Pagi itu. Di sekian hari bersinar menyinari dunia. Aku tumbuh alami, segar badan ini meloncat, meneriakan suara dengan leluasa.
Tepat di ujung kisah pilu yang menggores sembilu. Pagi ini sepertinya adalah hal yang berbeda. Entah mengapa terasa sangat menggembirakan? Aku tidak tahu dan sebaiknya diri ini cukup berdiam, tidak ingin menjelaskannya. Mengenai ungkapan sederhana yang diucapkan dengan canda tawa
Namun, aku tidak pernah menyangka semua itu bisa menyakiti hati yang tak bisa menerima.
Bahkan, kala itu aku mengucapkannya tanpa sengaja, walaupun sedikit terucap sekadar bercanda mengisi waktu luang, tetapi pikiran mereka tak bisa menerima semuanya. Ia memberontak kuat, menghantamkan perasaan bertumpuk kegelapan.
Aku masih menatap cahaya matahari pagi yang menyinari dunia. Pikiranku sedang memikirkan peristiwa yang terdapat di dalam sekumpulan paragraf-paragraf dusta.
Bait-bait nada yang menyampaikan banyak kosa kata sia-sia dalam hitungan menit, berganti warna dalam sekejap mata.
Ucapan dulu yang dilontarkan begitu saja, tanpa berpikir lebih peduli, tanpa penimbangan diri. Jujur, di kala itu tidak terhitung banyaknya kata yang telah kuucapkan, tidak terhitung banyaknya kata maaf yang telah kulupakan.
Selama lama waktu berlalu, aku tak pernah memikirkan tentang bagaimana perasaan orang lain saat menerima ucapan, juga mendengarkan apa yang telah kulontarkan.
Apakah itu menyakiti perasaan mereka atau tidak? Aku tidak tahu. Bagiku canda tawa hanyalah gurauan yang tak memiliki apa-apa. Itulah alasan sederhana yang ingin kusampaikan.
Aku tahu penilaian setiap orang itu berbeda, semuanya berjalan, bekerja sesuai dengan pola pikir mereka masing-masing.
Tidak terasa pagi itu telah meninggalkan diriku yang berkutat mengenai suatu kata dalam cinta, waktu seakan pergi dengan cepat tanpa menunggu, ia terus berputar dan berlalu.
Kini, cahaya khas di ufuk barat memancar jelas kutatap, cahaya yang muncul menemani diriku.
Senja inilah yang sedang kupandang dalam renungan, aku duduk di sebuah bukit yang bisa dibilang tidak terlalu tinggi.
Angin pun berembus sepoi. Dengan berpejam diri, aku seakan pergi ke alam yang tiada apa pun lagi yang bisa kurasakan.
Angin kembali berembus menyentuh diriku, sejenak menyadarkan lamunan yang menguasai diri, lalu masuk ke celah-celah pakaian yang kukenakan.
Bukit yang kupijak sekarang berdekatan dengan pantai. Dari bukit ini terlihat jelas matahari mulai tenggelam menunjukkan cahaya kuning membayang seolah-olah menggambarkan perasaanku yang saat ini hendak tenggelam karena rindu akan sesuatu yang telah lama berlalu, sinarnya yang seakan menghilang di dalam genggaman tangan.
Seorang kekasih hati yang dicintai, meninggalkan jejak-jejak kenangan, mengenai cerita syahdu bersulam rindu dan jalinan kasih sayang yang menjalin hubungan erat sejak lama, tetapi tidak pernah kusangka. Hubungan itu kandas hanya karena satu kesalahan.
Satu kesalahan yang telah melupakan beribu kebaikan di dalamnya. Amat kasihan, sungguh tiada sanggup kutatap.
Ya, aku tak sanggup menatapnya, walaupun hanya sekadar tokoh fiksi yang disebut dalam cerita, sebuah cerita yang tersusun rapi di dalam lembaran buku tua.
Aku sedang membacanya, membalik dari halaman satu ke halaman lainnya. Aku sedang duduk melamun menatap buku tersebut.
Buku yang membahas tentang sikap ketidakpuasan cinta dan perpisahan, tentang keserakahan diri yang merasuk ke dalam jiwa, juga keinginan untuk mendapatkan sesuatu yang terlihat di pandangan secara berlebihan.
***
Jazu berkata, “Bantuin dong, berat nih!” Dia sedang mengangkat kardus berisi kulkas. Aku mengetahui sekilas tanpa bertanya, sekadar menebak saja. Belum tentu kebenarannya.
Aku menghampiri, menanyakannya dan ternyata benarlah semua yang telah kutebak di dalam benak. Itu kardus berisi kulkas.
Jazu adalah teman terbaik yang satu-satunya kumiliki, antara aku dan dia memiliki beberapa perbedaan. Sementara itu, Wapta. Dia tersenyum melihat apa yang ada di hadapannya. Melihat diriku tentunya yang sedang cengar-cengir menunjukkan gaya.
Perkenalkan namaku adalah Narak. Kalau kau ingin akrab denganku sebut saja Nar. Aku berusai tujuh belas tahun.
Aku bekerja di salah satu jasa tukang angkot barang. Jasa yang mengantar barang ke sana ke sini, kemana pun orderan yang dipesan pelanggan.
