Keringat membasahi wajahku. Butiran air asin yang keluar dari pelipis beserta leherku tidak ada apa-apanya dibandingkan rasa nyeri dan pegal luar biasa yang kurasakan pada kedua kakiku. Aku beserta Lexy, saudari kembarku, dan hewan piaraan kesayangannya yang bernama Cashew - sudah menyiksa diri selama berjam-jam.
Tidak. Aku tidak tahu tepatnya berapa lama kami telah melarikan diri dari kedua orangtua kami. Tanah berbatu dan berlumpur sudah berkali-kali menusuk dan mengotori telapak kakiku. Pohon-pohon hijau besar dan tinggi yang menjulang ke langit menjadi tempat persembunyian kami setiap kali kami mendengar suara teriakan yang sudah sangat familiar itu.
Kedua orangtua kami - lebih tepatnya, dua manusia yang kejam itu - sudah melewati batas. Beberapa saat sebelum kami memulai aksi pelarian kami, Ibu yang biasanya terlihat mabuk tiba-tiba melototi kami dengan kedua matanya yang sudah berkeriput. Aku sangat yakin ada yang janggal dengan sifat Ibu pada saat ia berteriak memanggil Ayah. Mungkinkah Ibu yang biasanya tidak bisa memfokuskan pandangannya bahkan untuk berjalan dari sofa ke depan televisi dan mengambil remot, tiba-tiba bisa memandangi punggung kami lebih dari 5 detik?
Ayahku yang biasanya menggunakan pisau cukur untuk janggut di dagunya yang sudah sangat panjang, tiba-tiba ingin menggunakannya untuk memotong sayap yang ada pada punggung Lexy. Untung aku sudah menarik lengan Lexy jauh-jauh dari sosok menyeramkan itu.
Selanjutnya adalah kejadian yang sangat menyeramkan yang aku tidak yakin ingin mengingatnya sekarang. Ayah dan Ibu sudah gila. Mereka seperti dirasuki setan, dan mengejar-ngejar kami dari lantai dua sampai belakang rumah. Mereka tidak peduli dengan kaca lemari yang pecah, piring-piring dan gelas minum yang kami lempar, perabotan mahal beserta jam bandul yang terjatuh karena disenggol Ayah. Mata mereka hanya fokus pada satu hal-bukan, dua hal: sepasang sayap yang ada pada punggungku dan Lexy.
Semenjak aku berusia 6 tahun, telingaku mulai tumbuh sangat lancip dan lebih panjang dari kedua orangtuaku. Mereka hanya tersenyum puas, dan dengan mulut mereka yang biasa disertai oleh rokok dan bau alkohol, mereka berkata, "Itu hal yang normal untukmu dan Lexy. Kalian sangatlah spesial."
Tentu saja aku tidak begitu menghiraukannya. Telinga lancip ini jelas-jelas membawa banyak keuntungan pada diriku dan Lexy. Kami ternyata bisa mendengar lebih jelas dan lebih jauh dibanding telinga bundar yang dimiliki oleh Ayah dan Ibu. Kami bisa mendengar gonggongan Cashew bahkan dari jarak bermil-mil sekalipun. Kami bisa mendengar suara langkah kaki Ayah dan Ibu dari kejauhan di atas lantai kayu yang menimbulkan bunyi, apalagi di malam hari sebelum kami tertidur pulas.
Aku menggelengkan kepalaku, memaksa untuk mengusir pikiranku tentang Ayah dan Ibu. Dua manusia pembohong dan penyiksa yang sudah merebut hak hidup kami. Suara teriakan dan kaki mereka yang mengejar-ngejar kami sudah semakin kecil. Aku tidak seharusnya heran. Mereka berbeda dengan kami. Manusia tidak memiliki kemampuan untuk berlari dengan kecepatan yang sangat tinggi.
Sambil menarik lengan Lexy, aku terus membawa kami semakin jauh dari rumah, sekaligus semakin dalam ke hutan. Langit-langit malam tidak membutakan kami. Cahaya kerlap-kerlip bintang yang tersebar di kanvas langit membantu kami mencari jalan di antara bebatuan dan tanah yang basah ini.
Lexy tiba-tiba berhenti berlari. Aku pun menoleh kepadanya, dan menarik lengannya, mengajaknya untuk terus berlari. Aku tidak akan mengambil resiko dengan cara beristirahat. Selain Ayah dan Ibu, berada di dalam hutan malam-malam bisa membahayakan kami. Napas berat kami yang kadang disertai oleh suara samar burung hantu, jangkrik yang bersembunyi di dalam pohon, dan lolongan Cashew, sudah menemani kami sepanjang perjalanan di dalam hutan. Meskipun demikian, hewan-hewan buas bisa menerkam kami kapan saja di balik rimbunnya semak-semak.
"Tunggu, Alena," kata Lexy. Suaranya terdengar sangat berat untuk dikeluarkan. Adik kembarku mengatur napasnya beberapa detik sebelum akhirnya melanjutkan perkataannya. "Aku ingin beristirahat. Cashew sudah mulai kelaparan. Ini sudah melewati jam makan malamnya."
"Sial." Aku menggerutu. Meskipun kami sudah kehilangan arah dan tidak ada petunjuk sedikitpun soal waktu, Lexy masih saja peduli dengan anjing kecil manja itu. Seharusnya kutinggalkan saja di dalam bak mandi.
Lexy berusaha dengan mati-matian untuk menenangkan anjing kecil yang daritadi digendongnya. Ia lalu berlutut dan menurunkan Cashew ke atas tanah yang kering dan bebas dari lumpur. Kemudian ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan beberapa butiran kecil makanan anjing yang berbentuk bulat dan berwarna cokelat. Aku tidak sempat menanyakan kapan ia mempersiapkan ini semua saat Cashew dengan rakusnya sudah merebut makanan itu dari tangannya.
