Zehya mengamati setiap gerakan jemari ayahnya yang tengah menari-nari di atas sebuah kertas. Tarian pensil itu membuat sebuah sketsa rumah yang sangat menarik di mata gadis belia itu. Matanya berbinar penuh minat. Kehadiran gadis itu membuat atensi ayahnya teralihkan. Lelaki bermata teduh itu menghentikan kegiatannya dan beralih menatap anak gadisnya sembari meletakkan pensil ke atas meja.
Zehya memandangi wajah tampan ayahnya penuh protes.
" Mengapa berhenti, Ayah?" Kesalnya sembari menatap tak suka pada ayahnya.
" Konsentrasi ayah pecah begitu mata buatmu menatap ayah seperti laser, Zehya. " Jawab sang ayah sambil menahan tawa.
Zehya menggembungkan pipinya dan mengerjakan matanya dengan lucu. Membuat sang ayah yang gemas menghadiahinya sebuah cubitan di pipinya.
" Awww!" Teriak Zehya sembari menghindar dari tangan ayahnya. " tangan ayah membuat pipiku sakit" protesnya.
" Salahkan dirimu, mengapa kamu sangat menggemaskan" goda san ayah.
" sudahlah. lebih baik aku membantu ibu memetik sayur di kebun" ujarnya seraya berlari kecil menjauhi ayahnya. sang ayah hanya menggeleng mengamati tingkah lucu anak gadisnya. Pandangan penuh cinta itu berubah bersama menghilangnya punggung kecil Zehya.
Lelaki yang Zehya panggil ayah itu memejamkan matanya sejenak sebelum kembali meneruskan aktivitasnya yang tertunda.
" Ibuuuu!" Seru Zehya sambil berlari kecil, menghampiri sang ibu yang tengah memetik tomat di kebun belakang rumah mereka. Wanita cantik berambut sebahu itu menoleh pada Zehya. Senyum indah merekah di bibir merahnya.
" Hai, princess. Apalagi ulahmu hari ini?" Tanya sang ibu yang sudah hafal kelakuan putri saat ayahnya bekerja.
Zehya menghampiri sang ibu dan bergelayut manja di lengan ibunya. Mata bulatnya menatap sang ibu dengan penuh binar.
" Aku hanya melihat ayah membuat gambar, ibu.. " ujarnya.
" Tapi Konsentrasi ayahmu buyar karena kamu berdiri di sana dan menatap penuh minat pada pekerjaannya, sayang"
" Hah.. baiklah, baiklah.. Aku akan di sini saja membantu ibu memetik sayuran" akhirnya Zehya mengikuti gerakan ibunya memetik buah tomat yang sudah merah.
" Itu jauh lebih baik dari pada mengganggu konsentrasi ayahmu, prinsess"
keduanya asik memetik tomat hingga keranjang yang di bawa oleh, Reni. Ibunda Zehya penuh dengan tomat yang beraneka warna. Selain tomat, Reni juga mengajak Zehya memanen bawang bombai, kentang, Wortel dan cabe.
" Ibu, ayo kita ambil telur ayam. Para ledy kesayangan ibu pasti sudah bertelur" ajak Zehya sembari menarik tangan ibunya menuju ke kandang ayam yang berada di ujung kebun, dekat dengan pagar belakang rumah mereka.
" Ayo, mari kita ambil semua telur itu"
" ibu, ibu, lihat! waaah. Telurnya banyak sekali!" Seru Zehya dengan heboh di depan kandang ayam. membuat ayam-ayam yang tengah mematuk makanan di dalam kandang kalang kabut. Reni berjongkok di samping Zehya.
" Haha... kamu senang?"
" Tentu saja. Ibu bisa membuatkan aku cake dan cookies dengan telur itu. ah! aku juga mau omlete bu!" Zehya menyatukan kedua tangannya dengan mata memejam, membayangkan makanan nikmat itu di kepalanya yang kecil. Reni kembali tertawa, tangannya mengelus rambut ikan Zehya yang di kucir ekor kuda dengan gemas.
" Baiklah. Ibu akan buatkan semua makanan itu setelah kita mengambil telur-telur ini"
"Yeeey! aku saaayaaaang, ibu!" ujarnya seraya mengecup pipi ibunya. Reni terkekeh dan membalas kecupan di kedua pipi Zehya.
