NovelToon NovelToon

AKU BUKAN WANITA PEMBAWA SIAL

A ~ Ba 01

RENCANA PERJODOHAN

......................

“Suka ataupun tidak, kau harus menikah dengan laki-laki pilihan kami! Bila menolak, segera angkat kaki dari rumah peninggalan anak ku!” Mata tuanya menatap penuh benci sosok wanita yang tidak lain salah satu cucunya sendiri.

“Anak yang Nenek sebut tu, adalah Ayah kandungku! Sudah menjadi kewajibannya memberikan hunian bagi istri serta darah dagingnya! Jadi, tak payah lah mencari alasan demi menjerumuskan diri ini dalam jurang penderitaan!” Wanita berkaos panjang longgar, dan celana jeans, tanpa mengenakan hijab itu tersenyum penuh cemooh.

Nek Blet menggebrak meja, nada suaranya naik satu oktaf. “Dasar Wanita pembawa sial kau, Dhien! Karena mu, putraku meninggal! Malang betul hidupnya menikahi wanita penyakitan seperti Mamak kau, yang hanya bisa menyusahkan saja!”

“Hei wanita tua renta! Jangan pernah membawa nama Emak ku! Dia sama sekali tak salah, tapi Nenek sendirilah yang menciptakan neraka pada biduk rumah tangga mereka!” Dhien berseru lantang, paling tidak bisa dia kalau sang ibu di hina.

“Di mana sopan santun kau, Dhien! Dia tu nenek mu yang wajib dihormati!” Winda yang sedari tadi diam ikut membentak.

Dhien menoleh menatap sepupunya. “Kau cakap perihal sopan-santun pada orang yang selalu kalian pandang sebelah mata, kalian caci maki, dan kalian katai si pembawa sial, apa pantas? Lucu sekali kau Winda! Muak kutengok wajah bak malaikat mu, padahal hatimu macam pantat kuali tak pernah di cuci, hitam penuh iri dengki!!”

“Tutup mulut Kau! Dasar Anak tak tahu diri! Haram bagimu mengatasi cucu kesayanganku!” maki nek Blet.

“Baik. Kalau macam tu, berarti aku boleh pergi dari rumah bak neraka ni ‘kan? Sebab tak diperkenankan berkata-kata!” Dhien begitu santai beranjak hendak berlalu dari rumah neneknya dari pihak almarhum bapaknya.

“Melangkah lah kau dari pintu tu, maka siap-siap kehilangan tempat berteduh!” ancam Nek Blet.

Dhien berbalik, menatap tajam mata neneknya yang menghunus tepat pada netranya, tanpa aba-aba diambilnya guci keramik berukuran kecil pada buffet ruang tamu dan …

PYAR.

Semua pasang mata yang ada di sana terbelalak tanpa terkecuali, terlebih wanita tua itu mendapati pajangan kesayangannya sudah remuk menghantam dinding tembok.

“Kalau kalian masih butuh diri untuk dimanfaatkan, harap jaga sikap! Aku bukan lagi gadis kecil yang hanya diam saja bila dihina apalagi disakiti!” Dhien kembali melangkah dan duduk pada sofa ruang tamu.

“Ka_u!” Pundak nek Blet ditahan oleh anak perempuannya, ibu si Winda.

Zulham yang sedari tadi menjadi penonton ikut geram, dia berdiri dan langsung mengikis jarak dengan adiknya. “Kau betul-betul tak punya otak, Dhien!”

PLAK.

Wajah Dhien sampai tertoleh ke kanan, kala pipi kirinya ditampar begitu kuat.

Tidak ada pancaran sedih apalagi jatuhnya air mata, Dhien tetap tenang, menatap berani Abang kandungnya yang selama ini hanya tahu menyakiti fisik maupun perasaannya.

“Kau salah satu orang yang membuat ku tak berotak, Zulham! Berkat mu, diri ini paham bila tak selamanya darah tu lebih kental daripada air. Adanya kau di dunia ini hanya hama bagiku, tak ada gunanya! Status mu sebagai Abang kandung cuma hiasan belaka tanpa berarti apapun!”