Sementara anjing kecil itu sibuk memakan camilannya, aku duduk bersandar pada salah satu pohon besar. Aku lalu meluruskan kedua kakiku yang sudah pegal. Banyak terdapat lebam dan luka goresan akibat batu yang masuk ke dalam sepatuku. Sol sepatuku sepertinya sudah rusak parah. Lubang sepatu yang terdapat pada bagian telapak kakiku sangat besar. Aku membuka kedua sepatuku, lalu mencoba mengatur napasku dan membuat tubuhku rileks.
Tak lama, Lexy duduk di sampingku sambil menggendong Cashew yang ternyata sudah tertidur dengan pulas. Bagus lah. Kalau ia sampai terbangun, gonggongannya akan mempersulit kami. Bisa jadi serigala atau Fae hitam akan menemukan kami.
Aku menatap adik kembarku. Rambut pirang yang sudah mencapai pinggangnya masih terlihat lurus dan halus meskipun keringat sudah membasahi dan merusak helaiannya. Wajah kecilnya yang kelelahan masih terlihat cantik. Bulu matanya yang lentik menyapu matanya setiap kali ia menutup matanya sebentar untuk beristirahat.
Cahaya remang bulan memantul dan memperlihatkan kedua telinga lancipnya yang tidak tertutupi oleh rambut. Aku merasa lebih tenang bisa memiliki sifat hereditas yang sama dengan Lexy. Bukti bahwa aku memang sedarah dengan makhluk cantik bak dewi ini. Ditambah dengan benda yang mulai menumbuh di belakang tubuh kami.
Kami terdiam untuk beberapa saat. Rasa kantuk dan perut yang mulai kelaparan membuatku tidak bisa berpikir jernih. Aku tidak yakin ingin mencoba menutup mataku barangkali sebentar. Aku pasti akan ketiduran dan bahaya bisa datang kapan saja.
Tanganku pegal dan aku ingin menyentuh sayap kecil yang mulai tumbuh di punggungku. Tiba-tiba rasa nyeri datang lagi dan membuat punggungku kram. Aku menggigit lidahku, meskipun perasaan tidak enak yang menjalari tubuhku tidak seberapa. Mungkin bisa dibilang rasanya sama seperti datang bulan untuk kaum manusia.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" Tanya Lexy dengan suara lirih. Aku menatap lurus ke arah semak-semak, berusaha untuk menguatkan pikiranku. Aku adalah kakaknya. Aku harus bisa melindungi Lexy, bagaimanapun caranya.
Lexy membelai bulu-bulu halus yang tumbuh pada tubuh mungil Cashew. Aku tidak menyalahkannya. Akulah yang menarik dirinya hingga sampai ke titik ini. Aku yang mengusulkan untuk kabur dari rumah saat kami sedang bersembunyi untuk sesaat dari Ayah dan Ibu. Tanpa basa-basi, Lexy membawa serta Cashew yang sedang bermalas-malasan di atas karpet merah lalu melompati jendela kamar kami.
Disinilah kami sekarang. Terdampar di sebuah hutan luas dan gelap. Tanpa membawa makanan atau petunjuk yang mungkin bisa kami bawa. Seharusnya aku berpikir lebih logis. Kami tidak pernah sekalipun keluar dari area rumah kami. Sejak kami lahir 17 tahun yang lalu, Ayah dan Ibu selalu melarang kami untuk menginjak tanah subur atau merasakan angin dan hujan. Bahkan sinar matahari sekalipun.
Aku tidak pernah menyukai Ayah dan Ibu. Buku-buku yang kumiliki di dalam kamarku adalah jendelaku satu-satunya. Tempat di mana apapun bisa terjadi. Tempat aku bisa bebas menjelajahi dan berimajinasi: mendengar suara kicauan burung, merasakan dinginnya air hujan yang menetes, panas dan teriknya sinar matahari, dan lembutnya lumut yang tumbuh di atas bebatuan.
Aku ingin sekali bertemu dengan orang lain yang mungkin akan menjadi teman baikku selain Lexy dan Cashew yang senantiasa menemaniku saat emosiku meledak dan melewati batasnya. Aku selalu iri dengan tokoh-tokoh di dalam buku ceritaku. Aku juga ingin merasakan bagaimana rasanya dicintai oleh seorang pangeran yang akan menyelamatkanmu dari menara kegelapan. Haha. Tentu saja. Aku bukanlah putri dari sebuah kisah dongeng.
Jantungku masih berdegup kencang semenjak sepatuku menginjak sesuatu yang sangat asing dan berbeda saat kami sudah berlari ke luar rumah. Aku bisa merasakan rumput halus yang menggelitiki kakiku saat aku membuka sepatuku. Aku tersenyum bisa menyempatkan diri untuk merasakan ini.
"Kemana pun. Asal tidak kembali lagi ke rumah itu," jawabku. Lexy hanya mengangguk setuju, lalu bangkit berdiri. Jantungku hampir copot saat tubuh Cashew mulai bergerak. Untungnya anjing itu masih tertidur. Aku membuang napas lega.
Kami melanjutkan perjalanan kami, kali ini kami hanya berjalan dengan cepat. Kemanapun kaki ini membawaku, disanalah nasibku tertumpu. Entah apa yang akan kami temui; bahaya karena tertangkap oleh Fae hitam, atau diselamatkan oleh Fae lain yang berbaik hati.
Berkat pelajaran yang disampaikan oleh Miss Gray-guru privat kami yang tentu saja adalah manusia, kita seharusnya berlari saat bertemu dengan Fae hitam. Mereka adalah Fae yang ahli menggunakan pedangnya. Membunuh adalah salah satu bentuk olahraga rutin yang dilakukan oleh mereka. Siapa saja bisa dijadikan target; hewan, manusia, bahkan Fae, seperti kami. Harapanku saat ini adalah semoga Fae hitam menemukan orangtua kami terlebih dahulu sebelum kami, yang tentu saja saat ini sedang tersesat, sama seperti kami.
