Haura memandangi wajah Kaisar dengan intens. Tak mengira jika pria itu ternyata berwajah tampan, tidak seperti yang dia dengar selama ini.
"Kanapa kau memandangiku seperti itu?" tanya Kaisar dengan suara dingin.
"Kulihat-lihat, Om sudah menua, apakah Om masih sanggup untuk malam pertama?" ucap Haura menatap Kaisar dengan senyum sinis.
Kaisar berjalan ke arah Haura dan menekan gadis itu ke tembok. "Harusnya saya yang nanya, kamu sanggup berapa ronde?"
Haura menarik napas dalam. Berada sedekat ini dengan pria yang baru saja menjadi suaminya membuat gadis itu merasakan sesak. Dia seperti orang yang kekurangan oksigen.
"Aku tak yakin kamu bisa memuaskan aku!" seru Kaisar dengan berbisik.
Haura lalu menunduk dan keluar dari kukungan pria itu dari bawah tangannya. Dia takut kehabisan napas jika terus berdekatan.
"Jangan salah, Om. Aku kecil-kecil sudah pintar mengadon untuk membuat anak kecil," jawab Haura.
Kaisar tertawa mendengar ucapan gadis itu. Dalam hatinya berkata, ternyata menikahi Haura tak seburuk yang dia pikirkan. Dia bisa jadikan gadis itu mainan dan hiburan.
Pernikahan mereka terjadi karena paksaan dari keluarga. Tak ada cinta dalam hati keduanya.
Semua berawal saat sang mama memaksa Kaisar menikahi Haura, calon istri sang ponakan. William, ponakannya itu ketahuan berselingkuh sehingga Haura ingin membatalkan pernikahan mereka yang akan berlangsung satu minggu lagi.
Tak mau keluarga mereka malu, karena sudah terlanjur menyebarkan undangan, mamanya memaksa sang putra Kaisar menikahi Haura menggantikan posisi William.
"Kalau begitu mari kita praktekkan. Siapa yang bertahan dan siapa yang menyerah!" seru Kaisar dengan menyeringai. Membuat Haura jadi merinding.
"Mampus, aku belum siap menyerahkan mahkotaku untuk bujang lapuk ini," gumam Haura dalam hatinya.
Kaisar berjalan perlahan mendekati Haura, gadis itu berjalan mundur untuk mencoba melarikan diri. Saat keduanya semakin dekat, jantung Haura berdetak lebih cepat dari biasanya.
Kaisar memeluk tubuh Haura dengan erat agar gadis itu tak bisa lepas darinya. Haura terkejut dan langsung berteriak.
"Jangan, Om. Ampun ...," teriak Haura.
Di saat bersamaan, pintu kamar terbuka. Ibu Kartini melotot dengan mulut terbuka lebar melihat pemandangan di hadapannya. Dia melihat Haura dan Kaisar sedang berpelukan.
Sedetik kemudian Ibu Kartini tersadar dan berkata, 'Kaisar ... apa kamu tak bisa menunggu hingga resepsi selesai baru memakan istri kecilmu itu. Dasar bujang lapuk ...!" teriak Ibu Kartini.
Pelukan Kaisar terlepas mendengar teriakan mamanya. Dia berbalik dan tersenyum simpul saat melihat ada sang mama dan dua orang penata rias berdiri di ambang pintu. Haura tak kalah terkejut dan menutup wajahnya karena malu.
"Kamu tuh, memang kalian sudah resmi menjadi suami istri. Tapi masih ada pesta sebentar lagi. Apa salahnya menahan hingga nanti malam. Sudah mau enak-enak aja!" seru Ibu Kartini.
"Ma, ini tak seperti yang mama pikirkan ...," ucap Kaisar.
Kaisar juga malu karena pasti sang ibu berpikir jika dirinya sudah tak sabar untuk melakukan malam pertama.
"Memangnya menurut kamu apa yang Mama pikirkan?" Ibu Kartini balik bertanya.
Kaisar menggaruk kepalanya yang tak gatal. Tak tahu harus menjelaskan bagaimana kepada wanita yang telah melahirkan dirinya itu.
**
Selamat Pagi. Mama datang dengan membawa novel terbaru. Mama harap dukungannya untuk novel terbaru mama ini.
Baca setiap bab update, agar retensinya tercapai. Terima kasih. Lope-lope sekebon jeruk.
