NovelToon NovelToon

Kaelyn For Dante

Pertemuan

Siang ini jam kelas 12 melakukan pelajaran olahraga, Mereka akan bermain basket di lapangan sekolah, seperti biasa semua anak-anak akan menonton dan menikmati permainan anak kelas 12 terutama para cowoknya.

“Kae, lihat deh! Dante lagi main basket!” seru Akira sambil menggoyang-goyangkan bahu sahabatnya yang duduk malas di bangku kelas.

Kaelyn menguap kecil lalu melirik ke arah lapangan. “Males ah. Dante itu kayak es batu. Gak bisa digodain, gak seru.”

Akira mengerutkan kening. “Dia cool, ganteng, ya kali gampang digoda.”

“Mending kak Ethan, deh. Dia tuh sweet banget, tau!” Kaelyn mengedip-ngedipkan mata sambil tertawa.

Akira tertawa geli. “Ethan boleh juga sih. Ayo yuk, nonton mereka!” Tanpa menunggu jawaban, dia menarik tangan Kaelyn keluar kelas.

Lapangan basket sudah ramai oleh para siswi yang bersorak memanggil nama-nama pemain favorit mereka. Kaelyn dan Akira duduk santai di tepi rerumputan, hanya saling berbisik dan cekikikan sendiri.

Hingga—BUKK!

Sebuah bola basket melayang deras dan menghantam tepat di kepala Kaelyn. Ia terhuyung, memegangi pelipisnya sambil mengerang pelan.

“Are you okay, bebb?!” Akira langsung panik, menahan tubuh Kaelyn yang mulai pusing.

Ethan menghampiri mereka dengan napas sedikit terengah. “Lo nggak apa-apa? Maaf ya, temen gue nggak sengaja.” Ia mengusap kepala Kaelyn dengan lembut.

Kaelyn memicingkan mata. “Enak aja cuma maaf. Mana bolanya? Siapa yang lempar?!” Ia berdiri, meskipun tubuhnya sedikit oleng.

“Kae, udah yuk, balik ke kelas.” Akira menahan tangan Kaelyn, tahu persis kalau sahabatnya ini bukan tipe yang terima perlakuan semena-mena.

“Nggak.” Kaelyn menunduk mengambil bola yang jatuh di rerumputan. Pandangannya langsung mengarah pada sosok dingin di tengah lapangan—Dante Rafaelle.

Ia melangkah mendekat, menatap tajam pria tinggi dengan hoodie hitam dan tatapan datar itu.

“Minta maaf, atau gue balas.” Ucapnya tegas, berdiri hanya beberapa jengkal dari Dante.

Dante hanya diam. Sudut bibirnya terangkat sedikit, sebuah senyum yang terlalu samar untuk dibilang ramah.

Kaelyn mengernyit. “Cepet minta maaf.” Tangannya mulai memantul-mantulkan bola ke lantai.

Semua pemain dan penonton terdiam. Tak ada yang pernah menantang Dante seperti ini.

Dan TAP!

Bola itu menghantam kening Dante. Tepat sasaran.

“Rasain! Gimana? Sakit, kan? Wleee~” Kaelyn mencibir, lalu berbalik meninggalkan lapangan.

Ethan nyaris tertawa keras, menahan geli melihat Dante yang terpaku tak bereaksi.

“Dante…” ucap Ethan pelan, melirik sahabatnya.

Dante tidak menjawab. Ia hanya mengambil bola, melemparkannya ke ring, lalu berjalan keluar lapangan.

Di ruang ganti, wajah Dante tetap dingin, tapi sorot matanya lain.

“Cewek sinting...” gumamnya pelan.

Tapi ada senyum di sana—senyum tipis yang menandakan satu hal: ia tertarik.

Kaelyn Reed. Nama yang dengan cepat ia cari tahu. Gadis yang berani memukul Dante Rafaelle pakai bola basket di depan semua orang.

Dante sudah menandai gadis itu, takkan di biarkan seorang yang bernama Kaelyn Reed bersekolah dengan tenang mulai dari sekarang.

Di kantin, Kaelyn sedang menikmati susu kotaknya. Tenang. Bahagia. Lupa soal tadi.

Sampai…

CRUTT!

Sekotak susu diremas dari belakang, semburannya membasahi wajah Kaelyn.

Semua orang menoleh. Ethan membelalak. Dan Dante—dengan langkah santai dan senyum miring—melenggang pergi sambil berkata, “Double kill.”