Tangan yang tadi begitu berani menyakiti tanpa bersusah payah berpikir terlebih dahulu, kini bergetar halus, rasa percaya dirinya pun terkikis kala menatap manik hampa adiknya, Zulham kembali duduk pada seberang sofa.

Ayie, bibinya Dhien mencoba bersuara seraya membujuk sang keponakan, dia ikutan duduk di sofa samping ibunya.

“Dhien, coba sekali saja kau tak melulu menganggap kami musuh! Kami hanya ingin memberikan yang terbaik bagimu, agar kau tak lagi perlu bekerja keras, berpanas-panasan di bawah terik matahari, mencari kayu bakar demi membuat perut kenyang_"

"Fikar tu, pemuda yang baik, ekonominya pun sudah mapan, dari keluarga berada pula, dapat dipastikan kehidupan kau dan ibumu terjamin!” sambungnya dengan nada lembut penuh kepalsuan.

Dhien tertawa sumbang, mengesampingkan rasa perih pada pipinya. “Tak perlu cakap manis macam tu, Bik! Aku paham betul akal busuk kalian. Menjual diri ini dengan kedok perjodohan! Alamak … indahnya kata-kata kiasan yang kudengar ni!”

“Baiklah … anggap saja aku menyukai niat baik keluarga titisan Fir'aun ni. Namun, ada syaratnya! Berikan padaku surat pembelian tanah rumah warisan Ayahku!” sambung nya tenang.

“Tak kan!” Nek Blet spontan berteriak.

“Astaghfirullah. Tak nya Nenek takut bila tu jantung copot? Tapi, bagus jualah bila hal tu terjadi, hilang satu orang pembenci maka sedikit damai lah hidup ku ini!” cibir Dhien seenaknya sendiri, dia sudah kehilangan apa itu namanya sopan santun bila berhadapan dengan keluarga almarhum bapaknya.

Nek Blet sampai sesak napas, cucunya yang tidak dianggapnya ini memang terkenal ceplas-ceplos, kasar, tidak jarang bertindak anarkis, serta bermulut tajam.

"Tak ada tawar menawar, Dhien! Kau harus setuju … atau_”

“Jangan mengancam ku, Indri! Siapa kau? Berani betul ikut campur!” Dhien membentak kakak iparnya, istri dari Zulham, seketika Indri bungkam.

“Bila keputusan kalian telah bulat, maka keinginan ku pun tak bisa diganggu gugat! Serahkan suratnya, maka aku pun setuju menikah dengan laki-laki tukang zina tu!” ucapnya lantang.

Lagi dan lagi semua orang terkesiap, tidak menyangka kalau Dhien mengenal sosok Fikar.

Dhien menatap sengit para orang yang ada di sana. “Kalian kira aku bodoh, sama sekali tak tahu latar belakangnya. Sini ku kasih paham! Fikar tu ... bukan cuma pemburu lubang wanita, tapi juga penjudi serta tukang mabok! Puas kalian? Tentu lah, ‘kan sesuai harapan yang selalu ingin menyiksa fisik serta mental ku!”

Ruangan semula panas, seketika terasa dingin, setiap pasang mata saling melirik, tentu mereka terkejut, Dhien tidak sebodoh yang mereka pikir.

Nek Blet akhirnya menyerah, dia memberikan surat penjualan tanah yang ada bangunan rumah tempat tinggal Dhien bersama ibunya. Sebenarnya warisan itu memang milik Dhien, tetapi direbut paksa dari tangan Emak Inong.

“Terima kasih banyak ya keluarga keturunan Setan, senang bisa bekerja sama dengan kalian! Oh ya, atur saja kapan tepatnya aku harus bersanding dengan Badjingan tu!” Dhien mencium selembar surat kepemilikan, lalu beranjak dari sana, sebelum mencapai pintu, dia sempatkan menendang pinggiran sofa tunggal yang diduduki oleh Zulham.

DUG.

“Anggap saja satu sama ya, Abang ku yang malang!” cibirnya dengan raut begitu puas.

“Dasar wanita pembawa sial kau, Dhien!” Zulham meraung kesakitan, kepalanya terantuk lantai keras.

Tidak cukup sampai di sana, sebelum menaiki sepedanya, terlebih dahulu Dhien mendekati kurungan Ayam jago milik abang dan pamannya.