Semak-semak itu tiba-tiba bergoyang. Aku dan Lexy menghentikan langkah kami secara bersamaan. Aku memosisikan tubuhku di depan tubuh Lexy, berusaha melindunginya. Sambil memfokuskan pandangan ke arah semak-semak itu, aku bisa merasakan tubuhnya yang bergetar ketakutan. "Jangan takut," bisikku kepadanya. "Mungkin hanya hewan kecil seperti kelinci."
Semak-semak itu bergetar semakin kencang. Aku mendorong pelan Lexy yang berada di belakangku, sambil mengucapkan doa kepada Dewa Pengampun. Dari sorot mataku, aku bisa melihat gerakan lain-suatu bayangan hitam yang bergerak begitu cepat dari arah kanan.
"Lari." Kataku sesaat sebelum menarik tangan Lexy dan berlari ke arah kiri. Suara getaran semak-semak itu segera tergantikan dengan suara lain, suara raungan keras yang bisa menulikan telinga kami.
Suara rengekan kuda milik Fae hitam.
***
(Untuk visual Alena, Lexy, dan Callum bisa ditemukan di Wings & Fate eps 22. Langsung aja scroll paling bawah ya...)
Suara pekikan elang yang terbang di atas kami dan desiran angin malam yang menghantam langsung wajahku membuyarkan konsentrasiku. Kedua kaki ini lagi-lagi merengek kesakitan. Aku tidak sempat menoleh sebentar ke belakang saat sebuah ranting kecil jatuh dari dahan pohon di atas kami, mengenai kepala kecil Cashew. Aku tidak habis berpikir bisa-bisanya anjing kecil itu tidak terbangun saat Lexy jelas-jelas memeluknya dengan erat. Sempat terlintas di pikiranku kalau ia mati dicekik secara tidak sengaja.
Cashew segera terbangun dan, merasakan aura kepanikan dan ketakutan yang memancar dari kami, ia melolong ketakutan. Tubuh kecilnya bergetar di dalam dekapan Lexy. Aku menoleh kembali ke depan, terus membawa dan memimpin jalan, jauh-jauh dari Fae hitam yang sedang mengejar kami.
Aku tahu kuda Fae itu berjarak sangat dekat dengan kami. Suara sepatu kuda itu seakan-akan menggema, menciptakan pola irama yang saking cepatnya bisa membuatku mual. Kami terus berlari mengelilingi pohon-pohon besar. Aku tidak akan terkecoh apabila ranting pohon mulai berjatuhan lagi dan menimpa salah satu dari kami.
Sebuah arus sungai terlihat di depan kami. Aku menelan ludahku. Jika Fae hitam ini tidak mengejar kami, aku pasti akan menyempatkan waktu untuk mengambil air dari arus itu sebanyak-banyaknya dan meminumnya. Kami sudah lelah berlari, dan tenggorokanku sudah kering. Aku yakin Lexy juga berpikiran hal yang sama sekarang.
Aku akhirnya bisa mendengar suara dari Fae hitam itu. Berat dan misterius. Mirip dengan suara Ayahku, namun terdengar lebih lantang dan menyeramkan. "Berhenti!" Teriaknya.
Tentu saja tidak. Aku tidak sempat melihat wujud rupa dari Fae hitam itu. Aku harus segera mencari tempat persembunyian. Kecepatan kuda tentu melebihi kecepatan kaki kami yang sudah lelah. Apalagi kuda ini milik seorang Fae hitam.
"Lompat!" Aku tidak sempat mengambil ancang-ancang. Masih sambil menarik lengan Lexy, aku melompati arus sungai itu. Untungnya, kakiku yang rasanya mulai patah ini mampu membawaku ke seberang sungai. Lexy hampir saja terpeleset. Untungnya aku masih menahan lengannya. Dengan sigap dan cepat, aku menariknya sekuat tenaga ke seberang arus. Kedalamannya tentu hanya sebatas mata kaki, namun bebatuan yang tajam mampu menusuk kaki telanjang kami. Aku menyesal sudah membuka sepatu kulitku tadi.
Lexy tiba-tiba berteriak. Ia melepaskan lengannya dari genggamanku. Aku lalu menoleh ke belakang dan bisa melihat tubuh mungil Cashew yang mulai terseret arus sungai. Anjing kecil itu tidak sanggup berenang. Keempat kakinya bergerak dengan cepat, berusaha untuk mengapung di atas air. Wajahnya sempat terlelap ke dalam air, lalu muncul kembali. Tangisan anjing itu membuat telingaku berdengung.
Aku buru-buru menghampiri Cashew yang sudah terseret arus sungai. Mengabaikan rasa sakit luar biasa yang kurasakan pada kedua tanganku, aku mengangkat tubuh kecil itu yang sudah basah oleh air. Darah segar menghiasi tubuh Cashew. Ia masih sadar diri, namun tubuhnya sudah tercabik-cabik oleh batu-batu kerikil kecil yang tajam. Aku tidak sempat mencabuti serpihan kerikil yang tertancap pada tubuhnya ketika suara pedang sudah membuyarkan fokusku.
"Tolong." Lexy terkapar di tanah. Fae hitam itu rupanya sudah berhasil menangkapnya. Pedang yang dikeluarkan dari sabuk pinggangnya kini hampir menggores leher Lexy. Aku berlari ke arahnya. Namun, usahaku hanya membuat pedang itu semakin dekat dengan lehernya.
Sambil mendekap erat tubuh Cashew, aku akhirnya berbicara dengan gugup. "To-tolong...jangan sakiti a-adikku." Tubuhku bergetar hebat. Entah karena ketakutan atau angin malam yang menusuk-nusuk tubuhku dan membuatku menggigil.
