Hay pembaca
Warning !!! Karangan ini hanya fiktif belaka aja yeee. Jadi jangan disamakan atau dicari-cari persamaannya dengan dunia nyata, hanya semata-mata imajinasi penulis saja. Kalaupun menemukan kesamaan nama tokoh, latar, tempat dan waktu, itu adalah kebetulan dan dianggap untuk menghidupkan cerita ini saja.
Happy reading guys 😉
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...Blurb...
...Witing tresno, jalaran soko kulino. Cinta akan tumbuh karena terbiasa. Berawal dinikahkan secara paksa, rasa tidak suka dan canggung berubah menjadi rasa kangen mendalam....
...Perbedaan usia tidak menjadi penghalang Aya dan Ghi untuk merangkai cerita, bahkan menjadi pemanis kehidupan pernikahan keduanya. Menikah di usia muda apalagi dengan seorang polisi begitu butuh perjuangan bagi Aya. Semua tentang kesetiaan, pengorbanan, dan loyalitas....
...****************...
Jakarta memang panas, tapi tak bisa lebih panas lagi saat ini untuk Aya.
Ia melirik layar ponsel yang menunjukan suhu 37 derajat celcius siang ini, pantas saja pori-pori kepalanya banjir keringat. Bisa-bisa ia meleleh jika semenit lagi hukumannya tak segera berakhir.
"Panas njirrr, ih." Tatapnya mengernyit dan menyipit sedikit mendongak, tak berani menatap langsung matahari yang sudah say hello getok kepalanya dari tadi, tepat di atas ubun-ubun.
Ia bahkan sudah garuk-garuk tengkuk plus kaki persis ngga mandi seminggu. Karena mendadak, badan pada gatel sebab pegal. Terhitung ia sudah berdiri selama hampir 1 jam di depan tiang bendera sekolah.
Kinan terkekeh, menurunkan sejenak tangannya dari pelipis, "pegel oyyyy, kurang loyalitas apa kite coba? saban hari hormatin benderaaaaa mulu. Mestinya presiden kasih kite sepeda motor...." ujarnya ngawur tertawa, kelamaan dijemur otak kedua gadis ini kering kaya kerupuk gendar, patutnya diloak di pasar gembrong.
Aya tergelak, bukan ciri khas cewek anggun karena jelas tawanya lebih menyerupai tawa om genderuwo, "kamvrettt, lo bener lah! Kurang nasionalisme gimana coba kita berdua jadi generasi muda?!" setujunya mengepalkan tangan ke arah Kinan untuk bertos ria.
Kulitnya bahkan sudah matang seperti kepiting rebus dijemur langsung begini.
Dan again, tatapan beberapa orang manusia yang baru saja keluar dari ruang kepala sekolah jelas bikin dunia runtuh, terkhusus bunda.
Aya menatap bola mata bunda yang baru keluar menenteng tas dan satu bundel map sambil mengangguk sopan pada kepala sekolah, guru dan beberapa orangtua lain, entah kenapa tatapan kali ini tidak seseram nenek lampir seperti biasanya. Namun menyiratkan rasa lelahnya.
Dilemparnya tas ransel tepat di atas sofa. Tidak langsung membuka sepatu ia justru segera menjatuhkan badannya di samping tas dan memencet tombol remote AC. Matanya terpejam berteman omelan bunda, yang kali ini sepertinya ia tidak main-main.
"Kamu tau ngga, bunda malu! Punya anak cewek tapi badung, kaya begundal jalanan! Kamu ngga liat marahnya mamah Yuna, si Yuna cerita sambil nangis-nangis, katanya kamu siram pake air kuah baso yang pedesnya level setan...dia sampe pingsan kamu ajak berantem, kalo sampe mereka perkarain dan lapor polisi gimana?!" geramnya kesal.
"Udah tau kan konsekuensinya, ini udah kelewat batas, Aya! Malam ini beresin baju kamu, bunda udah bingung masukin kamu ke sekolah mana lagi! Kalo tega, udah bunda masukin sekolah singa kamu," geramnya menunjuk anak sulungnya itu, ponsel yang seharusnya layar sentuh pun mendadak jadi layar tonjok ketika bunda langsung menghubungi ayah demi berbagi rasa marahnya.
