NovelToon NovelToon

Balas Dendam Psikopat

BAB 1 AWAL MULA.

Angin kencang berhembus di pantai yang sunyi, mengiringi suara ombak yang samar-samar terdengar di kejauhan. Di sebuah rumah kecil yang sederhana dan usang, bau garam lembap tercium kuat, memenuhi ruangan yang sempit.

Di sudut ruangan, seorang anak kecil duduk meringkuk, menahan tangis yang menggoyangkan bahu kecilnya. Matanya merah dan berair, mencerminkan kesedihan dan kehilangan.

Cahaya senja yang lembut menerobos melalui jendela kecil, menerangi wajah polos anak itu, menambahkan kesan kesepian dan kerentanan. Suasana di rumah itu sunyi dan menyedihkan, seolah-olah angin dan ombak juga merasakan kesedihannya.

Plak! Suara keras terdengar ketika Adiman menampar Cintia, gadis kecil berusia 9 tahun yang menahan tangis.

"Dasar anak tidak tahu diuntung!" bentak Adiman dengan wajah merah padam. "Dengar tidak?!"

Cintia merasakan sakit yang sudah biasa dialaminya. Tendangan dan tamparan dari Ayahnya sudah menjadi rutinitas sejak ibunya meninggal ketika dia berusia satu tahun.

Sekarang, Cintia berusia 9 tahun dan masih terus merasakan siksaan itu.

"Maaf, ya..." ucap Cintia dengan suara tertahan dan bergetar.

Adiman marah lagi dan menendang Cintia sekali lagi.

"Makan!!" teriaknya dengan emosi yang membuncah.

Dengan susah payah, Cintia bangkit dan berjalan terhuyung-huyung menuju meja makan. Badannya penuh lebam dan sakit, tapi dia tetap berusaha untuk tetap positif.

"Ayah seperti ini karena Ayah sayang," batin Cintia. "Ayah tidak mau aku kelaparan."

Cintia memandang Ayahnya dengan mata yang berair, berharap ada sedikit kasih sayang di balik kekerasan itu.

Dengan lemah, Cintia duduk di meja makan dan memulai makanan sederhana yang telah dia masak sendiri. Sejak kecil, dia terbiasa mandiri, menghadapi kenyataan hidup yang pahit.

Semua ini berawal sejak ibunya meninggal. Adiman, ayahnya, berubah menjadi pribadi yang kasar dan kejam. Cintia harus belajar mengurus dirinya sendiri, termasuk memasak.

Masakan seafood menjadi menu utama mereka karena kedekatan rumah dengan pantai. Cintia terbiasa mengolah berbagai jenis seafood seperti ikan, udang, dan kerang.

Saat makan, Cintia tidak bisa menikmati masakannya. Dia terus memikirkan mengapa ayahnya bersikap kejam padanya.

Tangisnya tertahan, dan dia berusaha menelan makanan yang hambar itu. Namun bagaimanapun dia berusaha, dia tidak bisa memakan makanan itu.

Meskipun hidup di pesisir pantai, Cintia menyimpan rahasia pahit. Setiap kali mengonsumsi olahan laut seperti udang, ikan atau kepiting, kulitnya bereaksi secara ekstrem.

Gatal yang tak tertahankan, rasa sakit yang menghantam dan bintik-bintik merah yang menjalar, menambah penderitaan Cintia.

Siksaan fisik dan emosional yang dialaminya semakin memburuk karena ayahnya, Adiman, terus melakukan kekerasan.

Cintia merasa terjebak dalam kesengsaraan yang tak berakhir. Dia hanya bisa menerima nasib dengan pasrah, tanpa kekuatan untuk melawan atau membela diri.

Kehidupan Cintia terasa seperti beban berat yang tak terangkat.

"Masih tidak mau dimakan?!" teriak Adiman, emosinya membuncah. Tendangan bertubi-tubi membuat Cintia tersungkur jauh ke lantai, piring dan lauk berserakan.

"Kalau kamu seperti ini, saya tidak akan membawa hasil laut lagi!" Adiman mengancam.

Cintia kecil menangis, kondisinya memilukan. "Maaf, yah..."

Adiman mengusap wajahnya, kenangan pahit muncul. Istri tercintanya, Irma, meninggal dalam kecelakaan di bukit jurang dekat rumah mereka. Mereka sedang berhiking bersama Cintia yang baru berusia satu tahun.