Aku tidak bisa melihat wajah Fae hitam itu dengan jelas. Ia mengenakan jubah hitam bertudung yang saking panjangnya sampai mengenai tanah yang dipijaknya. Tubuhnya terlihat gagah dan menyeramkan. Berada di antara pepohonan dan tanpa penerangan kecuali sinar lemah bulan, aku tidak bisa melakukan apa-apa kecuali berharap Fae itu memiliki belas kasih.
Aku bersumpah bisa merasakan seringai yang muncul di balik tudung itu. "Tidak. Kalian harus menjelaskan apa yang kalian lakukan di tengah Hutan Greensia pada malam hari." Suara berat itu membuatku bergidik.
Aku menelan ludahku. Aku bisa merasakan ketakutan yang terpancar dari raut wajah Lexy. Pedang itu ditekan semakin dalam di lehernya. Aku mengepalkan tanganku. "Akan kulakukan apa saja agar kamu bisa melepaskan Lexy."
Fae hitam itu tertawa dengan keras. Tiba-tiba tidak terdengar lagi suara burung hantu atau jangkrik di dalam pepohonan. Hutan sudah berubah menjadi lebih menyeramkan. Sunyi senyap. Yang terdengar hanyalah suara tawa Fae itu dan suara napas kudanya.
Lexy menggeleng pelan. Aku tahu maksudnya. Ia tidak mau aku mengorbankan diri demi menyelamatkannya. Ia mau aku berlari membawa Cashew, yang tentu saja tidak akan kulakukan.
"Bagaimana kalau kalian berdua ikut denganku?" Lanjutnya lagi. Aku dan Lexy hanya terdiam, saling bertukar pandang. Ini bisa saja kesempatan terakhir kami untuk hidup, meski jatuh ke tangan seorang Fae hitam sekalipun. Aku memikirkan segala hal yang mungkin akan terjadi jika kami menyerahkan diri kepadanya. Mungkin kami akan menjadi pelayan setianya dan bekerja secara paksa. Mungkin kami akan disiksa dan diberi makan bubuk gandum seperti para sapi. Atau mungkin ia akan mengorbankan kami untuk para serigala begitu kami sampai di tujuan. Perutku tiba-tiba terasa nyeri. Aku bisa melihat kerutan di wajah Lexy.
"Jadi, apa keputusanmu? Haruskah aku menggorok leher adikmu?" Fae hitam itu mulai menggores leher Lexy dengan bilah pedangnya. Ia berteriak kesakitan.
"Tidak! Jangan!" Aku berteriak. Fae itu langsung berhenti memainkan pedangnya. "Kami akan ikut denganmu!" Lanjutku lagi.
Fae itu memasukkan kembali pedangnya ke dalam sarung, lalu mengikat kedua tangan Lexy ke belakang punggungnya. Kemudian ia menarik lengan baju Lexy secara paksa dan menyeretnya di tanah. Aku bisa saja kabur karena ia tidak memerhatikanku barang sedikitpun, namun kuusir jauh-jauh pikiran itu. Aku tidak akan pergi kabur tanpa Lexy. Akan kupikirkan caranya nanti.
Fae itu mengikat ujung tali yang mengekang tangan Lexy pada sabuk pelana kuda di sisi kiri, lalu membawakan tali baru untuk mengikatku juga. Tanpa melawan, kuuruti saja kehendaknya. Meskipun aku berada di samping kanan kuda yang membuatku menghalangi jangkauan untuk menyentuh dan menenangkan adikku, aku tetap berusaha kelihatan kuat. Fae itu merebut tubuh Cashew yang daritadi berada dalam genggamanku, lalu hendak melempar tubuhnya ke dalam semak-semak.
"Tidak!" Aku berteriak sebelum ia sempat melempar tubuh kecil tak berdaya itu. "Kamu tidak pernah bilang apa-apa soal anjing itu. Jangan ganggu dia," kataku geram. Aku tidak tega Cashew harus mati di pinggir semak. Dia terlalu berharga untuk Lexy.
Fae itu hanya terdiam, lalu menaiki pelana kuda. Sambil memangku tubuh Cashew, ia segera menarik kekang dan kuda pun berjalan lebih lambat dibanding saat ia mengejar kami. Aku harus cepat menyesuaikan kecepatan kakiku agar tidak terseret dan, moga-moga, tidak terinjak oleh kaki kuda.
Aku bisa mengintip dari bawah perut kuda bahwa kaki Lexy tidak sekuat kakiku. Ia berusaha untuk berdiri tegak dan menyamakan kecepatan kuda, namun rasa lelah dan ketakutan memperlambatnya. Aku bisa melihat tetesan darah yang muncul di atas tanah. Luka di lehernya belum diobati.
"Berhenti sebentar!" Teriakku kepada Fae yang sedang duduk di atas kuda. Suaraku pasti terbang tertiup oleh angin kencang, karena ia tidak menoleh sedikitpun ke arahku. Atau ia sengaja mengabaikanku.
Aku pun terpaksa menarik tali yang mengekangku, berharap kuda akan berhenti. Beberapa saat kemudian, harapanku terkabul. Karena kuda berhenti mendadak, Fae itu menoleh kepadaku. Tudung jubahnya terlepas, memperlihatkan wajahnya yang sangat tampan dan rambut putih keperakannya yang terkibar angin. Aku menelan ludahku. Telinga lancipnya terlihat lebih sempurna dibanding punyaku. Mata birunya yang sedang menyipit terpantul oleh cahaya bulan. Wajah ini benar-benar berbeda dari wajah tua ayahku yang sudah berkeriput dan berjanggut.
"Kau sudah hilang akal, ya?!" Tanyanya geram. Ia lalu menuruni kudanya dan menatapku lekat-lekat. "Dengar, gadis kecil. Jangan memaksaku untuk menggunakan pedang berhargaku."