" Tapi ibu butuh bantuan. Zehya bantu ibu, ya?"
" Siap ibuu, Zehya akan bantu sampai selesai" Janjinya penuh semangat.
Malam ini Zehya terbangun dari tidur lelapnya karena suara pekikan ibunya dan benturan benda tumpul. Gadis kecil berusia 5 tahun itu mengusap matanya sembari melangkahkan kaki menuju sumber suara. Namun, teriakan ibunya membuatnya membeku, terpaku di depan pintu ruang kerja ayahnya yang terbuka sedikit, menciptakan cela yang memberikan akses lada Zehya untuk mendengar dan menyaksikan pertengkaran hebat kedua orangtuanya.
" KAMU TEGA MAS! KENAPA KAMU MELAKUKAN ITU SEMUA PADAKU? TOLONG KATAKAN PADAKU BAHWA INI SEMUA BOHONG!" Reni menghujani Bagas, suaminya dengan teriakan pilu. air mata sudah membanjiri kedua sisi wajahnya. Menciptakan anak sungai yang mengalir dengan deras. Belum lagi tatapan sendunya dan penampilan yang kasut.
Bagas hanya menyenderkan kepalanya pada sandaran kursi kerjanya dengan mata terpejam. seolah enggan menjawab semua pertanyaan dari sang istri.
" 6 tahun. 6 tahun lamanya aku menjadi istrimu, menemani kamu dari nol hingga menjadi arsitek ternama di negara ini. Aku selalu melakukan yang terbaik untuk kamu, untuk Zehya, untuk keluarga besar kita.. lalu.. apa kuraangku padamu, mas?" Rani mulai menumpahkan segala kesah yang menghantuinya beberapa waktu ini.
Wanita itu kini duduk bersimpuh di atas karper ruang kerja Bagas. dengan suara isak tangis yang semakin memilukan. Namun, semua yang terjadi pada Reni tak membuat iba seorang Bagas muncul.
" Mengapa harus ada wanita lain dalam rumah tangga kita, mas? mengapa ? tolong jawab aku?" Pinta Reni dengan suara yang melemah.
Kali ini Bagas bereaksi. Lelaki itu beranjak dari duduknya dan berjalan pelan dan berhenti di depan jendela besar yang menghadap taman depan rumahnya. Bagas menatap pemandangan luar dengan tatapan sendu. dalam keheningan malam dan isak tangis Reni, suara helaan napas Bagas semakin membuat suasana semakin sendu.
" Reni.. apakah kamu pernah mencintaiku?" Pertanyaan sederhana dari Bagas membuat seluruh tulang dalam tubuh Reni seolah mencelos. Membuatnya lemas hingga suarapun tak mampu ia suarakan. Matanya yang memerah penuh air mata menatap nanar pada Bagas. Sosok yang begitu dia hormati.
Bagas memutar tubuhnya dan membalas tatapan nanar dari Rani, wanita yang selama 6 tahun menjadi istrinya. Lagi, helaan nafas Bagas terdengar memilukan.
" Kamu tidak mencintaiku, Reni. Kamu hanya memenuhi kewajibanmu sebagai seorang istri, ibu dan menantu di keluarga besarku, Apa aku salah?"
Lagi, kalimat yang keluar dari bibir Bagas kembali memberikan dampak yang luar biasa untuk Reni. Hatinya hancur libur bersama derasnya air matanya
" Apa... apa semua perlakuanku padamu tidak cukup menjelaskan betapa besar cintaku untukmu, Mas?" pernyataan Reni kali ini membuat Bagas bungkam. " Bukan aku yang tidak mencintaimu, tapi kamulah yang tidak memiliki rasa itu untuk aku, wanita yang selama 6 tahun menjadi istrimu..." Reni memaksakan dirinya untuk bangkit dan berdiri di atas kakinya.