Aya menghela nafas panjang nan beratnya, ia tau perjanjiannya dengan kedua orangtuanya terutama bunda, tapi kali ini....ia berani bersumpah, ia tak melakukan pembullyan itu. Yuna saja yang *playing victim* karena tak suka padanya, "tapi Aya sama Kinan ngga salah bun. Bunda jangan gitu....dengerin Aya dulu." Ucapannya harus terhenti oleh tatapan tajam bunda, dan obrolan yang sudah terjadi antara bunda dan ayah di sambungan telfon.
"Ck, damnnnn!" geramnya kesal menghentak kaki. Hentakan kakinya itu, untung saja tak langsung membuat keramik rumah langsung retak!
Belum habis siang tadi ia dimarahi bunda sampai kupingnya terasa bolong persis goa, dan berdenyut kaya pan tat ayam. Kini ayah... yang biasanya menjadi malaikat penyelamat Aya, sore ini pulang-pulang langsung nge-reog nyemilin piring.
//
Ia menggelengkan kepalanya di meja makan.
"Bunda tuh ngga habis pikir sama kamu!" masih menatap Aya sinis penuh kekecewaan, meskipun mulutnya sudah mengunyah rakus.
Aya menggeleng kuat, "udah dibilangin berapa kali, Aya ngga salah. Maksudnya ngga salah-salah amat, si Yuna tuh cuma *playing victim*, yah...bun...percaya Aya, *please*!" jelas Aya masih memegang garpu dan sendok, bahkan gadis ini bercerita begitu berapi-api sambil mengacungkan alat makan itu, membuat ayah dan bunda mengangkat alisnya sebelah. *Mana percaya mereka sama cerita Aya*, *yang sekarang aja keliatan mirip pembu nuhh berda rah dingin*!
"Nah kan, nah kan....itu turunin! Dari cara kamu ngomong sekarang aja itu garpu kamu acungin begitu...apa perlu bunda absen kenakalan kamu setengah semester ini?!" ribut keduanya di depan makan malam mereka.
Mulai dari Aya yang kabur bersama Kinan dari kejaran satpam dan kesiswaan karena terlupa membawa topi saat upacara bersama beberapa teman sekolahnya, sampai membuat jahitan roknya sobek.
Menyiram guru dengan air dan terigu, akibat salah sasaran. Lalu bermain bola basket saat istirahat dan memecahkan jendela kaca kelas XII. Dan kini apa, pembullyan yang tak termaafkan.
"Berapa kali ayah harus bayar uang bangunan sekolah dalam setahun Aya? Heran, anak perempuan tapi masya Allah!" kembali ayah hanya bisa menggeleng frustasi, otaknya kembali berputar, dimana letak kesalahan ia dan sang istri dalam pola asuh Aya, tapi Aya.....ya Allah...
"Udah bunda bilang, ngga usah itu ikut-ikutan les taekwondo! Mestinya kamu tuh les balet dari dulu----"jedanya demi mengalihkan tatapan.
"Ayah juga!" tatapannya kini beralih pada sang suami, "ini nih, akibat pergaulan, sama les bakat yang salah..." manyun bunda.
"Kenapa jadi ayah? Salah bunda juga yang ngga bisa jaga pergaulan Aya..." balas ayah tak mau kalah.
"Kenapa jadi ngerembet sama les taekwondo sih?!" omel Aya tak terima.
"Pokoknya bunda ngga tau lagi deh, kepala sekolah minta kamu ngundurin diri....kamu besok masuk pesantren aja lah!"
Secarik kertas tanda pengunduran diri yang masih kosong terlampir di depan meja, membuat suasana hatinya buruk saat itu juga. Terbayang sudah dengan begitu jelas wajah pak kyai bersorban atau ia yang menjadi ukhti-ukhti solehot, pake kerudung segede gaban persis meja ditaplakin.
TIDAKKKK!!!!
"Bunda please, bunda!"