Aku tidak menghiraukan ancamannya dan memanggil Lexy. "Lexy! Apa kau baik-baik saja?" Adikku tidak menjawab dan hanya menganggukkan wajahnya yang letih. Ia memaksakan sebuah senyuman. Wajahnya sudah sangat pucat, dan keringat sudah membasahinya. "Tolong ijinkan aku untuk merawatnya. Luka di lehernya belum diobati," kataku kepada Fae itu.
Anehnya, ia malah menuruti ucapanku dan melepas tali yang mengikat tanganku. Aku langsung buru-buru menghampiri Lexy, lalu merobek kain bajuku dan melilitnya di lehernya. Aku sudah terbiasa merawat Lexy dan melihat darah yang menetes dari luka-lukanya. Ia dulu sangat nakal dan sering terjatuh saat bermain denganku.
Sekarang ia sudah benar-benar berubah dan tumbuh menjadi lebih dewasa. Mungkin ini efek telinga lancip dan sayap barunya.
Aku menghela napas. Beberapa hari yang lalu, aku mulai merintih kesakitan karena merasakan sesuatu yang tumbuh di antara punggungku. Entah kenapa, aku merasa kegirangan saat melihat pantulan di kaca. Sayap bening yang halus. Tanda dan bukti bahwa aku bukanlah anak kandung dari kedua orangtuaku. Aku dan Lexy mempunyai warna rambut, mata, dan kulit yang berbeda dari mereka. Saat kulit mereka berwarna gelap dan mengendur karena semakin tua (dan mungkin efek terlalu banyak alkohol), kulit kami putih bersih dan tidak bernoda.
"Aku baik-baik saja, Alena," katanya lemas. Ia tersenyum lemah. Aku bisa melihat pantulan diriku dari kedua matanya. "Oh, jangan banyak bicara! Aku janji akan melindungimu," balasku dengan suara kecil dan pelan agar Fae yang sedang memerhatikanku itu tidak mendengarnya.
Saat sudah selesai, tanganku kembali diikat dengan tangan besar Fae itu yang kasar, lalu kuda kembali berjalan dengan cepat. Aku tidak tahu harus bersyukur atau tidak. Jika kecepatan kuda terus melaju seperti ini, waktu untuk sampai ke tujuan tentu akan lebih lambat. Tentu saja Fae ini tidak akan mengatakan kemana kita bergerak. Sedangkan, jika kuda mengambil kecepatan yang sama saat sedang mengejar kami, kakiku pasti sudah putus terseret.
Kami melewati pohon-pohon yang besar selama berjam-jam. Tubuhku terasa semakin lemah. Tenggorokanku sudah benar-benar kering. Bahkan air liurku terasa seperti sudah habis. Kami tidak diberi kesempatan untuk beristirahat. Sudah berkali-kali otakku memaksa untuk menutup mataku, dan aku pun berkali-kali hampir ingin menyerah dan membiarkan diriku terseret. Matahari sudah mulai kelihatan dari ufuk timur, menerangi jalan-jalan setapak yang dilalui oleh kami. Aku bisa melihat lebih jelas tanjakan dan batu-batu besar yang menghalangi jalan kami. Pohon-pohon besar sudah tergantikan oleh pohon kecil dan mempermudah jarak pandang mataku untuk melihat lebih jauh. Sepertinya kami sedang melaju ke luar hutan.
Aku tidak membiarkan diriku menyerah begitu saja. Aku mencoba mengingat-ngingat pelajaran Miss Gray ketika kami ditangkap oleh musuh dan tangan kami harus dikekang. "Jangan macam-macam dan tetap tenang. Fokuskan dirimu. Cobalah untuk melepas tali yang mengikat tanganmu, dengan cara apa saja. Jika musuh sedang teralihkan, lepaskan dirimu dan panjat pohon. Jangan berusaha lari masuk ke dalam hutan, karena untuk ukuran gadis kecil, sekalipun mereka adalah Fae, tidak bisa mengalahkan kecepatan kuda."
Aku sudah mencoba menggerogoti tali itu. Namun, saking tebalnya, gigiku rasanya mau keropos. Kedua pergelangan tanganku sudah merah dan rasanya aliran oksigen tidak sampai ke jari-jariku.
Mungkin cara lain yang akan kugunakan adalah berusaha bercakap-cakap dengannya. Aku juga penasaran apa motifnya sampai tidak membunuh kami duluan.
"Jadi, siapa namamu?" Tanyaku saat suasana sedang sepi. Dengan begini, dia tidak akan mempunyai alasan untuk menghiraukan pertanyaanku. Masih sambil menaiki kudanya, dia berpaling ke arahku, lalu aku terkejut karena dia benar-benar menjawab pertanyaanku. "Bukan urusanmu." Yah, mungkin ini lebih baik daripada tidak berbicara sama sekali.
"Kenapa kamu tidak langsung membunuh kami saja?" Bagus, pertanyaan bodoh. Siap-siap saja kepalamu terpisah dari tubuh habis ini.
Dia hanya menyeringai, lalu membalas. "Kamu pikir semua Fae hitam setega itu? Aku takkan pernah membantai sesamaku sendiri."
Aku terkejut mendengar ucapannya. Kukira semua Fae hitam sangat kejam. Ternyata Fae yang kutemui ini masih ada sisi baiknya. Berarti kami sangat beruntung.
"Lalu, kenapa kau membutuhkan kami hidup-hidup?" Tanyaku lagi. Kali ini senyumannya yang mengerikan menghilang. Tatapannya langsung berubah menjadi misterius. Ia tampak sedang berpikir caranya menjawab pertanyaanku, namun pada akhirnya dia berkata, "Akan kujelaskan nanti. Kita sudah hampir sampai."
Aku baru akan membuka mulutku, melemparkan beberapa pertanyaan lagi, ketika sebuah pemandangan baru yang luas membuat jantungku berdegup kencang. Aku pun sampai menoleh ke arah Lexy, memastikan bahwa adikku juga melihat hal yang sama sepertiku. Namun, mata Lexy malah tertutup dan dengan bodohnya aku baru tersadar bahwa ia membiarkan dirinya diseret oleh tubuh kuda.