" Semua alasanmu tidak pernah bisa membenarkan perselingkuhan kamu dengan wanita lain, mas. . . "
Reni merapikan gaun malamnya dan kembali berkata. " Mari kita berpisah. Aku akan mengurus perceraian kita, dan Zehya akan pergi bersamaku." Setelah mengatakan hal tersebut, Reni memutar tubuhnya dan hendak pergi. Namun suara Bagas bagai ultimatum untuknya
" Kamu tidak bisa membawa serta Zehya dengan mu, Rani. Dia bukan darah dagingmu"
Tubuh Reni bergetar hebat, dengan langkah gontai, Reni menghampiri Bagas. Mencengkram kerah kemeja Bagas dengan kuat dan menatap nyalang lelaki yang malam ini telah membunuhnya berulang kali.
" berapa banyak kebohongan yang kamu tutup dariku, Bagas??? JIKA ZEHYA BUKAN ANAKKU, LALU DIMANA ANAK YANG AKU KANDUNH DAN AKU LAHI4KAN 5 TAHUN LALU??" Teriak Reni dengan sekuat tenaganya. Bagas membiarkan semua perlakuan Reni padanya. Matanya yang selalu teduh kini menatap Reni dengan kosong.
" JAWAB BAGAS!" Benyak Reni dengan menggebu. Bagas mendongakkan kepalanya sejenak sebelum kembali menatap datar pada Reni.
" Reni, anak mu meninggal sesaat setelah di lahirkan" Jawaban Bagas membuat kerutan di dahi Reni semakin dalam.
" Apa maksudmu? dia anak kita bukan hanya anaku"
Bagas menghempaskan cenhkraman tangan ringkih Reni dan menjauh dari wanita itu.
" BERHENTILAH RENI. JUJURLAH PADAKU. ANAK YANG KAMU KANDUNH DAN KAMU LAHIRKAN BUKANLAH DARAH DAGINGKU. BAYI ITU BUKAN BENIHKU!"
Bagas meluapkan semua rasa sakit karena di khianati istrinya selama ini. Napas Bagas memburu, bersama dengan rasa muak yang menguar dari dirinya. Reni melangkah mundur dengan tatapan sendu.
" Apa penjelasanku dulu hanya angin lalu bagimu, Bagas? Apakah fitnah wanita simpananmu itu begitu nyata untukmu? Tidak adakah rasa percaya padaku? Bayi yang aku kandung dan aku lahirkan adalah anak kita. Tidak ada satupun lelaki yang menyentuhku selain kamu" Dengan penuh kekecewaan Reni membela dirinya.
" Kamu pikir aku bodoh, Reni? Kamu kira aku tidak mencari bukti? malam itu, bukan aku yang masuk ke kamar pengantin kita. Tapi Reyhan. "
Mendengar nama sepupu jauhnya, Reni terdiam. seolah ada pipa panjang yang menyedotnya kembali ke masa lalu. Ingatannya yang samar-samar membawanya pada malam pengantinnya. kilasan-kilasan kejadian malam itu kembali tergiang. Bagaimana mungkin dia melupakan malam itu, jika saat itulah kali pertama dan terakhir lelaki yang dia anggap suami menyentuhnya.
Tubuh Reni bergetar hebat. Rasa jijik pada dirinya sendiri kini menguasainya. Rasa itu jauh lebih menyiksa dari rasa kecewa dan marah karena perbuatan Bagas.
" Kamu mengakuinya sekarang?"
" Kenapa kamu tidak menceraikanku sejak malam itu, Mengapa kamu menyiksaku hingga saat ini?" Suara lemah Reni kembali terdengar.
" Apa aku tidak pernah berusaha melepasmu?"
Lagi, pertanyaan Bagas menghantam jiwa Reni. Ya.. Bagas sudah berulang kali berusaha pergi dari hidupnya. Namun Reni selalu menyanhkalnya. Kini, wanita itu kembali tergugu dalam tanhisnya.
" Bukan hanya kamu yang terluka dalam hubungan ini, Reni. Akupun jauh tersiksa dengan keadaan seperti ini. Tak pernah sedetikpun aku ingin melukaimu. Kamu, sahabat yang sangat berarti bagiku. Maaf, karena kebimbanganku, kita jadi merasakan sakit yang teramat. Aku harap, kita bisa menemukan jalan yang seharusnya milik kita. Tolong, jangan bawa Zehya bersamamu.. Dia anakku. "
Setelah mengatakan hal itu, Bagas melangkah keluar dari ruang kerjanya, melewati tubuh kecil Zehya yang sedari tadi bersembunyi di belakang pot bunga besar di depan ruang kerja Ayahnya. Tubuhnya bergetar hebat dengan kedua tangan mungil yang membekap mulutnya sendiri. Malam ini, Langit malam tak sekelam keadaan keluarga kecilnya yang selama ini terlalu sempurna.
