NovelToon NovelToon

Cinta Di Ujung Senja

SAH

"Saya terima nikah dan kawinnya, Shima Kinara Aisyah binti Jatmiko almarhum dengan mas kawin tersebut, tunai"

Dengan satu tarikan nafas, akhirnya Cello Adrian, sah menjadi suami Shima. Shima adalah gadis lugu yang dijodohkan ibunya, bu Rani, karena mempunyai hutang dengan kakak kandung Cello, Devan.

Devan bersedia melunaskan hutang bu Rani asalkan Shima mau menikah dengan Cello.

Shima gadis berusia 20 tahun, yang sialnya harus menikah dengan Cello, pemuda asli kampungnya namun hidup dikota yang merupakan anak Juragan tanah. Cello dengan perangai buruknya, sering mabuk-mabukan, berfoya-foya, dan hobby berjudi.

Mereka menikah di kediaman Bu Rani yang merupakan orang tua mempelai wanita.

Setelah acara pernikahan usai, Cello masuk ke kamar pengantin mereka.

"Kemasi barangmu cepat jangan membuatku menunggu"

"Kita akan kemana Mas? "

"Tentu saja kerumahku"

"Apa tidak sebaiknya besok saja Mas? "

Cello mencengkeram rahang Shima dengan kuat.

"Siapa kamu berani mengaturku? Jangan bertindak seperti istri sungguhan. Kau hanya gadis pelunas hutang kakakku. Entah kenapa kakakku bisa memilihmu menjadi istriku. Asal kau tahu, kau bukan tipeku sama sekali. Jadi, jangan pernah mengaturku"

Cello menghempaskan Shima dengan kasar. Shima yang jatuh terlentang di atas ranjang usang itu hanya bisa menangis. Cello keluar dan membanting pintu.

"Kenapa Ibu menjodohkan aku dengan lelaki kasar sepertimu Mas? Aku sebenarnya juga tidak mencintaimu, tapi aku bisa apa selain menerima? "

Dengan isak tangis, Shima mengemasi pakaian lusuhnya. Tak lama berselang Bu Rani masuk ke dalam kamar Shima.

"Maafkan Ibu, Shima."

Bu Rani menangis tersedu berhambur memeluk Shima.

"Maafkan Ibu, Nak. Bukan maksud Ibu ingin menjodohkanmu dengan Cello. Tapi, hutang Ibu dan mendiang ayahmu terlalu banyak, dan mereka mengancam akan menyakiti kamu dan memenjarakan ibu jika Ibu tidak menjodohkanmu dengan Cello."

"Lalu, dengan menikahkan aku dengan Cello, apa Ibu yakin jika Cello dan keluarganya tidak menyakiti aku, Bu? "

"Maafkan Ibu, Shima. Maafkan Ibu. "

Dengan penuh isak tangis, Bu Rani dan Shima saling berpelukan. Setelah Shima selesai mengemasi pakaiannya,terdengar pintu kamar di gedor dari luar.

"Heeei gadis bodoh, cepatlah! Aku muak terlalu lama berdiri di gubuk reyot ini"

Terdengar suara Cello berteriak dari luar kamar.

"Sudahlah Bu, aku pamit. Jaga diri Ibu baik baik ya! "

Shima berpamitan pada Bu Rani dan mencium tangannya.

Bu Rani mengantar Shima dan Cello sampai ke halaman. Di halaman rumah sudah terparkir mobil jemputan milik Cello.

" Kau duduk di depan dengan Sopir! Aku tidak mau bersebelahan dengan gadis miskin sepertimu! "

"Iya Mas"

Setelah, menempuh perjalanan yang menurun dan licin, sampailah mereka di rumah yang paling mewah di kampung tersebut. Cello langsung turun dari mobil tanpa menoleh pada Shima.

Shima turun dari mobil dengan membawa tasnya. Si sopir menghampiri Shima hendak membawakan barang bawaan Shima.

