Gadis cantik berhijab simpel itu baru menapakkan kakinya di stasiun salah satu kota di Jawa tengah.
Sudah dua bulan lamanya sang gadis cantik dan manis itu baru sempat kembali ke kampung halamannya.
Dia bekerja di salah satu restoran cepat saji berlogo kakek-kakek tua. Tentu cuti alias mas liburnya juga tidak mudah.
Sekeluarnya dari stasiun, gadis berkulit kuning langsat itu menaiki ojek yang mengantarkannya ke sebuah desa yang cukup lumayan jauh dari lokasi stasiun.
Kurang lebih setengah jam perjalanan, akhirnya gadis itu tiba di kediaman orang tuanya.
Rumah sederhana namun cukup modern mengikuti perkembangan jaman. Tak luas, namun ada halaman yang cukup untuk menampung mobil bak milik bapaknya Ajeng.
Ajeng memasuk halaman rumah tanpa gerbang itu. Di lihatnya jam yang ada di ponselnya.
Sudah tengah malam, hampir pukul dua belas. Ia yakin kedua orang tuanya sudah tidur. Tapi kalau dia tak mengetuk pintu mana mungkin ia bisa masuk.
Akhirnya ia mengetuk pintu kaca jendela kamar orang tuanya yang memang kebetulan ada di bagian depan. Sedang kamar Ajeng sendiri ada di belakang.
Tok...tok....
"Assalamualaikum ibu, bapak! Ajeng pulang!", kata Ajeng. Ajeng bisa melihat pergerakan di dari gorden yang tiba-tiba terbuka.
Wajah bapaknya khas bangun tidur muncul di balik jendela hingga mengejutkan Ajeng.
"Astaghfirullah!", pekik Ajeng. Tak lama kemudian pintu ruang tamu terbuka. Ajeng pun mendekat ke arah pintu. Gadis itu menunjukkan giginya yang putih.
"Assalamualaikum pak hehehe!"
"Walaikumsalam! Welahhh bocah kok mau balik ngga bilang-bilang! Tahu mau balik kan bapak jemput di stasiun!", oceh pak Amri, bapak nya Ajeng.
"Suruh masuk dulu lho pak, ngomelnya nanti!", sahut ibu dari dalam.
Ajeng pun masuk dengan cengiran khasnya.
Ia menyalami ibu dan bapaknya bergantian setelah meletakkan tas ranselnya di meja.
"Naik ojek tah kamu, Jeng? Apa di jemput Ranu?", tanya bapak.
"Ngojek pak. Kan mau bikin kejutan bapak ibu dan mas Ranu hehehe!"
Amri menggeleng pelan.
"Ya udah mau makan dulu ngga, nanti ibu angetin sayurnya."
"Ngga usah Bu, mau tidur aja. Ibu sama bapak istirahat lagi aja, mbok kesiangan ke pasarnya."
"Ya udah, bebersih dulu! Untung kama mu udah ibu beresin kemarin."
"Makasih Bu....!", kata Ajeng yang langsung beranjak ke kamar mandi barulah ia ke kamar untuk istirahat.
Kedua orang tua Ajeng memang punya usaha kecil-kecilan di desa. Ibunya memiliki kios sayur dan sembako di pasar. Sedang bapaknya, selain bertani dan berkebun juga tengkulak sayur.
Ajeng sendiri juga anak tunggal. Dia pernah punya adik sayangnya meninggal di usianya yang masih bayi karena sakit. Jadilah, Ajeng anak semata wayang Pak Amri dan Bu Jaenah.
Setelah subuh, kedua orang tua Ajeng sudah bersiap ke pasar.
Tok...tok..
"Nduk, ibu bapak ke pasar dulu ya! Kalo mau sarapan ada di lemari ya...!"
"Ya Bu!", sahut Ajeng yang baru selesai sholat subuh.
Gadis itu keluar dari kamarnya untuk melakukan aktifitas lainnya. Hanya tiga hari saja jatah libur yang ia dapatkan saat ini.