Itu... pertama kalinya semua orang melihat ekspresi lain dari Dante Rafaelle.

Kaelyn berdiri, wajahnya merah padam. “DANTEEEE!!!”

Tapi cowok itu hanya mengacungkan jari tengahnya tanpa menoleh, meninggalkan Kaelyn dalam genangan amarah dan susu kotak.

Kaelyn mengepalkan tangan. Oke. Permainan dimulai, cowok sok cool!

langit yang cantik

Kaelyn menuju toilet untuk membersihkan wajah dan bajunya yang terkena susu. Ia mengganti seragamnya dengan hoodie yang memang selalu ia bawa setiap hari.

“Sialan... gue bakal balas lu, Dante,” gumam Kaelyn kesal.

Saat keluar dari toilet, Kaelyn mendapati Dante berdiri bersandar di dinding, tepat di depan pintu. Satu tangannya berada di dalam saku, sementara tangan lainnya sibuk dengan ponsel.

“Lo lagi? Maksud lo apa sih gangguin gue?” omel Kaelyn sambil memukul lengan Dante.

“Gak ada maksud apa-apa. Mana seragam lo, biar gue cuci,” ucap Dante sambil mengadah telapak tangannya.

“Gak usah! Gue bisa cuci sendiri!” sahut Kaelyn, hendak berlalu. Tapi Dante tiba-tiba menggerakkan kakinya ke depan, membuat Kaelyn tersandung dan jatuh.

“Kalau jalan, pake mata,” ucap Dante santai, meninggalkan Kaelyn yang masih duduk di lantai.

“Dante sialan!” geram Kaelyn sambil melempar tas berisi seragamnya. Sayang, tidak mengenai Dante.

Bagi Dante, ini adalah hiburan baru. Mengganggu Kaelyn ternyata sangat menyenangkan.

Jam sekolah pun usai. Dante menuju parkiran, menaiki motor sport miliknya, dan mengenakan helm full-face. Seperti biasa, semua mata tertuju padanya. Idola sekolah—cool, misterius, dan tak tersentuh. Banyak siswi menyukainya, tapi tak satu pun berani mendekat.

Sementara itu, Kaelyn keluar dari kelas dan menuju lobi untuk menunggu jemputan. Hari ini jelas bukan harinya—berkat ulah Dante.

Dante lewat di depannya. Mereka sempat saling lirik, tapi Kaelyn langsung mengacungkan jari tengah padanya. Dante membalas dengan menggeber motornya, lalu melaju cepat.

“Apaan sih yang disuka anak-anak sini sama bocah kulkas itu? Rese banget jadi orang,” Kaelyn menggerutu, lalu menarik tudung hoodienya ke atas.

Tak lama, jemputannya datang. Ia masuk ke dalam mobil dan langsung pulang.

Malam harinya, Dante dan teman-temannya sedang nongkrong di markas—tempat mereka biasa kumpul, ngopi, atau sekadar buang waktu. Tempat itu dipenuhi anak basket dan anak geng motor yang semuanya cowok. Dante adalah ketua mereka.

“Kaelyn Reed. Cewek yang tadi siang ngelempar bola ke ketua kita,” buka Edward sambil menghisap rokok.

“Cantik sih... sayangnya tengil banget. Dante pasti bete banget liat tuh cewek,” Angkasa ikut menimpali.

“Tapi dia cukup famous, bro. Buktinya diincer Bastian tuh,” Edward menunjuk ke arah Bastian yang sibuk dengan ponselnya.

“Susahlah, bro. Tu cewek tuh kayak nggak bisa didekati. Friendly iya, tapi digoda kagak mempan, digombalin malah diketawain,” kata Bastian sambil geleng-geleng kepala.

“Tapi Dante bales tuh cewek di kantin tadi. Gue liat sendiri,” Ethan akhirnya angkat bicara.

“Hah? Serius? Gila… bisa-bisa tu anak kabur dari sekolah,” Angkasa berseru sambil tertawa.

Mereka langsung teringat kejadian dengan Valery —cewek “pick me” yang sok akrab dan sering ngeganggu Dante. Rumornya, Valery pindah sekolah gara-gara dipermalukan Dante.

“Dante kalo udah ngebales, nggak main-main sih,” Ethan terkekeh membayangkan ekspresi Kaelyn.

Tak lama, Dante datang dan bergabung. Seperti biasa, ia terlihat dingin dan tidak ramah.

“Lo oke kan, bos?” tanya Ethan sambil menepuk bahu Dante.