Haura baru saja selesai mandi saat mendengar ponselnya berdering, tanda ada pesan masuk. Gadis itu awalnya mengacuhkan suara pesan masuk itu. Dia terus saja memakai baju tidur. Tubuhnya sudah terasa remuk. Lelah setelah pulang kerja. Dia baru saja selesai lembur.
Namun, Haura tidak bisa mengabaikan saat bunyi pesan masuk lagi terus menerus. Gadis itu penasaran juga siapa yang mengirim pesan itu. Dia lalu mengambil ponsel, dan membuka pesan masuk itu.
Haura membaca pesan masuk itu dengan tangan gemetar. Dalam pesan itu juga ada foto tunangannya William yang sedang berpelukan tanpa busana dengan seorang wanita yang wajahnya tidak terlihat jelas.
"Jika kamu ingin tahu apa yang sedang kekasih kamu lakukan datang segera ke apartemennya. Kami sedang memadu kasih." Itulah pesan yang Haura terima.
Haura akhirnya mengambil jaket miliknya yang tergantung di balik pintu kamar kos. Dengan hanya memakai baju tidur dilapisi jaket, gadis itu pergi. Dia ingin membuktikan kebenaran foto yang dikirim seseorang itu.
"Tidak mungkin itu William. Dia begitu mencintaiku. Selama ini dia tidak pernah sekalipun mengecewakan aku. Pasti ini semua rekayasa," gumam Haura pada dirinya sendiri.
Sampai di apartemen, setelah memarkirkan motornya, Haura langsung menuju ke unit milik sang kekasih. Beruntung dirinya tahu nomor password apartemen William karena memang sering mengunjungi.
Haura berjalan perlahan memasuki apartemen tersebut. Dia melihat makanan berserakan di atas meja depan ruang televisi. Sepertinya itu baru saja terjadi karena makanan itu masih berbau wangi.
Haura berjalan mendekati pintu kamar. Dia merasakan jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Saat semakin dekat, dia merasakan kegugupan.
"Apa aku sebaiknya kembali saja. Pasti itu foto hanya rekayasa. Apa kata orang-orang jika tau aku datang ke sini malam-malam begini," ucap Haura bermonolog pada dirinya sendiri.
Saat akan membalikan tubuhnya, Haura melihat ada pakaian tergeletak. Dia menunduk dan memungutnya. Itu baju kemeja seorang wanita. Dadanya terasa sesak, takut semua memang benar adanya.
"Baju wanita ... punya siapa ini?" tanya Haura pada dirinya sendiri.
Haura mengurungkan niatnya untuk kembali. Dia menguatkan diri melangkah memasuki kamar. Beruntung pintunya sedikit terbuka. Gadis itu mendengar suara menjijikan yang berasal dari dalam.
"Jadi semua ini benar? Siapa wanita yang bersama William itu?" Kembali Haura bertanya pada dirinya sendiri.
Haura membuka pintu dengan perlahan agar manusia di dalam sana tak menyadari kehadirannya. Dia kembali menarik napas dalam untuk menguatkan dirinya.
Lampu di kamar itu dimatikan. Haura hafal betul dimana letak sakralnya. Dia sering membersihkan apartemen saat libur kerja karena tahu William sangat malas melakukan hal itu.
Haura lalu meraba dinding tempat sakral berada. Dia menghidupkan lampu. Terpampang pemandangan yang menjijikan dihadapannya, dua manusia berlainan jenis sedang bergumul berbagi peluh.
"Jadi ini yang sering kau lakukan di belakangku, William! Menjijikan sekali. Sudah berapa wanita yang kau bawa tidur?" tanya Haura dengan suara parau karena menahan tangis.
"Haura ...." William terkejut saat melihat Haura. Dia tak mengira akan kedapatan sedang berselingkuh.
Haura tak mau menangisi di depan calon suaminya itu. Padahal satu dua minggu lagi mereka akan melakukan pernikahan. Itulah alasan kenapa dirinya lembur, agar bisa menyelesaikan pekerjaan dan cuti dengan tanpa beban kerjaan.
William melepaskan pelukannya pada wanita itu. Dia yang awalnya berada di atas tubuh lawan mainnya, akhirnya turun. Menutupi tubuh telanjangnya dengan selimut. Dia juga tak lupa menutup tubuh wanita tersebut.