"Ayahhhh! Jangan jahat sama Aya!" ia menjatuhkan diri ke lantai dan merangkak berjongkok ke arah lutut bunda serta ayah, wajah memelas minta dikasihani ia pasang begitu *epic* sebagai seorang terdzolimi.
Keputusan ayah dan bunda tetap tak tergoyahkan untuk menendangnya keluar dari kota Jakarta yang sudah menda rah daging sejak di kandung badan. Meski usulan bunda memasukan Aya ke pesantren diurungkan, karena pada kenyataannya ayah kini tengah sibuk bertelfon ria dengan kerabat dekatnya di Bandung.
"Kali ini kamu harus janji jangan bikin malu. Ini om Sakti sama tante Rena masih ada tali keluarga sama ayah...beliau juga sobat lama ayah dari jaman sekolah. Yang udah bantuin cari sekolah terus pulihin nama baik kamu dari catatan sekolah sebelumnya..." bunda mewanti-wanti Aya ketika sebagian isi pakaian berpindah dari lemari ke koper.
Aya justru sibuk menscroll-scroll ponselnya ketimbang mendengar ucapan bunda, gue mau dipindah ke Bandung! Kabar itu ia sebarluaskan pada teman-temannya, bak pengumuman posyandu balita.
"Assalamu'alaikum bun!" suara teriakan lantang seorang gadis SD menyeru dari bawah. Membuat bunda dan Aya menoleh sejenak dari aktivitas masing-masing.
"Wa'alaikumsalam!" bunda bergegas bangkit dari tepian kasur, "dah. Nanti kalo ada yang kurang bunda paketin."
Ia segera mematikan ponsel dan melemparnya begitu saja ke kasur lalu bergegas mengejar bunda, "bun-----emangnya sekolah di Jakarta cuma satu, dua aja gituh? Kenapa mesti dibuang ke Bandung yang jelas-jelas udah ngga ada siapa-siapa sih! Bunda percaya Aya dititip ke orang, kalo nanti Aya disiksa keluarga om Sakti gimana? Disuruh kerja, dijadiin pembantu, dikurung kaya dogy?" rengeknya membujuk, menakut-nakuti, siapa tau bunda berubah pikiran.
Bunda menghela nafasnya cepat nan kasar dan melotot, menghampiri anak gadis sulungnya itu sejurus kemudian mendaratkan dorongan jemarinya di jidat Aya, "ngaco!"
.
.
.
.
.
Perasaan sedih mulai menggelayut terasa berat di dada. Meski tak terlalu indah, wajah langit ibukota ini mungkin akan begitu ia rindukan nantinya, bersama bau polusi yang biasa ia hirup sehari-hari.
"Ayo buruan ka Ay, lebay banget sedihnya...kaya mau jadi tkw di Tokyo aja..." tangan lain meraih dan menarik tangan Aya untuk segera masuk.
"Ish, seneng kan kamu! Aku pergi!" sinisnya ketus. Ica tertawa renyah, "oh iya dong! Aku jadi anak bunda sama ayah satu-satunya, yang bakal digendong ayah tiap hari!" jawabnya kejam. Dasar adik lak nat!
Bibir tipis itu semakin tersungging julid dan mendorong kepala adiknya itu seenaknya hingga ia mengaduh, "aduh ih!"
"Jangan acak-acak kamarku!" peringatnya pada sang adik.
"Tetep mau acak-acak, siapa tau nemu berlian!" tawa Ica mengundang geraman Aya, "pokoknya kamarku, ha*ram kamu pijaki!"
Ica tergelak mendengarnya.
"Udah semua bun?" ayah mulai masuk ke dalam kursi pengemudi dan mengunci seatbelt. Bunda yang selesai memutar kunci pintu rumah ikut tergesa masuk kursi samping ayah.
"Kita pulang lagi kapan? Besok aku ijin sekolah dong, yah? Iya kan, bun?" tengok Ica bergantian pada ayah bunda, huft menyebalkan! Cari-cari perhatian.