Lelaki itu hanya mengangkat sebelah alisnya. Dari semua orang di sana, hanya Ethan yang paling dekat dengannya—selain karena mereka sepupu, Ethan juga wakil ketua geng.

“Gimana menurut lo Kaelyn Reed?” tanya Ethan saat mereka duduk di taman belakang markas, masing-masing dengan sebatang rokok di tangan.

“Not bad,” jawab Dante santai.

“Jangan sampe anak orang minta pindah sekolah lagi, Dan,” ucap Ethan setengah bercanda, setengah memperingatkan.

“Huh… gue ngerasa seru aja ganggu dia. Beda dari cewek lain. Biasanya ngebosenin.”

Dante tersenyum miring.

“Naksir, nih?” Ethan melirik penasaran.

“Ogah. Siapa juga yang mau sama cewek sinting itu.”

Namun, ketika mengingat ekspresi Kaelyn yang mencibirnya siang tadi, Dante tersenyum tipis.

“Langit yang cantik…” gumamnya pelan.

“Apaan?” tanya Ethan, otomatis menatap ke langit yang menurutnya… biasa aja.

Dante hanya diam, menghisap rokoknya lagi, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tapi satu hal pasti: Kaelyn Reed, si cewek bar-bar itu, sudah berhasil menarik perhatiannya.

headshot

Pagi itu, langit Jakarta terlihat cerah dengan sedikit awan menggantung. Kaelyn bersiap ke sekolah, mengenakan jaket jeans favoritnya dan mengikat rambutnya dalam kuncir kuda. Di halaman rumah, motor sport pemberian om-nya sudah menunggu.

“Dianter supir aja, Kae,” kata ayah Kaelyn, menatap putrinya dengan kekhawatiran. “Bahaya bawa motor sendiri.”

“No, Pa. Aku pake motor aja,” jawab Kaelyn cepat. Ia mencium tangan ayahnya dan langsung naik ke motor, melaju menuju sekolah dengan semangat.

Sampai di sekolah, Kaelyn memarkirkan motornya di deretan parkiran siswa. Matanya langsung menangkap motor sport hitam milik Dante. Ia ingat betul suara knalpot motor itu yang digeber cowok culas itu kemarin. Senyum nakal merekah di bibirnya.

“Rasain lo, kulkas dua pintu,” gumam Kaelyn sambil jongkok dan membuka tutup angin ban belakang motor Dante. Ia menekan sedikit hingga ban itu mengempis perlahan. Kepuasan tergambar jelas di wajahnya.

Dengan langkah ringan dan bersenandung kecil, Kaelyn menuju kelasnya. Ia duduk di bangkunya, menyandar santai sambil memandangi langit-langit kelas.

“Kae, nanti pulang sekolah lo kemana?” tanya Akira sambil menarik kursi dan duduk di sebelahnya.

“Ada eskul sih, kayaknya...” jawab Kaelyn, namun kemudian ia terdiam, duduk tegak seketika.

“Anjiir! Gua lupa! Gua ikut klub basket cewek! Gilaaa, jangan sampe ketemu si cowok nyebelin itu!” Kaelyn mengacak rambutnya sendiri frustasi.

Akira tertawa geli. “Semoga mentornya Kak Ethan, kan keren tuh.”

“Mampus gua kalo sampe mentor gua si kulkas dua pintu,” desah Kaelyn sambil menelungkup di meja.

Bel pelajaran berbunyi. Mereka pun memulai hari dengan belajar. Meski Kaelyn masih terganggu pikiran soal eskul nanti, ia tetap berusaha fokus.

Saat jam istirahat, Kaelyn dan Akira hendak ke kantin, namun bayangan kejadian “semburan susu” membuat mereka mengurungkan niat. Mereka membeli camilan dan duduk di taman dekat lapangan.

“Kae, lo tau ga sih, David sama Amanda tuh katanya udah nikah loh,” bisik Akira.

“What?! Serius?! Masih kelas 12, men!” Kaelyn membulatkan mulutnya tak percaya.

“Gosip sih katanya, tapi mereka emang pacaran dari dulu...”

“Ihhh... masa sih. Gua sih ga percaya, paling gosip anak-anak aja,” Kaelyn mengangkat kotak susu stroberinya dan melemparkannya ke tong sampah.

Tak jauh dari mereka, Dante duduk bersandar di bawah pohon besar, membaca buku dengan satu headset di telinga. Ia tahu suara Kaelyn dari kejauhan dan hanya tersenyum kecil. Gadis itu memang seperti badai kecil di hidupnya.