Kalau ingin tahu, bicaraku itu tidak beraturan, sembarangan tanpa pikiran, tetapi temanku menganggap itu sebuah kelebihan, aku tak pernah bisa diam, bicara adalah bakat yang kumiliki. Diam itu emas, bagi mereka yang pendiam, mereka sangat beruntung.
Berbeda denganku ....
Wapta itu lucu, tetapi selalu saja berdebat denganku. Dia wanita keras kepala, wajar saja hal itu terjadi, siapa pun yang dekat dengannya selalu saja ribut.
“Berat gak? sini aku bantu,” ucap Wapta seolah ingin membantuku. Aku kali ini ingin berlagak sombong. Tidak menghiraukannya.
“Gak, aku kuat kok!” jawabku dengan sikap sombong. Lebih-lebih dia akan marah atau apalah, terpenting buatku sekarang adalah aku tidak ingin dekat-dekat dengannya.
“Hmm ... jual mahal, teman mau bantuin juga malah ditolak!” tegas Wapta menatap tajam ke arahku. Tangannya menyilang di bawah dada.
Dalam hati, aku sudah ingin menyerahkannya. Lelah juga mengangkat kardus ini sendirian. “Nih, angkat aja aku mau istirahat dulu.”
Oh, ya. Jazu yang sebelumnya. Dia sengaja minta bantuan sama aku, hasilnya ya begitu dia beristirahat. Aku pun hendak sama dengannya—mencari korban.
“Hissshh, enak aja main istirahat segala, kerja woy ... jangan santai-santai mulu.” Tak pernah kusangka. Wapta akan mengeluarkan ocehannya yang ketus itu.
Aku tidak terkejut karena itu memanglah sifatnya. Hanya saja, tak disangka. Kukira dia akan mau kusuruh mengangkatnya.
Aku mengalihkan perhatian agar dia meredamkan ocehan, garuk kepala. “Cuman bercanda, mana bisa aku membiarkan kau angkat-angkat sendirian nanti kecapean, kan kasihan.” Aku mengucapkannya sambil tersenyum-senyum, berharap Wapta memakluminya.
“Ya, udah kerja cepatan.” Wapta menunjuk barang, melakukan titahnya.
“Oke ... siyap komandan!”
Aku tak ingin banyak bicara, bagiku itu akan melelahkan. Bicara yang tidak bermutu, sudahlah itu tidak bagus. Aku membawa kardus berisi kulkas itu, memuatkannya ke belakang mobil pengangkut barang. Pekerjaanku selesai dengan mudah.
Di ruangan ini, jelas terasa sangat panas. AC di dalam ruangan ini seperti tidak berfungsi sama sekali, peluh keringat membasahi sekujur tubuhku.
Akan tetapi, satu hal yang kuherankan dari Wapta adalah dia penuh semangat bekerja tidak menghiraukan keadaan tersebut, dia wanita gigit dengan giat bekerja, walaupun suasana panas.
Aku duduk santai, menatap orang-orang yang bekerja. Tibalah orderan datang dan kali ini orderannya menuju ke suatu tempat di desa yang jauh dari keramaian, menurut informasi yang diterima katanya jalan menuju ke sana agak susah untuk dilalui, perlu kesabaran untuk bisa ke sana.
Aku dan Wapta. Sialnya, kami berdua malah diperintahkan mengantar barang yang dibungkus rapi dalam lipatan plastik, barang itu adalah lemari baju berukuran cukup besar. Barang yang super mantap.
Dengan hati-hati barang itu kami angkat. Perlahan, berusaha memasukkannya ke dalam mobil pengangkut barang.
Namun, di saat mengangkat lemari itu, Wapta tak sengaja kelepasan dari tangannya, hampir saja lemari itu jatuh, untungnya aku bersegera bertindak cepat menghentikannya. Syukurlah, tidak terjadi apa-apa. Barang itu utuh selamat.
“Wapta, hati-hati dong nanti lemarinya rusak, kita juga yang kena omelin.” Aku tidak terima dengan semuanya. Jika lemari itu rusak siapa yang akan bertanggung jawab. Pemilik atau orang yang mempekerjakan kami itu orangnya sangat galak.
Aku tidak berani, mendengar rumornya saja bulu kudukku merinding. Maka dari itu, aku marahi saja si Wapta sebagai ganti rugi atas kelakuannya yang buruk itu.
“Iya, maaf, barangnya berat tau,” jawab Wapta tampak merasa bersalah, tetapi tetap dengan sikapnya yang begitu. Sikap yang tak mau mengalah, tidak mau mengakui kesalahan dirinya, malah menuduh barangnya yang berat. Hello, semua tahu barang yang kami angkat itu berat.
Akan tetapi, jika berhati-hati. Hal itu tidak akan terjadi. “Sudahlah, tidak apa-apa yang penting tuh lemari udah dimuat ke dalam mobil pengangkut barang ini dan tidak ada bagiannya yang rusak,” ucapku tak ingin berdebat dengannya. Aku mengalah, tahu sikap wanita mungkin memang begitu.
Aku masuk ke dalam mobil lebih dulu, menyetir tentunya. Bukan sebagai sopir, melainkan sosok pahlawan yang melintasi jalanan, menolong wanita yang sekarang duduk di sisiku.
