NovelToon NovelToon

Menjadi Istri Kedua Om Komandan

1

Langkahnya gontai terus menapaki setiap jalan yang dilaluinya. Lalu lalang dan kebisingan kendaraan tidak membuatnya terganggu dengan perasaan sedih yang dirasakannya saat ini.

Air matanya jatuh kala teringat dengan ucapan suster tadi pagi,” dek, obatnya Ibu Mariana sudah habis, jadi adek harus menebus resep ini di apotek. Kalau bisa paling lambat sore karena sisa dua kali minum obatnya ibu kamu.”

Adinda mengambil secarik kertas yang bertuliskan resep obat untuk ibunya, “Saya akan usahakan Sus, tapi saya boleh meminta tolong kepada Suster gak? Minta tolong dijagain ibuku karena saya harus pergi jualan, tapi insha Allah Tanteku akan datang habis shalat dzuhur,” pintanya Adinda.

“Iya saya akan bantuin kamu tapi jangan lewat jam 2 siang yah karena saya sudah lepas jaga sekitar jam itu,” balasnya suster yang selalu membantunya selama dua minggu ini ibunya dirawat inap di rumah sakit karena penyakit diabetes yang dideritanya.

Panas terik tidak menyurutkan semangatnya untuk menjajakan dagangannya. Peluh keringat bercucuran membasahi wajahnya. Dia terus menenteng tas jualannya di sepanjang jalan yang dilaluinya.

“Ya Allah kuatkan diri hamba, lancarkan pekerjaanku ini dan mudahkanlah aku mendapatkan rezeki yang halal untuk biaya pengobatan ibuku,” batinnya.

Dia berhenti di sekitar sekolah yang dilaluinya. Ia berharap jualannya kali ini laku diborong oleh anak-anak sekolah seperti biasanya.

Adinda menatap orang yang berlalu lalang, dia menyeka peluh keringatnya hingga ke lehernya menggunakan kain hijabnya yang nampak lusuh dan kusut.

Gadis berusia 19 tahun itu seorang sales perlengkapan sekolah yang menjual barang-barang dagangannya berkeliling kota. Door to door menawarkan kepada orang yang berminat membeli jualannya.

Dia menawarkan jualannya kepada siapapun yang ditemuinya. Pekerjaan ini sudah setahun lebih dikerjakannya sejak dia tamat dari sekolah SMA setahun lalu.

Adinda menghela nafasnya dengan berat, “Ya Allah sudah jam satu siang tapi jualanku hari ini baru laku sedikit, obatnya ibu sudah habis total, Aku harus dapat uang dari mana ya Allah,” gumamnya yang menatap nanar ke arah mobil yang berlalu lalang.

Adinda mengambil segelas air putih yang baru saja dibelinya di warung dekat dia beristirahat. Hingga kedatangan salah seorang anak SMA yang sering kali membeli pulpen yang ia jual membuatnya melupakan kegelisahan hatinya sementara waktu.

“Kakak masih jualan yah? Belum habis jualannya?” Tanyanya sambil ikut duduk di sampingnya Adinda.

Adinda tersenyum tipis, “Sudah ada yang laku Alhamdulillah, tapi lebih banyak yang nggak lakunya.”

“Aku beli pulpen sama itu pensil warna, sama gunting,” Nadhira memilih beberapa barang jualannya Adinda yang hendak dibelinya.

Adinda tersenyum bahagia karena bukan hanya Nadhira yang memborong dagangannya tetapi ada beberapa anak SMA yang ikut memilih dan membeli jualannya siang itu.

Nadhira adalah gadis SMA kelas X yang beberapa bulan terakhir ini menjadi teman ngobrolnya ketika berjualan di tempat itu.

“Alhamdulillah makasih banyak Dek, kalian sudah memborong dagangan kakak,” ujarnya yang tidak bisa menutupi kebahagiaannya.

“Sama-sama kak, kami senang belanja sama kakak karena murah dan kakak ramah pada kami berbeda dengan penjual lainnya yang terkadang jutek,” ujarnya anak cowok yang ikut membeli.

Jualannya hampir habis keseluruhan, karena anak sekolah itu bergantian membeli jualannya.

“Alhamdulillah makasih banyak ya Allah,” gumamnya sambil menghitung uang hasil jualannya hari ini.

Semua anak sekolah sudah pulang setelah membayar barang-barang yang mereka beli. Tinggallah Adinda dan Nadhira berdua di depan warung yang tidak jauh lokasinya dari sekolah.

“Kak Adinda mau gak menikah dengan Papaku?”

Der…

Jeder!!