Di depan kami terlihatlah sebuah desa kecil yang berwarna-warni. Merah, kuning, hijau, biru, ungu, bahkan sampai ada warna putih dan abu-abu. Jika dilihat dari kejauhan, atap-atap pondok itu tampak seperti hamparan bunga berwarna-warni. Diantara pondok-pondok kecil, selalu terdapat lapangan kecil yang kadang ditumbuhi oleh rumput atau bunga-bunga kecil yang kelihatan seperti kapas. Bahkan sampai tumbuh pohon yang mempunyai buah seperti... berlian?
Tanpa disadari senyum menghiasi wajahku. Tempat ini jauh lebih indah dibanding lukisan hitam putih yang terdapat pada buku pelajaranku. Desa Faeries, tempat tinggal kaumku. Tempat tinggalku yang seharusnya.
Aku pasti kelihatan sangat norak karena terus menganga sejak kami mulai memasuki Desa Faeries. Desa Faeries; atau berdasarkan sebutan warga lokal yaitu Amalthea Halley, adalah salah satu desa kecil yang terkenal dengan arsitek bangunannya yang berwarna-warni. Meskipun sekarang masih pagi dan matahari baru saja terbit beberapa menit yang lalu, jalanan sudah dipadati oleh para Fae yang lalu lalang. Kebanyakan dari mereka masih kecil, tangan mereka sedang menggenggam sekuntum bunga warna-warni. Saking sibuknya mengobrol dan tertawa, mereka tidak menyadari dua gadis Fae yang sedang disandera oleh seorang Fae hitam.
Aku dapat membedakan jenis Fae berdasarkan warna sayapnya. Seorang anak perempuan yang memiliki mahkota bunga diatas kepalanya mempunyai sayap yang berwarna merah muda atau pink. Anak itu seorang Cosmos, yaitu golongan perias. Fae Cosmos mempunyai bakat di bidang kosmetik dan busana. Wajah dan cara berpakaiannya terlihat sangat gemilang dan cantik. Wajar untuk langsung jatuh cinta pada pandangan pertama.
Aku menatap Fae hitam yang sedang berdiam diri di atas kuda. Fae hitam atau Ripper. Biasanya kerjaannya hanya membunuh, membunuh, dan membunuh. Kalaupun ada hobi lain, kutebak adalah untuk mengoleksi pedang dan senjata mereka.
Kebanyakan Fae yang berlalu lalang adalah para Cosmos. Mungkin mereka sedang sibuk mempersiapkan diri untuk sebuah kontes kecantikan. Aku mengingat-ngingat lagi pelajaran Miss Gray. Di mana ada Cosmos, disitulah Aqua berada. Fae Aqua, golongan air. Mereka bisa memanipulasi, menciptakan, dan sekaligus mengontrol air. Mereka adalah Fae yang sangat ramah dan berteman dengan siapa saja. Tentu saja. Kekuatan mereka paling dibutuhkan disini.
"Waaah, ada kakak cantik!" Tiba-tiba sebuah suara yang menggemaskan terdengar dari belakangku. Aku menoleh dan melihat seorang anak laki-laki bersayap biru muda. Seorang Aqua. Rambut hitamnya beterbangan, seolah-olah ditiup oleh angin. Ia membuka telapak tangannya yang dikepal, dan menyemburkan percikan air langsung ke wajahku.
"Hei!" Aku mengusap wajahku, mencoba mengeringkan wajahku yang basah karena keisengannya, namun kuda di sampingku malah menarikku semakin jauh dari bocah nakal itu. Anak itu malah tertawa terbahak-bahak dan melambaikan tangan kecilnya ke arahku. Tanpa disadari, senyumku justru mengembang.
Aku dan Lexy terus melintasi keramaian para Fae. Karena suara teriakan usil anak-anak lah, yang akhirnya membuat Lexy tersadar dari mimpinya. Wajahnya masih letih, namun aku tahu ia akan langsung menyukai anak-anak ini, sama seperti ia menyayangi Cashew. Ia tidak bisa menahan godaan hal-hal yang imut dan menggemaskan.
Kerumunan gadis-gadis Cosmos langsung merapat ke tubuh Lexy. Ada yang menaburkan bunga warna-warni di atas kepalanya. Ada yang menaruh mahkota bunga berwarna merah muda untuk menghiasi rambut pirangnya. Ada juga yang meniup kelopak bunga mawar ke wajah Lexy. Ia membalas mereka dengan tawaan manis dan seketika aku merasa lega melihatnya. Rasanya seperti terbangun dari mimpi buruk dan bangun di sebuah tempat yang indah dan ramah. Aku langsung melupakan fakta bahwa aku masih ditahan.
Aku tidak tahu berapa lama kami disambut terus-terusan oleh bocah-bocah Fae. Pipiku mulai terasa pegal karena terlalu banyak tertawa. Rambutku pasti sudah terlihat acak-acakan dan berantakan karena diterbangkan oleh angin hasil ciptaan Fae Ventus; golongan angin. Kami akhirnya berhenti di depan salah satu pondok yang atapnya berwarna merah muda. Pemiliknya pasti seorang Cosmos.
Ripper itu akhirnya turun dari kudanya. Aku ingin sekali mengeluarkan air mataku karena akhirnya kakiku yang mengeluh kesakitan ini bisa beristirahat. Lexy hendak duduk di atas tanah lembap yang digunakan untuk bertanam saat Fae hitam itu menarik dan memaksanya untuk berdiri, lalu membuka tali yang mengikat tangannya. Tak lama, seorang wanita yang sangat cantik membuka pintu pondok itu dari dalam. Rambut pirangnya yang sepinggang dikepang dan ditaruh ke samping kanannya. Ia mengenakan sebuah terusan selutut berwarna putih yang memperlihatkan kedua lengannya dan lehernya yang berkulit putih mulus. Ia tidak mengenakan alas pada kakinya, namun serangkaian bunga putih yang kuduga adalah bunga Lili diikat pada pergelangan tangan dan kakinya. Bajunya pasti terbuka pada bagian punggung, karena aku bisa melihat sayap pink yang sudah menyentuh lantai.
