Prolog
<Latar belakang dan Tragedi Kelam>
Ratusan tahun yang lalu, dunia masih diwarnai oleh bayang-bayang konflik yang mengubah peradaban dua bangsa paling misterius dalam sejarah: Vampir dan Lycan. Bangsa vampir, dengan kecerdasan dan budaya tinggi, hidup berdampingan dengan manusia di balik kedok malam. Mereka adalah makhluk aristokrat yang menjunjung tinggi tata krama, politik, dan kehormatan. Sebaliknya, bangsa lycan adalah kekuatan buas yang dipenuhi kebencian terhadap vampir dan menganggap manusia sebagai mangsa. Eksistensi mereka bagaikan bayang-bayang gelap yang mengancam dunia.
Alena Shevani adalah salah satu keturunan bangsawan vampir dari klan Shevani yang dihormati. Pada usia 100 tahun, ia dikenal sebagai diplomat yang pandai, memimpin negosiasi antara vampir dan manusia. Keluarganya adalah penggagas perjanjian damai yang melindungi manusia dari serangan lycan. Namun, kedamaian itu tidak bertahan lama.
<Perang Besar Vampir dan Lycan>
Bangsa lycan, yang kalah jumlah dan kekuatan, menyimpan dendam mendalam. Mereka melihat vampir sebagai musuh alami, bukan hanya karena kekuatan superior mereka, tetapi juga karena sejarah kelam perbudakan yang menghancurkan martabat bangsa lycan. Banyak lycan yang dijadikan budak oleh vampir, dan diperlakukan seperti binatang peliharaan atau anjing penjaga.
Satu satunya kesempatan Lycan untuk mendekati kekuatan vampir adalah saat bulan purnama. Bangsa Lycan hanya bertransformasi pada malam hari, pada siang hari mereka melemah dan berwujud seperti manusia normal serta berbaur dengan manusia.
Tapi tetap saja dari segi kecerdasan dan strategi dibandingkan vampir, kelemahan Lycan tak bisa ditutupi oleh apapun.
Puncak permusuhan menyebabkan perang besar pecah pada tahun 1803, bangsa vampir bersatu dengan manusia untuk melawan ancaman lycan. Perang ini berlangsung selama 39 tahun, meninggalkan kehancuran di setiap sudut dunia.
Pada akhir perang yang dimenangkan koalisi manusia-vampir, bangsa vampir hanya tersisa sebanyak 50%, sedangkan lycan hanya tersisa kurang dari 3% menyisakan hanya beberapa individu yang berhasil melarikan diri dan bersembunyi, sedangkan manusia hanya kehilangan 20% populasi.
Namun, lycan yang tersisa bersekutu dengan sekelompok manusia yang membenci vampir, menciptakan organisasi pemburu vampir yang diselimuti oleh keyakinan agama yang aneh.
Setelah perang berakhir, mereka menemukan satu satunya kelemahan bangsa vampir, meski penemuan ini cukup terlambat, karena perang telah usai dan Lycan telah punah, para pemburu vampir yang menyembah lycan sebagai dewa pelindung malam dan bersumpah akan memusnahkan seluruh vampir dari muka bumi dengan memanfaatkan kelemahan mereka.
Melalui tipu daya bahwa vampir kelak akan menjadi ancaman baru bagi manusia, mereka mulai merekrut banyak anggota, serta menebarkan bibit kebencian diseluruh penjuru dunia.
<Kehidupan Alena yang Tenang>
Alena awalnya hidup di sebuah desa terpencil bersama keluarganya, jauh dari hiruk pikuk konflik. Mereka menjaga diri dari perhatian pemburu vampir yang memburu mereka dan hidup harmonis di tengah masyarakat manusia.
Ayah Alena adalah pemimpin keluarga Shevani, seorang vampir bijaksana yang mengajarkan Alena untuk menghormati semua kehidupan, termasuk manusia. Sementara itu, adiknya, Liliana, adalah gadis ceria yang selalu memandang dunia dengan optimis meski penuh bahaya.
Meskipun hidup dalam pengasingan dan menyembunyikan identitas, kehidupan mereka sangat harmonis dan penuh canda tawa.
Hingga suatu hari kedamaian itu hancur dalam satu malam.
<Pembantaian Keluarga Shevani>
Kelompok pemburu vampir, yang telah berkembang pesat, menemukan tempat persembunyian keluarga Shevani. Mereka menyerang dengan brutal, membakar rumah keluarga Shevani dan membantai setiap anggota keluarga. Ayah Alena gugur melindungi istri dan kedua anaknya, sementara Liliana berusaha melarikan diri bersama Alena.
Alena berlari sambil menggenggam erat tangan adik tercintanya, suara jeritan, rintihan, ratapan dan tangisan orang tua mereka mengiringi setiap langkah kaki, tanpa menoleh kebelakang, mereka terus berlari sambil menitihkan air mata.
Terdengar pula gelakan tawa suara suara jahat para manusia yang keji dan kejam terasa bak ribuan pedang yang menghujam jantung Alena, setelah berlari tanpa lelah, mereka terpojok di tepi hutan.
Liliana terkena peluru perak dan terluka parah, memohon kepada Alena untuk lari. Dengan hati yang hancur, Alena meninggalkan adiknya dan melarikan diri ke dalam hutan, membawa relik kuno keluarganya yang konon memiliki kekuatan untuk melindungi keluarga Shevani.
Di hutan itu, dalam sebuah gua yang gelap gulita, Alena membuat keputusan untuk menyegel dirinya sendiri menggunakan kekuatan relik. Ia percaya, jika ia tidak bisa melindungi keluarganya, maka ia tidak pantas melanjutkan hidup. Relik kuno tersebut berubah menjadi batu besar lalu menyelimuti seluruh tubuh Alena. Dengan ritual kuno, Alena tertidur selama seratus tahun di dalam gua itu.
Chapter 1: Kebangkitan Alena
Seratus tahun berlalu, dunia telah berubah. Mobil menggantikan kereta kuda, gedung pencakar langit menjulang tinggi, dan manusia hidup dengan teknologi yang jauh lebih maju. Namun, di dalam gua tua itu, batu besar yang menyegel tubuh Alena retak oleh tetesan darah segar. Darah itu mengalir masuk melaui celah celah retakan, diatas batu itu tergeletak seorang pemuda yang bersimbah darah.
Alberd seorang pemuda yang tidak sengaja tersesat di hutan saat melarikan diri dari kejaran dua penjahat bersenjata. Dia terluka parah setelah terkena tembakan dipunggungnya. Dalam keputusasaan, Dia menemukan gua itu dan terjatuh di atas batu besar lalu pingsan. Darah dari lukanya menetes di atas batu itu, membuat batu tersebut retak lalu cahaya keemasan keluar dari dalamnya, darah Alberd mengalir memasuki celah batu, sementara cahaya itu perlahan menyelimuti tubuhnya.
