Hanes adalah seorang anak SMP berusia 15 tahun. Ia terlahir tanpa mengetahui siapa sebenarnya kedua orang tuanya. Hanes dibesarkan oleh seorang tua bernama Purnadi. Menurut orang tua angkatnya, Hanes ditemukan di depan rumah, di bawah rintik air hujan pada malam Jumat kliwon. Hanya ada secarik kertas yang berisikan sebuah pesan agar Purnadi merawat anak yang ia temukan ini dan memberikannya nama Hanes. Tidak lupa, beberapa gepok uang ratusan ribu dan sejumlah perhiasan dari emas pun terselip di bawah keranjang bayi tersebut.
Hari ini hujan turun dengan derasnya. Air hujan tersebut mulai menyirami bumi dan juga isinya. Kakek tua bernama Purnadi sedang duduk di teras depan rumahnya sembari menikmati kopi hitam dan selinting rokok nifah yang ia racik sendiri. Ia kembali teringat dengan kejadian 15 tahun lalu. Di mana saat hujan turun dengan deras seperti ini, ia mendengarkan tangisan seorang anak kecil di depan rumahnya. Di depan rumah Kakek Purnadi, terdapat sebuah batang besar yang sering disebut orang-orang sebagai pohon beringin. Kakek tua Purnadi dulunya adalah seorang pensiunan tentara zaman orde baru. Pak Purnadi pun tubuhnya sudah mulai menua dan mulai sakit-sakitan. Pak Purnadi membesarkan anak yang ia temukan malam itu dengan sebuah wasiat yaitu menjaga sang anak sampai ia dewasa. Kakek Purnadi membesarkan Hanes dengan berbekal uang dan juga sejumlah perhiasan yang dititipkan untuknya.
Kakek Purnadi kemudian memanggil seorang anak laki-laki yang kini baru selesai mandi. "Hanes ... Hanes ... sudah selesai belum mandimu itu? Kesini sebentar, kakek mau mengatakan sesuatu." terdengar suara bergegas dari arah dalam. Kemudian keluarlah sesosok pria muda berumur 15 tahun dengan mengenakan celana pendek dan secarik kaus dalam berwarna hitam.
"Kakek memanggil aku?" tanyanya heran.
"Pletak!"
Sebuah jitakan kemudian mendarat dengan selamat tepat di atas kepala Hanes. Pria muda ini hanya bisa meringis dengan apa yang didapatkannya setelah berbicara seperti itu dengan sang Kakek. "Aduh ... sakit, Kek! Kakek masih saja suka menjitak kepalaku," sungutnya kesal.
"Makanya jangan banyak tanya kalau dipanggil orang tua! Kamu sudah mandi atau belum?" selidik sang kakek.
"Iya sudah, Kek. Sekarang apa yang harus aku lakukan untuk, Kakek?" bocah ini kemudian kembali bertanya.
"Kau duduk dulu di sini!" sembari menunjuk sebuah bangku dari akar rotan yang berada di hadapan sang kakek.
"Baik, Kek." Pria muda ini pun mengangguk dan kemudian duduk di hadapan sang kakek. "Umurku sekarang sudah sangat tua, kau tahu? Kau belajarlah dengan rajin di SMA tempatmu yang sekarang ini. Aku tidak mau lagi mendengar kau berkelahi dengan anak seusiamu atau melakukan tindakan konyol lainnya. Kau itu aku didik sebagai calon tentara seperti aku nantinya dan untuk mewujudkan hal itu semua. Kau haruslah memiliki otak yang cukup pintar. Karena aku tidak memiliki banyak uang untuk menjadikanmu tentara instant. Kau paham?" Kakek Purnadi terlihat mulai berbicara serius dengan Hanes sembari memberikan wejangan dan nasihat.
Hanes pun terdiam dengan muka tertunduk ke bawah. "Maafkan aku, Kakek. Aku janji ... aku tidak akan seperti dulu lagi. Aku akan menjadi anak yang baik dan patuh kepada guru-guruku di sekolah."
"Benar begitu?" selidik sang kakek.
"Ia benar, Kek. Aku janji kepada Kakek dan tidak akan membuat Kakek malu lagi."
"Baguslah kalau seperti itu. Aku sudah tua, Hanes tidak ada yang bisa memprediksi berapa sisa umurku, bahkan untuk berjalan jauh pun aku tak kuat lagi. Beruntung aku masih memiliki banyak tabungan dan juga titipan dari orang tuamu."
"Titipan? Titipan apa itu, Kek? Kakek selama ini tidak pernah menceritakan apa pun tentang kedua orangtuaku. Malah ... jika aku bertanya mengenai hal tersebut. Kakek hanya bilang bahwa kedua orangtuaku sudah lama membuangku?" kini gantian sang kakek yang diberikan banyak pertanyaan oleh Hanes.
