Sinar mentari pagi masuk melalui sela-sela jendela yang berteralis. Terlihat seorang gadis cantik, tengah duduk di depan sebuah cermin besar. Dan di sampingnya ada seorang wanita yang sedang sibuk merias wajah cantik gadis itu.
Nama gadis itu ialah Aisyah Safitri. Anak pertama dari Pak Abdul Rahman dan Bu Arumi.
Hari ini, adalah hari dimana Pak Abdul akan melepaskan anak gadisnya. Ia menikahkan Aisyah dengan seorang lelaki, yang terkenal sebagai dosen di Fakultas Ilmu Agama. Usia lelaki yang di jodohkan dengan Aisyah tidak lah jauh. Usia di antara mereka hanya terpaut 5 tahun, dengan usia Aisyah yang lebih muda, lima tahun dari lelaki itu.
Kini Aisyah sudah siap. Gadis itu terlihat begitu cantik dan anggun. Gaun putih yang mengembang, menutupi seluruh tubuhnya dengan sempurna dan indah, tak menghilangkan cahaya ke solihahan dari Aisyah. Mahkota kecil yang terpasang di kepalanya yang tertutup hijab itu, membuat Aisyah terlihat bagai ratu dunia.
"Aisyah, kau sudah siap sayang?" tanya Umi Arum, yang berdiri di belakang Aisyah, melihat pantulan anaknya, di balik cermin yang ada di depannya.
"Insya Allah sudah siap Umi."
"Aisyah, maafkan Umi dan Abah ya sayang," ucap Arum, dengan mata yang berkaca-kaca.
Aisyah, membalikkan badannya, dan berdiri berhadapan dengan Uminya. "Umi ... Umi maupun Abah tidak perlu meminta maaf kepada Aisyah, tidak ada yang perlu meminta maaf ataupun memaafkan," ucap Aisyah, memegang kedua tangan Uminya.
"Aisyah ... Umi ... Umi takut, jika lelaki yang akan menikah denganmu, tak–"
"Sut...." Aisyah, menghentikan ucapan Uminya, sambil menggelengkan kepalanya pelan.
"Umi, ketika Abah sudah yakin dengan pilihannya, Aisyah sebagai anaknya tentu akan menuruti kemauan Abah. Aisyah juga tahu, Abah tidak mungkin menjodohkan Aisyah dengan sembarang lelaki."
"Siapapun lelaki itu, bagaimanapun sifat dan kelakuannya, dia adalah lelaki yang dipilihkan Abah untuk Aisyah, dan tentunya semua ini sudah tertulis di lauh mahfuz. Jadi Umi tenang saja, Insya Allah Aisyah akan bahagia dengan pernikahan ini."
"Maa Syaa Allah, Aisyah ...." Arum menatap Aisyah begitu haru.
"Bukankah dulu Umi pernah bilang, ridho Allah ada di ridho kedua orang tua. Kalau Umi dan Abah sudah meridhoi pernikahan ini Insya Allah, Allah pun akan ridho dengan semuanya," tutur Aisyah, sambil menatap kedua bola mata Uminya.
Seketika Arum memeluk tubuh mungil putrinya itu. Dengan perasaan bangga dan haru akan putri kesayangannya itu.
***
Sementara itu, di gedung Aula Hotel bintang lima, yang cukup besar dan sudah di hias dengan sebegitu megahnya. Menambah suasa pernikahan ini semakin indah.
Terlihat seorang lelaki berkoko putih, dengan balutan jas yang berwarna senada. Memakai peci imamah, dan sorban berwarna hijau tua, dengan bordelan benang merah yang menghiasi sorbannya. Membuat penampilan lelaki itu terlihat sangatlah gagah, berwibawa dan memancarkan auranya.
Lelaki itu ialah Hanif Abdul Muyin. Dia adalah calon suami dari Aisyah. Hanif anak tunggal dari Pak Arifin dan Bu Nisa.
Mereka sekeluarga baru datang, memasuki gedung Aula. Dentungan suara hadrah dari para santri ikut memeriahkan acara penyambutan pengantin pria.
Hanif di giring oleh Umma dan Abi nya menuju meja rahfalan. Dengan hati yang berdebar dan sedikit gugup, Hanif segera mendudukkan tubuhnya di atas kursi. Berhadapan langsung dengan Penghulu dan calon mertuanya.