Tubuh Alberd perlahan pulih kembali, cahaya keemasan yang menyelimuti tubuhnya pun lenyap secara misterius.
Alberd terbangun keesokan harinya dengan luka-luka yang telah sembuh. Ia kebingungan, melihat lukanya telah pulih tanpa bekas, tetapi tidak menyadari bahwa tetes darahnya telah membangkitkan sesuatu yang telah lama tertidur.
Tiga hari kemudian, Alena membuka matanya untuk pertama kali dalam seabad. Ingatan pembantaian keluarganya kembali menghantuinya, dia menyadari mungkin dia adalah vampir terakhir yang tersisa didunia. Dengan tekad untuk mencari orang yang telah membangunkannya, Alena mengikuti aroma darah Alberd, yang tetap melekat dalam ingatannya.
<Pengenalan karakter>
Alberd Reinhard, seorang mahasiswa yang baru genap berusia 24 tahun, selain tampan dan cerdas, dia berbakat dalam olahraga terutama basket, dia juga mahir bermain piano, selain itu dia juga seorang petarung Taekwondo yang cukup terampil.
Tak heran jika dia menjadi idola para wanita di universitasnya.
Tapi meski begitu Alberd sangat jarang menghiraukan mereka, sepanjang hidupnya dia hanya pernah berpacaran satu kali, itu adalah 7 tahun yang lalu saat dia masih di bangku SMA.
Sayangnya Alberd pada saat itu tidak sepopuler dirinya saat ini.
Ketulusannya saat itu dibalas penghianatan, oleh wanita yang dia cintai dan sahabatnya sendiri.
Sejak saat itu Alberd cenderung mengabaikan urusan asmara.
Dia hanya fokus pada dirinya sendiri, dan hampir tak memiliki sahabat meski banyak orang yang ingin dekat dan menjadi temannya.
Alberd lebih memilih mengalihkan fokus ke keluarganya terutama adik yang paling dia sayangi.
Ayah Alberd, Grinfol Reinhard (48 tahun) adalah manajer dari sebuah perusahaan properti.
Ibunya, Stefani Vienna Reinhard (43 tahun) adalah wanita yang cukup terpandang, dia memiliki usaha butik yang cukup besar.
Selain itu, Alberd juga memiliki satu satunya saudara, adik perempuannya;
Nina Geofani Reinhard (19 tahun) yang periang dan sangat manja terhadap kakaknya. Nina sering terlibat dalam usaha butik milik ibunya, sedangkan Alberd terkadang membantu ayahnya adalam urusan perusahaan.
Hingga suatu hari peristiwa tak terduga mengubah kisah hidupnya.
<Awal Kisah>
Alena yang telah terbangun, membuka matanya untuk pertama kali setelah sekian lama. Dia melihat sekeliling sejenak, dengan pandangan yang masih buram, kondisi gua yang gelap dan lembab dengan sedikit cahaya yang masuk melalui celah celah gua, tetesan air jatuh dari celah langit langit, mengenai wajah Alena, dia lalu membuka mulutnya, beberapa tetes air jatuh ke mulutnya, Alena meneguk tetesan itu perlahan.
Gua ini adalah tempat yang pernah dia tinggali cukup lama. Disinilah dia terkurung sendirian, Alena duduk perlahan, tubuhnya terasa sangat lemas seperti telah tertidur puluhan tahun.
"Berapa lama aku tertidur disini?" tanya Alena dalam hati, matanya melihat sekeliling tampak mencari cari sesuatu..
Alena bergumam kecil,
"Hmm.. relik? segelnya.."
Alena menghela napas seraya tertegun memandang ke bawah sambil menekuk dan memeluk lututnya.
Tubuhnya mulai bergetar,
tak lama kemudian air mata mulai jatuh membasahi pipinya. Hatinya tak sanggup menahan kesedihan karena ingatan terakhir yang masih membekas dan membayangi pikirannya,
Semua keluarganya telah tiada, benar benar hanya tersisa dirinya sebatang kara.
"Ayah, ibu.. Liliana .." gumam Alena dengan tangis yang pecah.
Rintihan, kepedihan serta air mata, Alena menumpahkan segalanya saat itu. Hati benar benar hancur, perasaannya campur aduk, sedih, rasa bersalah, marah, mengutuk, dan tak berdaya. Dia benar benar merasa telah ditelantarkan oleh dunia.
Setelah beberapa saat dia mulai tenang,
Dia teringat dengan darah yang membangungkannya,
"Aroma ini.. sangat manis, aku harus menemukannya..ya harus" ujar Alena.
Lalu dengan sisa tekad dan tenaga dia bergegas meninggalkan gua yang menjadi penjaranya selama satu abad, dengan langkah yang berat dan tertatih dia berjalan perlahan menuju bibir gua.
Matahari pagi menyambut Alena, udara pagi yang segar, akhirnya setelah sekian lama dia bisa meninggalkan tempat itu. Butuh waktu setengah hari untuknya keluar dari hutan, tubuhnya yang masih lemah karena tertidur 100 tahun tanpa darah, hal itu benar benar melemahkan dirinya, Matahari hampir terbenam, Alena akhirnya sampai di tepi jalan raya. Sebuah perjuangan yang luar biasa harus diderita oleh seorang gadis imut yang belum makan selama satu abad. Alena benar benar sudah kelelahan, tubuhnya tak sanggup lagi berjalan, langkahnya kakinya terhuyung huyung, pandangannya perlahan buram hingga akhirnya dia jatuh pingsan di tepi jalan raya.
Chapter 2: Alena Mencari Alberd
Alena membuka matanya perlahan, dia melihat sekeliling, tempat yang tampak asing, "mmm..jalanan bergerak?, apa aku berada didalam kereta? Tapi dimana kudanya?" gumam Alena dalam hati.
"Nona, kau sudah bangun?" sapa seorang wanita paruh baya yang duduk disampingnya sambil tersenyum ramah.
"Uhh.. dimana aku, apa ini kereta?" ujar Alena sambil sedikit mengusap usap matanya dengan wajah yang sedikit bingung.
"Kita sekarang ada di dalam mobilku, saya tadi menemukan anda pingsan di sisi jalan, jadi saya membawa anda ke mobil, oh iya nama saya Clara, salam kenal nona" jawabnya.
Alena membalas,
"Jadi ini disebut mobil?, ah.. terima kasih banyak nyonya sudah menolongku, mungkin aku tadi pingsan karena kelelahan, namaku Alena, senang mengenalmu". Alena tersenyum kecil, lalu mencoba duduk.
"Apa perlu kita ke rumah sakit?" balas wanita itu.