Irma terjatuh saat menyelamatkan Cintia yang merangkak terlalu dekat dengan tepian jurang. Kenangan itu terus menghantui Adiman.

"Hah! Hanya maaf yang kamu ucapkan, tapi kamu selalu seperti ini! Saya benci kamu! Kamu bukan anak saya!" Adiman meledak.

Cintia terguncang, air matanya mengalir deras. Dia tidak mengerti mengapa ayahnya membencinya.

Sejak saat itu, Adiman benar-benar membenci Cintia. Rasa kesal dan dendam menghantui hatinya. Meskipun Cintia adalah darah dagingnya sendiri, Adiman tidak bisa memaafkan anaknya karena merasa bahwa kehadiran Cintia adalah penyebab utama kematian Irma, istri tercintanya.

Rasa bersalah dan kesedihan yang mendalam membuat Adiman menyalahkan Cintia atas kejadian tragis itu. Dia tidak bisa melihat Cintia tanpa merasa sakit hati dan marah.

Kebencian Adiman terhadap Cintia semakin mendalam seiring waktu, membuat hubungan ayah-anak mereka semakin retak.

"Maaf yah hiks.." ucap Cintia masih dengan kondisi yang memilukan Cintia berusaha untuk mendekat ke arah sang Ayah mengesot-ngesot dilantai dingin. Badan yang terus bergetar.

Cintia berusaha menggenggam tangan sang Ayah, bentuk pengampunan dia karena sudah membuat sang ayah marah.

BUGH!

Tendang Adiman pada akhirnya, membuat tubuh Cintia mental kebelakang.

"Semakin kamu seperti ini, semakin saya benci kamu!!" ucap Adiman masih tersulut emosi.

BRAK! Suara pintu yang terbanting kencang, membuat rumah ikutan bergetar. Adiman keluar, dia sudah tidak tahan melihat Cintia darah dagingnya.

Seperginya Adiman, Cintia tergletak dilantai masih dengan kondisi yang memilukan. Darah yang berkecucuran dari telinga dan hidung, kulit badan yang sudah keluar bintik-bintik merah. Dan rumah kecil yang seperti kapal pecah.

Kondisi yang seperti itu sudah sering terjadi, setiap hari dan pada akhirnya Adiman yang keluar dari rumah, dan kondisi Cintia yang terbaring pingsan dilantai yang dingin dan lembab.

Tapi sebelum pingsan Cintia selalu berharap akan semua hal baik terjadi mendatang.

"Cintia harap ayah sayang sama Cintia." ucapnya mengingat perlakuan yang Adiman lakukan.

"Cintia sayang ayah."

"Cintia juga rindu ibu."

"Cintia ingin menyusul ibu yang sudah bahagia dilangit, tapi Cintia juga sayang sama ayah, Cintia tidak mau ninggalin ayah sendirian."

"Bu, apakah boleh Cintia berharap. Suatu saat nanti ayah bisa sayang ke Cintia, ayah yang menyaingi putrinya bu. Ayah yang jadi garda terdepan Cintia suatu saat nanti."

BERSAMBUNG.

Next episode.

Cintia terbangun dari pingsan nya, ntah sudah berapa lama Cintia tertidur dilantai yang dingin kotor, lembab.

Hal pertama yang dia lakukan ialah, keluar memotong lidah buaya yang ada diteras rumah. Kenapa lidah buaya ? Karena cuma itu yang bisa Cintia lakukan ketika kondisi dia seperti sekarang ini, kulit yang masih gatal, badan yang masih sakit-sakit penuh luka dan darah.

Disaat Cintia sedang fokus mengobati luka demi luka, dan dengan susah payah ia meraih bagian belakang punggung yang itu memang amat sangat susah untuk tangan semungil Cintia.

Shhh...

"Sedikit lagi," ucap Cintia masih berusaha meraih bagian belakang.

BAB 2 BULLYING SOSIAL.

Shhh...

"Sedikit lagi..." Cintia menggigit bibirnya, menahan nyeri yang menjalar hingga ke punggung. Tangannya yang mungil gemetar karena berusaha meraih luka di punggungnya. Gel lidah buaya yang ia pegang mulai menetes, membuat tangannya licin. Tapi ia tidak peduli. Sudah biasa baginya melakukan semuanya sendiri.

Sret.