Kami berdua akhirnya berangkat, mobil pengangkut barang itu melaju meninggalkan tempat kami bekerja.
Bosan sekali. Perjalanan melintasi kota menuju ke pedesaan rasanya cukup jauh. Tanganku memutar tombol musik. Selama dalam perjalanan menuju ke tempat itu lagu kesukaanku selalu menemaniku. Lagu salah satu dari group band ternama.
Wapta mengerut menatapku. “Ganti lagulah, bosen lagu itu mulu,” bentak Wapta bergerak cepat memutar-mutar tombol musik.
“Eh ... gak ada lagu lain, ya?” lanjut Wapta masih memutar tombol musik. Dia tidak tahu saja, aku sudah memasang memory punyaku yang di dalamnya sealbum dari lagu kesukaanku. Dari group band yang sama.
“Apaan sih, Wapta ... aku, 'kan penggemar setia. Jadi, wajar kalo gak ada musik lain,” ucapku tegas menghentikan tangan Wapta yang sedang memutar musik. Wapta tampak kesal. Aku memahaminya.
“Jika kamu gak suka, baiklah aku matikan saja lagunya,” lanjutku dengan cepat mematikan musik. Nah, sunyi kan? Menyisakan suara mesin dan gemuruh angin di luar kaca jendela mobil.
Perjalanan ini pun mulai terasa sangat membosankan bagiku. Wajar saja, banyak rekan kerjaku yang tidak ingin bepergian bersama Wapta. Mereka selalu mencari alasan, akulah orang yang akan ditunjuk bila ada barang pesanan yang diantar dan bepergian bersama Wapta.
Aku menerima pekerjaan ini dengan ikhlas karena aku tahu jerih payah seseorang yang mencari kehidupan. Di usia yang masih muda ini, bahkan paling muda di antara semua rekan kerjaku. Aku selalu bersyukur mendapatkan rekan seperti apa pun.
“Mikirin apa kamu, Nar?” tanya Wapta memandang ke arahku. Dia secara tidak langsung memecahkan lamunanku.
“Mikirin kamu yang sedang marah,” jawabku menunjukkan wajah tersenyum konyol.
“Emang kenapa? Kalo aku marah, kamu takut, ya?” Sepertinya Wapta ini tampak mencari-cari sebab pertengkaran. Aku muak dengannya. Ingin berteriak meminta tolong.
“Nggak tuh, cuman berasa ngeri.” Aku fokus ke depan, memandang jalanan kota. Tiba-tiba Wapta memukul tepat di kepalaku.
“Aduh.. sakit tau!” ucapku sambil mengusap-usap kepala yang habis kena pukul.
“Rasain, emang enak?”
Ocehan-ocehan Wapta terlontarkan begitu saja. Aku sangat ingin membalasnya, sangat ingin memukulnya, tetapi harus tahan emosi. Aku cukup mengenyir, mengelawak nonstop, memberikannya hiburan hingga tak terasa jalan yang kami dengar melalui informasi memang benar, menempuh jalanan ini begitu susah karena jalannya terjal. Jalanan yang tidak rata dan penuh dengan lubang-lubang.
Mobil kami bergoyang-goyang, seperti perahu yang sedang diterpa ombak. Aku santai dengan damai menatap ke arah depan, berbeda dengan Wapta yang tampaknya tidak terbiasa.
Guncangan di mobil itu, membuatnya muntah-muntah, sedangkan aku yang melihat kondisi Wapta seperti itu malah tertawa lepas. Terbahak. Haha, rasakan itu pembalasan karena tadi menertawakan diriku.
“Kamu jahat nar, teman begini malah diketawain.” Wapta membuatku tertawa semakin nyaring. Aku tidak jahat, hanya terbayang pembalasan tadi.
“Wapta. Maaf, aku tak bisa menahan tawa karena melihatmu begitu, entah bagaimana membuatku tertawa?” Aku benar-benar tak bisa mengerti kenapa aku malah tertawa.
“Berhenti, aku mau ngilangin pusing dulu.”
Wapta menyuruhku memberhentikan mobil. Ya, sudahlah. Berhenti sebentar tidak masalah. Aku cukup memahaminya. Ini seperti mabuk laut, temanku dulu waktu SD dia melaut menceritakan muntah dengan cairan kuning. Mungkin saja, tubuh tidak terbiasa. Aku hanya suka mendengarkan orang lain bercerita, suka sekali.
Akan tetapi, Wapta bukan orang yang seperti itu. Dia bahkan tidak ingin menceritakannya. Itulah dirinya yang tak suka mendengarkan, juga menceritakan sesuatu.
Kami pun berhenti, beristirahat sejenak. Jujur saja, saat ini di depan mataku terbentang alam hijau, panorama keindahan alam semesta. Pemandangan yang bagus terlihat di sekeliling tempat kami berhenti.
Sebuah hamparan hutan hijau, juga ada suara burung berkicau merdu, memekik di udara. Langit ternampak cerah kebiruan dan putih berawan, tiupan angin seakan menyentuh tubuh dengan hawa dingin penuh rasa sejuk, inilah pedesaan yang jauh dari polusi asap kendaraan.
Pedesaan yang asri dan alami. Bukan pemanis buatan, melainkan sesuatu yang damai dan penuh keaslian.