"Ah tidak perlu.. uh, nyonya apakah boleh kita hentikan kereta ini sebentar saja?" Ucap Alena dengan sopan.
"Tentu nona.." balasnya tanpa ragu.
Mobil pun menepi ditepi jalan.
Kemudian Alena meraih tangan Clara dan menatap matanya dengan tajam.
Wanita itu hanya diam tertegun,
Perlahan Alena mendekat, dia meraih punggung kepala Clara perlahan dan mendekatkan bibirnya ke leher Clara, kemudian dia dengan lembut menancapkan taringnya ke leher Clara, namun wanita itu hanya diam dan tak bergeming, dia bahkan tak berteriak sedikitpun.
Alena perlahan menghisap darah Clara dengan lembut. Rasa manis yang begitu menyegarkan menyapu tenggorokannya, seolah seluruh energinya telah kembali.
Alena sebelumnya terkenal sebagai salah satu vampir yang memiliki kontrol tertinggi terhadap hasrat akan darah.
Jadi meskipun dia berada dalam keadaan sangat lapar atau bahkan sekarat sekalipun, dia tak akan kehilangan kendali.
Perlahan Alena mulai melepaskan gigitannya.
Bekas luka gigitan langsung hilang hanya dengan satu usapan lidah,
Kemudian Alena menepuk pundak Clara, lalu berkata,
"Lupakan apa yang baru saja terjadi.."
Clara mengangguk patuh,
Tak lama kemudian dia tersadar dan tidak mengingat apapun yang terjadi meski awalnya sedikit kebingungan dia kemudian kembali bersikap normal.
"Eh, kenapa kita berhenti di tepi jalan?" ujar Clara heran.
"Oh iya nona, saya mau ke kota, apa nona juga akan ke sana?" tanya Clara sambil menoleh ke arah Alena.
Alena menoleh dan menjawab,
"Ah iya kebetulan aku juga akan ke kota, dan ngomong ngomong, Nyonya Clara.. terima kasih" Alena tersenyum manis, energinya terasa telah kembali.
"Sama sama, tak perlu sungkan.."
Clara membalas dengan senyum hangat, dan mereka melanjutkan perjalanan ke kota.
30 menit kemudian, Alena telah sampai ke kota, karena tidak ingin merepotkan dia meminta turun di sembarang tempat.
Dia mengendus pakaian dan tubuhnya,
"Hmmm.. kenapa harum ya? Apakah di dalam segel batu ada parfumnya?" tanya Alena dalam hati.
Alena melihat tahun yang tertulis di bahu jalan, "tahun 2025?, ternyata 100 tahun telah berlalu. Aku telah tertidur selama itu." gumam Alena.
Dia memperhatikan sekeliling, orang orang berlalu lalang, kendaraan memenuhi jalan. Alena berusaha untuk cepat menyesuaikan diri.
"Kota Velmor, nama tempat tidak berubah sejak dulu, tapi.. sekarang sudah jauh lebih maju"
Alena berjalan perlahan matanya lalu tertuju pada sebuah kedai ramen di depannya.
Tapi dia ingat bahwa ia tak memiliki uang sama sekali.
"Haruskah aku mencuci mangkuk demi makanan?
Ahh sial.." gerutunya dalam hati.
Dia lalu menatap gelang giok di tangan kirinya lalu menghela napas panjang.
"Tak ada pilihan lain.." gumamnya
Beberapa hari kemudian,
"Hah, lumayan sulit beradaptasi dengan jaman ini huh" gumam Alena sedikit kesal.
6 hari telah berlalu sejak dia terbangun, meski ras vampir tak terlalu masalah dengan cahaya matahari, tapi tetap saja hal itu berefek pada dirinya.
Cahaya matahari tidak akan melukai vampir tapi hanya akan membatasi kekuatan mereka menjadi 50%.
Selain itu, tak seperti yang diceritakan dalam legenda fiksi dan karya sastra, ras vampir sebenarnya tak pernah takut dengan salib, air suci dan bawang putih.
Satu satunya kelemahan mereka adalah perak.
"Sudah 6 hari.. dimana kamu wahai dermawanku.." Alena menghela napas, lalu dia duduk di kursi taman.
"Kalau bukan karena bantuan paman baik hati yang membeli gelang giok ku, aku pasti sudah sangat menderita karena tak punya uang" rintih Alena.
Saat Alena terbangun, hal terakhir yang dia ingat adalah dia yang menyegel dirinya sendiri dengan relik kuno milik keluarganya yang membuat dirinya tertidur dan tak terdeteksi selama 100 tahun.
Dihari dia terbangun, Alena menangis selama 3 jam. Mengingat bagaimana kematian tragis seluruh keluarganya, dia benar benar merasa sendiri dan hampa.
Tapi kemudian dia berhasil menguatkan hatinya, dia harus menjalani hidupnya dengan baik, hanya dengan begitu dia tidak akan mengecewakan semua pengorbanan keluarganya.
Dia juga mengingat tentang orang yang telah membangunkannya, bagaimanapun juga dia harus menemukan orang itu.
Alena menjadikan hal itu sebagai tujuan baru hidupnya.
"3 hari lainnya telah berlalu, aku harus mencari darah lagi..
Ternyata 3 hari adalah batasku hah.." ucap Alena.
Meski vampir seperti dirinya tetap bisa makan makanan biasa untuk sehari hari, tapi seorang vampir tetap membutuhkan asupan darah setiap 2-5 hari.
"Aku harus mencari gadis lagi malam ini" ujar Alena, lalu tatapannya tertuju ke penjual es krim yang sedang lewat.
"Ess Krimmm.. !!!" Teriak Alena dengan antusias.
Chapter 3: Alena Bertemu Alberd
Di sebuah sudut gang yang gelap, tampak dua orang wanita disana terlihat mencurigakan.
Orang itu tidak lain adalah Alena dan seseorang, tampaknya dia sedang makan malam.
"Mmmph ahh.. ini cukup.." ucap Alena dengan wajah puas seraya menyeka mulutnya. "Sekarang kamu pergi kesana dan duduk disitu, lupakan apapun yang baru saja terjadi, paham?" Ujar Alena.
Wanita tersebut mengangguk lalu berjalan perlahan menuju kursi halte bis.
Bangsa vampir seperti Alena memiliki kemampuan charm atau pesona yang bisa menghipnotis target yang lebih lemah darinya atau target yang mentalnya sedang lemah.
Selain charm, bangsa vampir juga memiliki kemampuan stealth yang membuatnya tak terlihat untuk beberapa menit.
"Baiklah selanjutnya apakah aku harus tidur di atap gedung lagi? Hmmm...?" Alena tiba tiba mencium aura aroma darah yang familiar.
"Bau ini... Bau darah yang membangkitkanku, tapi ada aura ancaman yang tercampur, apakah dia sedang dalam bahaya?" Ucap Alena.