"Haura, kenapa kamu ada di sini?" tanya William. Tak tahu harus berkata apa, dia bertanya hal itu pada sang tunangan.
Dada Haura semakin sesak saat melihat dengan jelas wajah wanita yang menjadi teman ranjang calon suaminya. Tadi wajah itu tertutup tubuh pria itu.
Haura tertawa setelah melihat jelas wanita itu, bukannya menangis. Dia dapat menyimpulkan jika pesan yang dia terima pastilah dari Kay, sahabatnya itu.
"Jadi kau sengaja mengirimkan pesan padaku agar aku melihat kalian berbagi peluh?" tanya Haura sambil tertawa pelan.
Mendengar ucapan Haura, William lalu memandangi wajah Kay. Dia ingin meminta penjelasan dari wanita itu.
"Apa maksud dari Haura? Apa benar kamu mengirim pesan padanya?" tanya William.
William memandangi wajah Kay dengan intens. Menunggu jawaban dari teman ranjangnya itu. Dia hampir tak percaya jika Kay melakukan semua ini.
"Kay sengaja melakukan ini agar aku mengetahui hubungan kalian. Terima kasih, karena kamu telah membuka mataku. Aku jadi tau siapa William. Beruntung kami belum menikah," ucap Haura.
William turun dari ranjang dan memungut pakaiannya. Dia lalu mengenakan semuanya. Setelah itu mendekati Haura.
"Haura, maafkan aku. Semua yang kamu lihat ini tak seperti yang kamu pikirkan. Aku khilaf. Aku janji tak akan melakukan ini lagi," ujar William.
"Khilaf ... khilaf itu dilakukan tanpa sadar dan hanya sekali. Ini kamu sadar melakukannya dan sudah dilakukan berulang kali. Khilaf apa doyan?" tanya Haura dengan suara sedikit meninggi.
Berdasarkan foto-foto yang dikirim Kay, dia bisa memastikan jika mereka melakukan semua itu bukan hanya sekali. Latar belakang dari foto tampak berbeda-beda.
"Sayang, percayalah, aku hanya sekali melakukan ini!" seru William.
Mendengar ucapan dari pria itu sepertinya Kay tak bisa menerima. Dia lalu berdiri dengan tubuh yang di balut selimut.
"Sudahlah William, tak ada gunanya kamu menutupi semua ini. Haura telah mengetahuinya. Lagi pula aku sedang mengandung anakmu. Mau tak mau dia harus menerima hubungan kita!" seru Kayla.
Haura menutup mulutnya tak percaya dengan apa yang dia dengar. Jadi sudah sejauh ini hubungannya tunangannya dan sahabatnya itu, tepatnya mantan sahabat. Pasti gadis itu tak mau menganggap Kayla sahabat lagi.
"Diam kamu, Kay! Biar aku yang bicara dengan Haura. Sayang, kita bisa bicarakan semua ini. Ayo ...," ajak William.
William yang ingin meraih tangan Haura tapi tak jadi, karena gadis itu langsung menolaknya. Menepis dengan kasar uluran tangan calon suaminya itu.
"Jangan sentuh aku! Aku tak mau disentuh dengan tanganmu yang baru saja membelai tubuh ja'lang itu!" seru Haura.
"Siapa yang kau katakan ja'lang?" tanya Kayla, sepertinya tak terima dengan ucapan Haura.
"Siapa lagi kalau bukan kau? Apa sebutan yang pantas bagi seorang wanita yang mau menyerahkan kehormatannya secara cuma-cuma sebelum menikah? Pe'rek? Pe'la'cur?" tanya Haura dengan suara yang makin meninggi dan dengan pandangan sinis.
"Jaga ucapanmu! Kami melakukan semua dengan dasar suka sama suka," ujar Kayla dengan bangganya.
"Kayla ...! Tutup mulutmu! Sudah aku katakan, kau diam saja!" seru William.
"Kalian sama saja. Sama-sama sampah!"
Setelah mengucapkan itu, Haura lalu membalikan tubuhnya. Dia bermaksud meninggalkan kedua orang terdekatnya yang telah berkhianat itu.
Wiliam segera meraih tangan Haura saat gadis itu ingin pergi. Namun, tangannya di sentak hingga terlepas. Dia lalu berjalan cepat meninggalkan apartemen calon suaminya itu.
"Haura ... tunggu! Kita harus bicara," teriak William sambil berlari mengejar sang kekasih.