Perasaan berdebar merasuki dadanya. Ia masih tak percaya bahwa hari ini akan menjadi hari bersejarah dalam hidupnya. Bahkan ia tak menyangka, bahwa wanita yang seminggu lalu ia temui, kini akan ia nikahi. Semua para tamu sudah duduk rapi, di kursi putih yang berjajar. Seorang lelaki berjas hitam berdiri di samping panggung pelaminan, MC itu pun segera memulai untuk membuka acara pernikahan ini. Dan tanpa berlama-lama, akad pernikahanpun segera dilangsungkan.
"Saya terima nikah dan kawinnya, Aisyah Safitri binti Bapak Abdul Rahman, dengan emas kawin 25gr, dibayar kontan," ucap Hanif begitu lantang, suaranya ikut menggema di ruang aula ini. Diiringi oleh riuhnya suara para saksi yang menyorakkan kata "Sah." Secara bersamaan.
Sesaat, setelah kata sah terdengar. Aisyah pun keluar dari kamar riasnya, berjalan menuju gedung aula, tempat pelaminannya berada. Umi Arum dan Yusuf, mereka berjalan menggandeng Aisyah.
Terlihat sekali, Aisyah yang begitu gugup, ia memegang erat lengan adiknya, karena merasa nerves, bahkan tanpa terasa tangannya sudah basah, berkeringat. Aisyah berjalan perlahan dengan, sedikit langkah kaki yang gemetar, terlebih Aisyah sedikit kesusahan karena ia tak biasa memakai high heels. Sesampainya di meja rahfal, Umi Arum dan Yusuf, segera membantu Aisyah untuk duduk di dekat Hanif, lelaki yang kini sudah sah menjadi suaminya.
Mata Hanif terkesiap saat melihat wajah istrinya yang jauh lebih cantik dari yang pernah ia lihat sebelumnya. Riasan yang menghiasi wajahnya, membuat Aisyah terlihat pangling.
Aisyah duduk, sambil menundukkan kepalanya, karena ia masih merasa malu akan suaminya. Namun Bapak penghulu, menyuruh mereka untuk mengucapkan janji suci, yang ada di buku nikah mereka. Membacanya secara bergantian dan saling berhadapan. Bahkan ketika Aisyah membacakan janji pernikahanpun, suaranya terdengar begitu kecil, karena saking groginya. Apalagi ketika Pak penghulu, menyuruh Hanif untuk mencium kening Aisyah. Di antara kedua, terlihat masih malu-malu, bahkan tangan Hanif pun, ikut bergetar, tatkala ia memegang bahu Aisyah, untuk mencium kening istrinya itu.
"Nanti malam, jangan sampai gorgi seperti ini," goda Pak penghulu kepada Hanif. Hanif hanya tersenyum, mengangguk malu.
Dan kini segala macam adat istiadat pernikahanpun dilangsungkan.
.
.
.
Bersambung.
INFO PENTING HARAP DI BACA
Jadi lapak ini awalnya digunakan buat cerita Selly dan Andre, tapi ceritanya udah author pindahkan ke No-Vel-Me dengan judul Perfect Marriage. Info lengkap cek instagram @dela.delia25 suka update di sana.
DAN.... kenapa di sini ceritanya di ganti sama Hanif dan Aisyah. Jadi ini novel author yg dulu blm di lanjutkan, jadi lapak Selly Andre author ganti dgn cerita Aisyah dan Hanif. Makanya kalau nanti di kolom komentar nama2 yg muncul pun akan berbeda.
INI MASIH TAHAP REVISI ya teman-teman. Insyaallah secepatnya di selesaikan.
Hallo ini novel ke 3 author di NovelToon.
Maaf ya lagi ada revisi besar-besaran. Di bagian bab lain ada yg gak nyambung karena lagi di revisi. insyaallah dalam 1 bulan selesai revisinya.
Jangan lupa tinggalkan komentar dan like nya di bawah. vote juga ya. 😊
Malam harinya. Aisyah terlihat sudah selesai membersihkan diri. Malam ini mereka menginap di hotel, tempat mereka mengadakan acara pernikahannya tadi siang.
Sedangkan Pak Abdul, Bu Arum, serta Yusuf, mereka sejak sore sudah pulang kembali ke Cianjur. Dan Aisyah, rencananya ia akan langsung ikut tinggal bersama suaminya di Jakarta. Tinggal di rumah baru yang sudah di siapkan oleh mertuanya, sebagai hadiah pernikahan.
"Aisyah, ayo kita solat sunah terlebih dahulu," ajak Hanif, yang baru keluar dari kamar mandi, sambil mengeringkan rambut hitamnya yang basah itu menggunakan handuk kecil.
Aisyah mengangguk, dan ia segera menggelar sejadah, menyiapkannya untuk suami dan dirinya. Mereka berdua pun segera melaksanakan solat sunnah.