Mirisnya, jalanan daerah ini kurang diperhatikan pemerintah, mungkin karena tempatnya terpencil, jarang dilewati orang-orang. Hal itulah yang menjadi alasan.
“Bagaimana Wapta enak, 'kan cuacanya di sini? Andai aja ada cemilan, ya?” Aku suka mengemil keripik sambil berjalan-jalan melihat pemandangan sekitar. Itu kebiasaan dulu, waktu ada acara tamasya ke gunung.
Wapta tak menjawabnya. Dia berjalan ke mobil. “Sudah, kita lanjutkan saja perjalanan ini, kepalaku udah hilang pusingnya,” jawab Wapta ketus membuka pintu mobil.
“Okelah ... yuk, berangkat!” kataku semangat menghampiri Wapta yang sudah berada di dalam mobil. Akhirnya, tanpa diminta dia sendiri yang memintanya. Jujur saja, aku ingin cepat kembali ke tempat bekerja. Ini melelahkan.
Kami pun melanjutkan perjalanan. Mobil melaju pelan. Jalanan ini rumit dengan lubang di mana-mana yang menyebabkan guncangan bertubi-tubi, menghantam ban mobil kami. Keterangan di awal tadi, seperti yang kubilang mobil kami bagai kapal yang diterpa ombak. Terhempas-hempas.
Wapta menunjuk ke arah depan, ternyata ada lubak yang lumayan besar.
“Hati-hati ban mobil, Nar! Nanti kita akan terjebak ke lubak itu.”
Pada akhirnya, benar saja ban mobil kami terperosok ke dalam lubak. Wapta terlambat memberi tahu. Kami terhenti lagi, tak disangka berjam-jam lamanya berada di tempat itu bolak-balik berjalan tidak keruan, waktu yang tak ingin dibuang, akhirnya terbuang sia-sia karena lubak tersebut.
Kami sudah berusaha sekuat tenaga, tetapi tenaga kami berdua tidak cukup untuk bisa mengeluarkan mobil tersebut.
Rasanya sungguh melelahkan, kami berdua beristirahat sejenak, melapangkan pikiran.
Tak lama dari itu, aku mendengar suara kendaraan beroda dua lewat. Lantas, aku meminta pertolongan kepada orang itu. Syukurlah, orang itu mau membantu kami.
Dengan usaha dan kesabaran, akhirnya mobil itu berhasil keluar dari lubak. Wapta tampak bersorak nyaring. Aku menghela napas lega.
Kami bertiga saling kelelahan, mengatur sejenak pernapasan. Orang itu lanjut menaiki kendaraan miliknya.
Aku cepat menghampiri. “Terima kasih, Pak. Sudah mau membantu kami,” ucapku berterima kasih sambil menjabat tangan.
“Iya. Sama-sama,” jawab orang itu yang belum kuketahui namanya siapa.
Orang itu lalu pergi lagi, katanya dia buru-buru ingin bertemu anaknya. Katanya lagi Orang itu sudah lama tidak pulang kampung. Wajar saja, kemungkinan sekarang dia rindu dengan anaknya, jadilah dia terburu buru tidak sabaran begitu, dari semua yang terjadi, aku malah lupa bertanya siapa namanya?
***
Kami berdua kembali melanjutkan perjalanan yang sempat terhenti. Dengan pengalaman sebelumnya, aku cukup mengerti dan paham.
“Kali ini hati-hati nar, 'kan dari awal sudah aku peringatkan!” ucap wapta ngomel-ngomel. Tanpa diberitahu pun aku sudah tahu, dia saja yang memperingatkan malah terlambat.
“Emang kamu pikir mudah apa? Aku tidak terbiasa di jalan begini, Wapta. Jangan salahkan aku!” jawabku membela diri. Tidak ingin mengalah.
“Iya, kamu benar. Akan tetapi kalau hati-hati kejadian tadi pasti tidak akan terjadi!” lanjut Wapta dengan ocehannya itu.
Tiba-tiba ....
“Pretttttt ....” Aku menginjak rem mendadak. Sedikit elus dada. Astaga? Terkejut aku karena sibuk berbicara dengan Wapta.
Bahkan, Wapta yang tadinya memberi nasehat saja, tidak menyadari ada kayu besar yang menghalangi perjalanan kami, terpaksa aku turun menyingkirkannya.
Sebatang pohon kayu itu seperti bekas patah dari pohon. Eh, ada jeritan tangisan terdengar dari kejauhan. Aku mendengar jelas bertanya heran, memandang ke sekeliling, ternyata itu cuma kambing terjepit batu ....
Astaga?
Dengan tenaga yang kumiliki, aku menolong kambing itu. “Aneh juga, kenapa di pegunungan begini ada kambing?” gumamku melihat pemandangan sekitar. Suasana saat itu tampak sunyi, tidak ada orang. Pun tidak ada rumah yang terlihat, kemungkinan kambing itu sedang tersesat. Kasihan, kau sudah bebas kambing, berkelanalah kembali meraih mimpi nan jauh di sana.
***
Syukurlah, kami telah sampai di desa yang telah dimaksud, sekarang derap langkah ini berjalan menuju ke sebuah rumah. Kali ini, benar-benar tak menyangka alamat rumah itu ternyata adalah alamat orang yang tadi telah menolong kami.