"Kapten Ledion!" Wanita itu langsung memeluknya dengan erat. Ripper yang ternyata bernama Ledion itu hanya memutarkan bola matanya dan mencoba melepaskan diri dari dekapan wanita itu. Namun, wanita itu tidak merasa malu atau terhina. Senyuman manisnya masih menempel pada wajahnya. Matanya berbinar-binar saat ia menatap wajah Ledion.
"Lilies. Jangan pernah sebut gelarku, apalagi di depan makhluk Egleans seperti mereka." Ledion menggoyang-goyangkan jarinya kepadaku dan Lexy. Sontak aku dan wanita itu saling bertukar pandang. Egleans? Makhluk hasil ciptaan manusia yang katanya lebih sakti dibanding para Fae? Dia sudah gila ya. Aku bukan hasil percobaan.
"Benarkah? Gadis cantik kembar ini, mereka... Egleans?" Lilies menghampiri kami. Rok putihnya berkibar-kibar. Aku bisa melihat lebih jelas pola mutiara-mutiara putih berbentuk bunga yang terdapat pada gaun pendeknya. "Tidak mungkin, kecuali..." Wanita itu terdiam beberapa saat, sambil mengamati kami. Ia lalu menarik lenganku dan Lexy. "Pantas saja kamu membawa mereka kepadaku." Senyumannya entah kenapa menanamkan firasat buruk padaku.
"Buat mereka secantik mungkin. Mungkin sang pangeran akan menemui mereka," ujar Ledion sebelum ia menaiki kuda dan meninggalkan kami bersama Lilies. Pangeran? Mengapa kami harus menemuinya?
"Mari masuk! Pasti akan seru mendadani gadis-gadis cantik seperti kalian!" Katanya dengan semangat sambil menarik-narik lengan kami.
Rumahnya simpel dan rapi. Kupikir semua Fae Cosmos memiliki hasrat yang tinggi dengan warna pink. Aku salah. Dinding rumah ini berwarna putih polos. Ada ruang tamu yang sepertinya bisa muat beberapa orang. Ruang dapur kecil yang terletak di bagian dalam rumah, dan sebuah tangga kayu yang langsung menuju lantai dua. Disitulah kami ditarik dan dibawa.
Ruangan yang kami masuki pasti adalah kamar tidurnya, atau bisa juga tempat tidur tamu. Rumah ini sangat berbeda dengan rumah besar milik kami. Namun jauh lebih hangat dan nyaman. Aku bisa merasakan aura kebahagiaan yang memantul di antara dinding-dinding lorong.
Lilies lagi-lagi menatap kami dengan tatapannya yang penuh dengan rasa penasaran. "Jangan takut! Ledion nanti akan menemani kalian menemui sang pangeran." Ia lalu menyuruh kami duduk di atas sebuah kursi, yang menghadap ke sebuah kaca perias yang mejanya dipenuhi dengan alat-alat rias yang belum pernah kulihat sebelumnya. Ibu biasa selalu menggunakan batang merah yang disebut gincu ke bibir tebalnya. Aku langsung menggelengkan kepalaku saat mengingat hasil mengerikan yang benda itu lakukan terhadap bibir Ibuku. Warnanya terlalu merah dan tidak terlihat cantik sama sekali. Bibir Ibuku malah terlihat lebih besar dan tebal.
Lilies tampaknya sangat menikmati mendadani kami berdua. Sambil bersenandung merdu, ia dengan cepat dan tepat membumbui wajah kami dengan alat-alat rias tersebut. Tak lama, ia mulai menyisir rambut kami yang sudah mengusut.
Perutku berbunyi kelaparan. Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku memakan sesuatu. Terakhir kali mungkin sudah berhari-hari yang lalu.
"Ya ampun! Dasar pria tidak peka! Bukannya memberitahuku bahwa kalian sudah sangat kelaparan!" Lilies buru-buru meraih dua buah botol gelas berisikan bubuk-bubuk mengilap yang berwarna putih, lalu memberikannya kepada kami. Tanpa banyak basa-basi, aku tahu apa isi botol itu. Serbuk sari bunga, mungkin bunga Lili. Aku langsung membuka tutup botol, dan meminumnya dengan sigap. Tak lama, perutku terasa mendingan. Aku tahu Fae tidak membutuhkan banyak jenis makanan seperti para manusia; karbohidrat, protein, vitamin, dan sebagainya. Kami hanya perlu mengisi perut kami dengan serbuk bunga atau madu manis yang dihasilkan oleh peri lebah. Tak sulit memang mencari bunga di hutan saat kami melarikan diri. Namun, saat kami sudah masuk semakin dalam ke hutan, tidak ada lagi hamparan bunga-bunga di pinggir jalan. Mungkin sudah dipetik dan dipanen oleh para Fae yang tinggal di Amalthea Halley. Wajar saja. Mungkin itulah alasan para bocah Fae membawa sekuntum bunga pada masing-masing tangan mereka di jalanan tadi.
Saat tenggorokanku sudah terasa jauh lebih baik, aku mengucapkan terima kasih kepadanya. Lalu menanyakan pertanyaan yang tadi tidak sempat kutanyakan pada Ledion. "Kenapa Ledion menuduh kami sebagai Egleans?" Rasanya aneh mengucapkan nama Fae hitam yang beberapa jam lalu sedang menjadikanku tawanannya.