Bagas menghentikan langkahnya. Pikirannya langsung tertuju pada Zehya. Apa gadis itu menyaksikan pertengkarannya dengan Reni? Punggung Bagas terasa kebas, seolah ada sepasang mata penuh luka yang menatapnya dengan pilu. Dengan gontai, Bagas memutar tubuhnya dan alangkah terkejutnya dia ketika mendapati sesosok malaikat kecil tengah membekap mulut kecilnya dengan kedua tangan bergetar.
Bagas mendekati Zehya yang masih terpaku dengan mata yang terus mengawasi setiap pergerakan nya. tubuh kecil itu berjingkat kala Bagas mendaratkan tangan besarnya pada kedua bahu Zehya.
" Sayang... ini ayah" Suara lembut Bagas bagaikan oasis di gurun pasir. Zehya merasakan kesejukan di hatinya. Gadis kecil itu melemparkan tubuhnya pada dekapan hangat sang ayah, dan tangisnya pecah, menciptakan isakan kecil yang menyatu dengan heningnya malam.
" Ayah... siapa aku?"
Pertanyaan Zehya sontak membuat Bagas terkejut. Ada luka yang kembali menganga di hatinya. Dengan lembut, Bagas mengusap punggung putrinya dan membawa tubuh kecil yang masih sesenggukan itu meninggalkan lorong ruang kerjanya.
" Ayah... " rengek Zehya.
" Zehya adalah putri ayah, putri kandung ayah. " Ucap Bagas dengan yakin. Senyum Kecil menghiasi bibir Bagas kala ia merasakan rangkuhan Zehya pada lehernya mengencang.
" Ayah... jangan tinggalkan Zehya"
Pagi ini, suasana rumah Bagas tak sehangat biasanya. di meja makan hanya ada Bagas dan Reni. Zehya yang semalaman suntuk menangis kini tengah terlelap dengan mata bengkak.
Senda gurau yang selalu membersamai keluarga kecil itu kini tergantikan oleh keheningan yang menyiksa kedua manusia yang duduk berjauhan. Tak ada lagi senyuman indah Reni yang selalu menghiasi wajah ayunya kala melayani suaminya, juga tak ada sapaan lembut dan tatapan teduh dari Bagas untuk Istrinya.
Rani yang sudah tidak tahan dengan suasana mencekam diantara dia dan Bagas akhirnya meletakkan alat makannya dan menatap piringnya yang masih berisi menu sarapannya, utuh tak tersentuh.
" Hari ini aku akan pergi"
Hening, tak ada sahutan dari Bagas. Lelaki itu masih tetap memasang wajah datar sembari sesekali menyesap kopinya.
" Bagas..." Panggilan dari Reni menarik kesadaran Bagas. Rupanya sedari tadi lelaki itu tenggelam dalam dalamnya pikirannya sendiri.
Tanpa mengatakan sepatah katapun, Bagas menyodorkan map berwarna coklat dengan logo Pengadilan Agama kepada Reni. Sebelum Reni sempat mengomentari, Bagas terlebih dahulu menjawab.
" semua sudah selesai, kamu hanya tinggal melabuhkan tanda tanganmu saja. "
Reni menatap Bagas dengan hati ngilu. Matanya kembali memerah dan tangannya bergetar. Namun, wanita itu berusaha sedemikian rupa untuk mengontrol dirinya sendiri, walau akhirnya tetap tidak bisa menyembunyikan suaranya yang bergetar
" Semudah itu?"
" Pada kenyataannya, Aku sama sekali tidak pernah menyentuhmu, Reni. " Tegas Bagas dengan tatapan yang berkilat penuh luka walau sesaat. Reni terhenyak, kenyataan yang itu kembali menyayat hatinya. Karena dialah yang lebih tau, Bahwa Bagas sama sekali tidak pernah menggaulinya sejak mereka menikah. Bahkan malam pertamapun, yang Reni yakini bahwa lelaki yang memeluknya adalah Bagas, nyatanya bukan suaminya.