Secara kebetulan kami saling terkejut, ternyata ini adalah barang pesanan anaknya untuk memberi kejutan kepada orang yang tadi menolong kami. Aku tak menyangka orang itu adalah ayahnya.
Ini kejutan di atas kejutan. Dia orang yang telah menolong kami, anaknya mempersiapkan kejutan untuknya, secara tidak langsung kami berdua ikut merasakan kejutan miliknya. Luar biasa, takdir di dunia memang rumit, pertemuan dan perpisahan.
Memang di dunia ini ada banyak hal yang kutemui secara kebetulan, mungkin saja itu bukan hanya kebetulan, melainkan bisa juga itu adalah takdir. Aku tidak tahu mengapa itu terjadi? Ada yang menyebut dunia itu sempit, setelah aku menemukan peristiwa ini, aku mengetahui sedikit tentang kata yang banyak kudengar dari orang-orang.
“Ayo, silakan masuk dulu ke rumah kami.” Orang itu menyambut dengan tersenyum ramah. Barang yang dibungkus plastik itu perlahan dibuka anaknya. Aku menatap dari kejauhan masih bercengkrama dengan mereka. Wapta memberi isyarat untuk cepat pulang. Aku menatapnya sekilas memahami tanpa bertanya.
“Maaf, pak. Kami tidak bisa lama-lama takutnya si bos mengira ada apa-apa, sebab kami tidak membawa ponsel.” Aku mengarang alasan. Wapta mengangguk, memahami caraku.
“Kami mempunyai ponsel, kenapa kalian tak memanggil bos kalian dan mengabari dia bahwa kalian menginap di sini dulu.” Bapak itu ramah, bahkan terlalu ramah bagiku. Dia meminta kami untuk bermalam.
Aku lebih berpikir keras lagi mencari alasan agar masuk akal. Sejenak aku memikirkan. Eh, malah yang terbayang sekarang adalah sosok bos yang tampak berwajah marah.
Seram sekali. Apalagi, bos kami itu galaknya luar biasa, terbayang wajahnya saja membuatku menggelengkan kepala. Sepertinya itu cocok dijadikan alasan. Padahal, tidak terbayang hal lain. Bos seakan datang dengan sosok menakutkan.
“Iya. Terima kasih atas tawarannya, sekali lagi terima kasih, tapi sepertinya kami memilih pamit saja, soalnya bos kami itu galak luar biasa. Lebih galak dari harimau.” Aku mengucapkannya dengan hormat dan tersenyum mengelawak.
Mereka tertawa, entahlah. Lucu atau tidaknya. Yang jelas aku terbebas dari ajakan mereka supaya tinggal bermalam.
Mereka setuju. Kami pun berpamitan, saling bersalaman. Di kejauhan. Tepat di dalam mobil, aku menatap mereka melambaikan tangan.
“Baiklah, hati-hati di jalan, ya ....”
Itu suara anaknya. Orangnya sama mengatakan demikian. Tentu, dengan suara yang berbeda. Kami pun membalas lambaian. Tersenyum menatap mereka. Aku menginjak pedal gas. Mobil kami kembali melaju meninggalkan tempat tersebut. Di dalam hati ini, aku bersorak senang. Alasan yang tadi kuberikan tidak memberi kesan buruk.
Syukurlah. Kesan terbaik itulah yang hendak terus kucari, kuterapkan di sepanjang kehidupan. Aku seorang anak muda yang tahu betul mana baik dan buruk. Bisa membedakan keduanya.
Satu hal yang terpenting bagiku adalah menghormati orang lain. Semoga aku bisa terus menghormati setiap orang tanpa meninggalkan jejak jelek yang membuat mereka bersedih hari karena kelakuanku yang kurang baik.
Perjalanan menuju arah pulang sama seperti datang. Memanglah kami menjalani jalan yang sama, tidak ada jalan lain.
Jalannya yang seperti itu membuat kami tak bisa menancap gas dengan cepat, guncangan dan juga hentakan membuat perjalanan terasa tidak nyaman.
Aku berhati-hati dalam menyetir, menjalankan mobil dengan pedal gas yang kutahan dan kecepatan berpacu melaju perlahan-lahan. Di dalam benakku melukiskan dilema yang tak kunjung usai.
Tepat di luar kaca mobil tampak matahari mulai terbenam. Lihatlah, di sana senja bergelayut indah. Di atap langit menguning menelusuri jalan. Aku sudah sering melewati setiap hari menjelang malam, di waktu senja yang kutatap saat ini.
Aku selalu memandang ke arahnya, senja itu seakan menemani diriku dengan cahayanya yang indah.
Di mana gunung menunjukkan dirinya samar beserta cahaya yang sedikit redup karena tertutup oleh partikel awan, aku hayut dalam ketenangan dalam, sekadar melewati batas pikiran yang melanglang buana, berharap menemukan sepeti harta karun. Entah isinya permata atau sekilas senyuman.
Harta karun yang tersimpan rapi di dalam sanubari. Sebuah kata cinta mungkin, kekal abadi selamanya di dalam sana(hati).
”Apakah kamu tahu, senja itu seperti dirimu yang tak pernah bisa tergapai dengan jari jemariku.” gumamku dalam hati memandang ke arah Wapta. Dirinya lah yang selama ini aku cintai, tetapi semua itu kupendam dalam jiwa, terpendam dengan begitu rapi.