Suasana pagi yang masih segar membuat Ajeng ingin sekedar bersepeda keliling desanya. Usianya sudah dua puluh tiga tahun, namun ia masih seperti remaja.
Gadis cantik itu mengenakan celana cargo panjang dengan kaos tebal sampai menutup bokongnya. Tak lupa, bergo yang cukup panjang menutupi dadanya.
Dengan sandal jepit kesayangannya, Ajeng menggowes sepedanya berkeliling desa yang jarak rumah antara satu dengan yang lain masih cukup jarang.
Gadis itu tersenyum simpul saat hampir melewati sebuah rumah yang cukup bagus dan mencolok di daerah itu. Rumah orang tua Ranu, pacar dari Ajeng sejak mereka masih SMP. Ranu adalah kakak kelas Ajeng.
Rumah itu masih terlihat sepi dari luar. Hanya saja, sebuah motor sedang di panasi mungkin sebelum di pakai pemiliknya yang tak lain, Ranu.
Ajeng melewati rumah itu begitu saja tanpa ada niat untuk mampir. Masa iya mau bertamu pagi-pagi buta begini, apalagi ke rumah laki-laki. Ya kan? Apa kata orang ?
Sudah banyak tetangga yang berlalu lalang menyapa Ajeng atau pun sebaliknya.
Dan kegiatan bersepeda itu pun selesai ketika matahari mulai muncul. Ajeng kembali ke rumah dan sudah pasti, ia melewati rumah Ranu.
Dari kejauhan ,ia melihat seseorang yang ia rindukan sedang mengelap sepeda motornya. Tapi tak lama kemudian ,seorang perempuan yang memakai seragam yang sama dengan Ranu pun berhenti di depan rumah Ranu.
Ajeng menghentikan gowesan sepedanya. Ia melihat interaksi antara Ranu dan perempuan itu.
Keduanya terlihat begitu akrab. Dan tak lama kemudian, sesosok perempuan gempal keluar dari rumah itu lalu menyapa Ranu dan seseorang dengan begitu ramah.
Ajeng memutuskan untuk menyapa Ranu sebelum kekasih hatinya itu berangkat mengajar. Ya, Ranu merupakan seorang guru di sebuah SMP. Ia baru saja menjadi seorang PNS seperti kedua orang tuanya yang sudah pensiun.
"Assalamualaikum!", sapa Ajeng. Ia meletakkan sepedanya lebih dulu sebelum menyapa Ranu.
"Walaikumsalam ,Ajeng?", Ranu tampak terkejut begitu juga dengan ibunya. Hanya perempuan yang seragamnya sama dengan Ranu yang tampak menunjukkan ekspresi biasa saja cenderung ramah.
"Mas ...ibu??", sapa Ajeng.
"Kapan kamu pulang Jeng?", tanya Ranu.
"Semalam mas", jawab Ajeng.
"Ajak Ajeng masuk dulu, Nu!", pinta sang ibu.
"Ngga usah Bu, Ajeng cuma mampir sebentar. Lagi pula mas Ranu pasti sudah mau berangkat", tolak Ajeng.
"Oh ...gini aja mas Ranu, aku berangkat duluan saja. Barangkali mas Ranu masih ada perlu sama mba Ajeng", kata sosok perempuan cantik bernama Novita yang merupakan sesama guru seperti Ranu.
"Ya sudah, hati-hati!", kata Ranu. Novita pun mencium punggung tangan ibu nya Ranu sebelum benar-benar berangkat.
"Kita duduk di situ saja ya Jeng!", ajak Ranu. Ibunya Ranu meninggalkan mereka berdua di bangku itu.
"Jeng ...?!"
"Heum?", gumam Ajeng.
"Yang tadi....Novita!", kata Ranu. Ajeng mengangguk pelan.
Ranu meraih kedua tangan Ajeng yang ada di atas pahanya. Sepertinya ada hal yang cukup serius terlihat dari wajah Ranu yang tegang.