Adinda yang menenggak air putihnya, seketika terbatuk-batuk mendengar perkataan dari gadis cantik yang berseragam putih abu-abu yang menatapnya lekat penuh harap.

“Uhuk… uhuk…”

Air yang diminumnya sampai muncrat dan gelasnya terlepas dari genggaman tangannya saking kagetnya mendengar perkataan tersebut.

Tidak ada angin tidak ada hujan permintaan dari Nadhira membuatnya terkejut setengah hidup. Dia ingin tertawa tapi tidak enak hati dengan permintaan Nadhira yang baginya sungguh tidak masuk akal.

Gadis remaja itu gegas menepuk punggungnya Arinda, “Astaghfirullah aladzim maafkan aku kak, gara-gara aku kakak malah batuk-batuk kayak gini,” sesalnya Nadhira.

Air matanya sampai menetes karena tak henti-hentinya terbatuk-batuk, “Uhuk…”

Adinda menepuk-nepuk dadanya sendiri agar lebih enakan sambil sesekali beristighfar.

“Astaghfirullah.. astaghfirullahaladzim,” berulang kali Adinda berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri yang terkejut.

Nadhira tidak menduga jika reaksinya Adinda akan seperti ini, “Maafin aku yah kak kalau ucapanku membuat kakak kaget,” sesal Nadhira gadis berusia 17 tahun itu.

Adinda melihat ke arah Nadhira, “Mak-sudnya a-pa? kenapa kamu sampai ngomong begitu?” Tanyanya Adinda ketika sudah bisa mengontrol kondisinya yang tersedak minumannya.

Raut wajahnya Nadira sendu, “Karena aku ingin kakak menjadi Mama baru aku, karena mamaku sudah lama meninggal dunia,” cicitnya Nadhira.

“Jangan bercanda Dek, masa kamu memintaku menikahi papamu yang seorang Kapolsek itu,” sanggah Adinda.

Nadhira menitikkan air matanya sambil tertunduk lesu, suara isakannya terdengar begitu pilu menyayat hati.

“Kenapa memintaku menikah dengan Papamu? Jangan bermain-main dengan masalah pernikahan, apalagi menawarkan aku untuk menikah dengan Papamu!" Adinda masih geleng-geleng kepala.

"Aku tidak main-main kak dengan ucapanku, aku sangat serius meminta kakak menjadi ibu sambungku," balasnya Nadira yang masih kekeh membujuk Adinda.

"Stop bermain lelucon dek, aku sudah cukup terhibur. jadi jangan bercanda lagi," sanggah Adinda.

"Ya Allah kakak segitunya menganggap kata-kataku adalah lelucon, aku serius kak," air matanya Nadhira mulai menetes membasahi pipinya yang sedikit tirus dan pucat.

Adinda tersentuh dan ikut sedih melihat Nadira menangis dia memegangi tangannya Nadhira," sebenarnya apa yang terjadi padamu, Dek?" tanyanya dengan lembut.

Nadhira menyeka air matanya,“Aku sedih melihat Papa semenjak Mama meninggal dunia, Papa selalu saja sibuk dengan pekerjaannya tanpa peduli dengan hidupnya sendiri, aku ingin melihat papaku bahagia,” lirih Nadhira.

Arinda memegangi tangannya Nadhira,” adek jangan karena kamu melihat papamu yang sibuk dengan pekerjaannya kamu malah meminta kakak menikah dengan Papamu, bisa saja mengisi waktunya dengan kesibukannya Papa kamu malah bahagia dengan caranya itu.”

Adinda geleng-geleng kepala mendengar permintaan anak remaja itu, dia sudah dipusingkan dengan biaya ibunya yang dirawat di rumah sakit, tapi saat ini malah harus mendengar sebuah permintaan yang baginya seperti lelucon.

“Kamu belum mengenal baik diriku, kita kenalnya cuma sebatas penjual dan pembeli, aku hanya gadis biasa, gadis miskin dibandingkan dengan kamu yang derajat kita jauh berbeda dek, jadi stop jangan lagi mengatakan candaan yang sungguh tidak masuk akal,” Adinda terkekeh.

Nadhira memegangi tangannya Adinda,” kakak anggap saja ini permintaan terakhirku, aku tidak ingin melihat papa hidup seorang diri setelah aku pergi,” setetes cairan bening jatuh ke atas punggung tangan Arinda.

Adinda menatap ke arah Nadhira yang sudah sesegukan,” maksudnya kamu pergi!? Memang kamu mau pergi kemana? Kenapa harus pergi segala! Apa kamu enggak kasihan dengan papa kamu?”