"Akhirnya..." ia berbisik lega ketika berhasil mengoleskan gel dingin itu ke bagian luka yang sulit dijangkau. Rasanya sedikit lebih baik, meski perih tetap menjalar. Cintia menarik napas panjang, mencoba menguatkan dirinya. Namun, suara langkah kaki di belakangnya membuatnya tersentak.

"Heh, kamu lagi ngapain di sini?"

Seorang anak laki-laki berdiri di belakangnya. Umurnya hampir sama dengan Cintia, mungkin sedikit lebih tua. Rambutnya acak-acakan, wajahnya terlihat penasaran sekaligus bingung.

Cintia buru-buru menutupi punggungnya dengan baju yang sudah robek di beberapa bagian. "Jangan ganggu aku," katanya dingin, matanya menatap tajam anak laki-laki itu.

Anak itu tidak bergeming. "Kamu luka, ya?" tanyanya polos.

Cintia tidak menjawab. Ia berusaha berdiri meskipun tubuhnya masih terasa lemas. Gel lidah buaya ia pegang erat-erat, seolah benda itu adalah satu-satunya yang bisa melindunginya.

"Hei, aku cuma tanya. Kamu nggak usah galak gitu, kali." Anak laki-laki itu mendekat, membuat Cintia mundur selangkah.

"Apa maumu?" tanya Cintia tajam.

Anak itu menggaruk kepala. "Aku cuma penasaran. Kamu kayaknya sering luka-luka, ya? Di sekolah juga aku sering lihat kamu diem terus."

"Pergi!" bentak Cintia. Matanya mulai berkaca-kaca, tapi ia tidak ingin terlihat lemah di depan orang lain, bahkan anak ini.

Anak itu akhirnya mengangkat tangan, menyerah. "Oke, oke. Aku pergi. Tapi..." Ia menatap Cintia sekali lagi sebelum berbalik. "Kamu nggak apa-apa, kan?"

Cintia tidak menjawab. Ia hanya memalingkan wajah, menunggu anak itu benar-benar pergi sebelum akhirnya ia duduk kembali di atas batu besar di tepi pantai. Luka-lukanya masih perih, tapi lebih perih lagi rasanya di dalam hatinya.

Keesokan harinya, Cintia berangkat ke sekolah seperti biasa. Tubuhnya masih terasa sakit, tapi ia sudah terbiasa. Ia berjalan dengan langkah pelan, kepalanya tertunduk. Seragamnya tidak pernah rapi, dan sepatu lusuhnya sudah mulai berlubang di beberapa bagian.

Masuk ke gerbang sekolah selalu menjadi momen yang menegangkan bagi Cintia. Bukan karena ia takut terlambat, tapi karena ia tahu apa yang menunggunya di dalam.

"Cintia datang tuh!"

Suara seorang anak perempuan langsung terdengar begitu ia melewati pintu kelas. Anak-anak lain segera menoleh, dan beberapa dari mereka mulai tertawa.

"Lihat deh, tangannya luka-luka lagi!" seru Luna, gadis yang paling populer di kelas. Ia berdiri dengan tangan bersilang di dada, wajahnya dipenuhi senyum mengejek.

"Kayaknya dia abis jatuh dari pohon, deh," tambah salah satu temannya.

Cintia tidak menjawab. Ia hanya berjalan menuju bangkunya yang berada di pojok kelas. Namun, Luna tidak membiarkannya begitu saja.

"Eh, aku pinjem bukumu dong, Cintia." Luna mengambil buku catatan Cintia tanpa menunggu jawaban.

"Luna, jangan..." Cintia mencoba merebut bukunya kembali, tapi Luna dengan cepat menariknya ke atas, di luar jangkauan Cintia.

"Lho, kamu marah? Aku kan cuma mau pinjem," kata Luna dengan nada mengejek.

Sret!

Luna merobek halaman pertama buku itu, membuat Cintia terkejut.

"Luna! Kenapa kamu—"

"Ups, tanganku keseleo," jawab Luna sambil tertawa. Teman-temannya ikut tertawa, membuat seluruh kelas gaduh.

Cintia hanya bisa menggigit bibirnya, menahan air mata. Ia tahu, jika ia menangis sekarang, mereka hanya akan semakin senang.

Hari-hari seperti itu sudah menjadi rutinitas bagi Cintia. Di rumah ia harus menghadapi ayahnya yang kasar, sementara di sekolah ia menjadi bahan olokan. Tidak ada tempat yang aman baginya.