"Aku harap ...kita masih bisa berteman setelah ini, Jeng!", kata Ranu tiba-tiba.
"Maksudnya?", tanya Ajeng bingung. Ranu menggigit bibirnya sendiri. Ia seolah tak sanggup menatap mata jernih milik Ajeng.
"Aku...sudah melamar Novita!", kata Ranu dengan suara yang bergetar. Genggaman tangan Ajeng terlepas.
Gadis itu tersenyum miris.
"Sejak kapan?", tanya Ajeng. Ranu menoleh pada gadis yang ia pacari sejak belia.
"Sejak kapan kamu bermain di belakang ku, mas? Kalau kamu memang bosan sama aku, kenapa ngga ngomong dari dulu?", tanya Ajeng dengan perasaan yang sudah campur aduk.
Niatnya ingin membuat kejutan pada sang kekasih tapi kenyataannya dia yang terkejut.
"Sejak setahun yang lalu."
Ajeng memejamkan matanya. Ia merasa sangat bodoh karena tak tahu dirinya di permainkan oleh Ranu.
"Hebat sekali!", sarkas Ajeng. Ranu meraih tangan Ajeng tapi gadis itu menepisnya.
"Aku minta maaf, Jeng! Aku tahu aku salah....tapi....aku merasa sudah tidak sanggup kalau harus menjalani hubungan jarak jauh lagi."
Ajeng berdecak kesal.
"Terimakasih untuk kebersamaan kita Jeng, aku memang sayang sama kamu. Dan akan tetap sayang kamu. Tapi Novita....??''
"Heum! Ya, tak perlu di jelaskan mas. Aku paham!", Ajeng berdiri dari bangku bambu yang ia duduki bersama Ranu tadi.
"Jeng...! Aku minta maaf!", ulang Ranu sambil memegang erat kedua lengan Ajeng.
Ajeng menggeleng pelan. Matanya sudah berembun. Mungkin dalam hitungan detik, air mata itu akan meluncur.
"Hubungan suami istri saja yang sah di mata Allah bisa berakhir, apalagi hubungan seperti kita ini mas? Aku terima maaf kamu! Tapi...aku tidak tahu sampai kapan aku bisa menghilangkan rasa sakit hati ku ini mas!"
Akhirnya buliran bening itu menetes di pipi Ajeng. Di harusnya dengan kasar dengan telapak tangannya.
"Semoga kalian bahagia, karena kalian sepadan! Tidak seperti antara aku dan kamu mas!", Ajeng menunjuk dada Ranu. Ranu meraih tangan lentik itu namun di tepis dengan kasar.
"Assalamualaikum!", pamit Ajeng dengan emosi yang membuncah.
"Walaikumsalam!", jawab Ranu yang sebenarnya pun berat melepas Ajeng. Biar bagaimana pun juga, Ajeng sudah menemaninya sejak belia. Namun dengan Novita lah, ia berhasil mendapatkan pekerjaannya saat ini.
Aku minta maaf, Jeng....
💐💐💐💐💐💐💐💐💐
Welcome to tulisan receh Mak othor lagi👋👋👋👋👋
Please kalo ngga suka skip aja ya jangan di kasih rate buruk. Nangis mak othornya yang masih amatir ini.
Makasih semua 🙏🙏🙏🙏🙏
Ranu menatap gadis yang ia cintai sejak belia itu menggowes sepedanya dengan cepat. Sungguh, dalam hati kecilnya pun ia tak rela mengakhiri hubungannya dengan Ajeng.
Hanya saja...dia juga tak kuasa menolak keinginan ayahnya dan ayah Novita yang menginginkan mereka segera menikah.
Padahal ayah Ranu sendiri juga sadar jika selama ini sang putra menjalin kasih dengan Ajeng. Perasaan tak enaknya karena atas bantuan Novita dan orang tuanya lah secara tidak langsung Ranu bisa memiliki posisi seperti sekarang ini.