Kakek Purnadi pun berdiri dan mengeluarkan sebuah surat dari balik ikat pingang besar yang ia pakai, ikat pinggang ini dapat menyimpan uang dan beberapa catatan. Hal ini juga yang membuat Kakek Purnadi sering menyimpan barang berharganya di balik ikat pinggang ini. Kakek Purnadi pun memberikan sebuah catatan kepada Hanes. "Aku menemukan kertas ini ketika menemukanmu di depan rumah, bacalah sendiri surat ini nanti kau akan mengetahui, apa sebenarnya yang dimaksud dengan titipan tersebut."
Hanes dengan cepat mengambil kertas tersebut dan mulai membacanya perlahan-lahan, tidak terasa air mata mengalir dari kedua bola mata Hanes. Kini ia mengetahui apa yang dimaksud dengan titipan tersebut, di dalam surat tersebut dijelaskan, bahwa nama Hanes adalah pemberian dari orang tua Hanes sendiri. Ia juga dititipi sebuah kalung dari platina bermotif bintang dengan nama Hanes di bandul kalung tersebut. Kini ia menyadari bahwa Kakek Purnadi adalah orang yang dititipi Hanes ketika ia masih bayi saat itu. Hanes dititipkan dengan diberikan uang dan juga sejumlah perhiasan untuk kehidupan Hanes di masa depan. Selama ini, Hanes tidak pernah curiga dengan Kakek Purnadi yang tidak pernah berkerja, tapi selalu memiliki banyak uang. Alasan Kakek Purnadi yang paling masuk akal baginya adalah bahwa ia memiliki gaji pensiunan.
Tapi Hanes muda tidak pernah mempermasalahkan itu semua. Baginya Kakek Purnadi adalah orang tua kandungnya. Ia tidak menganggap kedua orang tua kandungnya sebagai orang tua yang layak untuknya. Jika bukan karena sosok tua Kakek Purnadi, tidak mungkin ia bisa hidup selama 15 tahun sampai sekarang ini, pikir Hanes. Hanes sadar bahwa Kakek Purnadi sudah menganggapnya seperti cucunya sendiri, walau orang tua ini terkadang keras dalam mendidik kehidupannya. Tapi Hanes bersyukur mendapatkan keluarga seperti Kakek Purnadi. Kakek tua ini hanya tersenyum dan kemudian memeluk Hanes dengan erat sembari terisak, keduanya pun berpelukan siang hari itu, hingga tidak terasa hujan pun berhenti turun dan matahari sore mulai kembali menunjukkan mukanya kepada dunia.
Kehidupan Hanes tidak selamanya akan indah, tiga bulan berlalu sejak kebenaran itu terungkap. Kakek Purnadi kian memburuk kesehatannya, sakit diabetes dan komplikasi heartstroke yang ia miliki sejak usia 45 tahun, kembali menunjukkan kondisi yang lebih buruk. Hingga akhirnya, Kakek Purnadi pun meregang nyawa dan kembali kepada sang maha kuasa, tangis kesedihan mewarnai kehidupan pelik dari seorang Hanes. Ia masih tidak bisa menerima kenyataan yang terjadi, sosok orang tua yang ia sayangi kini telah tiada lagi di dunia ini. Hidup Hanes tampaknya ini tidak berpihak kepadanya sekali lagi.
Setelah Kakek Purnadi dikebumikan dan para pelayat pun pulang ke rumah masing-masing. Hanya tersisa, Hanes sendiri yang meratapi nasibnya yang buruk, di luar hujan disertai angin begitu deras terdengar, aliran listrik pun berhenti mengalir dan menyebabkan keadaan menjadi gelap gulita. Hanes berada di dalam rumah dengan hanya tersisa ruang kosong, di mana biasanya Kakek Purnadi akan sekedar menonton televisi dan meminum kopi hitam hangat yang selalu ia minum setiap harinya. Hanes pun kehilangan canda tawa dari sang kakek yang selama ini membesarkannya. Hanes pun merasa kegalauan dan kegundahan di dalam hatinya, terbersit sebuah pikiran kotor untuk segera mengakhiri hidupnya. Hanes berpikir, bahwa dunia ini benar-benar tidak menginginkan ia hidup bahagia. Dari semasa kecil ia sudah dibuang, kemudian diasuh oleh Kakek Purnadi, hingga kemudian hari ini tiba, hari di mana Kakek Purnadi tidak bisa menemani hari-harinya lagi.
Petir menyambar-nyambar dengan keras dari atas sana. Langit juga terlihat sangat gelap di antara hujan yang turun sangat lebat kali ini. Listrik pun sudah padam dari tadi, hanya menyisakan seorang anak muda yang menangis dalam kepiluan hatinya. Entah setan mana yang sudah membisikkan kata-kata dan pikiran buruk untuk segera mengakhiri hidupnya. Hanes mulai berjalan ke arah dapur yang cukup gelap sembari mencari sebuah pisau untuk mengakhiri hidupnya. Hanes kehilangan akal sehat yang ia miliki setelah kehilangan seorang yang ia hormati dan ia sayangi sebagai keluarga.