"Biar saya bawakan tasnya Bu"

"Ah, tidak usah Pak. Biar saya bawa sendiri saja. Dan gak usah panggil Bu ya Pak, panggil Mbak saja"

" Tidak apa-apa Bu. Sekarang kan Ibu sudah jadi istri majikan saya, jadi Ibu majikan saya juga. Jadi, biar saya bawakan ya Bu. Nama saya Dirman Bu.Nama Ibu, Bu Shima kan?"

"Iya Pak. Nama saya Shima. Terima kasih ya Pak. "

Terdengar suara teriakan dari teras rumah Cello.

"Biarkan saja Pak Dirman. Tidak usah di bawakan. Lagian, paling isinya juga kain lusuh. Cepatlah gadis Kampung! "

Lalu Cello melenggang masuk ke dalam rumah.

Shima tersenyum kepada Si Sopir, Pak Dirman.

"Sudah pak. Pak Dirman lanjut kerja saja. Saya bisa kok bawa sendiri. "

"Ibu orang baik. Semoga Ibu betah dan hidup bahagia di rumah ini dan bisa mengubah perangai Pak Cello." Suara si Sopir berbisik.

"Terima kasih Pak. "

Shima berjalan gontai memasuki rumah Cello. Rumah Cello adalah rumah paling bagus di kawasan tersebut. Bangunan berornamen klasik, sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan rumah warga sekitar. Dengan tanaman hias dan kolam ikan di samping rumah, menambah keindahan rumah tersebut.

Sesampainya di dalam rumah, Shima disambut oleh Devan dan istrinya. Devan adalah satu-satunya keluarga yang masih dimiliki Cello, setelah Tuan Baskara, ayah Cello dan Devan yang meninggal dua bulan yang lalu karena sakit jantung.

"Selamat datang adik ipar. " Santi, istri Devan menyambut Shima dan mengajaknya duduk di sofa empuk yang belum pernah di lihat Shima sebelumnya.

"Maafkan aku Shima. Aku terpaksa menjodohkan Cello denganmu. Cello sebenarnya anak yang baik, sampai tragedi itu terjadi. Aku yakin, kamu bisa mendampingi Cello dan bisa membuat Cello jadi anak yang baik seperti dulu. " Kali ini Devan yang berbicara.

" Iya Pak. Tapi kenapa harus Shima Pak.? "

Santi dan Devan kompak terkekeh.

"Jangan panggil pak dong Shima. Panggil kak Devan dan Mbak Santi. Kita kan sekarang keluarga, Cello adikku dan otomatis, kamu juga jadi adikku. " Ucap Devan.

"Hehe.. Iya k_kak Devan, maaf" Shima tersenyum kaku.

"Sudahlah sayang, antar Shima ke kamar Cello"

"Ayo Shima"

Santi menggandeng Shima, mengantarkannya ke kamar Cello. Santi mencoba mengakrabkan diri dengan Shima, karena dia juga pernah merasakan di posisi Shima. Menikah dengan Devan, juga atas perjodohan. Devan juga sama ketusnya dengan Cello waktu itu. Namun, setelah 6 bulan pernikahan, Devan bucin dengan Santi, hingga sampai saat ini usia pernikahan mereka hampir 5 tahun.

Devan dan Cello terpaut usia tidak terlalu jauh. Devan yang kini berusia 29 tahun, dan Cello berusia 24 tahun. Kini hanya tinggal mereka berdua. Ibu mereka meninggal saat melahirkan Cello dan ayahnya meninggal baru-baru ini karena terlalu memikirkan masa depan Cello.

Cello bekerja di kota, mengelola pulahan indekos milik ayahnya. Tapi, uang sewa perbulannya selalu saja habis tak bersisa entah kemana. Setelah ayahnya meninggal, Cello dipaksa pulang ke kampung karena diancam Devan. Jika Cello tidak pulang maka, Devan akan mengambil alih semua indekos ayahnya karena dalam surat wasiat, jika terjadi sesuatu pada Tuan Baskara, maka, Devanlah orang yang diwasiatkan untuk mengelola semua kekayaan Tuan Baskara. Karena mungkin, Tuan Baskara tahu, jika Cello memiliki perangai yang buruk.