“Keluar lah kalian! Tak perlu bertaruh nyawa demi tetap hidup.” Dhien membuka dua songkok ayam.

Ayam tadi langsung berkokok nyaring seperti berterima kasih pada Dhien, lalu berlari sekencang mungkin memasuki semak belukar yang ada di belakang rumah Nek Blet.

“Astaga! Ayam jago ku!” Idris suami si Ayie berteriak sambil berlari hendak menangkap Ayam yang biasa diadu setiap hari Rabu.

Dhien yang sudah mengayuh sepedanya, tertawa terpingkal-pingkal. Begitu sampai di perkebunan karet dengan jalan setapak, dia berhenti, menyandarkan sepedanya pada pohon rambung, seketika tubuhnya luruh.

“Sakit ya Allah! Sampai kapan hamba kuat menghadapi setiap ujian dari Engkau ya Rabb?” dirinya terduduk di tanah berumput, menangis tergugu seraya memukuli dadanya.

"Apa betul bila hamba wanita pembawa sial ya Tuhan? Sehingga mereka enggan mengakui diri ini! Tolong jawab ya Rabb!”

Sepasang tangan kekar mengulurkan sapu tangan miliknya.

"Siapa kau ...?"

.

.

Bersambung.

Akhirnya kita bersua kembali ya Kak🥰

Salam sayang selalu 😘

Jangan sungkan-sungkan bila ingin berkomentar 🙏❤️

K ~ Bab 02

Kau bukan wanita pembawa sial, tetapi gadis tangguh dengan hati teguh.

...****************...

Dhien menatap sengit sosok pria dewasa yang masih mengulurkan sapu tangan untuknya. “Siapa kau?”

“Sudahi kekonyolan mu, Dhien! Lap tu air mata dan ingus yang hampir bersatu padu!” dengusnya jengah.

Dhien langsung menarik paksa kain lembut terlipat segiempat, lalu mengelap wajahnya serta sisi ingus sekuat-kuatnya.

“Memang tak ada anggun-anggun kau jadi wanita!”

“Diam kau, Dzikri! Sedang apa dirimu di tengah hutan belantara ni?” Dhien memicingkan matanya, menatap penuh curiga. “Atau jangan-jangan kau mengikuti ku?”

Dzikri Ramadhan, yang sering di sapa Dzikri, pemuda tampan, berusia 24 tahun, berahang tegas, warna mata seperti madu itu menggelengkan kepalanya.

“Kepercayaan dirimu, sungguh patut diacungi jempol kaki, Dhien. Kalau kau lupa, sini ku ingatkan! Perkebunan karet ni milikku, jadi yang perlu dipertanyakan tu, mengapa dirimu bisa terdampar sampai sini? Mana menangis macam orang kesurupan lagi!”

Dhien yang tadi jongkok, kini sudah berdiri, berjarak satu langkah kaki dewasa dengan Dzikri. “Suka-suka ku lah! Napa pulak kau sibuk bertanya ini itu. Kau mengatai ku macam orang tak waras, tak nya kau ingat ... sewaktu dulu pernah ku lempar batu lalu dirimu menangis sambil menjilati air mata bercampur ingus, bukankah lebih jorok dirimu?”

Mata Dzikri melotot sempurna. “Tu kan semasa kanak-kanak, ya wajarlah!”

“Bagiku tak tuh!” Dhien bersedekap tangan, menatap menantang, wajahnya sudah kembali sinis, tidak lagi menangis.

Dzikri merogoh saku celana jeans nya, mengambil sebungkus permen karet. “Cukup ‘kan, untuk menutup mulut bocor mu tu?”

Dhien tersenyum sumringah, tetapi rautnya kembali masam. “Kau tahu kan, kalau mulutku ini bukan lagi bocor alus, tapi …?”

“Ini ambil semua!” Dzikri memberikan satu renteng permen karet. “Pulang sana kau! Tak baik sore hari berkeliaran di tengah hutan!”

“Mana rambut keriting mu sudah mengembang macam sarang Burung, buat sakit mata yang memandang saja!” sambung Dzikri seraya menatap rambut sebahu Dhien yang dibiarkan tergerai.