Sementara itu di dalam kamar, Kay tersenyum bahagia. "Akhirnya aku bisa menyingkirkan kamu, mendapatkan yang kamu miliki. Selama ini aku hanya seperti bayang-bayang kamu saja, Haura! Kamu selalu mendapatkan apa yang menjadi impianku, sekarang kamu harus merelakan William untukku!"
Tanpa pedulikan teriakan William, gadis itu tetap berjalan menuju lift. Saat akan masuk, tangannya di tahan calon suaminya. Pria itu menarik tangan Haura keluar dari lift. Dia berusaha melepaskan.
"Lepaskan ...!" teriak Haura.
"Aku nggak akan melepaskan, sebelum kamu mendengar penjelasan dariku."
"Apa lagi yang harus aku dengar. Semua yang aku lihat telah menjelaskan. Kamu tak perlu membuang waktumu hanya untuk mengatakan apa-apa lagi!" seru Haura dengan suara tinggi.
Haura tak peduli ada yang mendengar suara teriakannya. Rasa marah dan kecewa membuatnya melupakan jika jam telah menunjukan pukul sebelas malam.
"Itu nggak seperti yang kamu pikirkan, Haura. Kamu harus dengar penjelasanku!"
"Penjelasan? Penjelasan kalau kamu dan Kayla sering melakukan itu dibelakangku?" tanya Haura dengan sinis.
"Aku dan Kayla hanya berteman. Aku ...."
"Teman di atas ranjang?" tanya Haura dengan suara tinggi memotong ucapan William.
"Dengar dulu Haura. Jangan mengambil kesimpulan dari apa yang kamu lihat. Terkadang apa yang kita lihat itu tidak seburuk apa yang terjadi sebenarnya."
"Apa yang lebih buruk saat melihat kekasih kita sedang tidur berdua dengan wanita lain dalam keadaan tanpa busana! Dan yang lebih menyakitkan wanita itu adalah sahabatku!" ucap Haura masih dengan nada tinggi.
"Aku mengaku salah. Beberapa hari ini kamu sibuk sehingga aku merasa kesepian. Aku akhirnya menyetujui permintaan Kayla untuk menemaninya," balas William.
"Aku tidak tahu apa yang lebih buruk, orang yang berbohong atau orang yang menganggap'ku cukup bodoh untuk mempercayai kebohongan! Jangan pernah menipu seorang gadis. Kamu tidak pernah tahu apa yang telah dia korbankan untuk bersamamu."
"Aku nggak bohong, Haura. Aku nggak ada hubungan apa-apa dengan Kayla. Kamu juga mengenalnya. Aku dan dia melakukan dengan tak sengaja, itu semua di bawah kesadaran. Aku mengaku salah. Aku janji nggak akan mengulanginya lagi."
"Selingkuh dan berbohong tidak terjadi begitu saja. Itu adalah pilihan yang disengaja, jadi berhentilah bersembunyi di balik kata "kesalahan" saat kamu ketahuan." Haura menarik napasnya dan kembali melanjutkan ucapan.
"Suatu hari kamu akan mengingatku dan menyadari betapa aku mencintaimu, maka kamu akan membenci diri sendiri karena membiarkan aku pergi.Suatu saat semua akan berbalik. Yang menyakiti akan disakiti. Yang mengkhianati akan dikhianati. Yang melukai akan dilukai. Yang meninggalkan akan ditinggalkan."
Setelah mengucapkan itu, Haura menarik tangannya yang di pegang William dengan keras. Walau itu sakit, tapi tak dipedulikan karena ingin segera pergi dari hadapan calon suaminya itu.
"Apa maksud kamu, Ra?"
"Kita putus! Jangan pernah temui aku lagi! Segala rencana pernikahan yang telah kita rancang, dibatalkan saja. Aku tak mau menikah dengan tukang selingkuh seperti kamu!"
"Aku janji tak akan pernah menemui Kayla lagi. Jangan minta putus. Kita sudah hampir menikah. Apa yang Oma katakan jika tau semua ini. Aku mohon, Haura."
Tiba-tiba William menjatuhkan tubuhnya dan berlutut dihadapan Haura.
"Sayang, maafkan aku!"
"Berdirilah, aku bukan Tuhan-Mu. Kenapa kau harus berlutut!"
"Aku tak akan berdiri sebelum kamu memaafkan aku!" ujar William.