Lilies menghentikan gerakan tangannya yang sedang menyisir rambut Lexy. Adikku yang sejak saat memasuki pondok ini masih saja memasang wajah yang murung. "Kalian benar-benar tidak tahu?" Ia lalu menyuruh kami untuk melepas baju kumal kami. Tentu saja aku langsung menolak. Lexy dengan waspada berjalan mundur saat Lilies mendekatinya, takut akan bahaya yang mungkin saja akan didatangi olehnya. Wanita cantik itu hanya tertawa geli. "Jangan takut. Aku tidak tahu darimana asal kalian, tapi jika Kapten Ledion sampai mengampunimu, itu artinya kalian terlalu berharga untuk kujadikan pelayanku." Ia lagi-lagi menggerakkan jarinya. "Tunggu apa lagi? Sudah menjadi kewajibanku untuk merias wajah gadis-gadis muda menjadi cantik jelita. Tentu, itu sudah termasuk dengan penampilan kalian, kan?"
Aku mencoba mencuri pandangan dari Lexy, ingin mengetahui kira-kira apa yang sedang dipikirkannya. Rasa malu dan gugup karena dilihat telanjang bukanlah masalah utamanya. Aku takut wanita ini akan mengeluarkan reaksi yang sama dengan orangtua kami saat melihat sepasang sayap di punggung kami.
Aku lagi-lagi berpikiran bodoh. Sayap adalah hal yang normal untuk para Fae. Jika wanita ini berencana untuk memotongnya, ia pasti sudah mengambil sayap milik Fae lain. Aku menggigit bagian bawah bibirku. Ingat dengan pelajaran Miss Gray mengenai Fae Cosmos. Mereka hanya tertarik dengan bunga warna-warni dan kecantikan mereka. Sayap mungkin bukanlah hal yang gemar diincari.
Aku mulai membuka mantel luaran yang kukenakan. Lexy sudah melototiku untuk memperingatkanku. Aku tahu apa yang dipikirkannya. Kami sudah saling berjanji untuk merahasiakan sayap kami dari orang lain. Namun, apakah ini berlaku untuk para Fae yang juga memiliki sayap?
Ketika akhirnya aku membuka lapisan terakhir kain yang menutupi tubuhku, Lexy mulai berjalan ke arahku, mungkin sudah kehilangan kesabarannya. Ia berbisik di telingaku, "Apa yang sedang kau lakukan?! Ini terlalu berbahaya!" Ia mulai menurunkan kain bajuku yang sudah berada di atas kepalaku, namun aku tetap bersikeras untuk membukanya.
Aku lagi-lagi melihat tatapan yang sama persis terlukis di wajah Lilies. Tatapan penuh kejutan, dan mata yang terbelalak. Mulutnya ternganga saat melihat pantulan kaca yang menunjukkan belakang punggungku. Ia buru-buru menghampiriku. Didera oleh trauma dan rasa ketakutan, aku berlari menjauhinya, sambil memunguti kain bajuku dengan cepat. Lexy langsung menghalanginya, sambil menodongkan pisau cukur milik Lilies yang sebelumnya berada di atas meja rias.
Tatapan itu. Lalu pisau cukur. Perutku langsung terasa mual. Aku menggelengkan kepalaku, berusaha dengan mati-matian untuk mengusir perasaan itu. Aku tak ingin berada di dalam kondisi yang sama lagi. Jantungku mulai berpacu, tak lama kemudian pernapasanku jadi tidak beraturan.
"Jangan dekati Alena! Atau kulukai kamu dengan pisau ini!" Teriak Lexy. Suara gemetarnya menandakan ia juga merasa ketakutan. Lilies hanya menggelengkan kepalanya, lalu berkata, "Tidak, bukan begitu. Aku janji tidak akan melukai kalian. Aku hanya ingin melihat seki-"
"Bohong! Kamu pasti ingin mencuri sayap kami lalu menjualnya!" Teriak Lexy, kali ini suaranya terdengar lebih keras. Tiba-tiba suara hentakan kaki terdengar dari luar pintu. Akan ada lebih banyak orang yang melalui pintu itu, pikirku sambil gemetaran. Aku buru-buru mengenakan bajuku, dan sambil dikejar oleh rasa takut yang berlebih, aku menghampiri Lexy.
"Lexy! Kita harus segera pergi dari sini! Akan ada banyak orang yang kemari!" Kataku panik. Lexy tidak sempat menoleh kepadaku, namun dilihat dari gerak-gerik tangannya, aku tahu dia akan melakukan apa.
'Tunggu aba-abaku. Lihat jendela disana? Kita akan lompat bersama-sama.' Aku bisa membaca pikirannya yang sejalan denganku. Aku melirik wajah Lilies yang terisak, kemudian menolehkan pandanganku ke salah satu jendela yang ukurannya paling besar.
'Siap?' Aku bersumpah bisa mendengarkan isi hati Lexy. Lilies mengangkat tangannya, berusaha menjelaskan kepada kami bahwa ia tidak ada maksud untuk melukai kami.
'Tiga.' Pintu yang terkunci mulai digedor-gedor.
'Dua.' "Miss Lilies! Apakah Anda baik-baik saja?!" Terdengar teriakan seorang perempuan, yang mungkin adalah pelayannya.
'Satu'. "Kumohon! Akan kujelaskan apa yang kuketahui!" Pintanya sambil mengatupkan kedua telapak tangannya. Aku bisa melihat air matanya yang sudah membasahi pipinya.
'Sekarang.' Pintu yang dikunci tiba-tiba sukses dihancurkan. Aku bisa merasakan para pelayan yang berhamburan masuk ke ruangan kami. Aku dan Lexy secara bersamaan berlari ke arah jendela. Dengan sekuat tenaga, Lexy menggunakan lengan kirinya untuk menghantam kaca jendela sampai pecah. Lalu berhasil melompat keluar.
Namun tanganku tiba-tiba ditarik oleh seseorang yang sangat kuat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!