Setelah selesai solat sunah, Hanif membacakan untaian doa untuk istrinya itu, sambil memegang puncak kepala Aisyah yang masih terbalut mukena.
"Aisyah, sekarang kamh sudah sah menjadi istri saya, saya harap kita bisa saling berbagi, dan menjalankan kewajiban kita sebagaimana mestinya," ujar Hanif.
"Ba-baik." Aisyah mengangguk.
"Panggil saya Uda," tutur Hanif begitu lembut, sambil tersenyum.
Aisyah kembali menganggukkan kepalanya. "Ba-baik Uda," ucapnya tersenyum malu.
Kini Hanif mengajak Aisyah untuk segera beristirahat. Mereka segera naik ke atas tempat tidur. Yang dimana, kasur nya sudah di tata begitu rapi, bahkan taburan kelopak mawar merah yang membentuk hati, ikut menghiasi tempat tidur itu.
Hanif merebahkan punggungnya, di bahu ranjang. Sambil duduk berselonjor. Dan memperhatikan gerak gerik Aisyah.
Sedangkan Aisyah, ia duduk ditepi ranjang, sambil membelakangi suaminya. Rasanya Aisyah masih belum terbiasa dengan suasana seperti ini. Hatinya berdegup kencang, seakan tak karuan. Rasa takut mulai menyerang pikirannya.
Tiba-tiba, tangan Hanif menepuk sebelah bahu Aisyah. Membuat wanita itu menoleh ke arah suaminya.
"Aisyah, kenapa masih duduk disini?" tanya Hanif.
"Tidak apa-apa Uda ... Uda kalau mau istirahat, bisa duluan saja," ucapnya tak berani menatap Hanif.
"Kemari, duduklah di samping Uda," ajak Hanif, sambil menggeser tubuhnya, ke tengah tempat tidur, dan di ikuti oleh Aisyah, yang menuruti perintah suaminya.
"Aisyah, kamu tahu tidak? Ibadah terindah setelah pernikahan itu apa?" tanya Hanif. Aisyah hanya, menunduk dan menggelengkan kepalanya pelan.
"Kalau Aisyah tidak tahu, Uda ingin memberi tahu, dan mengajak Aisyah untuk melakukan ibadah itu," tutur Hanif. Aisyah hanya diam, dengan rasa takut dan cemas, yang semakin menggebu dihatinya.
"Ya Allah, apa Uda ingin meminta haknya malam ini juga. Aisyah masih belum siap ya Allah," batin Aisyah.
"Aisyah, jangan menunduk seperti itu, lihatlah Uda."
"Dan apa kau tahu Aisyah? menatap pasangan yang sudah sah itu adalah ibadah, bahkan hal itu, sama dengan melaksanakan solat sunah dua rakaat."
"Apa Aisyah tak ingin menatap Uda?" tanya Hanif. Aisyah perlahan mendongakkan kepalanya, menatap lekat wajah suaminya yang dirasa sangat begitu tampan.
Bahkan sebelumnya, Aisyah tak pernah menatap wajah seorang lelaki yang bukan mahramnya, lebih dari lima detik. Namun kali ini, ia bisa menatap sepuasnya wajah lelaki tampan yang sudah sah dan halal baginya. Dan hanya menatapnya pun itu adalah ibadah baginya.
"Maa Syaa Allah, sungguh indah ciptaanmu Ya Allah," batin Aisyah, memandang lekat wajah Hanif.
Aisyah bahkan tak mengedipkan matanya, ia masih menatap dengan begitu kagum wajah suaminya. Mulai dari kedua bola matanya, alis, bulu mata, hidung dan bibir suaminya. Ia tatap dengan saksama.
Hanif tersenyum, ia pun ikut menatap wajah cantik istrinya. Meskipun tak ada polesan makeup di wajah Aisyah, tapi itu tak melunturkan keindahan dan kecantikan Aisyah.
Hanif begitu gugup, rasanya ia ingin segera melaksanakan hal yang seharusnya ia lakukan bersama istrinya malam ini. Tapi disisi lain, hatinya masih terasa takut. Takut jika Aisyah belum siap dan menolaknya.
Hanif mulai memegang lengan Aisyah, ia mencium punggung tangan Aisyah. Kemudian menatap lekat wajah istrinya, yang sudah bersemu kemerahan, menahan malu.
"Aisyah, apa Uda boleh meminta hak Uda kepadamu?" tanya Hanif.