Dia pun langsung bergegas mengikuti aroma darah tersebut.
Di sebuah gang yang gelap, seorang pemuda berlari sambil memegangi bahunya yang berdarah, dia sedang dikejar oleh dua orang penjahat, Pemuda itu tak lain adalah Alberd.
"Sial, mereka punya pistol.." gumam Alberd seraya berlari.
"Mengapa aku sial sekali, dua kali aku dikejar dan tertembak."
Ketika Alberd hampir tertangkap, Alena muncul dari bayang-bayang dan menyelamatkannya. Melihat senjata berbahaya yang mereka pegang, tanpa pikir panjang Alena langsung melumpuhkan keduanya. Kedua penjahat itu dihentikan dengan sihir vampirnya, tetapi Alena memastikan untuk tidak membunuh mereka, dan hanya membuat mereka pingsan.
Alberd, yang masih linglung, hanya bisa menatap kagum pada wanita misterius dengan mata merah yang memancarkan kekuatan, rambutnya hitam panjang yang sangat indah dan anggun bergerai tertiup angin.
“Permisi nona, Siapa kamu? Bagaimana caramu melakukan itu?” tanya Alberd memberanikan diri.
Alena menoleh ke arah Alberd lalu tersenyum samar, “Aku adalah orang yang kau bangunkan dari tidur panjang. Dan mulai sekarang, aku akan melindungimu.”
"Hah?.. uhh.. oke terima kasih.. tapi aku tak paham, apa maksudnya membangunkan? Seingatku aku tak pernah menjahili gadis yang sedang tidur". jawab Alberd dengan sedikit ketakutan.
"Aku takkan dibunuh kan?" gumamnya dalam hati.
Alena hanya menatap diam, lalu melirik bahu Alberd yang terluka karena tertembak. Darahnya menetes ke tanah, melihat itu Alena hanya bisa menelan ludahnya,
"Ah sial, darah manis itu.. jatuh sia sia"
guman Alena dalam hati sambil menggigit kecil bibirnya.
Dengan awal pertemuan yang dramatis ini, kisah cinta mereka dimulai, diwarnai oleh masa lalu kelam Alena dan dunia modern yang harus ia pelajari. Sementara itu, ada bahaya besar mengintai, dan akan menjadi ancaman besar bagi takdir mereka.
Chapter 4: Pertemuan Yang Ditakdirkan
Pagi itu, sinar matahari yang hangat menyelimuti desa kecil di pinggir kota. Alberd yang terbaring diatas dipan kayu membuka matanya perlahan, dia merasakan sakit yang samar di bahunya. Dia mengingat kejadian semalam bagaimana dia dikejar oleh orang-orang yang ingin mencelakainya, tembakan yang hampir mengakhiri hidupnya, dan seorang wanita dengan mata merah menyala yang muncul seperti bayangan malam untuk menyelamatkannya.
Ketika Alberd mencoba duduk, dia menyadari bahwa dia tidak berada di rumahnya. Ruangan itu sederhana, dengan jendela kecil yang membiarkan sinar matahari masuk. Di kursi di dekatnya, seorang wanita duduk dengan ekspresi tenang. Dia adalah wanita yang sama, wanita dengan penampilan berusia 20 tahun, rambutnya hitam panjang yang menjuntai hingga pinggang dengan pupil mata indah berwarna merah kini menatapnya dengan perhatian.
“Akhirnya kau bangun,” ucap wanita itu dengan suara lembut namun tegas. “Kau tidak tahu betapa beruntungnya bahwa kau masih hidup.”
Alberd menelan ludah, mencoba mengingat lebih jelas. “Kamu gadis yang semalam? dan.. eh.. kita ada dimana sekarang?”
Wanita itu tersenyum samar, lalu berdiri. “Namaku Alena Shevani. Kau bisa menganggapku sebagai... penolong yang tak terduga.” Dia berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan serius,
“Tapi aku lebih dari itu. Dan oh ya, lukamu telah aku pulihkan, tapi mungkin masih terasa sedikit sakit.”
"Kau terluka semalam lalu tak sadarkan diri, aku membawamu kemari. Jangan khawatir kita sekarang ada di desa kecil tak jauh dari kota, pondok ini sepertinya sudah lama tidak ditempati jadi aku merapikannya sedikit" Sambung Alena.
"Uhh iya semalam dua bajingan itu mengejarku, dan melukaiku. Terima kasih sudah menolongku, namaku Alberd Reinhard". Jawab Alberd dengan sopan.
Alena mulai menceritakan sebagian kisahnya tidak semuanya, tetapi cukup untuk membuat Alberd memahami siapa dirinya. Dia mengaku sebagai vampir murni yang telah tertidur selama 100 tahun. Alberd awalnya sulit mempercayai itu, tetapi ketika Alena menunjukkan kemampuannya telekinesis ringan untuk mengangkat meja kecil di sudut ruangan, serta menggerakkan air dari dalam gelas, Alberd tidak punya pilihan selain percaya.
“Kau menyelamatkanku,” gumam Alberd. “Tapi kenapa?”
“Karena darahmu,” jawab Alena. “Itu membangunkanku. Mungkin ini adalah takdir, atau kebetulan, tapi aku tak bisa membiarkanmu mati setelah kau menjadi alasan aku terbangun.”
"Oh ya, kalau boleh tau mengapa kau dikejar kejar oleh dua orang itu?" Tanya Alena.
"Awalnya aku sempat memergoki kejahatan mereka, mereka adalah sindikat penculik dan perdagangan manusia, aku tak sengaja melihat aksi mereka dan berakhir dikejar kejar sampai sekarang.." jawab Alberd.
"Sebelumnya mereka juga mengejar dan melukaiku hingga aku lari dan tersesat dihutan".
Alena mendengarkan lalu mengangguk kecil
"Lantas kamu menemukan gua dan bersembunyi disana kan?.. hmm..menarik,, oke aku paham.." ujar Alena.
"Jika nanti mereka mengejarmu lagi, aku akan membantumu menghapus para penjahat itu."
Alberd menelan ludah setelah mendengar ucapan Alena, dia sedikit gugup dan takut. Tapi bercampur rasa kagum yang dalam.
Mereka berdua berbicara lebih banyak. Alberd, meskipun awalnya takut, mulai merasa nyaman dengan Alena. Dia melihat kelembutan dalam sorot matanya, meskipun dia tahu bahwa wanita itu memiliki kekuatan yang mengerikan.
"Apa!! 300 tahun?? Kamu setua itu?" Ucap Alberd kaget.
Ekspresi Alena mendadak kesal dan berkata,
"Hei batang pensil, kau mempertanyakan usia wanita, apa kau bosan hidup?!" Ujar Alena ketus.