Aku tak ingin mengatakannya. Sekarang, aku selalu menampakkan sikap cuek kepadanya. Akhir-akhirnya ini, aku bahkan sering bertengkar, walaupun masalahnya tidak besar. Hanya, bentuk kecil.
Aku memang mencintainya sejak pandangan pertama, tetapi seolah dirinya memang tak bisa teraih oleh jutaan rindu, jutaan kata. Sudah sering aku mengeja huruf per kalimat dengan teliti dan damai.
Sudah sering aku lupa mematikan alarm perasaan yang semakin dalam merasuk sukma. Wahai kekasih, aku ingin sampaikan satu hal paling dalam yang tak kunjung aku temukan, satu hal paling dangkal di sudut kanan yang kau tampak berantakan.
Maafkan tulisan ini yang tertulis secara acak dengan menggabungkan semua elemen perasaan di dalam jiwa. Di dalam jiwa yang sama, mencintai dan terus mencintaimu. Percayalah, ini tulus benaran tulus, setulus apa pun tidak pernah kuungkapkan ke orang lain.
Sekarang, kau dan aku menatap ke kaca jendela mobil, menatap senja yang tampak begitu lekat. Saat ini, jujur aku sedang menahan rasa perih yang mendenyut di dada, menyesak hati, aku menahan rasa cinta yang telah lama ada, menahan rasa untuk mengungkapnya.
Bolehkah tak ada rasa menyesali karena telah mengenalmu? Bolehkah rasa cinta di hati ini tidak seharusnya ada? Ini adalah fatamorgana. Benar, 'kan? Jeritan perih sedari tadi menusuk hati seolah pedang yang menusuk dengan tajam. Entah sudah berapa lama, aku menatap langit yang berwarna oranye itu, pikiran ini seperti terbang ke mana-mana.
Seolah-olah membuat sebuah pernyataan di dalam benakku. Apa pun yang sekarang terlihat, tentang ini, semua pun sama, seekor burung dara yang mengepakkan sayapnya, terbang menyusuri persawahan, menembus sela-sela rindu di antara desiran angin, lalu terbang meninggalkan jejak kenangan.
Beberapa tanda tanya yang tak kutemukan jawabannya, entah apa? dan mengapa aku tak bisa mengejanya? hanya rasa percaya dan positif yang sekarang kupunya.
Memandang suatu bayangan semu yang tampak hanya sebuah ilusi, mengacaukan akal pikiran dan hati.
Di balik rasa cinta dan rindu itu, walau jujur ada rasa sedih, tetapi aku tak ingin mengingat. Menghilanglah. Menghilanglah bersama tenggelamnya senja itu.
“Ah! sial ... daritadi aku terus mengoceh-oceh tidak jelas.” Aku membentak dalam hati. Wapta tidak tahu selama dalam perjalanan, berjuta kata cinta terangkai begitu saja seakan butiran hujan turun deras menyentuh tanah.
***
Melalui berbagai rintangan jalanan ini, tak terasa malam hari datang dengan putaran yang kurasa cepat. Senja telah hilang, berubah malam.
Suasana gelap menyelimuti perjalanan kami menelusuri jalanan dengan sentuhan angin malam yang menenangkan. “Gimana ini? Kita pasti dimarahi Big Bos!” Wapta ternampak khawatir. Dia juga panik dengan ekspresi tak keruan. Wajar saja, saat itu apa yang terbayang di dalam benakku pun sama. Wajah Big bos yang mengerikan itu memelototi dengan pandangan ganas.
Aku berusaha menenangkan Wapta, sebetulnya juga menenangkan diriku. Aku sudah berusaha semaksimal mungkin menginjak pedal gas dengan cepat, tetapi apa daya kapasitas dan jalanan tidak mendukung.
“Aduh! sialan. Jalan ini begitu sulit dilalui di malam hari.” gumamku menggigit bibir, memukul alat kemudi mobil. Jalanan terjal dan berlubang. Aku tidak memacu pedal gas sesukaku.
Kesabaran itu memang penting, itulah yang kubayangkan. Tanpa memikirkan hal lain. Saat ini, apa yang kubutuhkan adalah kesabaran, tidak bisa dipaksakan.
Aku menghela napas seakan ingin berteriak, setelah dua jam berlalu, akhirnya mobil pengangkut barang kami melewati masa-masa sulitnya. Jalanan di depan sana terbentang lurus dan mulus.
Jalan mulus, lancar di tambah suasana sunyi dari hilir-mudik kendaraan, tidak ada hambatan, membuatku menginjak pedal gas dengan kecepatan penuh, mobil tersebut melaju sekencang angin.
“Pelan-pelan saja nar, nanti bahaya!” ucap Wapta yang kupikir dia ketakutan sambil menepuk bahu kananku. Aku menoleh, mengangguk.
“Baiklah ....” Dengan perlahan, aku memelankan pedal gas mobil tersebut. Mobil itu melaju dengan kecepatan normal.
Karena hari sudah malam, maka aku pun menghantarkan Wapta ke rumahnya. Masalah dengan big bos nanti saja urusannya. Itulah dia yang menjadi masalah terberat bagiku.