Dhien membuka satu bungkus permen karet, lalu langsung memasukkan ke dalam mulut, yang lainnya sudah dikantongi.

"Dzikri, kau pernah dengar pepatah ini tak? Antara Cinta dan Benci tu beda tipis loo, harap hati-hati jangan sampai jatuh hati padaku, nanti kau bisa mati berdiri karena sudah pasti akan ku tolak mentah-mentah cinta mu tu!”

“Tak akan! Aku bukan membenci, tetapi sering naik darah bila berhadapan dengan mu!” sanggah Dzikri seraya memalingkan wajahnya.

Dhien mengedikkan kedua bahunya. “Terserah kau sajalah! Oh ya … bila nanti telah bertemu calon jodohmu, tolong beritahu aku ya! Biar ku ungkap semua aib mu, coba kita lihat … tu orang masih tetap menyukaimu atau malah meninggalkan mu.”

“Astaghfirullah.” Dzikri mengelus dadanya, berbicara dengan teman masa kecilnya ini memang harus banyak-banyak beristighfar.

“Kau semestinya berterima kasih padaku, Dzikri. Karena diri ini seorang yang mampu membuatmu sering-sering beristighfar.”

“Mengapa sudah seminggu ini tak lagi pergi berlatih karate, Dhien?” Dzikri mengalihkan pembahasan mereka.

Dhien meletupkan permen karet nya. “Buat apa? Aku sudah bisa menyepak bahkan membanting orang. Jadi, tak ada gunanya lagi giat berlatih. Kecuali ada ilmu baru yang bisa membunuh tanpa menyentuh, baru ku rajin datang lagi!”

"Pergi berguru pada Dukun sana kau! Ternyata percuma aku cakap denganmu, Dhien! Assalamualaikum … saja lah!” Dzikri menyerah.

“Wee ... tunggu dulu!” Dhien memanggil Dzikri yang sudah berjalan beberapa langkah menjauhinya. “Kau bawa pulang sapu tanganmu ini!”

“Ada kurang-kurangnya ku tengok kau ni, itu bekas ingus mu, masa menyuruh orang lain yang mencucinya!” Dzikri menatap malas wajah Dhien.

“Jangan berlagak macam tak tahu ya, Dzikri! Sapu tangan ni sebelumnya sudah pasti bekas keringat mu! Mau ambil tak? Atau kubuang ni!” Dhien sudah bersiap mau membuang sapu tangan ke semak-semak tumbuhan pakis.

Dzikri kembali mengikis jarak, lalu merebut kain bekas air mata dan ingus Dhien. Tangannya seperti orang hendak mencakar. “Ihh … palak kali kutengok kau ni!”

Ha ha ha … tawa Dhien membahana.

“Kau bukan wanita pembawa sial Dhien, tetapi wanita tangguh seperti arti namamu, si pemilik hati teguh!” bisiknya begitu lirih sambil melangkah hendak pulang ke rumah pamannya.

.

.

“Dari mana saja kau, Dhien?” tanya Amala sahabatnya Dhien.

Dhien menyandarkan sepedanya pada pohon rambutan samping rumah Amala, lalu mendekati gadis berumur 21 tahun, sama dengannya.

“Bisakah kau berikan aku minuman soda Badak, Mala! Rasanya kering betul tenggorokan ni!” pintanya tidak tahu malu.

Amala mendengus, tetapi tetap memenuhi permintaan Dhien, dia masuk ke dalam rumahnya guna mengambil satu botol minuman soda.

“Terima kasih, sahabat terbaikku!” ucap Dhien, lalu menggunakan gigi membuka tutup botol. Mereka duduk di atas bebatuan kerikil belakang rumah Mak Syam, ibunya Amala.

“Kau dari mana?” Mala kembali mengulang pertanyaannya.

“Habis pulang berperang! Demi menegakkan keadilan dan menumpas kejahatan!” Jawabnya sekenanya, meletakkan botol bening di sampingnya.

“Kau ni, tak pernah serius bila ditanyain!” Amala mendorong bahu Dhien.

“Aku serius ya! Apa namanya kalau bukan menegakkan keadilan bila bertamu di rumah titisan Fir'aun? Makin hari, bertambah tirani saja mereka!” Dhien menghela napas panjang.