Nadhira menyeka air matanya, dia mulai menceritakan kenapa dia meminta Arinda menikahi papanya yang usianya sudah 40 tahun itu yang berstatus seorang komandan polisi.

“Astaghfirullahaladzim, kamu sakit Dek?” Adinda meneteskan air matanya juga ketika mendengar setiap kata yang terucap dari bibirnya Nadhira.

“Aku ingin di sisa usiaku di dunia ini aku ingin melihat papa bahagia dengan wanita yang tepat. Hanya kakak yang menurut aku paling cocok mendampingi papaku,” lirih Nadhira.

“Kenapa kamu menyembunyikan penyakitmu dari papamu dek, bukannya baik kalau papamu mengetahuinya kamu bisa diobati, insha Allah kamu akan sembuh,” ucapnya sambil memeluk Nadhira yang masih terisak.

“Aku divonis tidak lama lagi oleh dokter Kak, aku mohon penuhi permintaanku ini. Aku akan melakukan apapun asalkan kakak bisa menikah dengan Papaku,” Nadhira masih bersikukuh membujuk Adinda.

“Dek pernikahan itu bukan mainan, apalagi kami berdua berbeda jauh. Papa Kamu seorang polisi dan kaya raya sedangkan aku hanya gadis miskin dan tidak berpendidikan, jadi sebaiknya cari saja perempuan lain yang bisa kamu jadikan sebagai calon istri papamu,” tolaknya Adinda.

“Hanya kakak yang menurutku cocok menjadi Mama sambungku, sejak pertama kali aku melihat kakak, kebaikan dan ketulusan kakaklah yang membuatku memilih kakak,” Nadhira masih kukuh dengan pendiriannya.

“Maaf aku harus pergi lagi, masih banyak jualanku yang belum laris, aku permisi dek. Assalamualaikum,” pamitnya Adinda.

Adinda tidak menyangka ada orang yang memintanya menikah padahal dia tidak mengenal pria itu apalagi mencintainya.

Nadhira mencekal pergelangan tangan Adinda, “Aku mohon dengan sangat Kak, aku hanya punya kakak. Aku tidak mau dengan perempuan lain. Aku sudah mengenal kakak. Aku bisa membantu melunasi biaya pengobatan ibunya kakak asalkan bersedia menikah dengan Papaku,” Nadhira masih berusaha untuk membujuk Adinda.

Adinda menoleh ke arah Nadhira, “Kenapa kamu tidak memakai uang itu untuk kamu berobat? Sekarang pengobatan semakin canggih dan modern insha Allah kamu pasti bisa sembuh. Berbeda dengan kami orang miskin yang hanya bisa bergantung pada pengobatan gratis dari pemerintah,” ujarnya.

Nadhira terdiam mendengar perkataan dari Adinda, gadis belia yang hanya terpaut tiga tahun darinya, tapi malah dia ingin menjadikannya sebagai mama barunya pengganti mamanya yang sekitar lima tahun lalu meninggal dunia.

Adinda masih kebingungan dengan situasi yang dihadapinya saat ini,” Dek, tolong berfikir baik-baik sebelum memutuskan apa yang kamu inginkan. Lagian kamu itu punya uang kenapa tidak berobat ke rumah sakit terbaik saja, Insha Allah kamu pasti sembuh kakak yakin kamu pasti panjang umur.”

Adinda kembali berdiri dan meraih tas kain yang berisi jualannya itu. Tapi, lagi-lagi Nadhira mencegahnya dan malah berlutut di depannya.

“Kak aku mohon dengan sangat jadilah mamaku, kakak pasti bahagia dan beruntung menikah dengan Papaku,” bujuknya lagi Nadhira.

“Maaf aku tidak bisa, aku harus pergi. Carilah orang lain yang bersedia menikah dengan Papamu,” tegasnya Adinda.

Nadhira masih berlutut sambil menangis tersedu-sedu melihat kepergian Adinda. Pandangannya mulai kabur dan berkunang-kunang, kepalanya serasa berputar-putar. Keringat bercucuran membasahi wajahnya.

Bruk!!

Hingga teriakan beberapa orang membuat Adinda harus menghentikan langkahnya.

“Mbak adiknya pingsan!”

Bab 2

Adinda menolehkan kepalanya ke arah belakang setelah mendengar teriakan beberapa orang yang sampai ke telinganya saking ributnya orang-orang yang berteriak-teriak.

“Apa yang terjadi?” tanyanya yang keheranan melihat sekelilingnya karena orang-orang sudah berkerumun.