"Ah ma'af.. aku tidak bermaksud begitu, hehe.." jawab Alberd sambil mengelus pahanya yang dicubit Alena.
"Ngomong-ngomong aku turut prihatin dan sedih mendengar kisah keluargamu" Sambung Alberd dengan ekspresi sopan dan hormat.
Alena menghela nafas panjang lalu berkata,
"Yang sudah pergi takkan pernah kembali, meski aku terus mengingat, menangis, atau menyesalinya... semuanya hanya bayangan yang tak bisa kujamah. Tapi aku sudah belajar menerima, meski itu sulit."
"Terima kasih atas rasa prihatinmu".
Ucap Alena sambil tersenyum tipis.
Alberd menatap Alena dengan serius, diam diam dia mulai mengagumi sosok Alena.
Jauh dalam hati kecilnya ada sebuah keinginan untuk menjaga dan melindunginya.
Chapter 5: Alena Suka Es Krim
Alberd tiba tiba mengepalkan tangannya, dadanya tiba-tiba terasa sesak dan panas. Seperti ada sesuatu yang bergejolak disana.
Alberd menekan dadanya sambil mengeluarkan ekspresi menahan sakit.
"Ahh... kenapa ini..." desis Alberd sambil memegangi dadanya, keringat dingin membasahi pelipisnya.
Alena mendekat, ekspresinya cemas. "Alberd, kau kenapa? Apa dadamu juga terluka? Apa mereka juga memukulmu semalam?"
"Tidak tidak, ini hanya... sesak saja. Aku... aku baik-baik saja," ucapnya, mencoba tersenyum meski wajahnya pucat.
"Baiklah berbaring saja dulu, mungkin kau perlu istirahat tambahan, aku akan pergi keluar untuk membeli sarapan. Disini tidak ada bahan apalagi alat untuk masak" ujar Alena sambil membantu Alberd berbaring.
Setelah Alberd berbaring, Alena masih berdiri didepannya sambil menadahkan tangan.
Alberd melihat tangan Alena, lalu menatap wajahnya.
"Ada apa? Kamu bilang mau keluar beli makanan, lalu kenapa malah cosplay jadi patung" tanya Alberd.
"Hei bung, kau pikir aku ini punya uang? Kau lupa aku baru saja bangkit dari tidur seratus tahun? Jangan berharap aku membawa dompet zaman kuno." Jawab Alena ketus dan sedikit jengkel.
"Ah maaf, aku lupa kalau kamu berasal dari jaman purba hehe" canda Alberd sambil mengambil dan mengeluarkan beberapa lembar uang tunai dari dalam dompetnya dan menyerahkannya pada Alena.
"Kamu tau cara menggunakannya kan?" Tanya Alberd.
Alena mengambil uang tersebut, dan berkata dengan sedikit jengkel,
"Tentu saja, apa kau kira aku lahir dijaman batu?!"
Alena pun pergi bergegas keluar.
Alberd memandanginya dari jauh sambil tersenyum kecil.
Dalam hati Alberd bertanya tanya apa yang terjadi padanya barusan.
"Kenapa tadi dadaku terasa panas dan sesak tiba tiba, seakan ada sebuah energi yang bergejolak disana, aku harap ini bukan masalah serius", gumam Alberd dalam hati.
30 menit kemudian Alena kembali dengan sebuah keranjang plastik.
Lalu memberikannya pada Alberd,
"Nih sarapanmu.." ujar Alena sambil menyodorkan keranjang plastik tersebut.
Alberd mengambilnya kemudian memeriksa, seketika ekspresinya berubah ketika melihat isi plastik tersebut.
"Hah? Apa apaan ini? Kamu hanya membeli dua potong roti dan satu botol air mineral? Ketiga benda ini hanya bernilai 3 dolar, sedangkan aku memberimu uang 20 dolar. Teganya kamu hanya membelikanku roti seharga 1 dolar ini" ucap Alberd kesal.
"Hmm.. cuma itu makanan yang dijual didekat sini, bagaimanapun juga itu tetaplah makanan jadi jangan disia-siakan, makanlah," bujuk Alena. "Kamu belum pernah merasakan kelaparan selama 100 tahun" tambahnya.
Alena kemudian bersandar ke dinding lalu mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya dengan ekspresi bahagia.
Alberd yang melihat itu sontak berkata,
"Hei Alena, bukankah itu es krim Lavigne seharga 5 dolar, kamu bilang tidak punya uang?
Kamu hanya membelikanku roti satu dolar agar kamu bisa makan es krim mahal itu? Mengapa kamu setega ini padaku.." ucap Alberd dengan nada sedikit sedih.
Melihat ekspresi Alberd, Alena yang sedang makan es krim pun merasa iba dan merasa bersalah kepada Alberd.
Alena mendekati Alberd perlahan, lalu duduk disampingnya.
Alena kemudian berkata dengan lembut,
"Maaf, aku salah.. tapi aku serius, cuma roti ini yang dijual paling dekat dari sini. Es krim ini hanya kebetulan aku beli dari pedagang keliling yang lewat." balas Alena.
"Es krim adalah makanan paling enak yang aku makan setelah 100 tahun, jadi kalau ada yang menjualnya di depanku aku tidak tahan untuk tak membelinya"
Ucap Alena dengan ekspresi bersalah dan menundukan kepalanya..
Alberd kemudian mengelus kepala Alena lalu berkata,
"Ya sudah tidak apa apa, aku tau kamu sudah kelaparan selama 1 abad sebelumnya, aku seharusnya mempertimbangkan perasaanmu". Ujar Alberd sambil menatap Alena lembut.
Alena tiba tiba mematung, pipinya memerah dan jantungnya pun berdebar debar..
Lalu dengan cepat dia memalingkan mukanya yang malu..
"Ehh ya.. haha tidak apa apa.." jawab Alena gugup.
"Ngomong ngomong apa aku boleh mencicipi es krim nya?" tanya Alberd denga nada menggoda,
"Lihat, es krim nya mulai mencair di tanganmu loh".
"Ahh hhaha ya ya aku lupa es krim nya, kalau kamu tidak keberatan dengan es krim sisaku" ucap Alena sambil menyodorkan es krimnya..
Alberd menatap ke arah Alena, lalu mendekatkan wajahnya ke es krim yang masih dia pegang, kemudian Alberd menggigit sedikit es krim itu. Dengan sedikit senyum kecilnya..
"Emm.. Ini enak sekali.." kata Alberd.
"Kiieekkk..!" teriak Alena spontan, lalu tanpa sengaja menjatuhkan es krim nya..
Alena langsung menunduk, wajahnya memerah seperti mawar yang baru mekar. Tangannya gemetar sedikit, dan ia nyaris tak berani menatap Alberd.
"Ah sayang sekali es krim enak itu jadi sia sia" ucap Alberd.