Novita tiga tahun lebih tua dari Ranu, namun meski begitu sepertinya usia bukanlah kendala bagi mereka.
Yang pasti, ayah Novita juga berharap sang putri segera menikah. Apalgi keduanya sama-sama menjadi seorang pegawai. Sebuah kebanggaan bagi dua keluarga tersebut bukan?
"Nu!", Bu Suryati alias ibunya Ranu mendekati anaknya yang masih berdiri menatap Ajeng yang menjauh.
"Aku jahat sekali ya Bu!", ujar Ranu tanpa menoleh ke ibunya. Bu Suryati mengusap pelan bahu anaknya.
"Cepat atau lambat, Ajeng akan mengetahuinya Nu. Kalau semakin lama di tunda, Ajeng akan semakin sakit hati."
Helaan nafas keluar dari bibir pemuda itu. Ia memilih meninggalkan ibunya dan masuk ke dalam rumah untuk mengambil tasnya.
Di sisi lain, Ajeng buru-buru meletakkan sepedanya. Gadis itu masuk ke rumah dan tujuannya adalah kamar mandi.
Ajeng menangis terduduk di bawah kran yang ada di dalam ruang sempit itu.
Gadis itu melipat kedua kakinya sambil memeluknya begitu erat. Hati siapa yang tak sakit jika harus mengalami hal seperti Ajeng?
Bertahun-tahun menjalin asmara tak menjamin akhirnya sampai di pelaminan!
"Kamu jahat mas Ranu! Kamu jahat hiks....hiks...hiks....!", gadis itu menunduk dalam masih dengan memeluk kakinya.
Amri pulang dari pasar. Ia memang tak menemani istrinya berjualan. Pekerjaannya memang lebih sering di luar.
Dilihatnya sepeda Ajeng yang terjungkal di dekat pintu dapur. Amri membenahi sepeda Ajeng lebih dulu baru ia masuk ke dalam rumah.
Rumahnya yang tak terlalu besar itu membuat Amri bisa mendengar jika ada yang berada di kamar mandi.
Amri pikir, anak gadisnya sedang mandi. Ia pun menuju ke dapur. Melihat lauk yang istrinya siapkan untuk Ajeng masih utuh tak tersentuh.
"Kok yo belum sarapan tuh bocah!", monolog Amri.
Lamat-lamat Amri mendengar tangisan dari kamar mandi. Suara air yang sepertinya sudah tumpah itu terdengar bergemericik.
"Ajeng mandi apa tidur? Kaya suara nangis?", monolog Amri.
Ia pun penasaran.
Tok...tok....
"Ajeng, di dalam tah?", tanya Amri. Tangisan Ajeng berhenti. Gadis itu sudah basah kuyup dengan pakaian yang masih melekat di tubuhnya.
Di hapusnya air mata itu dengan cepat. Sayangnya, matanya sudah terlanjur sembab.
"Ajeng???!", panggil Amri sekali lagi. Tangan lelaki itu hampir mendorong paksa pintu kamar mandi hingga akhirnya terbuka dari dalam.
"Astaghfirullah, Ajeng!", pekik Amri. Ajeng masih sesegukan.
Reflek, Amri menyambar handuk yang ada di jemuran kecil dekat kamar mandi.
Ia menutupnya ke bahu Ajeng.
"Ganti baju sekarang!", pinta Amri. Ajeng yang masih menangis pun tetap menuruti permintaan bapaknya.
Sepuluh menit berlalu, Ajeng sudah berpakaian rapi. Piyama berbahan kaos menjadi pilihannya saat ini. Toh, ia tidak akan kemana-mana lagi.
"Minum dulu!", Pak Amri menyodorkan segelas teh hangat dan pisang goreng yang tadi ia hangatkan.
Ajeng terus menuruti apa yang bapaknya katakan. Usai menyesap tehnya, Ajeng menggenggam gelas kaca yang masih cukup hangat di telapak tangannya.