Deg .... Hati Aisyah, semakin berdegup kencang. Hatinya seakan sedang bermain gendang, yang membuat ia begitu dag, dig, dug, tak karuan.
"Bagaimana ini? Apa yang harus Aisyah jawab. Aisyah tak bisa menolak, karena sekarang Aisyah sudah menjadi istrinya. Ah ... lagi pula, bukankah ini ibadah terindah setelah akad pernikahan," batin Aisyah.
Perlahan Aisyah menganggukkan kepalanya, "Iya Uda ... lagi pula ini sudah menjadi kewajiban Aisyah, untuk memberikan hak Uda," ucap Aisyah, tertunduk malu. Bahkan, tangannya kini sudah mulai terasa basah, karena berkeringat, gugup.
Tanpa berlama-lama, Hanif segera menarik tengkuk kepala Aisyah, melakukan hal pertama sebelum memulai semuanya. Bahkan di antara keduanya masih terlihat kaku, karena ini adalah hal pertama bagi mereka.
Sebelah tangan Hanif perlahan melepas peniti yang mengunci kerudung Aisyah. Ia menarik kerudung Aisyah, dan melemparkannya ke sembarang arah. Kini terlihat sudah rambut Aisyah yang hitam bergelombang, di kuncir kuda. Hanif pun segera melepaskan ikatan rambut Aisyah, hingga membuat rambut Aisyah tergerai bebas, menutupi punggung dan bahunya.
Aisyah semakin dibuat tak tenang, saat tangan Hanif mulai menjamah tubuhnya secara sembarang. Dan perlahan Hanif, mendorong tubuh Aisyah, hingga terbaring. Aisyah hanya bisa memejamkan kedua matanya, membiarkan sang suami mengambil haknya.
Ah... sungguh, ini akan menjadi malam yang begitu indah dan bersejarah bagi sepasang pengantin baru ini. Malam yang syahdu dan semilir angin malam yang masuk lewat celah-celah ventilasi, ikut menusuk ke dalam pori-pori kulit mereka. Dan dinding kamarpun, menjadi saksi bisu apa yang terjadi di antara mereka, di malam yang syahdu ini.
.
.
.
Bersambung....
Ke esokkannya, Aisyah dan Hanif sudah bersiap merapikan sebagian barangnya yang ada di kamar hotel itu. Memasukkannya ke dalam tas mereka masing-masing.
"Uda, apa hari ini kita akan pergi langsung ke rumah Umma?" tanya Aisyah, yang masih sibuk melipat baju kotornya, dan memasukkannya ke dalam tasnya.
"Tidak Aisyah, kita akan langsung tinggal di rumah baru kita. Apa kamu tidak keberatan jika kita tinggal berdua di rumah baru?" tanya Hanif.
"Tidak Uda, tidak apa-apa, Aisyah hanya mengira, kalau kita akan berkunjung terlebih dahulu ke rumah Umma," tutur Aisyah.
^
Kini Aisyah dan Hanif, sudah masuk ke dalam mobil mereka. Bahkan hiasan bunga pengantin dimobil milik Hanif pun masih terpajang indah.
Hanif segera melajukan mobilnya, meninggalkan hotel. Melaju dengan kecepatan sedang menuju rumah baru mereka, yang masih ada di sekitar wilayah kota Jakarta.
Setelah melakukan perjalanan cukup lama, yaitu kurang lebih 3 jam. Kini Hanif segera memarkirkan mobilnya di halaman rumah baru mereka. Suasananya masih terbilang sepi, karena jarak rumah mereka dengan rumah tetangga cukuplah renggang.
"Mas, apa ini rumahmu?" tanya Aisyah.
"Ini bukan rumahku, tapi rumah kita," jawab Hanif tersenyum. Kemudian segera mengajak Aisyah untuk keluar dari mobil.
Kini Aisyah dan Hanif, segera masuk ke dalam rumah. Rumahnya tidaklah terlalu luas, namun sangat cukup jika di tinggali berdua. Dengan desain interior modern masa kini. Bahkan hamparan warna putih yang melapisi bangunan ini, sangatlah membuat suasana rumah yang minimalis itu terlihat begitu terang benderang.
"Aisyah di rumah ini, hanya ada dua kamar, satu di atas dan satu di bawah. Yang itu," ucap Hanif menunjuk ke arah kamar yang di maksud.
"Kamu ingin kita tidur di kamar mana?"
"Em ... lebih baik di kamar ini saja Uda, kalau di atas Aisyah malas naik turunnya hehe," jawab Aisyah. Hanif pun menganggukkan kepalanya.
"Baiklah, setelah ini, kita pergi keluar mencari makan ya."