Saat jam istirahat, Cintia memilih untuk duduk sendirian di taman belakang sekolah. Ia memeluk lututnya, menundukkan kepala agar tidak ada yang bisa melihat air matanya.

"Aku benci mereka..." gumamnya pelan. "Aku benci semuanya..."

Pikirannya mulai dipenuhi kebencian. Ia membayangkan bagaimana rasanya jika suatu hari ia bisa membuat semua orang yang menyakitinya merasakan sakit yang sama. Tapi di sisi lain, ia juga merasa lelah.

"Kenapa aku harus lahir kalau hanya untuk menderita?" bisiknya.

Namun, meskipun pikirannya dipenuhi kebencian, ada bagian kecil dari dirinya yang masih berharap.

Dalam kesendiriannya, Cintia sering melamun, membayangkan kehidupan yang lebih baik. Ia membayangkan tinggal di tempat yang aman, di mana tidak ada yang menyakitinya.

Kadang-kadang, ia memimpikan seorang pahlawan yang datang untuk menyelamatkannya. Namun, setiap kali ia membuka mata, kenyataan selalu menghantamnya kembali.

"Aku harus kuat," katanya pada dirinya sendiri. "Aku harus bertahan. Kalau aku nggak bertahan, siapa yang akan melawan mereka?"

Namun, kekuatan itu tidak selalu cukup. Ada hari-hari di mana ia merasa sangat lelah, bahkan untuk sekadar bangun dari tempat tidur.

Suatu sore, setelah sekolah, Cintia kembali ke pantai yang sama. Luka di punggungnya sudah mulai sembuh, tapi hatinya masih terasa sakit. Ia membawa gel lidah buaya, seperti biasa, untuk mengobati luka-lukanya.

Saat ia sedang mengoleskan gel itu ke lengannya, suara langkah kaki terdengar lagi.

"Kamu di sini lagi."

Cintia menoleh dan melihat anak laki-laki yang sama seperti sebelumnya.

"Kamu ngapain di sini?" tanya Cintia dengan nada dingin.

Anak itu duduk di atas pasir, tidak terlalu dekat dengan Cintia. "Aku suka ke sini. Rasanya tenang. Kamu juga, ya?"

Cintia tidak menjawab. Ia kembali fokus pada lukanya.

"Kenapa kamu luka-luka terus?" Anak itu menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu.

"Itu bukan urusanmu," jawab Cintia.

Anak itu menghela napas. "Namaku Araf. Kamu siapa?"

Cintia tidak menjawab. Namun, setelah beberapa saat, ia akhirnya berkata pelan, "Cintia."

"Aku nggak punya teman," kata Araf tiba-tiba. "Jadi... kalau kamu mau, kita bisa jadi teman."

Cintia menatapnya, bingung. "Kenapa kamu mau jadi temanku?"

Araf mengangkat bahu. "Aku juga sendirian. Orangtuaku udah nggak ada. Kadang aku ngerasa... nggak ada yang peduli sama aku."

Cintia merasakan sesuatu dalam dirinya. Ia tidak tahu apa itu, tapi ada sedikit rasa hangat yang muncul di hatinya.

Tapi sebelum ia sempat menjawab, Araf berkata, "Kamu tahu nggak, suatu hari nanti aku mau nolong anak-anak kayak kamu. Aku mau jadi orang yang kuat, supaya aku bisa bantu mereka."

Cintia hanya diam. Kata-kata Araf terasa aneh baginya, tapi entah kenapa ia ingin percaya.

"Apa kamu percaya sama aku?" tanya Araf tiba-tiba.

Cintia menatapnya, ragu-ragu. Akhirnya, ia menjawab pelan, "Aku nggak tahu..."

Araf menatap Cintia dengan serius. "Kalau kamu nggak percaya sama aku, apa kamu masih percaya sama dunia ini?"

Cintia tidak menjawab. Ia hanya menatap laut yang tenang di depannya, sementara pikirannya dipenuhi pertanyaan.

BAB 3 WAJAH TERSEBUNYI.

"Kalau kamu nggak percaya sama aku, apa kamu masih percaya sama dunia ini?"