Pikiran untuk bunuh diri berkecamuk di dalam otaknya sendiri. "Haruskah aku menyusul kakek yang sudah pergi terlebih dahulu ke alam sana?" tanyanya kepada dirinya sendiri. Sembari terisak, Hanes pun mengambil pisau besar yang biasanya digunakan untuk memotong daging. Ia kemudian mengenggam pisau itu dengan erat. Tanpa pikir panjang, ia pun menebaskan pisau besar tersebut ke arah lehernya.
Tiba-tiba kejadian aneh terjadi, tangan Hanes berhenti bergerak tepat di depan lehernya, sebelum pisau besar tersebut menebas lehernya. Ia tidak bisa menggerakkan tangannya untuk sementara waktu, kemudian tangan ini bergerak sendiri dan melemparkan pisau besar tersebut ke arah jendela.
"Prang!!!" terdengar suara kaca jendela yang pecah.
Masih dalam kebingunganya, Hanes memandangi kedua tangannya lekat-lekat. Apa yang sebenarnya terjadi dengan dirinya? Mengapa ia tidak bisa bunuh diri? Padahal sebenarnya ia sangat menginginkan kematian? Apakah ini takdir? Atau ada hal lain sebenarnya yang terjadi? Masih dalam kebingunganya tersebut, Hanes kembali memutuskan untuk mencoba bunuh diri sekali lagi. Kali ini ia mengambil sebuah tali tambang yang ia dapatkan dari dalam gudang penyimpanan di rumah ini. Tali tambang itu, ia ikatkan di atas plafon rumah dengan bantuan menumpuk sebuah meja dan kursi. Jika, pisau tidak bisa membuatnya menuju alam kematian, mungkin dengan tali tambang ini, ia akan bisa mengakhiri hidupnya.
Keanehan serupa mulai terjadi ketika Hanes mengikatkan lehernya ke tiang plafon. Sesaat setelah ia melepaskan pijakannya dari atas kursi, hal aneh kembali terjadi, kakinya kini melayang di udara. Ia benar-benar melihat, bagaimana kursi tersebut sudah jatuh ke lantai. Tapi yang membuatnya aneh adalah ia tidak merasakan sama sekali sensasi tercekik. Apakah ini mimpi? Pikirnya. Ia mencoba untuk memukul wajahnya sendiri, sebuah kepalan tangan ia arahkan ke wajahnya sendiri, kemudian disusul dengan terdengarnya sebuah suara benturan antara rahang dan juga suara kepalan tinju pun terdengar cukup keras.
"Bruk!!!"
"Argh ... sakit! Ini bukan mimpi? Tapi kenapa aku tidak bisa mengakhiri semua ini Tuhan!!!" Hanes pun berteriak dengan sekuat tenaga, untunglah saat itu hujan deras disertai guntur dan petir yang masih keras terdengar. Jika tidak, mungkin orang-orang akan pergi berlarian ke arah rumah Hanes saat ini.
Masih dalam kebingungan yang ia rasakan, tiba-tiba saja tali gantungan itu membuka sendiri. Kemudian disusul dengan tubuh Hanes yang terjatuh ke lantai. Tidak lama kemudian sebuah fenomena aneh terjadi di hadapan Hanes saat ini. Di balik gelapnya malam dan disertai kilatan cahaya petir, samar-samar terlihat seorang wanita memakai pakaian berwarna hitam melayang tepat di hadapan Hanes. Sosok itu kemudian mendekat ke arah Hanes sembari tersenyum penuh arti. Hanes yang merasa ketakutan pun kemudian angkat bicara dengan suara terbata-bata.
"Si ... siapa kamu? Pergi!!! mengapa kau menghantui aku?" sembari mengacung-acungkan jarinya ke arah wanita dengan muka pucat tersebut.
Wanita dengan muka pucat ini kemudian sudah berada di hadapan Hanes dan kemudian berkata. "Kematian tidak akan pernah menyelesaikan masalah! Aku rasa cukup aku saja yang merasakan penyesalan dari sebuah tragedi bunuh diri. Hidupmu masih panjang, Nak! Hiduplah dan raihlah mimpimu itu!" terang Hantu wanita ini.
Hanes masih tercekat dalam keterkejutannya sendiri tanpa tahu harus mengucapkan apa-apa. Kini di hadapan Hanes sudah berdiri seorang hantu wanita dengan pakaian hitam disertai mukanya yang begitu pucat.
Bersambung
Part sebelumnya :
Hanes masih tercekat dalam keterkejutannya sendiri tanpa tahu harus mengucapkan apa-apa. Kini di hadapan Hanes sudah berdiri seorang hantu wanita dengan pakaian hitam disertai mukanya yang begitu pucat.
***
Hanes hanya bisa diam mendengarkan semua yang dibicarakan oleh sosok bermuka pucat dengan rambut hitam terurai ini dan wajahnya terlihat begitu dingin sedingin es. Terlihat beberapa rambutnya yang panjang melewati matanya, disertai hidung bangir tersemat di wajahnya yang cukup cantik bagi Hanes sendiri. Tapi matanya berwarna merah menyala. Disertai dengan dua taring kecil yang mengarah ke bawah, sosok hantu ini pun tersenyum ke arah Hanes dengan tatapan sayu.