"Kalo gitu kamu ngga usah ikut nganter ke Bandung, diem aja di rumah bu Yana...dititip kaya anak kucing!" sela Aya sinis, "manja banget. Jakarta ke Bandung cuma 2 jam, sebaliknya juga sama. Kalaupun nanti subuh balik, masih keburu sekolah."
Ica menoleh memeletkan lidahnya, "biarin. Cape tau incess! Lagian ngga afdol, kalo ke Bandung ngga jalan-jalan..."
Kini giliran Aya yang memutar bola mata seraya menjulurkan lidahnya jijik.
"Coba, ijin dalam rangka apa?!" tantang Aya merasa menang.
"Dalam rangka anter kakak ke pesantren! Ya kan bun?!" bibir Aya manyun karena yang terdengar adalah tawa bunda yang menyusul.
Keduanya terus saja bertengkar, sampai ayah yang harus kembali turun tangan merapatkan kedua mulut para anak gadisnya itu, pertikaian mereka belum berakhir dan malah merembet kemana-mana. Ada saja tema masalah yang kedua adik kakak ini perdebatkan.
"Stop! Udah! Tutup pintunya!" gertak ayah menghentikan perdebatan keduanya.
Blugh!
Pintu tertutup merapatkan celah, meninggalkan perasaan yang sudah pasti akan ia titipkan pada langit senja ibukota.
***
"Bang Ghi apa kabarnya ya?" tanya Ica mendekap boneka pisangnya, pantas! Karena bocah itu sejenis minion. Ia juga cerewet macam minion karena sejak tadi terus saja bicara yang tak Aya mengerti, padahal Aya saja sudah diam.
"Baik, nugas di Markas komando brigade mobile kota kembang kok. Nanti juga ketemu..." bunda memencet AC mobil.
Demi apa, obrolan bunda dan Ica tak membuat Aya tertarik untuk ikut nimbrung, karena jelas...meskipun ia dan Al Ghifari sempat melalui masa lalu bersama selama beberapa tahun mengingat om Sakti pernah bertugas di Jakarta, namun seingatnya abang-abangannya itu adalah manusia paling jutek, galak dan menyebalkan meskipun dulu ia sempat menyukainya dalam konteks suka karena Ghi yang berparas tampan dan hanya Ghi yang menurutnya keren dari lahir. Namun sayang, bagi Ghi ia adalah makhluk pengganggu ketenangan, si ompong yang rese.
Gue udah ngga ompong, bang ikan! Aya menghela nafasnya, memulai perjalanan panjang nan beratnya.
****
Ia tak ingat kini berada dimana, ataukah jam berapa. Hari ini begitu melelahkan untuk Aya, dan ia sudah hampir menyerah untuk sekedar menyuarakan ketidakadilan hidup.
Mobil masih berguncang bergerak cepat bersama suara wiper yang menyeret tetesan air hujan untuk menyingkir dari kaca.
Pantas saja kulitnya sedikit meremang dingin, nyatanya Bandung sedang diguyur hujan sore yang mulai tergelincir ke malam ini. Suara adzan berkumandang ketika mereka baru saja keluar dari jalan tol.
"Nyari dulu masjid apa magrib di rumah bang Sakti aja, yah?" tanya bunda. Terlihat tatapan ayah kini menoleh padanya yang baru saja sadar dari tidur.
"Ada yang capek." Senyumnya melebar sejenak menjeda ucapan. "Mau cari masjid, tempat makan atau langsung di rumah om Sakti aja? Tante Rena udah masak katanya, ayam serundeng favorit Aya." goda ayah, tak lantas membuat Aya mau tersenyum.
"Iya capek. Capek dimarahin, capek ngga dipercaya...." jawabnya. Ica justru tertawa renyah mendengar suara hati anak terdzolimi di sampingnya itu, "emh, pake so so an terdzolimi, padahal seneng tuh mau ketemu bang Ghi....udah lama ngga ketemu, deg-degan engga?" tambah Ica semakin menggoda.
"Seneng banget! Sampe-sampe aku punya rencana buat cipox terus per koss--aa bang Ghi kalo ketemu! Puas?!" sarkasnya langsung dihadiahi tepisan bunda, "ish ngomongnya! Apaan itu cipox-cipox, perkoss aaa, belajar darimana coba?!"