"Baik Uda."
"Uda," panggil Aisyah, saat Hanif hendak pergi ke kamar.
"Ada apa Aisyah?" tanya Hanif, menoleh, sambil menghentikan langkahnya.
"Barang-barang dan pakaian Aisyah, apa besok kita bisa mengambilnya terlebih dahulu?"
Hanif tersenyum, "Kamu tenang saja, barang dan pakaianmu, sudah ada di sini dari semalam. Kamu tinggal merapikannya saja."
Aisyah pun tersenyum riang, ia segera ikut masuk ke kamar utama. Matanyanya kini tertuju melihat beberapa kardus dan koper yang ada di penjuru sudut kamar itu. Aisyah segera membuka koper dan kardus itu, dan benar saja, itu semua berisi barang-barang miliknya. Aisyah dengan semangat, segera merapikan pakaian dan barang-barangnya itu. Menatanya dengan begitu rapi di tempat semestinya.
Setelah selesai merapikan barang-barangnya. Kini Aisyah beralih merapikan baju-baju milik suaminya. Dan setelah selesai membereskan semua baju Hanif, Aisyah tak sengaja menemukan selembar foto perempuan di koper suaminya itu, yang hendak ia tutup.
Aisyah mengambil foto itu, dan memandanginya. Kedua alisnya mengerut. "Siapa wanita ini? Kenapa fotonya ada di tas Uda," gumam Aisyah, terheran-heran.
Gambar wanita difoto itu tidak terlalu jelas terlihat, karena fotonya sudah terlihat usang, terlebih warna fotonya pun sudah mulai memudar.
"Sepertinya ini foto sudah lama, atau memang dirusak seperti ini?" Aisyah terus memandangi sambil membolak-balikkan kertas foto itu.
"Hm... sudahlah." Aisyah, kembali memasukkan foto itu ke dalam koper, dan segera memasukkan koper itu ke dalam lemari yang ada di kamarnya.
***
Sore harinya, di sebuah restoran padang, Aisyah dan Hanif hendak pulang, setelah selesai menghabiskan makanan mereka.
Ketika Hanif sedang membayar dikasir, ia tak sengaja melihat seorang wanita yang sedang duduk di salah satu kursi yang tersedia ditempat makan ini.
Wanita itu terlihat sedang memandangi Aisyah, yang masih duduk di tempatnya, menunggu Hanif menghampirinya kembali.
"Lidya," ucap Hanif, tak bersuara. Ketika selesai membayar, Hanif segera menghampiri Aisyah, dan mengajaknya untuk segera keluar dari restoran itu.
"Uda, kenapa buru-buru sekali?" tanya Aisyah, yang berjalan lebih cepat, mengejar langkah kaki Hanif. Ia dibuat heran akan tingkah suaminya, yang seperti orang panik.
"Ayo, cepat masuk," jawab Hanif, melangkah cepat menghampiri mobilnya, sambil membukakan pintu mobil untuk Aisyah.
Kini mereka berdua sudah masuk ke dalam mobil, dan Hanif segera menghidupkan mesin mobilnya. Sejenak ia memandang ke arah kaca spion bagian kiri, ia dapat melihat bayangan dari wanita tadi.
"Kenapa dia mengikutiku?" tanya Hanif dalam hati, saat mengetahui Lidya, yang sedang berjalan menghampiri mobilnya. Namun, tanpa berlama-lama, Hanif segera melajukan mobilnya.
Hening, tak ada yang bersuara diantara keduanya. Terlebih Aisyah masih bergelut dengan berbagai pertanyaan dikepalanya, mengenai Hanif yang terburu-buru mengajaknya pulang. Padahal sebelumnya, Hanif sudah bilang, kalau ia akan mengajak Aisyah untuk berkeliling dulu di taman alun-alun. Akan tetapi, sepertinya itu tidak akan terjadi di sore ini.
"Uda ... apa Uda baik-baik saja? Kenapa terlihat begitu panik seperti ini?" tanya Aisyah, yang masih heran dengan tingkah laku suaminya.
"Hah ... t-tidak, Uda tidak panik, Uda hanya ingin cepat pulang saja," tuturnya.
"Aneh sekali, tapi... ya sudahlah." Aisyah hanya menganggukkan kepalanya, dan kembali mengalihkan pandangannya melihat ke jalanan.
"Bagaimana bisa dia ada di sini? Apa jangan-jangan dia memata-mataiku?" batin Hanif, menduga-duga. Masih memikirkan perihal kehadiran Lidya di restoran tadi.
"Argh... selalu saja membuat masalah."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!