"Hehe..ternyata kamu bisa tersipu juga.." gumam Alberd dalam hati.
Senyum nakal pun terukir diwajahnya
"Alberd kamu..! Hmmph.. maksudku kamu ambil es krim ini dan makan saja, bukannya kamu yang makan dari tanganku" teriak Alena sambil menahan malu.
"Hahaha, yah aku pikir pasti akan jauh lebih enak kalau disuapi olehmu, Alena-Chan". goda Alberd sambil mengedipkan sebelah matanya..
"Kyaaahhh.. Alberd, kamu bajingan..!" Teriak Alena yang tak sanggup lagi menahan rasa malu, Alena pun berlari keluar diiringi suara tawa Alberd yang tampak puas.
Diluar Alena menghela napas dan mencoba mengatur napasnya, jantungnya berdegup kencang, itu adalah pertama kalinya dia mengalami hal ini selama dia hidup berabad abad.
"Jantungku berdegup begitu keras... ini perasaan macam apa? Alberd... kenapa kau bisa membuatku seperti ini? Apa ini... cinta?" gumam Alena di dalam hati.
"Huh..tapi bagaimana dengan perasaannya padaku? Kalau ternyata bocah nakal itu cuma ingin menggodaku, bukankah itu akan sangat memalukan jika aku terperdaya dengan mudah, aku bahkan baru bertemu dengannya tadi malam" gerutu Alena dalam hati..
Chapter 6: Kebersamaan Alena dan Alberd
Pada esok harinya, Alberd memutuskan untuk membantu Alena memahami dunia modern. Dia mengajaknya berjalan-jalan di kota, menjelaskan teknologi seperti ponsel, mobil hingga pesawat terbang yang membuat Alena terkejut dan kagum.
Alberd membelikan Alena beberapa pakaian sebagai ucapan terima kasih.
Alberd juga membelikan Alena sebuah ponsel pintar, dan mengajarinya cara menggunakannya.
“Apa ini?” tanya Alena dengan nada bingung ketika Alberd menunjukkan sebuah vending machine.
“Mesin penjual otomatis. Kau hanya perlu memasukkan uang, dan minuman akan keluar.” jelas Alberd.
“Manusia modern benar-benar malas,” gumam Alena, membuat Alberd tertawa.
Namun, di balik momen-momen ringan itu, Alena tetap waspada. Dia tahu bahwa dengan kebangkitannya, pemburu vampir mungkin akan mulai bergerak. Dia belum memberitahu Alberd tentang ancaman itu, takut membuatnya terlibat lebih jauh.
Malamnya, Alberd membawa Alena ke tempat favoritnya, sebuah taman kecil di atas bukit yang memberikan pemandangan indah kota di malam hari. Di bawah langit berbintang, mereka berbicara lebih banyak tentang kehidupan mereka.
“Aku tidak tahu kenapa, tapi aku merasa seperti mengenalmu sejak lama,” kata Alberd tiba-tiba.
Alena tersenyum lembut, lalu berkata, “Mungkin kita memang ditakdirkan untuk bertemu.”
Keduanya duduk berdampingan sambil menatap langit malam.
Malam itu, saat Alberd hampir tertidur di rerumputan, Alena memeluknya dengan lembut dipangkuannya, merasa bahwa untuk pertama kalinya dalam 100 tahun, dia tidak lagi sendirian.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Pada hari ketiga, ketika Alberd sedang berjalan pulang, Kondisinya saat itu sedikit lemas, karena dia baru saja memberikan sedikit darahnya untuk Alena, sepanjang jalan dia merasa seperti diikuti. Seseorang misterius yang memata-matai mereka sebelumnya, mencurigai keberadaan vampir di kota itu.
Alena segera menyadari hal ini dan bersumpah untuk melindungi Alberd dengan segala cara.
Dia sengaja memisahkan diri dari Alberd menggunakan teknik Stealth dan menekan sementara aura keberadaanya. Untuk memancing orang itu keluar.
“Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu,” ucap Alena dengan penuh tekad, memandang Alberd dari kejauhan dengan sorot mata yang menunjukkan kasih sayang sekaligus kekuatan.
Chapter 7: Pria Misterius
Alberd menyadari bahwa dia telah diikuti, dia dengan sigap berjalan dengan cepat menuju sebuah jalan kecil yang terletak diantara dua buah gedung. Setelah berbelok, Alberd langsung berlari dengan cepat dan bersembunyi dibelakang sebuah mobil yang terparkir disana.
Pria misterius tersebut berlari menuju ke arah Alberd.
Dia lalu berhenti, kemudian memandang kesekeliling mencari keberadaan Alberd.
"Sial kemana perginya bedebah itu!".
Dari belakang Alberd tiba tiba muncul dan dengan kekuatan penuhnya dia menerjang pria tersebut dengan tendangan taekwondonya.
"Siapa kau!, apa mau mu?" Ujar Alberd kepada pria tersebut.
Pria itu sedikit terdorong kedepan tapi tetap berdiri.
Melihat itu Alberd sedikit terkejut karena lawannya kali ini cukup tangguh, biasanya serangan tersebut bisa membuat orang lain terpental jatuh tapi tidak dengan pria ini.
Pria misterius tersebut berbalik sambil menodongkan pistol ke arah Alberd dan berkata,
"Menyerahlah dasar vampir, atau aku akan menghabisimu!".
Albert sedikit tersentak mendengar ucapan pria tersebut, dia dengan cepat menyadari bahwa pria ini bukan dari kelompok orang yang mengejarnya selama ini.
Kemungkinan orang yang dicarinya adalah Alena.
Albert lalu berkata,
"Aku bukan vampir, aku manusia, dan lagipula omong kosong apa yang kau katakan? Apa kau terlalu terobsesi dengan kisah fantasi atau film?".
Ekspresi pria tersebut langsung berubah kesal lalu berkata,
"Jangan pura pura bodoh dihadapanku, kalau kau manusia lantas mengapa kau memiliki aroma vampir ditubuhmu? Jawab dengan jujur atau aku tidak akan ragu menghabisimu sekarang!". Teriak pria tersebut dengan nada tinggi.
Albert sekali lagi berkata dengan tegas,
"Sudah ku katakan aku bukan vampir, dan aku tidak mengerti apa maksudmu. Lagipula apa urusan serta hubungan hal yang kau sebut vampir itu dengan dirimu"
"Aku adalah Simon, leluhurku adalah pemburu vampir, aku merasakan keberadaan vampir di sekitar sini serta aroma vampir dari tubuhmu. Apa kau seorang campuran? Apa kau memakai lensa kontak untuk menipuku?". Ucap Simon.
"Pemburu vampir? Bicaramu semakin ngelantur, sudah ku bilang aku bukan vampir seperti yang kau tuduhkan itu!". Ujar Alberd dengan wajah yang panik.