"Namaku Lysa. Jadi, aku minta kau hentikan semua ini! Aku tahu kau memiliki masalah yang pelik dalam hidupmu itu. Tapi apakah kau sudah siap? Kematian hanya menyelesaikan urusanmu di dunia ini. Tapi selanjutnya? Kau akan tetap dimintai pertanggungjawaban tentang semua perbuatan yang pernah kau lakukan sebelumnya," sosok ini masih terus mencoba untuk mengubah pola pikir Hanes tentang bunuh diri tersebut.
Mendengar hal tersebut, timbul kebencian Hanes dengan makhluk ini. Ia berpikir apa peduli makhluk ini melakukan hal tersebut. Dengan ketetapan hatinya, Hanes pun berkata, "Apa pedulimu kepadaku? Kau siapa? Kenapa kau harus mengatur hidupku? Hidup ini tidak adil bagiku semua orang yang mencintaiku pergi dengan sekejap mata. Kini aku sendirian!! Tanpa tahu apa yang harus aku lakukan! Bunuh diri adalah pilihan terbaik untukku saat ini. Karena memang Tuhan sudah tidak menginginkan aku ada di dunia ini lagi!" terdengar Hanes berapi-api menjelaskan hal tersebut. Tanpa terasa air mata pun mengucur dari kedua bola matanya yang besar tersebut.
Hantu bermuka pucat ini pun mendekat ke arah Hanes. Dengan tubuh setengah melayang di udara, ia kini sudah berada di hadapan Hanes. Hanya tersisa Hanes dan ketakutannya sendiri. Mungkin ia berpikir malah makhluk ini yang akan menghabisi hidupnya. Sebenarnya itu juga adalah pilihan dari Hanes sendiri. Tapi entah kenapa, makhluk ini pun kini makin mendekat ke arah Hanes. Tangannya yang putih itu pun mengarah ke kepala Hanes. Dilanjutkan dengan tangan dingin itu pun mengarah dan menembus kepala Hanes. Benar-benar kejadian yang mengejutkan bagi Hanes sendiri. Makin menguatkan dirinya bahwa makhluk ini adalah hantu.
Hingga kemudian, udara dingin itu pun menembus kulit Hanes. Mata Lysa yang semula berwarna merah pun kini berubah menjadi berwarna putih. Hilang sudah pupil mata yang ia miliki. Hanya terlihat bola mata berwarna putih polos dan sebuah kenangan pun terlintas di kepala Hanes. Terlihat Lysa sedang berjalan ke arah sebuah mobil mercy berwarna biru tua. Di dalam mobil tersebut, terlihat seorang pria tua yang berada dipertengahan umur 50 tahunan. Sosok ini tersenyum ke arah Lysa, begitu pun Lysa yang membalas senyuman tersebut dengan senyuman yang begitu hangat.
Sosok ini pun masuk ke dalam mobil dan mobil tersebut pun melaju ke arah puncak Bogor. Jalanan hari itu cukup licin dikarenakan baru saja turun hujan. Udara dingin pun mulai terasa karena AC yang berada dari dalam mobil. Lelaki yang menyetir ini adalah Ayah dari Lysa sendiri. Mobil berjalan dalam kecepatan 80 km/jam pada saat itu. Tiba-tiba dari arah depan, muncul sebuah truk besar yang membawa sayur mayur. Truk ini melaju dengan sangat cepat ketika berada di tikungan. Hal ini membuat Ayah Lysa pun terkejut dan kontan menginjak rem dengan cepat. Namun sayang, rem yang diinjak terus menerus pun macet dan tidak bisa digunakan. Terlihat wajah panik dari Ayah Lysa dan kemudian sebuah teriakan pun terdengar dengan keras
. ""Arghhh!!!!""
Disusul dengan sebuah benturan antara bemper depan mobil mercy ini dengan pembatas jalan. Dengan cepat, mobil pun meluncur turun ke arah bawah. Di mana tepat di bawah sana terdapat jurang yang sangat dalam dan mobil pun masuk ke dalam jurang. Terlihat Ayah Lysa membuka matanya, kepalanya terasa begitu sakit saat itu karena membentur setir mobil. Darah pun mengalir dari atas kepalanya dan beberapa pecahan kaca juga tersangkut di wajahnya. Sosok ini pun masih teringat dengan anak kandungnya Lysa. Ia pun mencoba membangunkan Lysa yang menderita banyak luka di wajahnya dan darah juga mengucur dari pelipis matanya.