Santi mengantar Shima sampai di depan kamar Cello.

"Nah, ini dia kamar Cello. Kamu langsung masuk istirahat saja. Didalam lemari yang putih, itu khusus pakaian kamu yang sudah mbak siapkan. Selamat istirahat ya"

"Makasih ya mbak. Tapi apa Cello mau satu kamar denganku.? Dia kelihatan sekali sangat membenciku. "

Santi terkekeh perlahan.

"Kalian kan suami istri,  Shima. Kamar Cello kamarmu juga, kalau nanti Cello belum menerima kamu, kamu sabar ya. Yang penting Cello gak main tangan. Biar Mas Devan yang akan bicara sama Cello, besok"

" Ya sudah, aku masuk dulu ya Mbaak. Makasih sekali lagi"

Santi tersenyum tulus.

"Iya, kalau butuh apa-apa, panggil mbak ya. Kamar mbak yang di sana" Sambil menunjuk kamar berpintu coklat.

"Iya mbak"

Santi meninggalkan Shima di depan kamar Cello. Jantung Shima berdetak lebih cepat.

Shima membuka pintu kamar Cello dan masuk kedalam.

"Siapa yang menyuruhmu masuk kamarku?"

Ingat Alina

"Maafkan aku, Mas. T_tapi mbak Santi dan Kak Devan yang menyuruhku masuk ke kamar ini"

"Selalu saja Kak Devan mengaturku. Sudahlah, hapus riasanmu yang seperti ondel-ondel itu, aku geli melihatnya. Dan kau, jangan tidur di ranjangku, juga jangan sentuh barang pribadiku"

"I-iya mas"

Shima masuk ke kamar mandi dan melakukan ritual, tentu saja ritual mandi.

"Bahkan kamar mandinya saja, lebih bagus daripada rumahku. Apa mungkin aku bisa hidup bahagia disini? Jadi pasangan sesungguhnya dengan mas Cello? Mimpi saja kamu Shima." Shima tersenyum getir setelah menggumam sendiri.

Setelah 15 menit berlalu, Shima keluar dengan daster kumalnya. Cello tidak ada di tempat tidur. Shima bernapas lega.

"Huuuffttt.. Untung saja, dia tidak dikamarnya. Ganteng sih, tapi judesnya minta ampun. Andai saja dia mau lembut sedikit, pasti tambah ganteng"

Pintu kamar terbuka dari luar. Cello sudah berganti pakaian dari jas dan celana hitam menjadi kaos oblong dan celana pendek. Aura tampan makin terpancar dari wajahnya. Shima menatapnya dengan kagum.

"Duduk, Shima. Aku perlu bicara. " Ucap Cello sambil menepuk karpet bulu di depannya tanpa melihat ke arah Shima.

Shima patuh dan duduk lesehan di depan Cello.

"Dengar Shima. Aku sangat terpukul dengan pernikahan ini. Tapi aku juga bukan pria brengsek yang akan menidurimu walau tanpa cinta. Aku mungkin akan selalu bersikap kasar padamu. Aku punya kriteria wanita sendiri yang jauh di atas kamu. Aku suka wanita yang cantik, putih dan harum, bukan sepertimu. Mulai sekarang, kamu harus tahu, mungkin selamanya aku gak akan pernah menganggap kamu istriku. Aku akan menceraikanmu jika aku sudah menemukan wanita lain yang sesuai dengan kriteriaku."

Shima menunduk dan meremas rok kumalnya. Ada perasaan sedih di hatinya, tapi Shima juga tahu batasannya jika selamanya Cello tak akan pernah menganggapnya istri. Walaupun secara fisik Shima cantik, tapi Cello sudah lebih dulu memupuk permusuhan dengan Shima. Dan selamanya, Cello tidak akan pernah tahu, seberapa cantiknya Shima, karena memandangnya pun hanya sekilas, Shima seperti kotoran yang jijik untuk dipandang.