"Kau benar benar menguji batas kesabaranku, apa kau kira aku anak kecil berumur 3 tahun hingga bisa dengan mudahnya kau bodohi?!"
Seru pria tersebut dengan wajah yang semakin kesal.
Suasana ditempat itu semakin tegang dan berbahaya.
Tapi Alberd tetap mencoba untuk menenangkan dirinya, dia berusaha keras untuk tak menunjukan ekspresi apapun yang mencurigakan.
Sementara pria misterius yang bernama Simon itu tampak semakin serius seraya menodongkan senjatanya ke arah Alberd.
Chapter 8: Alena Terluka
Di tempat lain, Alena yang sedari tadi mencari jejak Alberd merasakan adanya bahaya yang mengancam Alberd, sebelumnya dia sempat kehilangan jejak Alberd karena efek dari skill penekan hawa keberadaan.
Alena mengangkat tangan kanannya,
"Summon familiar.." ucapnya.
Lalu seekor kelelawar kecil muncul melalui bayangan hitam ditelapak tangannya.
"Temukan aura ini.."
Kelelawar itu kemudian terbang ke udara.
Alena bergegas mengikutinya sampai akhirnya dia menemukan Alberd.
Dia melihat Alberd yang sedang ditodongkan senjata oleh seseorang.
"Berhenti..!!" Ucap Alena, suaranya memecahkan ketegangan situasi disana.
"Aku adalah orang yang kau cari.."
Simon lalu menoleh ke arah Alena, dia melihat sosok gadis berambut hitam panjang dengan mata merah menyala berdiri di arah sumber suara.
"Tidak.. Alena, pergi dari sini..!" Ujar Alberd dengan lantang.
Alena tiba tiba melesat ke arah Alberd dan dalam sekejap dia sudah berdiri membelakangi Alberd, dia menoleh lalu berkata,
"Masalah ini adalah karena Aku, seharusnya aku tak melibatkanmu Alberd".
"Hmm.. wind step? jadi ternyata kau adalah vampir, dan tampaknya kalian saling kenal, pantas saja dia memiliki aroma vampir meski samar," ucap Simon,
"Aku tidak akan basa basi, serahkan dirimu dan aku berjanji akan mengampuni pemuda ini, Vampir adalah ancaman umat manusia, keberadaan mereka adalah bencana bagi dunia" sambungnya.
Alena menatap tajam Simon dengan sinis lalu berkata,
"Omong kosong!, kalian pemburu vampir adalah orang-orang munafik yang bersembunyi dibalik topeng keadilan, faktanya leluhur kalian adalah pemuja bangsa Lycan yang merupakan musuh besar umat manusia." teriak Alena.
"Lycan memangsa dan membunuh manusia, sedangkan vampir sejak dahulu telah hidup berdampingan dengan manusia, sejak dulu kalian menutup mata atas kebenaran ini. Dengan dan atas dasar apa kau berkata kami para vampir adalah ancaman bagi dunia?". lanjut Alena dengan nada marah.
"Tutup mulutmu jalang! Jangan banyak omong kosong, serahkan diri atau kalian berdua mati". Balas Simon seraya menodongkan senjatanya.
"Memangnya siapa kau? Dengan sombongnya mengatakan itu!" Ucap Alena dengan nada marah.
Simon tersenyum jahat lalu berkata,
"Heh, maka kau perlu mencobanya".
Simon menekan pelatuk dan menembak Alena.
Alena tak bergeming, karena jika dia menghindar, peluru itu pasti akan mengenai Alberd, lalu peluru tersebut dengan cepat menembus bahu Alena, darah pun menetes dari bahunya. Dan berkat darah vampir murni, luka Alena hanya luka dangkal.
"Ahh... !!" Alena memegang bahu kanannya mencoba menahan darah yang menetes,
"Alena..!!! Kau terluka," teriak Alberd panik dan langsung berlari ke arah Alena, "tapi bukankah peluru tidak bisa melukaimu". Ujar Alberd sambil memegangi tubuh Alena.
"Ini peluru perak.. satu satunya kelemahan vampir" gumam Alena lirih sambil menahan sakit dan memegangi bahunya.
"Aku tak apa Alberd.. sepertinya aku tak punya pilihan selain menggunakan teknik ini.." ucap Alena.
Lalu dia mengangkat tangan kanannya ke arah Simon..
"Haha.. ini dia, cepat berikan aku darah itu, dengan demikian aku akan... Ahhckk!"
Sebelum menyelesaikan kalimatnya tiba tiba tubuh Simon gemetar, pistolnya terjatuh, lalu dia perlahan roboh ketanah dengan lutut yang menopang tubuhnya.
"Apa ini, apa yang kau lakukan padaku?
Hmm.. ini blood control, sialan kau..!!" Ujar Simon kesakitan.
Dia merasakan sakit disekujur tubuhnya seakan semua otot di tubuhnya akan meledak, urat disekitar lehernya nampak keluar, tak lama kemudian dia roboh tak sadarkan diri.
Tanpa membuang waktu Alena dan Alberd pergi dari tempat itu, Alberd menggendong Alena menuju mobilnya dan bergegas pergi.
"Alena bertahanlah.." ujar Alberd khawatir.
Alena tampak lemas dan hampir pingsan.
Mereka kemudian menuju apartemen Alberd.
Disana Dia membantu Alena mengeluarkan peluru perak dari bahunya.
Alena menjelaskan bahwa satu satunya yang bisa membunuh vampir adalah senjata perak.
Peluru perak mencegah regenerasi luka, itulah mengapa harus segera dikeluarkan.
Dua jam kemudian luka Alena sembuh dan tidak ada bekas luka sama sekali.
"Syukurlah kau tak apa apa.." ucap Alberd lega.
"Terima kasih Alberd," Alena membalas dengan sedikit tersipu.
"Kemari mendekatlah.." ucap Alena sedikit malu.
Alberd pun mendekat tanpa ragu, lalu Alena dengan wajah malu mencium pipi Alberd..
Alberd sedikit kaget, tapi entah kenapa dia merasa senang, dan jantungnya berdebar kencang.
Alena mulai menyadari bahwa perasaannya terhadap Alberd jauh lebih dalam dari sekedar rasa terima kasih. Sementara itu, Alberd juga mulai memahami bahwa wanita misterius ini mungkin lebih dari sekadar orang yang menyelamatkan hidupnya, dia adalah seseorang yang juga ingin dia lindungi.
Chapter 9: Lamunan Alena
Di apartemen Alberd,
Cahaya lampu kota yang redup masuk melalui jendela besar, menerangi siluet tubuh Alena yang berdiri dengan pandangan kosong menatap malam. Tangannya menggenggam tirai, seolah mencoba menahan perasaan yang membanjiri dadanya.