Lysa pun terbangun dengan kepalanya yang sangat sakit. Ia memegang kepalanya tersebut dengan tangan kanan dan terlihat bercak-bercak darah itu menempel di tangannya yang putih. Ia hanya terdiam sejenak, kemudian berbicara kepada Ayahnya, "Maafkan aku, Ayah!" tidak lama kemudian Lysa pun pingsan kembali. Sang Ayah yang panik mencoba bangun, walau tidak terasa kaki dan tangan kanannya patah karena benturan mobil dengan batuan yang berada di dalam jurang. Hingga tiba-tiba asap putih pun muncul dari dalam kap depan mobil dan terdengar bunyi berdentum yang cukup keras. Kemudian api pun mulai keluar dan membakar habis mobil ini disertai dengan bunyi ledakan yang sangat keras.
"Duarr!!! Blar!!!" Lysa dan Ayahnya pun terpaksa harus meregang nyawa pada saat itu juga terbakar oleh panasnya api dari ledakan mobil tersebut.
Sesaat kemudian, bayangan kenangan masa lalu itu lenyap dari kepala Hanes. Hanes masih merasakan pusing di kepalanya saat itu. Hingga kemudian, ia pun mengguncang-guncang kepalanya sendiri dengan tangan kanannya. Di depannya masih ada sosok perempuan yang mirip dengan kenangan tadi. Sosok ini memperkenalkan bahwa dirinya adalah Lysa. Masih dengan kebingungan yang melanda, Hanes pun bertanya kepada makhluk ini.
"Apa yang barusan aku lihat tadi? Mengapa kau bisa ada di kepalaku? Apa yang sebenarnya terjadi?" tubuh Hanes terlihat bergetar dengan sangat hebat. Sembari menatap dengan penuh ketakutan ke arah Lysa. "Itu adalah sekilas kenangan yang terjadi kepadaku di masa lalu. Apa kau menginginkan menjadi seperti aku?"
"Ini kah yang kau mau? Mati kemudian menjadi hantu sepertiku? Menjadi roh penasaran yang berkeliling ke sana kemari! Karena masalah di dunianya masih belum usai? Apa kau pikir menjadi sepertiku ini enak? Kau pikir baik-baik dari sekarang!!!" tidak lama kemudian sosok ini pun berubah kembali bentuknya seperti sedia kala. Mukanya terlihat kembali menjadi cantik dengan wajahnya yang pucat sedingin es.
Hanes tak kuasa lagi mengalami semua ini, badannya limbung dan terjatuh ke tanah. Ia merasakan ketakutan yang uar biasa. Hal ini disebabkan melihat bola mata dan darah yang mengucur sangat banyak dari Lysa. Ia benar-benar merasa bahwa dirinya diteror oleh Lysa malam ini. Tubuh Hanes terjatuh di lantai semen rumah ini, ditemani dengan dinginnya malam sosok ini pun pingsan. Hanya tersisa Lysa yang menatap dingin ke arah Hanes. Hingga tidak lama kemudian, makhluk ini pun melayang ke atas plafon dan kemudian menembus plafon rumah tersebut sembari tertawa cekikikan.
"Hihih ... hihihi ... hihii ...," tidak lama kemudian sosok ini pun menghilang dibalik derasnya hujan yang turun malam itu.
***
Matahari kini bersinar dengan terik. Cahayanya mulai masuk dari sela-sela kaca ruang tengah rumah ini. Suara kokok ayam dan juga burung yang beterbangan di dekat rumah ini pun menjadi keindahan tersendiri akan indahnya ciptaan sang Ilahi. Hanes mulai beringsut terbangun dari tidur nyenyaknya. Tubuhnya menggigil seperti es, dikarenakan tertidur di lantai semen yang dingin. Ia masih merasakan kepalanya sedikit sakit dan pusing. Namun ia masih berpikir tentang apa yang terjadi semalam.
Ia melihat ke salah satu kaca jendela rumah, terlihat lubang mengangga yang besar. Karena penasaran, Hanes pun melongo ke arah luar sembari melihat apa yang menyebabkan kaca tersebut pecah. Apa yang ada di luar jendela adalah sebuah pisau besar yang ia gunakan semalam.
Terlihat muka Hanes menjadi pucat sedingin es. Ia mulai mengingat apa yang sebenarnya terjadi. Bagaimana ia mencoba untuk bunuh diri dan kemudian sosok hantu bernama Lysa muncul. Ia hanya dapat mengingat sebatas itu, karena memang kepalanya masih sakit akibat terbentur dengan lantai semen yang keras. Hanes pun meraba sedikit kepalanya dan terlihat benjolan sebesar telur ayam berada di sana. Ia mulai yakin, bahwa apa yang terjadi dengannya bukanlah sebuah khayalan atau pun mimpi. Tapi semua itu benar-benar nyata. Tapi menggapa Lysa menghantui dirinya itu masih menjadi misteri bagi Hanes sendiri.
Untuk pertama kalinya, Hanes menyaksikan hal-hal yang tidak masuk akal baginya. Melihat hantu yang cantik namun menyeramkan seperti Lysa. Hal ini cukup membuat dirinya limbung dan pingsan di tanah. Hanes pun memutuskan berjalan dengan pelan-pelan ke arah dapur sembari mengambil minum dari dalam kulkas.