Matanya terbelalak melihat Nadhira sudah jatuh pingsan tak berdaya,dia langsung membuang barang dagangannya dan berlari ke arah Nadhira.

Adinda memangku Nadhira yang sudah tidak sadarkan diri, “Nadhira! Apa yang terjadi padamu dek?” Tanyanya Adinda yang mulai panik melihat darah yang keluar dari hidungnya Nadhira.

“Cepat cari pertolongan! adiknya kita harus bawa ke rumah sakit,” usulnya seorang bapak-bapak.

“Astaghfirullah kenapa dengan anak ini?”

“Dia tiba-tiba pingsan dan darah keluar dari hidungnya,” ucapnya seorang ibu-ibu.

“Cepat tolong kami! panggilkan mobil atau ambulan Pak!” Teriaknya Adinda sambil berusaha menyadarkan Nadhira.

"Dek jangan buat kakak takut, ayo bangun kamu dengarkan ucapanku?" Adinda menggosok tangannya Nadhira agar segera sadar.

"Kasihan sekali nasibnya, apa jangan-jangan anak itu menderita penyakit yang mematikan yah?" terka salah seorang ibu-ibu.

"Apa yang terjadi? Kenapa kalian berkerumun?" tanyanya seorang pria yang kemungkinannya adalah seorang guru.

Untungnya salah satu guru yang tanpa sengaja melewati jalan itu dan melihat salah satu siswanya yang membutuhkan pertolongannya.

“Bawa masuk ke mobilku! Dia ini murid saya, Bapak-bapak!” Perintah Pak Guru itu.

Berselang beberapa menit kemudian…

“Dek bertahanlah, kamu pasti segera sembuh,” lirihnya Adinda yang ketakutan melihat kondisinya Nadhira karena darah dari hidungnya semakin banyak.

“Tenanglah Dek, adiknya pasti akan sembuh. Tapi, coba hubungi kedua orang tua kalian untuk secepatnya datang ke sini,” pintanya suster itu.

“Saya bukan kakaknya Sus saya hanya temannya saja, rumahnya saja saya tidak tahu dimana,” jawabnya Nadhira apa adanya.

“Saya gurunya Sus, saya yang akan menghubungi kedua orang tuanya,” sahutnya seorang pria yang berpakaian ASN.

“Baiklah, tolong segera ditelpon karena kami butuh persetujuan wali pasien untuk menanganinya,”

“Baik Suster,”

Adinda duduk di salah satu kursi tunggu, dia mengusap wajahnya dengan gusar karena dia khawatir dengan kondisi Nadhira disisi lain dia juga m mencemaskan kondisi ibunya.

“Aku sebaiknya menemui Ibu dulu untuk melihat apa Tante Mayang sudah datang,” gumamnya.

Dia berjalan ke arah pria yang mengaku sebagai gurunya Nadhira.

“Pak, saya titip Nadhira yah soalnya saya harus pulang karena ibuku juga sedang sakit,” ucapnya Adinda.

“Oh iya Dek, makasih banyak kamu sudah berbaik hati menolong siswa kami,”

“Sama-sama Pak, assalamualaikum,” pamitnya Adinda.

Adinda yang tidak memiliki ponsel kesulitan untuk menghubungi tantenya karena, ketika ibunya butuh obat dia terpaksa menggadai ponselnya demi kesehatan dan kesembuhan ibunya.

Adinda berjalan cepat ke arah bagian paling belakang rumah sakit. Untungnya rumah sakit yang didatanginya adalah RS tempat ibunya dirawat.

“Semoga Tante Mayang sudah datang, kasihan Ibu kalau hanya sendirian dan tidak orang menjaganya,” gumamnya.

Adinda menenteng tas jualannya, untungnya tersisa sedikit jadi tidak membuatnya kerepotan untuk mengangkat dan menentengnya kemanapun dia pergi.

Adinda melangkahkan kakinya ketika melihat kondisi kamar bangsal ibunya yang nampak ramai padahal pagi tadi, hanya ibunya yang dirawat di dalam kamar itu.

“Apa yang terjadi, kenapa banyak banget orang-orang yang keluar masuk?” cicitnya.

Adinda mempercepat langkahnya yang tadi berhenti sejenak, rasa takut dan khawatir mulai bermunculan dibenaknya.

“Bismillahirrahmanirrahim semoga ibu baik-baik saja, mungkin ada pasien baru yang dirawat di bangsal yang sama dengan ibu,” gumamnya yang masih berfikir positif.

Adinda berjalan cepat ke arah dalam dan betapa terkejutnya melihat kondisi ibunya yang sudah ditutupi kain putih.