"Kamu sudah bertemu Ranu?", tanya Amri tiba-tiba. Ajeng pun mendongakkan kepalanya menatap bapaknya.
"Iya pak!", jawab Ajeng dengan suara parau.
"Dia sudah ngomong langsung sama kamu kalau dia sudah melamar Bu guru dari desa sebelah?", tanya Amri lagi.
Ajeng mengerjapkan matanya pelan. Air matanya kembali meleleh.
"Bapak sudah tahu sebelumnya?", tanya Ajeng dengan suara bergetar.
"Iya! Bapak tahu, itu pun mendengar dari orang lain! Bukan dari Ranu!", jawab lelaki matang tersebut.
Air mata Ajeng kembali meleleh. Gadis itu yakin, bukan hanya dirinya yang kecewa orang tuanya pun sama.
"Bapak tidak mau bicara hal ini sama kamu, bukan karena bapak ngga sayang sama kamu. Tapi bapak justru ingin Ranu yang mengatakannya secara langsung ke kamu."
Ajeng menggigit bibirnya karena masih saja ia terisak pelan.
"Bersabarlah Jeng! Ranu memang bukan jodoh kamu'', kata Amri mengusap puncak kepala sang putri dengan pelan.
Ajeng hanya bisa menganggukkan kepalanya.
"Insyaallah Ajeng ikhlas, Pak!", ujar Ajeng dengan suaranya yang serak.
"Allah pasti sudah menyiapkan rencana terbaik untuk mu di masa depan nanti! Untuk hari ini, menangis sepuas kamu! Sampai kamu lega selega-leganya! Tapi hari besok, kamu sudah tidak ada waktu untuk menangisi Ranu lagi!", kata Amri tegas.
Ajeng semakin kencang menangis sambil memeluk perut bapaknya.
Amri mengusap puncak kepala Ajeng dengan lembut. Hati ayah mana yang tega melihat anak gadisnya menangis seperti ini?
Ternyata sebanyak apa pun harta yang bapak kumpulkan tetap tidak bisa sepadan dengan neraka, Nak! Maafkan bapak yang tak bisa memberikan semua yang terbaik untuk kamu!
🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸
"Dua kilo ngga kurang nih Bu Haji?", tanya Jaenah ramah pada pelanggannya.
"Insyaallah cukup Bu Jen!", sahut perempuan paru baya itu.
"Jaenah Bu Haji, kalo Bu Jen nanti di kira personil black pink hehehe."
Bu Haji pun tertawa mendengar celetukan Jaenah yang ramah. Pantas kiosnya selalu ramai meski ia jaga sendirian. Tak sedikit yang iri pada kios Jaenah yang selalu ramai tiap harinya.
Setelah membayar belanjaannya, Bu Haji pun pergi. Bu Jaenah sedang menghitung uang dagangannya.
"Bu Jen!", panggil seseorang. Jaenah yang sedang menunduk pun mendongakkan kepalanya.
"Bu Yati?!", sapa Jaenah. Wajah Bu Suryati tampak serius ,itu yang Jaenah lihat.
" Mau belanja apa?", tanya Jaenah lagi. Bu Suryati menggeleng pelan.
"Ajeng sudah tahu, tadi pagi dia ke rumah."
Jaenah menghela nafas panjang. Akhirnya hal ini terjadi juga.
"Alhamdulillah kalau Ajeng sudah tahu, Bu."
Bu Suryati menganggukkan kepalanya. Pensiunan guru itu terlihat sekali tak enak hati pada Jaenah.
"Sudah Bu Yati, jangan terlalu di pikirkan. Insya Allah Ajeng ngga apa-apa. Lagi pula, mereka kan hanya pacaran. Belum sampai ke tahap lamaran apalagi menikah. Ngga apa-apa!", kata Jaenah.
Obrolan dua orang ibu itu pun selesai setelah Bu Suryati pergi. Jaenah duduk lemas setelah berpura-pura tegar di depan ibunya Ranu.