Mala memperhatikan wajah Dhien, netranya melihat warna merah cap jari.

“Kali ini siapa yang menampar mu, Dhien?” tanyanya ringan dikarenakan sudah terbiasa melihat bekas luka di tubuh sahabatnya ini.

Dhien pun menceritakan semuanya tanpa ada yang ditutupi. Amala adalah sosok sahabat serasa saudara baginya, tempatnya bercerita, berkeluh kesah, bila dengan lainnya … Dhien seperti wanita tanpa beban, selalu ceria, sinis dengan mulut ceplas-ceplosnya.

“Mengapa kau setuju? Itu sama saja dengan memberikan makan hewan lapar, Dhien! Batalkan! Ayo ku temani kau, kita hadapi mereka sama-sama!” Amala hendak beranjak sambil menarik tangan Dhien, dia sungguh tidak terima sahabatnya mau menikah dengan penjahat kelamin.

Dhien menarik tangan Amala, agar terduduk kembali. “Mala, tolong dengarkan aku!”

Setelahnya Dhien menceritakan rencananya, meminta bantuan pada Amala agar semuanya berjalan seperti yang dia inginkan.

“Kau mau ‘kan membantu ku?” tanyanya penuh harap, dengan mata berkaca-kaca.

Amala menghapus air mata yang membasahi pipinya, lalu mengangguk pasti. “Aku mau! Meskipun nyawa taruhannya, tak kan mungkin diri ini mundur!”

"Tapi, kau harus berjanji! Selalu hati-hati, jagalah diri dengan baik. Jangan sampai masuk bui apalagi mati! Ayo berjanji, Dhien!" Amala meminta janji jari kelingking.

Dhien menautkan jari kelingking mereka. "Aku janji, Mala! Kalaupun harus ada yang celaka, maka itu mereka, bukan diri ini!"

Kedua sosok saling menyayangi itu berpelukan erat seraya menggumamkan kata-kata penyemangat.

Selepasnya Dhien pulang ke rumahnya sendiri, yang hanya berjarak 20 meter dari samping hunian Amala, baru saja masuk rumah lewat pintu belakang, dirinya sudah di sambut sosok wanita paruh baya berwajah sembab.

“Betulkah kabar yang Emak dengar ni, Dhien? Kau hendak menikah dengan Fikar? Jawab, Nak!!”

.

.

Bersambung.

Setting: Pemukiman Penduduk Transmigrasi, perbatasan Sumatera Utara dengan Aceh. Dimana ada beberapa suku yang mendiami, Jawa Sumatera, Melayu, Aceh, dan lainnya.

Terima kasih banyak ya Kak, atas sambutan hangatnya, dukungan luar biasanya, Hadiahnya, Gift, Vote, Like, serta komentarnya 🙏🥰

U ~ Bab 03

Aku bahkan tak tahu, bagaimana rupa Ayah.

......................

“Sudah hampir petang mengapa tak menghidupkan lampu penerangan, Mak?” Dhien tersenyum lembut, tidak langsung menjawab pertanyaan ibunya, dia berjalan ke meja tungku mengambil korek kayu, lalu ke ruang tamu tidak seberapa luas meraih lampu teplok yang tergantung di dinding tembok, membuka kacanya dan memutar sumbu.

Saat ini, listrik belum masuk di wilayah pemukiman transmigrasi, para warga menggunakan lampu teplok, adapun yang ekonominya lebih bagus maka akan menghidupkan lampu petromak.

“Duduk sini, Mak!” Dhien menggelar tikar anyaman daun pandan yang sudah terlihat usang.

Emak Inong yang sedari tadi menatap intens gerak-gerik putrinya pun menurut, mereka duduk berhadapan, masih saling diam.

“Emak tahu darimana kabar tu?”

“Tadi Abang mu datang bersama istrinya! Nya cakap kalau kau sudah menerima perjodohan yang mereka atur, benar begitu?” tanyanya dengan suara sudah bergetar menahan tangis.

Dhien meraih tangan sang ibu yang sudah terdapat keriput. “Kurang lebih memang seperti tu, Mak. Tapi, tak perlu risau! Ini hanya sementara saja!”