"Iya Mas. Aku tahu. Aku gak berharap kamu menerimaku apalagi mencintaiku. Aku akan terima jika suatu saat nanti, aku di ceraikan jika Mas sudah menemukan wanita lain. Aku sebenarnya juga terpaksa menerima perjodohan ini. Yaa.. Walaupun aku hanya gadis pelunas hutang, tapi terima kasih karena Mas sudah mau jujur kepadaku."

"Sudahlah, cepat tidur. Kamu tidur saja di sofa. Ambil selimutnya di lemari sana. "

"Baik Mas"

Memang malang nasib Shima. Sudah dijodohkan dengan Cello yang ketusnya minta ampun, jadi gadis pelunas hutang, sekarang harus tidur di sofa. Walaupun Sofa itu lebih empuk dari kasur usang di kamarnya dahulu, tapi dulu Shima bahagia bisa bebas seperti tanpa beban, tanpa tahu jika kedua orang tuanya punya banyak hutang pada Devan. Shima tidak pernah tahu jika uang untuk ayahnya berobat adalah uang hasil pinjaman. Lalu kemana, uang hasil panen sawah yang di garap ayah dan ibunya. ? Shima tidak tahu.

Keesokan paginya, Shima bangun lebih awal. Shima langsung menuju kamar mandi membersihkan diri. Selepas mandi, Shima membuka lemari putih yang tadi malam di ceritakan kakak Iparnya. Shima kagum karena banyak baju bagus tergantung rapi di sana. Mulai dari pakaian santai, hingga pakaian dalam pun ada. Tas mewah juga banyak tertata rapi didalamnya. Shima memutuskan memakai dress putih selutut dan mencepol rambutnya rapi. Tak lupa sebelum menuju dapur, Shima melirik Cello yang masih tertidur lelap.

"Jika kamu tidur begini, kamu terlihat lebih tenang mas. Sebenarnya wajahmu tak pantas jadi peran antagonis." Gumam Shima.

Bagaimana tidak, Cello dengan rahangnya yang kokoh sedikit berbulu, hidung mancung, kulit putih, dan mempunyai tinggi 180 cm itu, sangat jangkung jika di bandingkan dengan Shima yang hanya mempunyai tinggi 160 cm.

Sesampainya didapur,sudah ada bi Nur, tetangga Shima yang biasa memasak di rumah keluarga Cello.

"Pagi Bi Nur"

"Pagi Ma. E_eh Bu Shima"

"Bi Nur ga usah gitu lah Bi. Aku tetap Shima yang dulu. Lagi masak apa Bi? "

"Lagi masak nasi goreng bu"

" Bi Nur, panggil aku Shima aja ya" Ucap Shima tersenyum.

"Tapi sekarang Bu Shima sudah jadi istri pak Cello, jadi saya harus biasa-in manggil Ibu"

"Saya jadi gak enak Bi" Shima mengusap tengkuknya dan tersenyum kaku.

"Gapapa Bu, nanti kalau kebiasaan manggil nama, gak sopan saya jadinya. "

"Terserah Bibi sajalah. Aku bantuin ya Bi"

" Eeh gak usah Bu. Mending Ibu buatin kopi buat pak Cello saja Bu. Biasanya kalau bangun tidur, pak Cello langsung ngopi. "

"Ya sudah. Aku buat kopi dulu buat Mas Cello. Biasanya manis atau pahit Bi? "

"Biasanya gulanya sedikit Bu"

Shima membuatkan kopi untuk Cello sambil banyak cerita dengan Bi Nur. Bi Nur merasa prihatin juga sebenarnya dengan Shima, tapi pura-pura tidak tahu saja dengan keadaan Shima.

"Nasi gorengnya sudah jadi Bu, sebentar lagi pasti pak Devan dan Bu Santi langsung sarapan. Mending bu Shima bangunin pak Cello biar ikut sarapan bareng. "

"Aku bangunin mas Cello Bi.? " Sambil menunjuk wajahnya.