Mulut memang bisa berkata demikian, tapi hati??? Sebagai seorang ibu yang melahirkan Ajeng, tentu ia pun turut bersedih mengetahui apa yang terjadi dengan putrinya.
Jaenah teringat akan ucapan Ajeng yang berbicara tentang masa depannya dengan Ranu.
Tapi nyatanya...mereka tidak berjodoh!
Sabar ya, Nduk! Insya Allah kamu akan mendapatkan jodoh yang jauh lebih baik dari Ranu! Begitu lah doa seorang ibu yang berharap kelak anaknya dapat menemukan kebahagiaannya suatu saat nanti!
💐💐💐💐💐💐💐
terimakasih 🙏🙏🙏
jodohnya Ajeng belom nongol ya 😅😅😅🙏
Klik!
Seorang laki-laki berusia tiga puluh tahunan itu melepaskan helmnya. Ia baru saja pulang bekerja.
Pekerjaannya adalah satpam sebuah kantor bank swasta. Sosok tinggi semampai yang mungkin cocok jadi abdi negara itu menuruni sepeda motornya lalu berjalan menuju ke sebuah teras kecil yang merupakan tempat ia bernaung selama ini.
Satu per satu ia melepaskan tali sepatunya sambil duduk di salah satu bangku.
"Kebetulan sudah pulang! Nih, ibu mau berangkat arisan! Capek ngurusin bocah ini melulu!"
Seorang perempuan paru baya itu meletakkan bocah berusia hampir tiga tahun di pangkuan Bhumi.
Bocah kecil bernama Khalisa Qurota A'yun itu menatap ayahnya dengan pandangan khas anak kecil.
"Memang tidak bisa nanti dulu Bu, Bhumi baru saja sampai", kata Bhumi dengan pelan.
"Mau ngeluh capek? Lebih capek ibu ke mana-mana tahu ngga! Udah ngurusin anak kamu, jaga warung juga!", sahut ibu dari bumi yang bernama Tini.
Tini memang memiliki warung kecil di gang itu. Meski kecil, warung itu cukup ramai karena hanya ada warungnya di sana.
Bapak dari Bhumi juga sebenarnya masih ada, hanya saja memang sudah tak bekerja. Beberapa tahun yang lalu keluarga mereka sebenarnya termasuk keluarga berkecukupan. Tapi karena suatu hal, jadilah kondisi mereka seperti sekarang.
Masih untung rumah itu miliknya, coba kalau kontrak? Sudah di pasti mikir buat bayar nya kan?
Rumah yang memiliki tiga kamar tidur itu di huni oleh tiga keluarga. Orang tua Bhumi, Bhumi dan anaknya juga keluarga kakak perempuan Bhumi.
Ramai kan rumah itu?
Bhumi yang sudah terlanjur lelah dan malas berdebat itu pun menggendong Khalis dan membawanya ke kamar.
Di usianya yang hampir tiga tahun, Khalis mengalami speech delay. Seharusnya Khalis bisa mengikuti terapi di rumah sakit. Tapi karena kesibukan Bhumi dan orang tuanya juga tak mau membantunya menangani kekurangan Khalis, jadilah Khalis seperti ini.
Lalu dimana ibunya Khalis?
Istri Bhumi meninggal dunia usai melahirkan Khalis. Di rawat beberapa Minggu di sebuah rumah sakit hingga terpaksa Bhumi menjual tempat tinggalnya, sayangnya nyawa sang istri tak tertolong.
Mungkin karena ini lah mengapa orang tua Bhumi merasa jika kehadiran Khalis merupakan hal yang sangat tidak mereka sukai.
Mereka menentang pernikahan antara Bhumi dan mendiang istrinya sejak dulu. Di tambah lagi, mereka harus kehilangan aset untuk pengobatan ibu nya Khalis. Dan ya ...akhirnya...ibunya Khalis tiada, harta benda pun ikut tiada. Kasihan bukan?