“Kenapa kamu menghantarkanku ke rumah? kita tidak bertemu dengan bos dulu?” tanya Wapta kepadaku. Aku tersenyum mencoba mengelawak. Hal hasil dia tertawa.
“Jangan tertawa. Nanti, besok saja kita menemuinya, sudah larut malam. Dia pasti sudah tidur nyenyak, kuala pun tetap tidur di malam hari.” Aku yang melarangnya tertawa, malah aku yang lebih nyaring tertawanya. Hahaha. Kuala, sialan.
Kami pun pulang ke rumah masing-masing. Aku tinggal sendirian di rumah, orang tuaku sudah lama berpulang menghadap Sang Maha Kuasa, keheningan malam itu sudah biasa aku lewati dengan kesendirian.
Memang terasa sedikit kesepian, tetapi karena sudah terbiasa, aku tidak kesepian lagi, walaupun terkadang memang perasaan itu datang menghantuiku.
Ketika sampai di rumah, aku bergegas menuju kasur untuk tidur, berharap besok adalah hari yang aku tunggu untuk mengatakan berbagai macam alasan kepada Big Bos.
Entah alasan itu akan diterima atau ditolak oleh Big Bos. Belum pasti, tetapi rasa penasaran itu membuat tidurku terganggu, entah kenapa aku jadi sulit berpejam.
Aku pun beranjak dari kasur, menuju ke dapur, kuambil gelas untuk meminum susu hangat yang katanya bisa menghasilkan ngantuk.
Tak berselang waktu lama, ternyata itu memang benar, akhirnya secara perlahan aku mulai mengantuk. Aku pun menghampiri kasur dan tertidur nyenyak.
Mungkin inilah yang dinamakan angan-angan senja, sebatas warna mengagumi dan tak bisa memiliki.
Senja di ufuk barat seakan menyilaukan warna. Keindahan yang kutatap sementara.
Sebatas cahaya berkilau yang tampak membayang tak lama sirna. Lihatlah diri ini yang sering menulis kata-kata dalam perasaan penuh ketenangan. Diam di sini, berduduk menatap langit-langit.
Sebuah buku di dalam genggaman masih kupegang erat. Masih bertumpu kuat. Aku merenungkan sebuah mimpi yang tak kasat mata, mimpi yang tak dapat kuraih.
Di malam hari itu, aku pernah bermimpi tentang angsa yang terbang menembus awan. Aku terbang bersamanya lebih tinggi dari apa pun. Pada senja hari ini tampak sekawanan angsa mulai berdatangan seolah-olah memberikan tanggapan angan di luar batas pemikiran.
Selamanya jiwa ini akan terus melantunkan nada-nada cinta tanpa sebutir pun kecewa yang menetas di dalam raga.
Aku terdiam dalam. Menunduk pasrah dan tak bisa kembali ke jalan yang kutatap saat ini dari atas. Jalanan itu ternampak kecil.
Aku tak punya daya, juga kekuatan, lemah diri tak bisa bangkit dari kegagalan. Aku memilih untuk tetap diam, tanpa suara dan hening serta damai dalam pelukan seekor angsa putih. Kami terbang di sela-sela awan. Lalu, turun ke bumi dengan harapan sederhana.
Saat aku berpijak di bumi. Senja telah menghilang oleh putaran waktu yang terus berjalan, malam dingin disertai tiupan angin kencang membawa kabar yang tak enak didengar.
Kabar burung yang tidak tentu, kabar yang seakan palsu membabi-buta ingatan malu.
Sesederhana itu mengenai teriakan yang terdengar sangat dekat, padahal begitu jauh dari pendengaran. Bahkan, ditelusuri dengan penglihatan, kaki berjalan dan semua anggota hadir rukun, ternyata berjuta kilometer jaraknya. Tidak sesuai apa yang didengar dengan bukti kenyataannya.
Itulah fatamorgana. Mungkin? Aku tidak pernah tahu, tidak pernah peduli akan hal lain dalam kehidupanku, tidak pernah berpikir banyak hal. Dari dulu, aku bahkan sering mempertanyakannya.
“Mengapa? Mengapa mimpi buruk datang dan aku malah terbangun karena takut akan mimpi tersebut, aku tak mengerti bagaimana itu bisa terjadi?” tanyaku pada diriku sendiri. Aku sering mempertanyakannya agar diri ini tidak terlalu rumit memikirkannya.
Aku tahu kerumitan saat cinta yang ada di depan mataku menghilang. Di saat itulah rasanya aku tak bisa berdiri lagi.
Aku terdampar oleh ketidakpastian, sendirian di sini meratapi kisah pilu yang harus kuhadapi. Aku menghela napas untuk kesekian kalinya. Ketakutan mimpi malam ini benar-benar membuatku terjaga sepanjang malam. Sepanjang malam yang kuhabiskan untuk bersyair dalam renungan.
Terdiam. Terlelap pun tidak bisa. Mataku sudah menunjukkan cahaya rasa perih. Kadang-kadang tangan ini usil mengusapnya. Dengan helaan napas, aku bercermin memperbaiki diri.
Aku tahu telah banyak hal yang kulewati, telah banyak waktu yang berlalu meninggalkanku.
Akan tetapi, sekarang bagaimana caranya aku bisa melewati ini? Bagaimana caranya aku bisa menyembunyikan hasrat keinginan yang terpendam!