Ayah ikut tertawa meski ia tahan sekencangnya hingga bibirnya sakit, melihat kelakuan lain Aya.
"Masa anak sekolah gitu, di sekolah belajar apaan coba?!" debat Ica lagi memancing pertengkaran dengan kakaknya itu.
Moodnya tidak sedang ingin menanggapi ocehan Ica yang sejak tadi mancing-mancing level emosi. Aya justru sibuk memperhatikan jalanan kota Bandung, dimana tak ubahnya Jakarta....cukup macet di balik tetesan air yang hinggap di kaca mobil.
Kaca cukup berembun, memancing jemari nakal Aya untuk membentuk sebuah tulisan I love JKT.....kegiatannya itu tak sengaja terlihat oleh pengguna jalan lain bermotor yang kebetulan tepat berada di samping mobil bagiannya dengan jaket basah kuyup berwarna biru, bergambarkan viking. Ia cukup terlihat sinis melihat Aya dengan tulisan itu.
Sadar akan rivalitas sesuatu, Aya tersentak segera menghapus tulisannya dengan telapak tangan.
Belum apa-apa ia sudah apes begini, dipelototin warga pasundan. Bagaimana besok? Apa ia akan mati dikeroyok?
Suara melengking klakson bersautan, membuat jalanan macet akhirnya terurai akibat lampu sudah berubah hijau. Kembali mobil melaju melintasi jalanan arteri kota ini.
"Hafalin jalannya Ay, siapa tau nanti mau hangout sama temen-temen." Ujar bunda.
"Ngga usah. Aya mau tapa di rumah aja, biar kaya biksu...ngga mau punya temen takut kebawa yang ngga bener..." jawabnya mengundang tawa Ica, "yang ada orang lain kebawa nakal kak Aya."
"Ngga seru tau, diem terus di rumah....nih, ini Cihampelas!" tunjuk ayah ke luar jendela, "dulu tempat ayah sama bunda pacaran kalo ayah ngapelin bunda ke Bandung, ya bun?" lirik ayah bernostalgia sejenak, bunda mengulas senyuman tipis nan manisnya, "iya. Yang ayah nawar celana buat mapala ya?!"
Kedua orangtuanya justru malah mengobrol berdua mengenang masa-masa ldr dulu sewaktu kuliah, sementara Ica menyimak kisah manis keduanya. Dan Aya sendiri memilih menatap jalanan dimana pedagang jagung rebus tengah melayani pelanggan dengan kepulan asap dari dandang jagung. Mendadak pengen jagung!
Tak sampai adzan isya, mereka akhirnya sampai di sebuah perkomplekan di satu daerah yang masih cukup terasa suhu dinginnya.
"Duh, dingin! Auto jarang mandi nih, datang ke Bandung!" ucap Aya celingukan ke arah rumah yang dituju. Klakson yang dibunyikan memunculkan seseorang dari balik pagar. Sosok tua namun masih gagah terlihat menyeru dengan celana sopannya.
Pria paruh baya beruban itu segera melebarkan pagar demi membiarkan mobil ayah masuk.
"Om Saktiiii!" seru Ica melongokan kepala dari kaca jendela.
"Ica! Udah gadis lagi euy!" balasnya.
Sampai mobil terparkir di carport, kini ayah yang turun dari kursinya dan menutup pagar sementara bunda dan Ica sudah menyerbu om Sakti.
Aya keluar dari pintu mobilnya dengan tangan sibuk menyampirkan tali tas di pundak.
"Mana Aya?! Calon anak angkat om, nih?!"
"Om, sehat om?" Aya meraih punggung tangan om Sakti yang dilingkari cincin batu akik di bagian jari tengahnya dan, tuk!
Ica tertawa melihatnya, karena sedetik yang lalu ia pun mengalami hal yang sama.
"Udah gede aja si ompongnya om. Makin cantik..." akuinya, hanya membuat Aya senyum meringis, digodain orang tua kok jatohnya serem.