Kenangan-kenangan dari masa lalu berputar dibenaknya, rasa sakit, kehilangan, dan kehampaan yang selalu menghantuinya. Namun, kini ada Alberd, seseorang yang membuat hatinya kembali hidup. Dia ingin percaya bahwa kebahagiaan itu mungkin, bahwa dia bisa memulai lembaran baru bersama Alberd.
Tapi keraguan masih menggantung di hatinya, seperti kabut tebal yang menutupi jalan di depannya.
"Alberd... alangkah indahnya jika aku bisa meninggalkan semua kenangan kelam ini di belakang, dan memulai kisah bahagia bersamamu... tanpa bayang-bayang masa lalu atau ancaman di depan," gumamnya dalam hati.
Namun, sebuah pikiran gelap segera menyusup. "Tapi... bagaimana jika aku justru membawa kehancuran dalam hidupmu? Bagaimana jika aku, dengan semua bebanku, hanya menyeretmu ke dalam bahaya? Aku tidak ingin kehilangan orang yang kucintai lagi."
Dadanya terasa sesak. Tanpa sadar, air matanya jatuh. Dengan cepat, dia mengusapnya, mencoba menyembunyikan kelemahan yang tidak ingin dia tunjukkan.
"Aku tidak tau apa yang akan terjadi kedepannya, serangan tadi aku yakin hanyalah permulaan.." gumamnya pelan.
"Tapi aku akan memastikan apa yang kumiliki saat ini tak lagi direnggut, bahkan jika harus menumpahkan darah."
Alena kemudian berbalik,
Langkah kakinya berjalan pelan menuju sofa di mana Alberd terbaring tidur. Wajahnya terlihat damai, meski samar-samar garis kelelahan terlihat. Alena berlutut di sampingnya, matanya tak lepas dari wajah pria itu. Perlahan, tangannya terangkat, membelai rambut Alberd dengan lembut.
"Alberd... aku takkan membiarkan siapa pun atau apa pun menyakitimu. Aku akan melindungimu, meskipun itu berarti harus mengorbankan segalanya." Suaranya nyaris berbisik, namun penuh dengan tekad.
Dia menunduk, kemudian mencium kening Alberd dengan penuh kasih. Seketika, sebuah senyuman kecil muncul di wajah Alberd yang tertidur. Samar-samar, dia bergumam dalam hati, "Aku mendengarmu, Alena."
Alena kemudian meletakkan kepalanya disamping Alberd.
Dia lebih memilih tidur disampingnya dan membiarkan ranjang di kamar itu kosong.
Lalu perlahan menutup matanya seraya tangannya menggenggam tangan Alberd.
Chapter 10: Misteri Darah Murni
Di sebuah sebuah ruangan gelap yang hanya diterangi oleh cahaya perapian, Simon berjalan dengan sedikit tertatih.
Tubuhnya masih merasakan sakit karena kejadian sebelumnya.
Sekilas dia mengingat bagaimana vampir itu melumpuhkannya.
Dia ingat bahwa menurut catatan kuno, blood control adalah kemampuan khusus yang hanya dimiliki oleh vampir darah murni.
Kemampuan lainnya yang hanya dimiliki darah murni adalah Sihir vampir yang kekuatannya terkuatnya bahkan bisa merobohkan sebuah kastil dalam sekali serang.
Dua kemampuan terkuat ini adalah kekuatan utama vampir darah murni sejak dahulu kala.
Selain itu perbedaan paling mencolok vampir murni dan vampir campuran adalah kemampuan terbang. Vampir murni memiliki sepasang sayap, mereka juga bisa menyembunyikan sayap mereka saat tak digunakan, sekilas penampilan mereka tampak mirip manusia biasa, kecuali warna mata mereka. Vampir murni memiliki pupil mata merah menyala tapi sangat cantik dan anggun dibanding pupil merah biasa milik ras campuran.
"Ternyata dia adalah vampir darah murni, hmm.. Jalang sialan! kau tunggu saja, aku tidak akan mengampunimu dan juga pria mu itu".
gumam Simon sambil menggebrak meja dengan kesal,
Kemudian dia menghela nafas panjang.
Pandangannya menatap ke arah meja di hadapannya, disana sebuah buku tebal terbuka, dengan halaman-halaman kuno yang penuh dengan tulisan tangan berusia ratusan tahun. Setiap kata terasa berat, seakan berbisik langsung ke dalam jiwanya. Leluhurnya, para pemburu vampir legendaris, telah mencoba segala cara untuk mengungkap rahasia umur panjang.
Mereka telah meminum darah vampir murni, berharap bisa menguasai kunci umur panjang. Tapi mereka gagal dan selalu gagal. Tidak ada satu pun dari mereka yang berhasil. Hanya kematian yang mereka temui. Dan kini, Simon, yang telah mempelajari setiap kata dengan cermat, tahu bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar sekedar minum darah. Ada sesuatu yang disembunyikan. Sesuatu yang tak pernah terpecahkan, bahkan oleh ayahnya yang bijaksana.
Di luar, malam terasa begitu sunyi, namun hatinya bergejolak. Simon tak bisa lagi menahan rasa frustrasi yang membakar dirinya. Selama bertahun-tahun, dia mencari jawaban, dan kini dia hampir bisa mendapatkannya.
"Setetes darah vampir murni... dan segalanya bisa berubah," gumamnya, menatap halaman terakhir buku tersebut.
Tapi apa yang tidak diketahui oleh leluhurnya merupakan rahasia terbesar bangsa vampir yang bahkan hanya diketahui oleh vampir berdarah murni.
Rahasia itu lebih gelap dari sekadar setetes darah. Darah vampir murni bukanlah anugerah bagi mereka yang memaksakannya. Darah itu adalah racun mematikan yang rasa sakitnya seperti tubuh terbakar dari dalam. Hanya persetujuan sukarela dari sang vampir yang akan membuka jalan menuju umur panjang. Namun, memaksa kehendak vampir murni? Itu mustahil. Bahkan di ambang maut, mereka tak akan menyerah.
Tapi meskipun rahasia ini terungkap ke seluruh dunia, persetujuan karena paksaan takkan mengubah apapun.
Ini adalah rahasia terakhir yang perlu Simon pecahkan, dan dia tidak akan berhenti hingga dia berhasil mengungkapnya, meskipun itu berarti mengorbankan segala yang dia miliki.
"Sedikit lagi, tinggal sedikit lagi aku bisa mendapatkan darah itu.." ucap Simon seraya menggertakan giginya.
"Nampaknya hanya vampir jalang itu yang tau apa rahasianya, tapi bagaimana cara membuatnya bicara.. "
Simon mengerutkan keningnya.
"Aku harus segera memulihkan kekuatanku, lalu menyusun rencana.." tutupnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!