Ia berharap dengan air tersebut ia bisa sedikit menyegarkan kerongkongannya yang terasa haus. Setelah selesai minum, ia pun melirik ke arah jam dinding yang ada di sampingnya. Di jam dinding tersebut, terlihat sekarang sudah pukul 10.00 WIB. Karena merasa gerah dan bertujuan untuk menghilangkan kantuknya, Hanes pun berjalan ke kamar mandi dan melakukan aktifitas mandi seperti biasa.
Rasanya ia ingin melupakan hal-hal yang terjadi kepada dirinya semalam dan mulai menyerap perkataan demi perkataan yang diucapkan oleh Lysa mengenai kematian dan bunuh diri. Ia pun terpaksa menangis sejadi-jadinya di dalam kamar mandi saat itu. Hanes mulai mengingat semua kenangan yang pernah ada dan kenyataan pelik yang ia hadapi. Bahkan untuk sekarang, rasanya ia malu dengan dirinya sendiri apalagi kepada orang lain.
Hanes sadar bahwa ia adalah seorang pecundang yang gemar lari dari masalah, mungkin sang Kakek pun akan merasa malu dengan tingkah laku Hanes yang seperti ini pikirnya. Setelah 1 jam di dalam kamar mandi, Hanes pun menyudahi penyesalan serta tangisnya hari ini. Hanes pun keluar dari dalam kamar mandi dengan terbalut handuk sembari mulai berjalan ke ruang tengah di mana Kakek Purnadi biasa menonton televisi. Apa yang kini ada di hadapan Hanes begitu mengejutkan dirinya, sesosok wanita bermuka pucat dengan rambut panjang menjuntai ini kembali ada di hadapan Hanes.
Dengan senyum yang menakutkan makhluk itu tersenyum ke arah Hanes sembari berkata, "Bagaimana tidurmu? Apakah nyenyak malam tadi, Hanes? Hihi ... hihi ...," kontan saja Hanes terperanjat kaget melihat kenyataan tersebut.
Bersambung
Part sebelumnya :
Dengan senyum yang menakutkan makhluk itu tersenyum ke arah Hanes sembari berkata, "Bagaimana tidurmu? Apakah nyenyak malam tadi, Hanes? Hihi ... hihi ...," kontan saja Hanes terperanjat kaget melihat kenyataan tersebut.
***
"Kau!! kau benar-benar nyata?" terlihat Hanes tergagap melihat kenyataan yang ada di depannya saat ini. Sosok bermuka pucat dengan wajah cantik itu kini ada dan melayang tepat di depan matanya. Dengan tatapan yang kosong, terlihat Lysa menatap Hanes lekat-lekat.
"Hmm ... tidak usah terlalu terkejut begitu ini masih pagi," ucap Lysa dengan santainya.
"Menggapa kau datang lagi? Bukankah ini sudah siang? Harusnya hantu sepertimu takut dengan matahari bukan?" Hanes terlihat sangat terkejut dengan kehadiran Lysa saat itu.
"Ya ... jika tidak terlalu panas dan masih terhalang matahari, aku masih bisa menampakkan wujudku terutama kepada orang sepertimu ini," ucap Lysa pelan.
"Seperti aku? Apa maksudmu?" tanya Hanes dengan sejuta pertanyaan di kepalanya saat itu.
"Tidak usah terlalu memikirkan hal yang terlalu berat. Aku takut kejiwaanmu terganggu sekali lagi. Bukankah semalam kau mencoba untuk bunuh diri?" terlihat Lysa mulai mengolok-olok Hanes.
"Hmm ... aku tidak menyangka hantu sepertimu ini suka juga meledek orang lain. Yang aku ketahui tugas hantu itu adalah menakut-nakuti orang?" Hanes membalas perkataan tersebut dengan nada sinis.
"Hihihi!!! hihihi!!! aku punya caraku sendiri dan keinginanku sendiri. Setidaknya ucapkanlah terima kasih kepadaku. Jika bukan karena aku yang menghalangi pisau itu memotong lehermu, aku yakin kau sekarang sudah dibawa malaikat pencabut nyawa untuk menemui yang kuasa," balas Lysa sembari menghela nafas.
"Baiklah ... terima kasih atas bantuanmu semalam. Jika bukan karenamu mungkin sekarang aku juga sudah menjadi arwah penasaran," terlihat Hanes sedikit menyadari apa yang sudah diperbuat Lysa untuknya.
"Nah jika seperti itu kau terlihat sedikit lebih dewasa! Hari ini kau sekolah bukan? Pergilah ke sekolah. Bukankah kau memiliki janji dengan mendiang Kakekmu? Kamu tidak akan mengkhianati janji yang sudah kau buat dengan Kakekmu bukan?"Hanes terkejut dengan apa yang barusan diucapkan oleh Lysa. "Dari mana kau mengetahui semua itu? Apa kau menyembunyikan sesuatu dariku?" tanya Hanes penasaran.