"Bibit siapa dulu!" ayah kembali menggusur koper Aya, sementara bunda sudah nyelonong masuk menyerbu tante Rena, karena nyatanya sudah terdengar seruan dan obrolan asik bunda, suaranya sampai ber-echo keluar.
"Masuk yu masuk!"
Meski berbeda kota, tapi rasa canggung sudah tersisihkan dari kedua keluarga ini, bahkan tante Rena sudah membiarkan Aya dan Ica mengeksplore rumah.
"*Dulu tuh disini masih kosong, sekarang udah banyak yang isi. Makin padet Bandung sekarang*!"
Suara para orangtua mengobrol dari ruang tengah tak mengganggu kegiatan Aya saat ini yang sudah berjalan merembet pelan menatap setiap potret terbingkai di sepanjang dinding dan meja.
Dan yang paling besar adalah yang menempel di ruang tamu di awal mereka masuk tadi. Sosok keluarga aparat, dimana om Sakti masih terlihat gagah dengan seragam pdh resmi lengkap tersemat sejumlah brevet kehormatannya, di samping tante Rena nampak anggun dengan pakaian adat kebaya merah gold. Beralih ke samping kanannya ada sosok berparas tampan lain, dimana saat melihatnya jantung Aya langsung tak karuan, meski perbedaan usia mereka cukup jauh, namun seperti tak terlihat jelas karena paras Ghi.
Dengan pakaian yang sama dengan sang ayah, Ghifari nampak....jutek, *cih*! Seperti biasanya.
Suara mesin motor tak terlalu terdengar sampai ke dalam, namun ketika pagar digeser para orangtua terdiam sejenak dan saling menebak.
"Assalamu'alaikum..."
Aya ikut menoleh saat suara itu menyapa pendengaran.
"Ghi, ya Allah....baru pulang?" serunya menyapa, begitu excited. Terlihat jelas kekaguman bunda pada nak ganteng satu itu.
"Om, tante..." angguknya memberikan salam.
"Hebat ih makin gagah aja!" puji bunda menepuk bahunya yang sedikit basah karena air hujan cukup rembes rupanya melewati celah jas hujan miliknya tadi. Ia hanya mengulas senyum tipis, "jam berapa sampe om?" tanya nya basa basi seraya mengedarkan tangannya, Ica bahkan sudah tertawa caper, "bang Ghi!"
"Ca," balasnya.
Hingga pandangan mereka bertemu, dan uluran tangan Ghi tertuju pada Aya. Aya yang masih cukup dibuat canggung akhirnya menyambut uluran tangan Ghi, lalu menyalaminya takzim, "bang ikan Pari." kekehnya mencoba mengakrabkan diri lagi.
"Hm."
*Apa?! Menyebalkaaannn! Giliran Ica disebut namanya, giliran Aya, cuma hm doang*?!
.
.
.
.
.
.
Aya mendadak jadi manusia soleha duduk diantara para orang dewasa ini, hanya ia dan Ica saja sepertinya yang baru netes. Yang ia lakukan cuma minum-minum saja sampai beser, beda dengan Ica yang sudah ngoceh-ngoceh di depan para orangtua sampai mulutnya berbusa, bocah itu selain terkenal cerewet, tapi dewasa sebelum waktunya juga, kebanyakan diajakin arisan sama bunda, ya begitu!
Topik obrolan justru semakin merembet pada alasan perpindahan Aya kesini, dan status tersangka kini tersemat pada Aya.
Merasa tersudutkan, Aya memilih ijin untuk melengos ke teras samping.
Langkahnya sempat terjeda ketika melihat Ghi baru saja keluar dari kamar dan menyerbu meja makan. Pandangan keduanya sempat bertemu sampai Ghi kembali tak peduli.
Rasanya kata akrab sudah hilang dari kamus keduanya, padahal dulu....pi pis aja sampe minta dianterin ke depan pintu wesee. Mungkin kini rasa canggung sudah hadir di hati Aya, ditambah melihat wajah dan sikap Ghi yang selalu dingin membuatnya ogah menyapa lagi.