“Tidak!! Ibu jangan tinggalkan Adinda!” Teriaknya Adinda yang berhamburan memeluk tubuh dingin ibunya yang sudah tidak bernafas lagi.

Adinda meraung histeris melihat orang satu-satunya yang dimilikinya di dunia ini telah terbujur kaku. Sedangkan satupun tidak memiliki sanak saudara yang tinggal di daerahnya itu.

“Ibu, kenapa ibu tega banget meninggalkan Adinda seorang diri. Katanya Ibu akan selalu bersamaku tidak akan meninggalkan Adinda,” ratapnya Adinda.

Bu Mayang sebagai tetangganya yang selama ini selalu membantunya menjaga ibunya tak sanggup melihat kesedihan dan kerapuhan Adinda.

“Nak, ikhlaskan Ibumu, jangan seperti ini kasihan beliau jika kamu harus menangis meraung dan meratapi kepergiannya. Ibumu sudah tenang dan tidak perlu merasakan kesakitan lagi,” bujuk Bu Mayang sambil memeluk tubuh Adinda yang terus menangis histeris.

“Tante, tadi pagi ibu masih baik-baik saja, aku suapin bubur dan tersenyum manis padaku, katanya dia tidak akan meninggalkan Adinda seorang diri tapi buktinya ibuk begitu tega meninggalkanku,” Adinda tak henti-hentinya menangis.

“Allah SWT lebih menyayangi ibumu Nak, dia sudah tenang jangan bebani kepergian ibumu ke alam sana dengan terus kamu ratapi kepergiannya yang sudah menjadi ketentuan Allah SWT,”

“Innalillahi wa Inna ilaihi raji'un,” ucapan itu terucap dari semua orang yang mengetahui kabar duka berpulangnya ke Rahmatullah Bu Mariana di usianya yang ke 55 tahun.

Sore harinya…

Segala prosesi pemakaman ibu Mariana telah dilaksanakan baik dari pemulangan jenazah ke rumah duka, dimandikan, dikafani dan disholatkan sudah dilaksanakan.

Para tetangga bahu membahu membantu semua proses pemakaman Bu Mariana wanita paruh baya yang terkenal baik hati itu dengan sukarela.

Adinda bersimpuh di hadapan pusara makam ibunya yang tanahnya masih basah. Adinda menabur bunga ke atas pusara yang nisannya bertuliskan nama Mariana binti Zubair.

“Ibu, maafin Adinda belum bisa membalas kebaikan ibu yang telah melahirkan dan membesarkan Adinda, maafin Adinda karena gara-gara Adinda lah yang tidak sanggup belikan obatnya Ibu sehingga ibu harus meninggal dunia,” sesalnya yang selalu menyalahkan dirinya sendiri.

“Nak ayo kita pulang sudah mau masuk waktu magrib,” ajaknya Bu Mayang.

“Kakak yang sabar yah, masih ada Lutfi, bebek sama ayam jagonya kakak,” ucapnya Lutfi anak kecil yang menjadi temannya.

Adinda mengusap wajahnya dengan kasar sambil bangkit dari posisi duduknya. Keduanya pulang meninggalkan pemakaman umum yang tidak jauh letaknya dari rumahnya.

Adinda menatap sendu ke makam ibunya,” ibu maafkan anakmu ini yang belum sanggup berbakti. Makasih banyak atas pengorbanan yang telah kamu lakukan demi Adinda bisa hidup dengan baik dan bisa juga sekolah seperti anak-anak lainnya.”

Acara tahlilan selama tujuh hari terus diadakan di rumah duka sederhana milik Bu Mariana seorang janda yang ditinggal pergi oleh suaminya tanpa kabar apapun hingga dia meninggal dunia pun suaminya tak pernah kembali lagi.

Dua minggu kemudian…

Bu Mayang berteriak sambil berlari ke arah pekarangan belakang rumahnya Adinda.

“Nak Adinda kamu di mana?” Teriak lantang Bu Mayang sambil mengangkat ujung dasternya yang menghalangi pergerakannya.

Adinda yang sedang berada di atas pohon sedang memetik buah mangga terkejut dengan suara khas cempreng milik tetangga rasa ibunya itu.

“Ada apa Tante, kenapa meski teriak-teriak segala!?” Kesalnya Adinda karena hampir saja terjatuh gara-gara terkejut.

Bu Mayang reflek mengarahkan pandangannya ke atas pohon mangga besar yang berbuah lebat itu.

“Itu di depan ada seorang polisi yang mencari kamu,” jawabnya Bu Mayang.