"Suatu saat kau akan tahu sendiri jawabannya! Kurasa bukan sekarang waktu yang tepat untuk menjawab pertanyaan konyolmu itu, sekarang cepatlah pergi ke sekolah sebelum terlambat! Bukankah kelasmu akan dimulai sebentar lagi?" balas Lysa.
Mendengar hal tersebut, Hanes pun segera bergegas mengganti pakaiannya dan bersiap untuk pergi sekolah. Hanes mendapatkan kelas siang, karena sekolah tempat Hanes saat ini adalah sekolah yang serba kekurangan. Ia sekolah disalah satu sekolah negeri tertinggal di kota ini. Boleh dibilang sekolah ini sangat biasa dan hanya diisi oleh kalangan bawah hingga menengah saja. Hanes dengan cepat mengganti pakaiannya dan mengisi tasnya dengan beberapa buku kosong. Hari ini adalah hari pertama masuk sekolah di tahun ajaran baru. Tapi sayang, Kakek Purnadi tidak bisa melihat Hanes menggunakan pakaian putih biru itu sekali lagi.
Setelah mengambil air putih dari dalam kulkas dan satu potong roti, Hanes pun memutuskan untuk segera berangkat menuju sekolah. Tidak dilihatnya lagi sosok Lysa yang tadi duduk di bangku tempat biasa Kakek Purnadi duduk. Ia lenyap tanpa bekas dan entah pergi ke mana saat ini. Hanes pun tidak terlalu memikirkan masalah itu dan segera berangkat ke sekolah.
Seperti biasa, sebelum berangkat ke sekolah Hanes akan melewati rumah bercat putih di seberang jalan. Rumah ini adalah milik Theo, salah satu sahabat Hanes pada masa SMP. Theo adalah seorang anak keturunan Tionghoa dengan wajah yang ganteng tentunya. Ia anak yang cukup pintar di sekolah dan selalu mendapatkan ranking. Karena buah kepintarannya tersebut, sedangkan Hanes sendiri selalu berada di ranking 5-10 di SMP. Hubungan mereka sangat erat, dikarenakan kecocokan yang mereka miliki. Keduanya senang membahas pelajaran di sekolah dan juga masalah-masalah yang sedang terjadi disekitar mereka seperti hari ini contohnya.
"Permisi ... selamat siang. Theo ... Theo!!!" terlihat Hanes memanggil-manggil Theo dari luar pagar. Tidak lama kemudian, sosok dengan pakaian putih biru dan sebuah tas ransel pun keluar dari rumah. Dengan melambaikan tangannya ke arah Hanes, ia pun segera berpamitan dengan kedua orangtuanya. Hanes melemparkan senyum kepada kedua orangtua Theo tersebut. Sudah menjadi kebiasaan sehari-hari antara Hanes dan Theo selalu berangkat sekolah berbarengan seperti ini. Setelah memberi salam kepada kedua orangtua Theo. Hanes dan Theo pun segera berangkat menuju sekolah.
"Tumben kau telat menjemputku di rumah, Nes?" Theo pun bertanya kepada Hanes.
"Oh itu ... aku kesiangan karena menangis semalaman," balas Hanes pelan.
"Yang sabar ya!!!Aku akan sering bermain ke rumahmu nanti setelah pulang sekolah," Theo pun merasa iba dengan keadaan Hanes sekarang.
Bagaimana tidak, kini Hanes terpaksa tinggal sebatang kara setelah kematian Kakek Purnadi. Hanes diserahi sebuah buku tabungan dan juga sebuah kotak perhiasan sebelum kematian Kakek Purnadi, menurutnya itu adalah peninggalan dari orangtua Hanes yang asli. Ia sudah lama menjaga hal tersebut dan kini adalah giliran Hanes untuk mengetahui sebuah titik terang. Di dalam kotak perhiasan itu terdapat sebuah kalung berbentuk bintang dengan bandul nama terukir nama Hanes. Kalung ini pun kini selalu dikenakan oleh Hanes kemana pun ia pergi termasuk ke sekolah.
Akhirnya, Hanes dan Theo pun sampai di sekolah. Di mana biasa mereka menimba ilmu setiap harinya. Seperti biasa, Hanes yang ramah selalu menyapa teman-temannya yang lain. Hanes adalah sosok yang periang dan juga memiliki banyak teman. Walau sebenarnya ia memiliki masalah yang pelik, tapi ia selalu menyembunyikan kesedihan tersebut kepada orang lain. Karena menurut Hanes sendiri,
"Setiap orang pasti memiliki masalahnya masing-masing. Terlepas berat atau tidak itu tergantung dari mana kita menyikapi masalah tersebut!"
Hal itulah yang selalu dipesankan oleh Kakek Purnadi terhadap Hanes. Tidak jarang Hanes juga menerapkan pesan tersebut ke dalam kehidupannya. Merasa kesepian karena hidup sebatang kara sekarang benar-benar terasa oleh Hanes. Di sekolah ini mungkin ia bisa bercengkrama dan tertawa bersama teman-temanya. Tetapi di rumah ia akan kembali merasakan kesepian tersebut.