"Aku tak akan pernah memaafkan pengkhianatan yang kamu dan Kayla lakukan!"
"Sayang, Aku hanya manusia biasa yang tak luput dari kesalahan. Tuhan saja maha pemaaf, kenapa kamu tak bisa memaafkan aku?" tanya William.
Mendengar pertanyaan sang tunangan, Haura jadi tertawa. Hal itu membuat William menjadi terkejut. Merasa tak ada yang lucu.
"Lucu sekali ucapanmu itu, Wil. Kenapa aku tak bisa memaafkan kamu? Dengarkan ... pertama, karena aku bukan Tuhan. Aku hanya manusia biasa seperti yang kamu katakan sehingga tak bisa begitu saja memaafkan kesalahan yang kamu lakukan. Kedua, aku tak mau menghalangi kamu untuk bertanggung jawab pada kandungan Kayla!"
"Aku tak harus menikahinya, bukan? Aku akan memberikan uang sebagai nafkah buat bayinya nanti!" seru William.
Wajah Haura memerah karena menahan marah mendengar ucapan tunangannya itu. Begitu mudahnya menanggapi semua masalah sebesar ini.
Dalam diam Kayla mendengar semua ucapan kekasih gelapnya itu. Dia menarik napas dalam. Walau dia telah mendapatkan tubuh pria itu tapi jelas sekali jika hatinya William belum dapat dia miliki seutuhnya.
"Kau tak akan bisa lepas dari tanggung jawabmu, William. Aku pastikan kita harus segera menikah!" seru Kayla pada dirinya sendiri.
Tangan Haura terangkat mendengar ucapan tak bertanggung jawab dari pria itu. Dia lalu melayangkan sebuah tamparan dengan kerasnya. Wajah William langsung memerah.
William memegang pipinya yang terasa perih. Dia tak pernah mengira jika sang tunangan berani menamparnya.
"Jangan jadi pecundang, William! Berani melakukan harus berani bertanggung jawab. Nikahi saja Kayla. Aku tak sudi lagi menikah denganmu. Beruntung Tuhan membuka mataku dan mengetahui sifatmu sebelum melangkah lebih lanjut."
"Aku tak mau putus. Kita akan tetap menikah! Aku tak mau Oma marah. Apa yang akan aku katakan pada Oma? Dia telah mempersiapkan pesta pernikahan kita," ucap William. Dia terus mengelus pipinya belas tamparan dari Haura. Dia tak mau membalasnya karena sadar kalau dirinya salah.
"Itu urusanmu dengan Oma ...," ucap Haura. Dia segera berjalan kembali menuju lift. Memencet tombolnya agar segera terbuka.
Lift terbuka. Haura segera masuk. Tak peduli dengan teriakan William yang memanggil namanya. Pria itu tak peduli jika jam telah menunjukan pukul sebelas malam, dan pastinya suara itu akan mengganggu penghuni apartemen lainnya.
Tepat saat pintu lift tertutup, tubuh Haura ambruk di atas lantai lift dengan dada terasa sesak. Gadis itu tidak mampu lagi membendung air mata yang jatuh karena rasa sakit atas pengkhianatan dua orang yang sangat dia percayai.
"Kenapa harus seperti ini? Apakah tidak ada wanita lain sampai kekasihku selingkuh dengan sahabatku sendiri?" tanya Haura pada dirinya sendiri.
Dia mendongak demi mencegah air mata menetes di manik indahnya. Dada yang terasa sesak itu dia remas sekuat mungkin berharap rasa perihnya segera menghilang, nyatanya sia-sia saja.
Suara lift yang akan terbuka karena telah sampai di lantai yang di tuju membuat Haura buru-buru berdiri agar tidak terlihat lemah oleh pengunjung apartemen lainnya. Gadis itu berjalan sempoyongan meninggalkan tempat itu, tempat dimana dia harus menyaksikan pengkhianatan kekasih dengan sahabatnya.
Haura berjalan menuju parkir. Menaiki motor untuk pulang ke tempat kos. Walau jam sudah semakin larut tak membuat dirinya takut.
"Aku tidak menangis karena kamu, karena kamu tidak layak ditangisi. Aku menangis karena khayalanku tentang siapa dirimu hancur oleh kebenaran tentang siapa dirimu. Pengkhianatan'mu ini mungkin adalah satu di antara jalan agar aku bisa melihat wajahmu yang sesungguhnya."
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!