Saking kagetnya hampir saja tangannya yang berpijak pada dahan pohon terlepas, untungnya dia cepat bergerak untuk berpegangan sehingga masih terselamatkan.

Kedua kelopak matanya melebar mendengar perkataan dari Bu Mayang,” apa! Polisi! Kenapa bisa ada polisi? Saya tidak melakukan kesalahan apapun apalagi kejahatan Tante.”

Bu Mayang mendongak ke atas melihat Adinda yang bergelantungan seperti seekor kera sakti saja, “Tidak perlu banyak bicara lagi! Cepatlah turun daripada kamu di atas terus pasti penasaran juga, jadi cepatlah nanti dilanjutkan metik mangganya lagian Pak Kadir belum pulang untuk mengambil manggamu!”

Adinda pun menuruti perintah dari Bu Mayang dan berjalan ke arah depan rumahnya setelah membersihkan tubuhnya dan menepuk-nepuk tangannya yang sedikit terkena debu.

Adinda kembali dibuat panas dingin melihat seorang Pria berpakaian polisi membelakanginya.

“Ya Allah seumur-umur baru kali ini ada polisi yang mendatangi rumahku yang kecil ini,” gumamnya Adinda.

“Maaf Pak, ini gadis yang bapak cari,” ucapnya Bu Mayang.

“Lah kenapa Bapak mencari saya? Saya tidak pernah melakukan kesalahan apalagi kejahatan Pak,” protes Adinda.

Pria yang berpakaian seragam itu berbalik badan dan tatapan matanya langsung menatap tajam ke arah Adinda.

Sedangkan Adinda malah tertunduk karena takut dan tidak nyaman ditatap seperti seorang tersangka maling ayam saja.

Orang-orang yang kebetulan melewati rumahnya Adinda berhenti karena melihat ada mobil polisi yang berhenti tepat di jalan masuk rumahnya Adinda. Bahkan tetangga satu RT sudah berkumpul di sekitar pagar kayu rumahnya Adinda.

“Apa kamu yang namanya Adinda Aisyah Zakirah?”

Adinda mengangguk lemah karena masih shock melihat polisi itu,” iya Pak Saya Adinda. Maaf ada apa yah?” Tangannya sampai tremor saling berpegangan dengan tangan satunya.

“Silahkan Kamu ikut saya! Karena kamu harus menjelaskan apa yang sudah kamu lakukan!" ucapnya polisi itu tanpa senyuman.

“Sa-ya ti-dak bersalah Pak,” cicitnya Adinda.

“Jelaskan semuanya setelah kita sampai! yang jelasnya kamu tetap ikut saya!” tegas pria yang masih muda tapi penuh kharisma itu.

Adinda pun menyerah dan pasrah,” Tante aku titip rumahku yah, buah mangga yang ku petik tolong di jual."

Seolah itu adalah pesan terakhirnya karena akan di penjara. Adinda sedih sekaligus bingung dengan kejadian yang sedang terjadi.

“Pak Adinda bukan seorang kriminal kenapa meski ditangkap?”

“Dia itu anak yatim piatu Pak, tolong kasihani Adinda,”

“Astaghfirullahaladzim Adinda itu anak yang baik Pak jadi tidak mungkin melakukan kesalahan,"

Satu persatu para tetangga membujuk polisi itu untuk tidak membawa Adinda pergi. Tapi, semua ucapan mereka tak ada yang digubris oleh polisi itu.

"Maafkan aku yah bapak-bapak ibu-ibu kalau selama ini aku sudah banyak salah, sudah seringkali merepotkan kalian," ucapnya sendu Adinda sebelum naik ke mobil.

Lutfi sampai mengejar mobil polisi itu hingga dia terjatuh ke atas aspal.

"Kakak Adinda! Pak polisi tolong jangan bawa pergi kakakku Pak!"

Bab. 3

Adinda dibawah oleh seorang pria berseragam polisi. Meskipun Adinda dan orang-orang menjelaskan dan meyakinkan Pak polisi itu, tapi tidak ada yang mampu membuat polisi itu berubah pikiran.

“Adinda malang sekali nasibmu Nak, baru seminggu yang lalu ibumu meninggal dunia, sekarang kamu malah ditangkap,” ratap Bu Mayang.

“Mama kasihan kakak Adinda, kalau di penjara siapa yang memetik buah mangga dan memelihara ayam-ayam dan bebeknya,” sahut anaknya Bu Mayang yang bernama Luthfi.

Bu Mayang memeluk tubuh anaknya sambil terus memandangi kepergian Adinda bersama dengan seorang polisi.