Pertanyaan Araf menggema di kepala Cintia, meskipun sudah bertahun-tahun berlalu sejak ia pertama kali mendengarnya di pantai itu. Dulu, ia tidak menjawab. Ia tidak tahu bagaimana harus menjawab. Dan mungkin, hingga kini pun, ia tetap tidak tahu.

Kini, Cintia adalah seorang perempuan dewasa. Ia tinggal di Tamansari, sebuah daerah kecil di Jawa Barat yang tenang, tapi cukup ramai oleh wisatawan. Tamansari terkenal dengan suasana pedesaannya yang asri, dan bagi banyak orang, tempat itu terasa seperti sebuah pelarian dari hiruk pikuk kota besar. Namun, bagi Cintia, Tamansari adalah tempat untuk bersembunyi.

"Cintia, tolong ambilin barang di rak paling atas, ya. Aku nggak sampai," kata Bu Rini, pemilik toko kecil tempat Cintia bekerja.

Cintia mengangguk sambil tersenyum. "Iya, Bu. Sebentar."

Ia meraih kotak berisi beberapa barang dengan mudah karena tubuhnya yang tinggi. Dengan cekatan, ia menyerahkannya kepada Bu Rini.

"Terima kasih, ya, Cintia. Kamu memang andal," puji Bu Rini dengan nada ceria.

"Iya, Bu. Sama-sama," jawab Cintia santai, senyumnya tetap terpasang.

Di mata orang-orang sekitar, Cintia adalah sosok yang ceria dan ramah. Ia selalu tersenyum kepada pelanggan, berbicara dengan sopan, dan tidak pernah menolak permintaan siapa pun. Namun, meskipun begitu banyak orang yang menyukai kepribadiannya, tidak ada satu pun yang benar-benar mengenalnya.

"Aku heran deh sama dia," bisik salah satu pelanggan kepada temannya. "Dia itu kayak orang baik banget, tapi ada yang aneh, nggak sih? Kayak... dia terlalu sempurna."

Temannya mengangguk setuju. "Iya, aku juga ngerasa begitu. Kadang dia terlalu tenang. Kayak ada sesuatu yang dia sembunyiin."

Mereka tidak tahu, di balik senyum Cintia yang hangat, ada luka yang belum pernah sembuh. Luka itu sudah menjadi bagian dari dirinya, seperti bekas luka di punggungnya yang kini tertutup sempurna oleh seragam kerjanya.

Di sela pekerjaannya, Cintia sering melamun. Pikirannya kembali ke masa lalu, ke pantai tempat ia bertemu dengan Araf. Ia masih ingat wajah anak itu, bagaimana matanya yang polos menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu.

"Apa kamu masih percaya sama dunia ini?"

Pertanyaan itu terus menghantuinya. Saat itu, Cintia kecil tidak bisa menjawab karena ia tidak tahu apa yang harus ia percayai. Dunia yang ia kenal hanyalah tempat yang penuh dengan kebencian dan kekerasan.

"Aku nggak percaya sama siapa pun," gumamnya pelan saat sedang membereskan barang di rak.

"Eh, kamu ngomong apa, Cin?" tanya Bu Rini yang tiba-tiba muncul di belakangnya.

Cintia tersentak. "Oh, nggak, Bu. Aku cuma ngomong sama diri sendiri."

Bu Rini tertawa kecil. "Kamu ini aneh, ya. Tapi nggak apa-apa. Yang penting kerjaan beres."

Cintia hanya tersenyum dan melanjutkan pekerjaannya. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa tidak ada seorang pun yang bisa benar-benar memahami apa yang ia rasakan.

Hari itu, toko tempat Cintia bekerja mulai sepi saat malam tiba. Tamansari memang cenderung lengang setelah matahari terbenam, terutama di hari-hari biasa.

Cintia duduk di belakang meja kasir, memainkan pulpen di tangannya sambil melihat ke arah pintu. Udara malam terasa dingin, dan suara jangkrik mulai terdengar dari luar.

Tiba-tiba, pintu terbuka, dan seorang pria masuk. Wajahnya tidak terlalu familiar bagi Cintia, tapi ada sesuatu dalam tatapannya yang membuatnya merasa tidak nyaman.

"Selamat malam, Mas. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Cintia dengan senyum profesionalnya.

Pria itu tidak langsung menjawab. Ia hanya berjalan perlahan di dalam toko, melihat-lihat barang yang dipajang. Suasana menjadi canggung, dan Cintia mulai merasa waspada.