Khalis duduk di kasur ayahnya yang sedang melepaskan seragamnya. Gadis kecil itu menatap sang ayah dengan mata lentiknya yang sangat cantik.
Khalis mewarisi kecantikan ibunya juga perpaduan wajah Bhumi.
"Anak ayah sudah mam?", tanya Bhumi yang kini duduk berjongkok di depan Khalis. Gadis kecil itu tentu tak langsung menjawab.
"Temenin ayah makan ya!", Bhumi menggendong batita kurus itu. Tanpa mengucapkan apa pun, Khalis mengalungkan tangannya ke leher sang ayah.
Bhumi sering merasa kasihan dengan sang putri yang kekurangan kasih sayang apalagi perhatian.
Ingin sekali ia membawa Khalis rutin berobat. Tapi kadang waktunya yang tak bisa di sesuaikan.
Bhumi pernah mencarikan pengasuh untuk Khalis, tapi ibunya marah! Kenapa?
Dari pada uangnya di berikan pada pengasuh, lebih baik di berikan pada ibunya!
Tapi ya....beginilah...hanya Khalis yang tahu seperti apa rasanya di posisi itu.
Apa Bhumi ada keinginan untuk menikah lagi? Tentu saja ada!
Tapi beberapa kali ia mencoba memiliki hubungan selalu kandas karena tak ada yang bisa menerima kehadiran Khalis.
Jadi, Bhumi berpikir kalau sebaiknya memang cukup dirinya yang berperan menjadi ayah sekaligus ibu untuk Khalis.
Bhumi tiba di meja makan. Ia membuka tudung saji yang menutupi beberapa piring disana.
Helaan nafas terdengar dari bibirnya. Hanya ada tumis kacang panjang yang ibunya sediakan di sana.
Apa anaknya tidak di beri makan?
"Khalis duduk di sini ya, ayah goreng telor dulu!", kata Bhumi mengusap puncak kepala Khalis yang masih diam.
Bhumi membuka kulkas. Hanya tersisa satu telor di sana. Lagi-lagi ia menghela nafas panjang.
Lelaki itu memecahkan telornya untuk di jadikan telor dadar agar bisa ia makan berdua dengan Khalis.
Tak lama kemudian ,telor dadar itu pun matang. Bhumi menyuapi gadis kecilnya yang terlihat sangat lahap.
"Kamu belum makan sayang?", tanya Bhumi pelan.
Sosok ibunya muncul dari arah luar.
"Udah! Tapi di lepeh terus! Susah banget di suruh makan!", celetuk Tini.
"Memang di kasih lauk apa Khalis nya Bu?", tanya Bhumi.
"Tumis kacang lah! Tadi ibu goreng nuget sudah di makan Dafi sama bapak mu!"
Bhumi memejamkan matanya dan menarik nafas dalam-dalam.
Yang benar saja batita seperti Khalis di paksa makan pakai tumis kacang panjang yang pedas seperti itu?
"Ngga usah lebay! Yang penting sudah kamu suapi! Sini, mana uang buat arisannya!"
Tini menadahkan tangannya.
"Arisan terus, Bhumi ngga pernah dapat!", kata Bhumi.
"Kalo dapat ya buat ibu lah, itung-itung nabung. Toh gara-gara kamu kita jadi tinggal di rumah ini!"
Tini menyambar uang yang ada di tangan Bhumi setelah itu ia pun pergi.
Nafsu makan Bhumi mendadak hilang. Tapi karena ia melihat sang anak makan dengan lahap, ia pun masih bisa tersenyum.
"Maafkan ayah, ya nak....!", Bhumi mengusap puncak kepala Khalis dengan penuh kasih sayang.
💐💐💐💐💐💐💐💐
Sorry....mas Restu Bhumi bukan CEO pengusaha apalagi abdi negara ya....🙏🙏🙏🙏
Yang realistis aja kaya umumnya kehidupan sehari-hari Mak othor 🤭🤭
terimakasih 🙏
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!