"Iyalah Bu, masa Bibi yang bangunin pak Cello, kan Bu Shima istrinya pak Cello" Bi Nur terkekeh.

Dengan langkah lesu, Shima menuju kamarnya. Shima masuk dan mendapati Cello masih tertidur pulas.  Shima mendekati ranjang dan memanggil Cello.

"Mas.. Mass.. Bangun Mas. "

Cello tetap bergeming.

"Mas, bangunn". Shima dengan wajah takut-takutnya memberanikan diri menggoyangkan kaki Cello.

Cello perlahan membuka mata dan mengusap wajahnya. Shima sudah bersiap jika dia kena semprot Cello.

" Bisa gaak, bangunin aku pelan-pelan.? "

"Tuh kan bener. " Shima membatin. "Maaf Mas, tadi Mas ku panggil gak bangun- bangun"

"Ya sudah, kamu keluar dulu."

"I_iyaa mass"

Shima keluar dari kamar berbarengan dengan Santi dan Devan yang akan menuju dapur.

"Loh pengantin baru, kok udah bangun? " Santi cekikikan.

"Eee-hh iya mbak" Shima tersenyum kikuk.

"Ayo sarapan bareng, Cello mana? "

" Lagi mandi mbak. "

" Ya sudah, ayo. Biar nanti Cello nyusul"

Mereka bertiga menuju meja makan. Disana sudah tersedia nasi goreng, telur mata sapi, teh dan kopi untuk Cello buatan Shima.

"Kita tunggu Cello sebentar ya" Kali ini Devan membuka suara. "Setelah ini, kamu mau kemana Shima? "

"Belum tahu Kak, mungkin bantuin Bibi saja"

"Kamu ngapain bantuin Bibi, nanti kita ke kota ya, nanti kita nyalon bareng biar kamu kelihatan Fresh, boleh ya Mas.? " Santi bersemangat

"Tentu saja"

" Makasih mas" Santi memeluk Devan

"Eeekhm.. " Suara Cello menginterupsi mereka. Cello duduk bersebelahan dengan Shima. Mencium aroma kopi yang kuat, Cello langsung menyambar cangkir miliknya dan meminumnya beberapa teguk. Seketika dahinya mengernyit dan matanya berkaca-kaca.

"Bii.. Biii Nur, siapa yang bikinin aku kopi.? " Cello berteriak memanggil Bi Nur.

Bi Nur berlari dari dapur dengan tergopoh-gopoh.

"Kamu kenapa sih.? Kopi tinggal minum ini, banyak komplain kamu" Devan meliriknya sinis.

"Maaf Pak, tadi bu Shima yang bikin"

Cello melirik Shima. " Ya Sudah Bi.. Bibi boleh kembali ke dapur" Ucap Cello.

"Jadi, kopi ini buatan Shima? Kenapa rasanya sama, dengan kopi buatan Alina.?" Pikir Cello.

Tak terduga

Siang itu, Shima dan Santi benar-benar pergi ke kota. Mereka menghabiskan banyak uang untuk merawat tubuh mereka. Shima yang lebih banyak diam karena takut jika dia kelihatan norak, padahal dalam hatinya, dia senang sekali. Setelah dari salon, mereka langsung naik mobil milik keluarga Baskara. Santi duduk berdampingan dengan Shima di jok belakang. Sedangkan pak Dirman, bersanding dengan banyaknya belanjaan mereka.

"Habis ini, kamu pingin kemana lagi Shima.? "

"Aku gak tahu mbak, aku ikut mbak Santi saja. Aku belum pernah ke kota"

Santi tersenyum dan mengusap bahu Shima.

"Gak papa Shima. Habis ini kamu juga akan sering ke kota. Suami kamu biasa tinggal di kota, makanya kalau di suruh pulang sama mas Devan suka misuh-misuh gak jelas. Padahal di desa juga nyaman. "

Shima tersenyum. "Memang mas Cello jarang pulang ya mbak.? "

"Iya, waktu Ayah masih ada, Cello juga jarang pulang. Apalagi sekarang cuma ada Mas Devan, pasti suami kamu makin males pulang" Santi terkekeh.