Mungkin sejak hari ini sampai seterusnya mereka akan menjadi sosok asing meskipun Aya akan tinggal disini.
Aya meneruskan langkah ke gawang pintu kaca selebar dunia di ruang tengah itu dan berdiri disana seraya menscroll ponselnya. Daripada cuma jadi nyamuk sendirian, ia memilih bertelfon ria saja dengan Kinan.
"Ayyyyyy!" teriak Kinan membuat Aya menjauhkan genggaman ponselnya ketika telinganya diserang suara cempreng Kinan.
"Aduhhh, suara lo ngalahin speaker tukang panci!"
"Ay, kangen guenya....gimana Bandung, dingin pasti!" sedikitnya Aya bisa tersenyum oleh ocehan Kinan saat itu, menyibukan diri dengan obrolan mereka, "auto jarang mandi gue, Nan..." jawab Aya ditertawai Kinan disana.
Aya duduk di kursi teras demi meregangkan otot dan tulang kakinya, tangannya beralih menggosok bahu saat dirasa udara semakin menusuk kulit, brrrr!
Ia masih tertawa mendengar ocehan Kinan tentang sekolah hari ini, dimana dirinya sudah tak ada disana, siapa teman jajan Kinan pengganti dirinya. Sampai tawanya terhenti ketika seseorang ikut hadir dan mengusirnya untuk masuk ke dalam.
"Kamu masuk, abang mau rokok'an."
Aya mendongak melihat Ghi yang membawa sebungkus rokok beserta korek gas dan ponselnya.
Apa? Tak cukup terdengar Aya kembali bertanya dengan bergumam.
"Budeg. Abang mau rokok'an...kamu masuk." Titahnya lagi sedikit bertensi.
Aya menurunkan sejenak ponselnya, "Colek dulu kek, abisnya datang langsung ngomong, Aya lagi telfonan jadi harap dimaklum kalo ngga kedenger..." dumelnya.
"Ya udah sana masuk..." titah pria berkaos hitam itu, duduk di kursi samping Aya, yang hanya terhalang oleh meja bulat. Ia menaruh kotak rokok dan koreknya disana. Namun Aya tak segera masuk ke dalam, dan ogah untuk mengalah, karena sejak tadi ini tempatnya.
"Nggak. Di dalem lagi pada ngomongin aku."
"Kenapa, ngerasa dosa? Siapa suruh jadi anak bandel...nanti disini jangan nyusahin." Wanti-wanti Ghi, "ngga ada hak istimewa. Kamu tau, pindahnya kamu kesini cuma alasan, biar kamu di didik jadi anak bener..soalnya om Regata sama tante Fitri udah angkat tangan sama kenakalan kamu." Ucapnya memancing sunggingan julid bibir Aya.
"Aku ngga nakal ya....selama ini tuh cuma kebetulan apes aja." Belanya tak terima.
Aya menghentakan kakinya dan memilih pergi manakala mendengar dengusan sumbang Ghi, malas sekali ia bertemu dengan Ghi, sosok malaikat tampan kini ia coret dari sosok Ghi! Ralat, bang ikan tuh manusia menyebalkan, judes! Semoga jodohnya cewek ganjen udah gitu kakinya pincang!
"Siapa sih Ay?" suara Kinan mengejutkannya, Aya terlupa jika panggilan masih tersambung, dan Kinan mendengarkan obrolan singkat antara dirinya dan Ghi tadi.
Dug!
"Aww!" kakinya terantuk meja makan panjang berbahan jati. Salahnya yang mengomel-ngomel tanpa melihat jalan.
"Aduhhh! Kaki gue sakit!" keluhnya. "Ini siapa sih yang naro meja prasmanan disini!" Aya meneruskan langkahnya yang terpincang-pincang kembali.
Malam ini ia tidur bersama Ica, yang kalo tidur sama persis kaya Ica yang sedang bangun, heboh!
Menjelang subuh ia mendengar beberapa orang sibuk di luar pintu kamarnya, ada suara tante Rena dan sepertinya Ghi dengan langkah sepatu delta.