Ah, Sial. Gigi gerahamku patah, aku begitu takut sampai-sampai diri ini tidak merasakan gigi yang saling bertabrakan, aku benar-benar tidak merasakannya.
Beberapa patah kata dan kalimat terucap dari mulutku, tanpa sadar rasa kekesalan ini melukai diriku sendiri, entah bagaimana itu terjadi, mungkin karena kesendirian yang membuatku jadi begini.
Ini seperti nostagia seribu janji yang telah kudengar beribu kali. Hal itu membuatku tahu semua ini terasa sangat berbeda. Kesempurnaan jiwa berbagi rasa cinta.
Entah apa itu? Ke mana pun aku pergi, selalu saja dihantui perasaan bersalah dengan cinta yang telah patah.
Sebongkah kayu seakan terbakar habis oleh api amarah. Api yang sangat besar melahap semua mimpi-mimpi indah yang aku alami.
Dungkrakan hati yang kian memerintah untuk tetap bersamanya itu menyakitkan perasaan.
Bagaimana? Bagaimana cara menghadapi semua ini? Beberapa pertanyaan rumit kembali hadir menghampiri diriku. Aku terbaring lunglai tak berdaya.
Aku merasa tak akan bisa menghadapi semua ketakutan diri yang kian hari terus menyakiti perasaan, bahkan ketakutan yang kini aku alami telah membuatku tak berdaya, hancur oleh ketidakmampuan diri melawan semua angan yang menghampiri, tetapi saat itu senja menyapaku dengan begitu indah.
Cahaya kuning yang tampak membayang di ufuk barat sana membuat suasana terasa sangat nyaman. “Aku rindu bersamamu senja,” kataku menatap cahaya senja yang mulai redup dan terbenam, berganti cahaya malam yang terasa kelam.
Ketika sanubari mengingat kembali moment bersama kekasih hati atau berbagai ilusi yang datang tak diundang. Terkadang di situlah kesedihan datang menyapa diri.
Siapa yang ingin mengundang kenangan menyakitkan itu datang atau ilusi yang tak bergambar itu datang ke pikiran, kedua macam rasa yang seakan membuat hari terasa semakin mencekam. Siapa yang ingin mengundangnya? Siapa?
Jawabannya tidak ada.
Jika kamu bertanya padaku? Tidak ada yang ingin mengundang semua itu datang ke dalam benak pikiran. Kebahagianlah yang ingin dirasakan setiap orang.
Di malam hari yang sunyi. Aku masih belum bisa tidur, bolak-balik kanan kiri. Saat itu terbayang pun sesuatu kata ucapan.
Kesehatan yang dibicarakan dokter waktu itu, membuatku khawatir, hampir setiap malam aku melaluinya begitu, entah apa? aku tidak mengerti lebih jelas? Kepala batu!
Aku teringat nasehat yang dulu kutuliskan sendiri. Dengan ikhlas ingin berbenah untuk ke depannya. “Selama engkau hidup di alam semesta ini, kesehatan adalah hal yang paling penting, lebih penting dari apa pun, tanpa kesehatan hari-hari akan terasa lebih berat, lebih sulit dan lebih dari apa pun.”
Itulah sebutir kata-kata bijak yang tertera di ponselku, kata yang ditulis untuk diriku sendiri, tetapi kata itu seperti bualan belaka.
Raut wajah kian memberi isyarat bahwa kurang tidurnya aku semalam, bagi sebagian orang pagi hari adalah suasana menyegarkan, tetapi tidak bagiku.
Badanku lemas tak kuasa untuk bangun dari tempat tidur, beginilah kehidupanku dan anggapan diriku yang berlebihan, kesendirian yang kurasa hanyalah kesepian yang tidak ada ujungnya.
Bagiku semua ini menyebalkan. Tidak ada orang yang membantu membangunkanku.
Bukan tak ada, melainkan aku lupa ada satu alat, yaitu alarm yang selalu aku setel waktunya. Alarm itu selalu berbunyi dan selalu setia membangunkanku, walaupun alarm bukan orang, melainkan aku menganggapnya sebagai sahabat terbaikku.
Sahabat yang betul-betul mengerti kapan aku bangun tidur, kapan aku mandi dan lain sebagainya.
Aku berteriak dengan segenap tenaga karena aku telat bangun. Lihatlah, jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi, bahkan di luar sana matahari sudah tertawa. Sementara, diriku belum mandi.
Semua ini adalah kesalahanku, padahal alarm sudah berkali-kali membangunku, tetapi aku tak menghiraukannya.
“Aku telat!” Waktu itu, aku kembali berteriak lantang karena masih kaget dan sontak langsung bergegas menuju kamar mandi.
Aku tidak bisa mempercayainya, baru kali ini aku terlambat bangun, padahal sebelumnya sahabat terbaikku yaitu alarm, ia adalah alat yang setiap hari membangunku di jam empat dini hari.
Baru kali ini, aku tak menghiraukannya. Sungguh nasib malang yang menimpa diri ini dengan perasaan bimbang.
Selesai mandi. Aku pun bersiap memakai pakaian rapi, bergegas menuju ke tempat kerja. Aku lebih memilih meninggalkan sarapan supaya datang tidak terlambat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!