"Ehhhm.. Maaf Bu, kita kemana lagi setelah ini.? "

Pak Dirman bertanya pada Santi.

"Kita pulang saja pak. Sudah capek. Kita makan di rumah saja ya Shima, kasihan Bi Nur sudah capek masak gak ada yang makan" Santi melirik Shima.

"Iya mbak. "

Perjalanan dari kota ke kampung mereka tidak terlalu jauh. Hanya butuh waktu sekitar 1 jam perjalanan.

Setelah sampai rumah, Santi dan Shima bergegas masuk ke rumah dengan menenteng belanjaan mereka. Belanjaan Shima yang paling banyak karena Santi yang memaksa Shima untuk belanja baju baru, tas, sepatu dan skincare.

"Kita bersih-bersih dulu Shima habis itu kita makan"

Ucap Santi menginterupsi Shima.

Shima terlihat mencari seseorang. Santi yang menyadari hal tersebut, lalu tertawa cekikikan.

"Kamu cari siapa Shima.? Cari Cello ya.? Emang tadi pas kamu pergi, dia gak bilang kalau mau ke kebun mangga sama mas Devan? "

"Hehe.. Nggak mbak" Shima mengusap tengkuknya.

"Sudah cepat bersih-bersih. Suami kita bentar lagi juga pulang"

Mereka melipir ke kamar masing-masing.

Tepat pukul satu siang, Devan dan Cello pulang dari kebun dengan mengendarai motor KL*. Sampai saat Cello masuk ke kamar, Cello mendapati Shima sedang merapikan rambutnya. Shima pun kaget saat ada yang masuk ke kamarnya. Shima menoleh dan mendapati Cello pulang dari kebun dengan keringat sebesar biji jagung memenuhi pelipisnya.

Cello pun terkesima dengan penampilan baru Shima yang cantik, harum dan ber make up tipis.

"Eh .... Tadi kamu dari mana saja sama mbak Santi" Cello melirik Shima yang menunduk.

"Tadi habis diajak nyalon sama mbak Santi Mas, terus di ajak belanja. "

" Mbak Santi yang bayarin? "

"I_iya Mas"

"Habis berapa tadi? "

"Hehe.. Gak tahu mas." Shima tertawa canggung

"Nanti tanya ke mbak Santi total uangnya biar aku ganti"

Cello mendekati Shima, Shima pun merasa jantungnya akan loncat.

Cello berbisik pada Shima "Persiapkan dirimu, malam ini kita akan ke kota, pekerjaanku banyak"

Cello meninggalkan Shima yang berdiri mematung.

Shima menghembuskan nafasnya kasar. Sebelum Cello keluar dari kamar mandi, Shima lebih dulu meninggalkan kamar menuju ke dapur untuk makan siang bersama Devan dan Santi.

"Mbak." Shima duduk di depan Santi.

"Kenapa Shima.? "

" Mas Cello tanya, tadi mbak habis berapa buat belanja-in aku, katanya mau diganti. "

"Idih.. Mbak itu belanja-in kamu ikhlas ya, bukan minta ganti" Sungut Santi

"Kan Mas Cello yang tanya mbak, kok mbak marahnya ke aku sih?" Shima merengut

"Heheh.. Maaf ya, biar nanti Mbak yang ngomong sama Cello. "

Cello dan Devan datang ke meja makan berbarengan.

"Ehh adik durhaka tidak tahu terima kasih, mbak itu belanja-in Shima ikhlas ya, gak minta ganti. Lagian uang segitu gak bakal bikin kakakmu miskin" Semprot Santi pada Cello.

"Gak bisa mbak. Aku gak mau nanti kamu anggap aku gak tanggung jawab sama istri aku. "

Istri aku gak tuh.