Sayup-sayup suara mengobrol terjadi dan yang telinganya tangkap adalah ucapan pamit, hingga tak lama deru mesin motor terdengar meninggalkan rumah.
////
"Bun, masa Aya kaya dibuang gini sih....malu lah tinggal disini, cari sekolah di Jakarta aja yukk..." Aya masih membujuk bundanya ketika baru saja ibunya itu selesai melakukan gerakan salam.
Bunda menggeleng, "ish, masa dibuang..."
"Pulang yuk. Kalo nanti Aya ngga betah gimana?" rengeknya.
"Pasti betah. Kalo di Jakarta, nama kaka udah jelek...ketemu lagi sama temen lama, ngga menutup kemungkinan nanti akan timbul masalah baru di sekolah baru."
Aya manyun karena belum berhasil membujuk bunda, "nanti kalo Aya bikin masalah lagi justru bikin om Sakti sama tante Rena malu, bunda ngga takut jadi berantem gitu?" ancamnya.
"Makanya jangan nakal. Jangan bikin masalah. Karena ada nama baik, dan hubungan kekeluargaan yang harus kakak jaga..." jawab bunda lagi, *pinter*!
Tidak berhasil membujuk bunda, Aya kini mengeluarkan jurus terakhirnya, mengerjap mencoba mengeluarkan air mata dari saraf matanya.
"Baik-baik disini, tante Rena juga biar ada temennya. Dulu juga kakak sering nginep kan, bareng tante Rena...nanti kalo weekend bunda sama ayah yang kesini atau kakak pulang ke Jakarta..." usapnya di kepala Aya yang sudah bersiap meluncurkan air mata.
"Tega. Kalo Aya ditembak bang ikan atau om Sakti gara gara kena masalah gimana? Bunda ngga akan ketemu Aya lagi..." ancamnya lagi lebih lebay dan justru membuat bunda tertawa di subuh-subuh begini.
"Ghifari! Bukan ikan...dari dulu kamu ngga pernah nyebut bener nama Ghi. Ngga usah lebay...udah ah, hari ini kita liat sekolah barunya sama om Sakti, sama tante Rena."
Pagi-pagi setelah sarapan bersama, Aya digiring masuk mobil. Dalam pikiran Aya, sekolah barunya adalah swasta. Namun ketika mobil melaju ke arah jalanan yang cukup ia kenali, ia baru tau nyatanya salah satu sekolah negri ternama yang akan menjadi tempat barunya menimba ilmu.
"SMA nya Dilan bukan sih?! Ahhhh jadi mau juga!" Ica ikut menyeru melihat bangunan artistik tempo dulu. Yang tak pernah berubah sejak sekolah ini dipakai menjadi sekolah rakyat pada jaman Bandung diduduki oleh penjajah.
"Ayok, nanti Ica SMA-nya di Bandung..." ajak tante Rena.
"Janganlah ntar dia mah nyusahin tan..." sela Aya dicebiki Ica, "yang ada kak Aya yang nyusahin, bikin masalah mulu....ini loh tan,...kak Aya tuh yang *trouble maker*!" adunya cepu.
"Apa?! Apa?!"
"Udah---udah berisik." lerai ayah meskipun kedua anak gadisnya itu masih saling memeletkan lidahnya.
Entah power apa yang terjadi di belakang layar, karena jelas mustahil jika tak ada bantuan dari om Sakti atas perpindahannya itu.
Ia berjalan dengan memakai baju casual, diantara koridor sekolah. Tampak tak terlalu ramai di luar, mengingat kegiatan mengajar belajar sedang berlangsung disini. Ruang kepala sekolah dituju mereka saat ini.
Hanya dengan bersalaman saja ditambah *ucapan sakti* dari om Sakti, selesai proses pengukuhannya sebagai siswa baru pindahan dari Jakarta di sekolah itu. Semudah itu status, jabatan dan uang bermain.
Selesai dengan itu, mereka tak langsung pulang ke rumah om Sakti melainkan menjelajahi Bandung terlebih dahulu dengan dalih menunjukan setiap sudut kota agar Aya nanti tak tersesat.
.
.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!