“Jadi gimana, lo bakal tetap ambil eskul basket atau nyerah?” tanya Akira sambil membuka biskuit.

“Bingung sih. Tapi lo tau kan, gua dulu jago banget main basket di SMP. Lagian bukan gua yang daftar, sekolah yang minta gua gabung,” jelas Kaelyn sambil menyandar di bangku.

Akira mengangkat alis. “Hati-hati loh, Kae. Ntar malah from enemies to lovers.”

“Gila! Big no! Ogah gua fall in love sama cowok modelan kayak dia! Iiiuuw!” Kaelyn meringis jijik.

Dante yang mendengar itu nyaris tertawa. Ia menyukai semangat Kaelyn, meskipun kadang terlalu “liar”.

Bel masuk berbunyi, dan mereka kembali ke kelas. Setelah pelajaran terakhir usai, Kaelyn menuju ruang ganti basket dengan malas. Ia mengganti seragamnya dengan jersey latihan dan bergabung dengan siswi lainnya di lapangan.

Coach Riko, guru olahraga mereka, sudah berdiri di sana bersama enam siswa senior: Ethan, Dante, Bastian, Morgan, Angkasa, dan Defan.

“Baik, kalian akan dibimbing mentor dari klub basket cowok. Ini Dante, ketua basket sekolah, dan Ethan, wakilnya. Kalian akan diajarkan teknik dasar dan taktik permainan,” jelas Coach Riko.

Ethan maju selangkah. “Hai, gue Ethan. Dan ini Dante. Kami, bareng Morgan, Bastian, Angkasa, dan Defan bakal jadi mentor kalian selama eskul berlangsung.”

Coach membagi tim. Kaelyn satu tim dengan Savana dan Maiden. Awalnya, mentor mereka adalah Bastian. Tapi saat tim sudah bersiap, Coach Riko membuat pengumuman:

“Perubahan mentor. Tim Kaelyn akan dibimbing langsung oleh Dante.”

“Apaaan sih? Kok diganti?” protes Kaelyn spontan. Semua orang menoleh.

“Kenapa Kaelyn? Ada masalah?” tanya Coach Riko.

“Tadi katanya Kak Bastian, kenapa jadi Kak Dante?”

“Karena kalian adalah pemain rekomendasi. Kami ingin kalian dapat pelatihan terbaik dari ketua tim langsung,” jelas Coach Riko.

Kaelyn mendengus pelan. Dante hanya tersenyum kecil, merasa menang.

Latihan dimulai. Mereka melakukan pemanasan, dribbling, hingga shooting. Kaelyn menunjukkan performa luar biasa. Dante memperhatikannya, kagum meski tak berkata apa-apa.

Menjelang akhir latihan, para siswi diberi waktu bebas bermain. Dante mendekati Kaelyn.

“One by one,” tantangnya.

Kaelyn tersenyum miring. “Fine.”

Pertandingan mini pun dimulai. Mereka hanya berdua, dan penonton di pinggir lapangan menyaksikan dengan antusias. Kaelyn lincah menggiring bola, mengecoh Dante beberapa kali. Tapi Dante juga lihai, mampu merebut bola dan mencetak angka.

Pertandingan itu membuat Kaelyn jengkel. Saat Dante berhasil mencetak skor lagi, Kaelyn kesal bukan main. Ia menggenggam bola, dan tanpa berpikir panjang, melemparnya kuat ke arah Dante.

Bola mengenai kepala Dante dengan cukup keras. Semua orang terkejut.

“HEADSHOT!” teriak Kaelyn sambil mengangkat kedua telunjuk ke udara dan langsung berjalan meninggalkan lapangan.

Dante terdiam, memegangi kepalanya. Namun, bukan karena marah. Dia justru tersenyum samar melihat tingkah gadis itu. Kaelyn memang seperti badai—mengganggu, tak terduga, tapi tak bisa diabaikan.

Di ruang ganti, Kaelyn mengganti bajunya dengan mood kacau. Dia tahu Dante lebih hebat darinya, tapi setidaknya... dia bisa membalas dendam kecil atas insiden susu kemarin.

“Tunggu aja, kulkas dua pintu,” gumamnya pelan sambil menatap cermin. “Gua belum selesai sama lo.”

Kaelyn bukan seperti cewek pada umumnya, dia tidak mudah jatuh cinta dan tidak suka neko-neko.

tapi...dengan dirinya yang seperti itu membuat dia si sukai banyak siswa maupun siswi di sekolah.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!