"Aku cari sesuatu yang bisa dipakai buat... melindungi diri," kata pria itu akhirnya. Suaranya pelan, hampir seperti bisikan.

Cintia mengerutkan kening. "Melindungi diri? Maksudnya, Mas butuh sesuatu seperti semprotan merica atau alat keamanan lainnya?"

Pria itu menatapnya tajam, membuat Cintia merasa semakin tidak nyaman. "Kamu nggak ngerti maksudku, ya?"

Cintia mencoba tetap tenang. "Maaf, Mas. Di sini kami nggak jual barang seperti itu. Mungkin Mas bisa coba cari di toko lain."

Pria itu tersenyum kecil, tapi senyumnya terasa dingin. "Ya, sudah. Kalau gitu, aku pergi dulu. Tapi..." Ia berhenti sejenak di dekat pintu. "Hati-hati, ya. Dunia ini nggak seaman yang kamu kira."

Cintia tidak menjawab. Ia hanya menatap pria itu keluar dari toko, lalu buru-buru mengunci pintu. Jantungnya berdegup kencang, dan ia merasa ada sesuatu yang salah.

Setelah toko tutup, Cintia berjalan pulang melewati jalan setapak yang gelap. Udara malam semakin dingin, dan suara angin membuat bulu kuduknya meremang. Ia mempercepat langkahnya, berharap segera sampai di rumah kontrakannya yang kecil.

Namun, di tengah jalan, ia melihat seseorang berdiri di bawah lampu jalan. Sosok itu tampak familiar, tapi ia tidak yakin.

"Cintia?"

Suara itu membuatnya berhenti. Ia menatap sosok itu dengan mata terbelalak. "Araf?"

Pria itu tersenyum. Wajahnya kini lebih dewasa, tapi Cintia bisa mengenali tatapan mata yang sama. Tatapan yang pernah menanyakan apakah ia masih percaya pada dunia ini.

"Apa kabar?" tanya Araf sambil melangkah mendekat.

Cintia tidak menjawab. Ia hanya berdiri diam, mencoba memahami apa yang sedang terjadi.

"Aku tahu kamu pasti kaget," kata Araf lagi. "Tapi aku cuma ingin tahu... apa kamu sudah menemukan jawaban?"

"Jawaban apa?" tanya Cintia akhirnya, suaranya terdengar pelan.

"Jawaban dari pertanyaanku waktu itu," jawab Araf. "Apa kamu masih percaya sama dunia ini?"

Cintia menatapnya dengan mata yang penuh emosi. Ia ingin menjawab, tapi kata-kata itu terasa terlalu sulit untuk diucapkan.

"Apa kamu masih percaya, Cintia?" ulang Araf, suaranya terdengar lebih serius.

Cintia menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang tiba-tiba ingin keluar. Ia tahu bahwa ini adalah pertanyaan yang tidak bisa ia hindari lagi. Tapi... apa ia punya jawabannya?

Araf menatapnya, menunggu jawaban. "Kalau kamu nggak percaya, apa kamu masih punya alasan untuk bertahan?"

Cintia merasa dunia yang ia kenal sudah lama berubah. Setiap hari ia berusaha memahami bagaimana hidup dalam dunia ini tanpa terus terjebak dalam masa lalu yang kelam. Di Tamansari, ia menemukan sebuah ketenangan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Namun, di balik kedamaian itu, ada rasa takut yang selalu menggerogoti hatinya. Takut akan kehadiran masa lalu yang bisa kapan saja kembali menghantui.

Ia sering mengisi waktu luangnya dengan membaca buku di taman kecil dekat rumah. Buku-buku itu menjadi pelariannya, sebuah cara untuk menyembunyikan diri dari kenyataan yang terkadang terlalu berat untuk ditanggung. Namun, setiap kali ia membaca tentang kebaikan manusia, tentang harapan dan kasih sayang, ia merasa ada yang tidak pas dengan dirinya. Bagaimana mungkin ia bisa merasakan hal yang sama ketika dunia yang ia alami begitu berbeda?

Di toko, ia sering mendengar cerita dari pelanggan tentang kehidupan mereka, tentang kebahagiaan dan kesedihan, tentang harapan dan kekecewaan. Setiap cerita itu memberikan warna baru pada pandangannya tentang dunia, tapi tidak pernah cukup untuk menjawab pertanyaan yang terus mengganggunya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!