Tidak lama bel berbunyi sebagai tanda kelas pagi telah usai. Hanes pun menunggu para siswa keluar dari ruang kelas dan segera masuk ke dalam setelahnya. Ia dan Theo segera menaruh tas mereka masing-masing ke bangku di mana mereka biasa duduk. Sebenarnya sedari tadi, Hanes sudah merasakan bahwa ia harus buang air kecil. Karena sudah tidak tahan lagi, ia pun segera bergegas menuju ke toilet yang berada di sudut sekolah.
"Aku ke toilet dulu ya," ucap Hanes pelan.
"Oke ... tapi aku titip air mineral ya ini uangnya!" sembari menyerahkan selembar uang lima ribuan kepada Hanes.
Dengan santai, Hanes pun segera menuju ke arah toilet untuk menuntaskan hajatnya yang tertunda. Ia pun segera menutup pintu bilik toilet tersebut dan kemudian segera buang air kecil. Rasanya indah sekali bagi Hanes yang memang sudah kebelet untuk buang air kecil. Hingga tidak terasa tubuhnya bergetar sendiri saat itu. Tapi di saat momen-momen seperti itu, sesosok bayangan berwarna hitam kini berada di belakang Hanes. Terlihat sosok ini memperhatikan Hanes yang sedang buang air kecil dengan santainya.
Kontan bulu kuduk Hanes segera meremang setelah merasakan ada sesuatu di belakangnya. Memang sudah menjadi gosip di sekolah ini jika ada hantu di toilet sekolah. Tapi, selama ini Hanes tidak pernah merasakan hal aneh yang terjadi seperti ini. Karena merasa bulu kuduknya kian meremang, Hanes pun mencoba untuk menoleh ke arah belakang, tapi tidak ada apa pun di belakang Hanes kecuali pintu yang terkunci rapat.
Kini bulu kuduk Hanes masih terasa meremang seperti tadi, seolah ada sepasang mata yang memata-matai Hanes dari arah belakang. Bayangan hitam tadi segera bersembunyi setelah Hanes menoleh lagi ke arah belakang. Dengan cepat Hanes mengunci rapat resleting celananya dan kemudian segera pergi meninggalkan toilet tersebut dengan setengah berlari. Dengan tergesa-gesa, Hanes pun segera masuk ke dalam kelas.
"Mana air mineral yang aku pesan, Nes?" tanya Theo yang kebingungan dengan Hanes yang tidak membawa air mineral yang ia pesan.
"Ya Tuhan! Maaf Yo, aku sampai lupa," balas Hanes.
"Ya sudah, lagi pula sebentar lagi pelajaran akan di mulai. Nanti saja waktu jam istirahat!" terlihat Theo menghela nafas.
Tidak lama kemudian, Bu Silvy pun masuk ke dalam kelas. Bu Silvy adalah seorang guru Bahasa Indonesia yang sudah biasa membimbing Hanes dan Theo. Ia termasuk guru yang cukup killer di angkatan mereka. Mungkin hal ini disebabkan oleh umurnya yang sudah menginjak angka 30 tahunan, tapi sampai saat ini belum juga menikah. Seperti biasa dengan tampang masam, Bu Silvy pun masuk ke dalam kelas, kemudian mulai menjelaskan pelajaran yang akan ia ajarkan dan kelas hari ini pun di mulai.
Sudah setengah jam pelajaran ini di mulai, di mana sebenarnya apa yang dipelajari hari ini adalah pengulangan beberapa materi di semester yang lalu. Hanes pun merasa sangat bosan dengan penjelasan Bu Silvi yang bertele-tele. Tanpa sadar kedua matanya pun mengatup dengan sendirinya. Ia mulai tertidur tanpa memperhatikan sekitar hingga tiba-tiba sebuah tangan halus pun membangunkannya. Tangan itu begitu dingin dan menyentuh pipi Hanes. Karena terkejut, ia pun bangun dan menyadari apa yang membangunkannya tersebut. Terlihat seorang wanita dengan pakaian sekolah penuh darah tersenyum kepadanya.
"Kenapa kamu tertidur?" tanya wanita tersebut.
Hanes pun melihat ke kiri dan kanan, tapi tidak ada seorang pun di dalam kelas ini kecuali Hanes dan wanita ini. Dengan penasaran, Hanes pun bertanya kepada wanita tersebut. "Siapa kau ini? Aku sedang berada di mana? Kenapa bajumu berdarah seperti itu?" Hanes memberikan wanita ini banyak pertanyaan. Dengan senyum santai wanita ini pun membalas, "Justru aku yang harusnya bertanya seperti itu kepadamu. Mengapa kau bisa sampai di sini?" Hanes pun tercekat dengan jawaban tersebut sebenarnya ada di mana ia saat ini? Kebingungan itu pun menjelma di dalam otak Hanes saat ini.
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!