Kamar yang gelap dan pengaruh alkohol mengecohnya, selama ini Dia adalah satu-satunya manusia bodoh yang tidak tau apa-apa, meski Bagas selalu mencoba memberitahukan kebenaran padanya lewat kebisuan dan tindakannya. Namun kebebalannya membuat dia menutup matanya.
" Apakah aku masih bisa menemui Zehya?" Tanyanya perlahan, dengan penuh permohonan.
" Temuilah Zehya kapanpun kamu ingin, Reni. " Jawab Bagas datar. " Kita adalah sahabat, meski menyakitkan. Sampai kapanpun kamu adalah orang yang berarti dalam hidupku. Meski aku tidak akan lagi bisa memperlakukan kamu seperti sebelumnya, begituan sebaliknya. Aku hanya berharap, suatu saat nanti kita bisa bertemu dalam keadaan yang saling memaafkan. Aku tau, dan aku sadar. Keputusan yang aku ambil sangat melukaimu, tolong maafkan aku yang tidak bisa jujur padamu sedari awal... dengan alasan yang tidak mungkin bisa kamu terima."
Reni memberanikan dirinya untuk menatap Bagas, Sahabatnya, suami yang beberapa menit lagi akan menjadi mantan suaminya itu dengan tatapan yang rumit.
" Ya. Tak bisa ku pungkiri, apa yang kamu lakukan sangat melukaiku. Tapi... setelah aku berpikir semalam, dengan sudut pandang kamu, aku tetap tidak bisa memaafkan dengan mudah. Andai kamu berterus terang padaku sejak awal, alih-alih mencoba membuka mataku dengan diam dan segala tindakan anehmu, mungkin kita tidak akan saling menyakiti. Bagas, terimakasih... telah memberikan kesempatan padaku untuk merasakan memiliki keluarga yang hangat. Rasa sakit ini ada, luka ini nyata, pedihnya menyiksa, suasana yang kamu ciptakan telah sukses membuat aku bodoh karena tidak mengetahui kebenaran yang kamu suguhkan tepat di depan mataku. Tapi, jauh di lubuk hatiku, kebahagiaan yang kamu berikan padaku jauh lebih besar dari derita itu sendiri. " Reni menarik nafasnya, menghembuskannya dan kembali berkata. " Aku akan pergi, aku akan menjalani hidupku dengan baik, aku berjanji pada diriku sendiri , aku akan menemui kalian lagi dengan keadaan terbaik "
Setelah mengatakan semua yang ingin dia katakan. Reni meraih map coklat itu, membukanya dan melabuhan tanda tangannya tanpa mau repot repot membacanya.
" Kau, bajingan keparat. Aku harap kamu mendapatkan balasan dari perbuatanmu padaku. Haaah! " Ujarnya seraya beranjak dan meninggalkan Bagas yang terkekeh akan tingkah laku Reni.
" Semoga kamu selalu bahagia, Reni".
Reni memandangi wajah damai Zehya, kecupan sayang dia Labuhkan pada dahi, pipi dan bibir malaikat kecilnya. Rasa cintanya yang begitu besar pada Zehya membuatnya enggan meninggalkan Gadis kecil itu. Zehya yang merasa terganggu menggeliat di dalam selimutnya. Reni tersenyum kecil lalu merapikan selimut Zehya .
" Sampai jumpa, princess. "
Dengan berat hati, Reni beranjak dari posisinya duduk di ranjang Zehya dan berlalu dari kamar putri kecilnya. Langkah kakinya berhenti kala mendapati Bagas berdiri dengan punggung bersandar pada tembok dan kedua tangan di saku celana panjangnya.
Bagas menoleh, tatapan nya bertemu dengan Reni yang berhenti di depan pintu kamar Zehya yang tertutup.
" Temuilah Sepupumu, Dia menyimpan jawaban yang kamu inginkan" Setelah mengatakan hal tersebut, Bagas melenggang begitu saja. Meninggalkan Reni dengan segala kekacauan di benaknya yang sudah kusut.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!