“Kita tidak punya kekuatan untuk membantu Adinda, Nak. Kita semua di kampung sini hanya orang miskin. Perbanyak berdoa saja semoga terjadi keajaiban dan Adinda dibebaskan,” ucap Pak Badrul suaminya Bu Mayang.

Sedangkan di dalam mobil…

Adinda memperhatikan arah jalan raya yang dilaluinya,” Pak, kenapa saya ditangkap? Saya bukan penjahat, saya bukan penipu! Bukan koruptor juga, saya hanya memetik buah mangga milik almarhumah ibuku, Pak!”

“Kamu diamlah! Kamu akan mengetahui apa yang akan terjadi padamu kalau kita sudah sampai!” Pak polisi itu sedikit membentak Adinda.

Adinda yang kaget akhirnya malah tidak bisa diam.” Eh bapak! Jangan bentak-bentak gitu dong Pak! Saya ini bukan kriminal! Bapak ganteng-ganteng tapi suka marah-marah gantengnya entar berkurang loh.” cerocos Adinda.

Pria itu mendelikkan matanya mendengar ucapan gadis remaja itu.

"Kamu gadis yang sungguh merepotkan! Padahal duduk diam anteng-anteng dan mingkem itu lebih baik daripada nyerocos sana sini gak jelas!" sarkas polisi muda itu.

Polisi itu geleng-geleng kepala memindai penampilan Adinda, “Sungguh ini sudah di luar nurul! Bisa-bisanya Abang Baruna akan menikahi gadis bau kencur ini!” Monolognya.

Adinda memperhatikan jalan yang dilaluinya, keningnya berkerut melihat jalan tersebut.

“Pak polisi bukannya jalan yang kita lewati ini adalah jalan ke rumah sakit yah bukan ke kantor Polsek?” Tanyanya Adinda yang keheranan.

“Saya sudah bilang padamu dari sejak awal tidak perlu banyak bicara! Kamu cukup diam dan tenang saja! Kamu jadi gadis terlalu cerewet!” protes Pak polisi.

“Astaga dragon! Apa sebagian besar pria ganteng yang itu rada-rada galak dan sentimen yah?” gumamnya Adinda.

“Mulut kamu itu kayak petasan tahun baru Imlek saja! meletup-letup ga mau berhenti!” ketus Polisi itu.

“Itu gunanya ada mulut Pak Polisi! Kalau cuma dipake makan doang rugi kayaknya,” bantah Adinda.

Mobil itu pun berhenti ketika mereka sudah sampai di tujuan yaitu salah satu rumah sakit terbaik di kotanya.

“Sudah jangan banyak bacok! Turunlah Kita sudah sampai,” perintahnya yang tidak peduli lagi dengan apa yang dikatakan oleh Adinda.

Pak polisi itu segera mematikan mesin mobilnya kemudian berjalan lebih duluan meninggalkan Adinda yang masih kebingungan dengan situasi yang dihadapinya.

Adinda yang sempat membaca name tag polisi itu berteriak,” Hey Pak Bismha tunggu!”

Pak polisi yang dipanggil Pak Bisma itu terus melangkahkan kaki jenjangnya ke arah koridor rumah sakit bahkan sesekali berlari kecil. Sedangkan Adinda berlari cepat agar tidak ketinggalan karena dia takut kesasar tapi karena kemampuan mereka jauh berbeda sehingga Adinda tetap ketinggalan di belakang.

“Makanya kalau jalan itu jangan lelet kayak keong saja! Bahkan keong lebih cepat dari kamu!” ejek Bisma.

Adinda mendongak karena tubuh Bisma begitu jangkung dan tinggi, “Bukan saya yang jalannya kayak keong racun, tapi Bapak saja yang jalannya kecepatan! Bukan jalan lagi tapi orang yang berlari!” kilahnya Adinda.

Nafasnya Adinda ngos-ngosan mengejar Bisma yang cukup lebar dan cepat. Dia berpegangan pada tembok sebelum masuk ke dalam lift.

“Astagfirullah mentang-mentang seorang polisi jadi jalannya cepat amat sampai-sampai nafasku seperti kehabisan stoknya,” protes Adinda.

“Buruan! Pintu liftnya bakal tertutup!”

"Tunggu! Bapak bisa bedakan gak berjalan dengan orang lari!? bapak itu bukan berjalan biasa tapi sudah berlari!" ketusnya Adinda.

Adinda kembali berlari untungnya dia cepat sehingga masih sanggup masuk ke dalam lift dengan selamat.

“Alhamdulillah,” lirih Adinda.