"Oke deh terserah, tadi Shima habis 7 juta, sama Mbak 5 juta jadi 12 juta. "

"Belanja apaan mbak, banyak banget" Cello terkejut.

"Ya udah sih, kan mbak bilang gak usah diganti. Uang mas Devan, banyaaaaaaak"

"Huuuft.. Nanti aku transfer, tapi punya Shima aja, punya Mbak minta ganti aja sama Kakak" Cello mendesah.

Shima dan Devan hanya mengamati perdebatan Cello dan Santi.

"Ehm.. Mas. Sebelum kita ke Kota nanti malam, boleh gak aku ke rumah Ibu? " Shima nampak takut saat bertanya pada Cello.

"Setelah ini ku antar" Jawab Cello dingin.

Santi melirik Devan dan Devan hanya mengangkat bahunya saja.

Setelah makan siang, Cello memutuskan untuk ke rumah Ibu Shima, bu Rani.

Sesampainya disana.

"Assalamu'alaikum Bu"

Shima mengetuk pintu rumah yang sudah tua itu.

Bu Rani membuka pintu dan terkejut saat melihat Shima.

"Ss_Shima.. Eeee  ee ayo masuk, ayo masuk. Ajak Cello masuk juga"

"Ibu kenapa? "

Shima masuk kerumah disusul dengan Cello.

" Tidak apa-apa Shima. Gimana kabar kamu disana Nak.? "

"Siapa sayang? " Seorang lelaki paruh baya keluar dari kamar Bu Rani dengan membenarkan letak sarungnya.

Cello kaget apalagi Shima.

"Siapa dia Bu.!? " Tangan Shima mengepal kuat.

"I_ibu bisa jelaskan Shima. "

"Jelaskan, Shima tunggu 5 menit" Ucap Shima dingin.

" Maafkan ibu Shima, Ibu terpaksa. Setelah ayahmu sakit, Ibu tidak mendapatkan nafkah batin dari Ayahmu. Akhirnya Ibu kenal Mas Parto. Mas Parto sayang sama Ibu dan mau menerima Ibu. Maafkan Ibu Shima.! " Bu Rani menghiba.

Shima meneteskan air mata tanpa isakan.

"Atau jangan- jangan selama ini, uang hasil panen Ayah, Ibu berikan ke lelaki ba**ngan ini"

Plaaaak

Bu Rani menampar Shima.

"Jaga ucapanmu Shima. Mas Parto tidak seperti yang kamu fikirkan. Kalau kamu gak tahu, mending kamu diam"

Cello menghampiri Shima yang memegang pipi bekas tamparan ibunya dan merangkul bahunya.

"Ayo kita pergi sekarang Shima"

"Iya Mas. Dan Bu, aku kesini mau pamit sama Ibu, aku gak akan pulang lagi kesini, aku akan pergi malam ini dengan Mas Cello. Terima kasih karena sudah menjualku. Semoga Ibu bahagia dengan pilihan Ibu dan Ibu tidak merasakan, apa yang di alami Ayah"

Cello menggandeng Shima pergi. Bu Rani masih berdiri mematung dan memandangi tangan yang ia gunakan untuk menampar putrinya.

Seketika Bu Rani tersadar dan menangis mengejar mobil Cello yang perlahan meninggalkan rumah tua miliknya.

"Shima.. Tunggu Ibu Shima.. Shimaaaaa"

Mobil Cello pergi begitu saja tanpa mendengar lagi jeritan Bu Rani memanggil Shima.

Parto yang kebingungan hanya diam di dalam rumah karena dia pun takut di tangkap warga.

Tetangga Bu Rani hanya mengintip dari rumah mereka masing- masing tanpa ingin mengetahui masalah Bu Rani dan Shima.

Bu Rani menangis meratapi kepergian Shima. Mata tua nya menerawang jauh.

"Maafkan Ibu Shima. Tapi Ibu juga mencintai Mas Parto"

Bu Rani menangis tergugu di pinggir jalan dan menutup wajah tuanya dengan telapak tangannya yang sudah  penuh dengan air mata.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!