“Mengapa, Dhien? Apa sebab kau menerimanya? Pasti karena Emak lagi ‘kan?”

“Tak benar tu, ini semua murni karena Dhien ingin terbebas dari belenggu cengkeraman menyakitkan mereka. Tolong! Jangan terus-terusan selalu menyalahkan diri sendiri, Mak!”

“Mamak tak ikhlas, tak ridho. Kau masih muda, mengapa harus dengan si Fikar anaknya Ramlah, yang terkenal bejat suka main wanita, Dhien?” suara Emak Inong nyaris tidak terdengar, terhalang isakan lirihnya.

Dhien merengkuh ibunya, menepuk punggung ringkih wanita kesayangannya. “Percaya sama Dhien, Emak! Kalau ni hanya permulaan menuju kesuksesan kita.”

“Ya Rabb, tak cukupkah nasib malang ni hanya menimpa diri ni, mengapa putri hamba yang sama sekali tak bersalah harus jua menanggungnya.”

“Sudah Mak, tak elok cakap macam tu! Dhien yakin dibalik setiap ujian pasti ada hikmahnya baiknya.” Dhien mengusap lembut punggung ibunya yang bergetar.

“Maafkan Emak Dhien, maafkan wanita lemah ini yang tak mampu bersuara apalagi memperjuangkan hak mu.”

“Abang, mengapa tak kau jemput diri ni? Daripada hidup, tapi menjadi beban dan penghalang kebahagiaan putri kita. Tolong bawa saya Bang!”

Air mata Dhien jatuh jua, dia mengeratkan dekapannya, hatinya begitu sakit mendengar ratapan pilu sang ibu yang selalu merasa kalau dirinya beban bagi sang anak.

“Cukup, Mak! Kalau Emak menyerah, lalu dengan siapa lagi Dhien harus bersandar? Cuma Emak, satu-satunya keluarga yang menganggap Dhien ada, bernyawa bukan sekedar nama. Tolong jangan cakap macam tu!” Dhien merelai pelukan mereka, membingkai wajah sembab ibunya.

Emak Inong menggelengkan kepalanya tanda tidak setuju. “Andai Emak mati, mungkin langkah kaki mu lebih ringan, Nak! Kau bisa bebas kemana saja, tak perlu lagi mengurusi wanita tua berpenyakitan ni!”

“Lantas, apa gunanya Dhien hidup? Bila satu-satunya alasan diri ini bertahan lebih memilih berpulang ke Rahmatullah! Tak mengapa bila harus tertatih, tersungkur, bahkan berjalan di atas bara api sekalipun, asal masih ada Emak, Dhien rela!”

Suara tangis Emak Inong semakin kencang, ia meraung, menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.

Dhien membenamkan wajah pada kedua lututnya, suara isak nya terdengar pilu, hatinya bagai tersayat kala mengingat kalau dirinya sama sekali belum pernah merasakan pelukan sang ayah, dan neneknya.

“Astaghfirullah, Emak!” Dhien begitu terkejut kala membuka mata, ibunya sudah hendak mencoba bunuh diri lagi dengan memakan lingkaran obat nyamuk yang belum dihidupkan.

Emak Inong meronta-ronta kala tubuhnya di dekap erat. "Biarkan Emak mati saja, Dhien! Daripada terus menyusahkan mu!”

“Emak kira dengan mati bisa buat aku bahagia? Salah Mak!” Dhien memekik, masih memeluk erat ibunya. “Kalau memang merasa bersalah, tolong tebus dengan tetap hidup! Beri kesempatan bagi anak mu ni, untuk membuktikan kalau dirinya bukan Wanita Pembawa Sial!”

“Apa Dhien juga tak berarti di mata, Emak? Sehingga engkau memilih mati daripada menemani! Sebenarnya salah diri ini apa? Mengapa selalu mendapatkan penolakan?” Dhien melepaskan pelukannya, kedua tangannya menarik kuat surainya.

“Nak ….” ratapan putus asa sang anak berhasil menyadarkan Emak Inong.

Dhien kembali memeluk lututnya, netranya menatap nanar sang ibu. “Masih sampai hati nak cakap mau mati, Mak? Lantas kalau Mamak sudah tiada, siapa lagi yang akan menceritakan tentang Ayah, yang bahkan rupanya saja Dhien tak tahu! Hanya dari mulut Emak seorang diri ini mengenal sosoknya, bagaimana tampannya ia, apalagi bila tersenyum, maka matanya akan mirip bulan sabit.”

