengah-tengah keluarga besar kami.
Sebuah harapan yang jauh gantang dari api.
Entah apa yang terjadi kala itu di rumah Namboru, keesokan harinya datang kabar buruk kalau suami Namboru Imel masuk rumah sakit. Keadaannya sangat kritis. Namboru meminta pernikahan itu dipercepat dari jadwal. Takut terjadi apa-apa pada Amangboru. Aku tidak berkutik untuk menolak dalam suasana genting itu.
"Menghayal soal apa sih. Jangan membuat mama curiga." sentuhan lembut di lenganku mengalihkan pikiranku yang teringat masa lalu.
"Tidak ada. Aku hanya melihat pasangan pengantin itu." bohongku. Didepan sana di kursi pelaminan aku melihat sepasang pengantin yang tersenyum bahagia.
Beda dengan pernikahanku yang dilakukan secara mendadak, di rumah sakit pula. Bahkan pesta adat belum juga kami laksanakan. Setelah kami resmi menikah, kesehatan Bapak mertua berangsur sembuh. Sudah beberapa kali mertuaku mengusulkan agar pesta adat dilaksanakan. Tapi aku selalu menolak dengan berbagai alasan.
Toh, pesta adat itu bisa dilakukan kapan saja. Jadwal pekerjaan yang padat selalu menjadi alasanku. Bukan soal uang, karena kami sanggup membiayainya. Kalaupun kurang, mertuaku pasti ringan tangan membantu.
"Lebih dari sini kita akan merayakan pesta adat kita." Bisik Arbi lirih. Pikirnya mungkin aku iri pada pasangan pengantin itu.
"Buat apa? Menyempurnakan sandiwara itu ya. Tidak perlu." sahutku dingin. Yah, buat apa merayakan pesta adat kalau kenyataannya pernikahan kami hanya sebuah permainan.
"Rania, sini. Ayo, ambil makanan disini." Ibu mertua melambaikan tangannya ke arahku. Karena saatnya makan siang. Aku berdiri, memutus debat kecil diantara kami. Arbi mengikuti langkahku. Lalu aku antri mengambil makanan yang terhidang di atas meja besar. Kembali duduk di kursi semula. Selesai makan tiba-tiba sesosok tubuh melangkah menghampiri tempat duduk kami.
"Arbi, Arbian kan?" dengung tanya itu bergaung kuat menarik perhatian di sekelilingku. Arbi terlonjak melihat sosok yang berdiri didepannya. Sejenak dia terdiam memutar memori, detik berikutnya suaranya bergema seolah tidak percaya.
"Bastian! Iya 'kan?" keduanya lantas berangkulan. Terdiam sejenak lantas terbahak keras. Aku yang ikutan berdiri merasa salah tingkah karena merasa diabaikan.
"Wah! Makin tampan saja kau, Bro. Sudah sukses ya." keduanya saling bertukar pujian. Hingga akhirnya Arbi disadarkan oleh sesuatu.
"Eh, Bas. Kenalin ini istriku." Aku menyambut uluran tangan Bas yang hangat dan menyebut namaku.
"W-ao. Cantik sekali Mbak Rania." puji Bas tulus. Aku hanya tersenyum jengah mendengar pujian itu.
"Gimana khabarmu, masih jomblo gak." Arbi menohok perut sahabatnya itu. Tawa Bas berderai demi mendengar tanya itu.
"Iya, aku masih jomblo. Tolong dicarikan, hahaha." gelak tawa itu bergema lagi. Entah kenapa aku suka mendengar suara tawa itu. Sepertinya Bas orangnya humoris. Sikapnya santai seolah tanpa beban. Jauh beda dengan Arbi yang agak kaku.
"Kupikir kamu nikahnya sama, Gladys." bisik Bas lirih ke telinga Arbi. Tapi cukup jelas terdengar olehku. Seketika kudukku meremang. Mimik Arbian mendadak berubah. Aku pura-pura tidak peduli.
"Bang, aku sama Inang dulu ya." pamitku pada keduanya.
"Eh, I-iya, Dek." geragap Arbi.
Aku memang sengaja menghindar agar mereka bebas bercerita tentang masa lalu. Kuhampiri ibu mertua yang tengah asyik bercerita dengan besti-nya.
"Arbi mana?" ibu mertua menelisik wajahku.
"Tuh, lagi ngobrol sama teman lamanya, Inang." aku menunjuk ke arah Arbi dengan daguku. Ibu mertua melirik sekilas lalu kembali asyik bertukar cerita.
Huff, aku mendengus lirih. Merasa bosan hanya sebagai penyimak diantara teman-temannya Inang. Belum lagi topik obrolan mereka soal anak cucu kesayangan mereka.
Aku membuka tas dan meraih ponselku untuk mengalihkan kejenuhanku. Aku membuka Istagram, lalu aplikasi face book dan terakhir WhatShap. Tidak ada satu hal pun yang menarik perhatianku. Kusimpan kembali ponsel itu ke dalam tas. Melihat ke arah Arbi dan temannya. Tapi keduanya sudah tidak ada lagi di tempat saat kutinggalkan.
Mataku celingukan mencari sosok Arbi. Tapi tidak juga aku melihatnya. Mendadak aku merasakan perutku penuh. Aku pamit sama ibu mertua hendak ke toilet. Ibu mertua mengangguk dan menunjuk arah toilet berada.
Saat kakiku melangkah menuju toilet, tanganku urung membuka pintu karena mendengar suara yang tidak asing. Sepertinya suara Arbi. Buat apa Arbi berada di toilet wanita? ***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!