“Maaf, maafkan Emak, Dhien!” Emak Inong gantian memeluk Dhien dari samping, mengecup bertubi-tubi pelipis anak perempuan malangnya yang sama sekali tidak tahu bagaimana wajah ayahnya.

***

Flashback.

Sebelum kelahiran Dhien.

“Apa tak bisa Abang membatalkan rencana bekerja di ibu kota?” pinta Emak Inong penuh harap, dirinya sedang hamil enam bulan.

“Sayang, tak mungkin kita terus terpuruk dengan hidup pas-pasan. Sebentar lagi kau melahirkan, bertambah lah anggota keluarga kecil kita. Upah Abang sebagai buruh cangkul, sudah tentu tak cukup!” Syamsul mencoba memberi pengertian, sebenarnya dirinya juga berat meninggalkan sang istri yang tengah hamil, apalagi putra sulungnya juga masih kecil.

“Tapi, bisakah kami tetap tinggal di sini saja, Bang? Tak perlu pindah ke rumah Mamak!” Emak Inong menggenggam tangan suaminya, sementara Zulham bermain mobil-mobilan yang terbuat dari papan.

“Mana mungkin Abang tega meninggalkan kalian di rumah yang belum jadi ni, lantai masih tanah, jendela pun bukan kayu, tetapi hanya karung goni. Kau tenang saja! Mamak sudah berubah, nya betulan telah menerima kita.”

Keputusan Syamsul sudah tidak bisa diganggu gugat, hari itu juga mereka pindah ke rumah Nek Blet yang lebih layak, dikarenakan sudah bangunan permanen.

Memang benar kalau Nek Blet sudah berubah menjadi baik, menerima sang anak serta menantu dengan tangan terbuka, apalagi melihat Zulham yang tampan. Tapi, semua itu hanya sandiwara semata.

.

.

Selepas Syamsul pergi merantau, dimulai lah penderitaan Emak Inong.

“Sudah tahu melarat, bukannya sadar ekonomi sedang susah, malah sok-sokan tambah anak! Dasar menantu tak berguna kau, Inong!” cibir Nek Blet begitu tidak berperasaan.

“Kasihan kali ku tengok Abang ku tu, selama menikah dengan kau, hidupnya begitu miskin, rupanya pun macam gembel. Kau bukan cuma tak tahu diri, Inong. Tapi, tak pandai mengurus suami! Bisanya hanya menjual wajah menyedihkan agar dikasihani!” Ayie ikutan mencecar kakak iparnya, padahal dirinya juga sedang mengandung.

Hari-hari Emak Inong selama di rumah mertuanya begitu memprihatinkan, dijadikan pembantu gratisan, dijauhkan dari si Zulham yang kala itu masih berumur 4 tahun.

***

“Mana uang gaji anakku, Inong?” Nek Blet merampas surat berisi uang gaji Syamsul, yang dititipkan pada temannya kala pulang kampung.

Emak Inong tidak bisa berbuat apa-apa, diam dan mengalah adalah jalan yang diambilnya. Sudah dua kali suaminya mengirimkan uang, tetapi selalu diambil ibu mertuanya.

Suatu siang yang cerah, kabar duka itu datang tiba-tiba. Sebuah mobil ambulance memasuki pekarangan rumah Nek Blet.

Emak Inong yang sedang membalik pakaian di jemuran samping rumah ibu mertuanya, mengernyitkan dahi.

“Kami datang dengan membawa jenazah Bapak Syamsul, beliau meninggal dunia dikarenakan kecelakaan kerja, tertimpa reruntuhan bangunan rumah yang hendak dirobohkan!”

Suara itu bagaikan godam yang menghantam tepat ulu hati Emak Inong, tubuhnya nyaris terjengkang, matanya berkunang-kunang, ia kesusahan bernapas.

BUGH.

.

.

"Ternyata laku jua si anak Pembawa Sial tu, lumayan lah dapat dua ekor Kambing jantan."

.

.

Bersambung.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!