“Kamu sepertinya belum makan, iya kan?” Bisma menatap jengah ke arah Adinda yang masih mengatur nafasnya.

“Kok tau Pak, apa Bapak seorang cenayang yah?” tebaknya Adinda.

Bisma menyentil dahinya Adinda, “Cenayang kepala loh! Kamu itu kalau sudah makan pasti punya tenaga lebih untuk berlari, buktinya aku hanya jalan kaki kamu sudah mengeluh!” kesalnya Bisma.

Adinda terkekeh,” sejujurnya belum sempat sarapan Pak, soalnya metik buah mangga dulu.”

Keduanya kembali berjalan ke arah luar setelah pintu lift terbuka, mereka kembali menyusuri koridor rumah sakit.

Bisma membuka pintu perawatan VIP di rumah sakit itu, Adinda mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan mewah rumah sakit yang seumur-umur baru kali ini dia datangi.

“Masya Allah cantiknya, ini kamar perawatan orang sakit apa kamar hotel bintang lima sih,” gumamnya Adinda yang mengagumi kemewahan kamar inap itu.

Bisma berdecih,” dasar kampungan!” sarkasnya Bisma.

“Wajarlah saya kampungan Pak, saya kan memang asalnya dari kampung,” balasnya Adinda.

Seorang pria yang berpakaian seragam polisi yang usianya lebih tua sedikit dari Bisma menatap ke arah kedatangan Adinda dan Bhisma.

“Apa kamu yang bernama Adinda Aisyah Zakirah?”

Adinda reflek mengangguk,” benar Om eh Pak. Saya yang bernama Adinda Aisyah Zakirah. A-da yang saya bisa banting ehh bantu maksudnya Om eh Bapak?”

Adinda sampai belepotan berbicara gara-gara kaget sekaligus masih kelelahan sehingga gagal fokus.

Adinda melihat wajahnya saja dia sudah tremor, takut dan nyalinya langsung menciut. Dia terus tertunduk sambil memainkan jari jemarinya.

“Apa kamu temannya Nadhira?”

Adinda langsung mengangkat kepalanya ke arah polisi yang sedari tadi memperhatikannya dengan seksama sejak Adinda memasuki ruangan VIP tersebut.

“Benar Pak, apa yang terjadi kepada Nadhira, apa dia baik-baik saja?” Tanyanya Adinda.

Ia mulai mencemaskan kondisi anak SMA yang beberapa bulan terakhir ini menjadi langganan tetapnya.

Adinda masih berdiri mematung di hadapan Bisma dan seorang polisi yang lebih tua usianya dari Bisma.

“Nadhira adalah putriku dan saat ini dia sedang terbaring lemah karena penyakitnya,” jelas pak polisi itu.

Adinda melebarkan kelopak matanya mendengar kata putriku,” jadi dia bapaknya Nadhira, Masya Allah gantengnya,” gumamnya Adinda reflek menutupi mulutnya karena keceplosan mengagumi ayah dari temannya itu.

Bisma yang mencuri-curi dengar hanya tersenyum smirk melihat ke arah Adinda,” keponakanku satu ini kenapa meminta papanya menikah dengan bocah! Usia mereka juga hanya berbeda dua tahun. Anak dan Mama sambungnya seumuran kalau gini,” batinnya Bisma sambil memainkan ponselnya.

“Nadhira yang memintamu datang ke sini, karena putriku tidak mau minum obat dan dioperasi kalau tidak bertemu denganmu,” jelasnya lagi yang masih duduk dengan nyaman di salah satu sofa.

“Maafkan saya Pak, minggu lalu saya tidak bisa lama-lama menunggui Nadhira soalnya ibu saya meninggal dunia,” lirih Adinda.

Pak polisi itu memindai penampilan Adinda yang hari itu hanya memakai celana panjang bahan kulot, baju kaos oversize dan sandal jepit sejuta umat.

“Innalilahi wa Inna ilaihi raji'un, saya turut berbelasungkawa atas meninggalnya ibu kamu,”

Adinda kembali tertunduk ketika selesai berbicara karena sungguh baru kali ini bertemu dengan pria yang membuatnya panas dingin ketakutan dan tidak percaya diri untuk berbicara.

“Makasih banyak Pak, ngomong-ngomong Nadhira dimana Om eh Pak?” Adinda menepuk pelan mulutnya yang sering salah ucap karena takut melihat wajah garang tapi sayangnya ganteng yang dimiliki oleh papanya Nadhira.

“Dia masih tertidur karena barusan dia mendapatkan suntikan dan saya memanggil kamu ke sini karena ada hal penting yang ingin saya bicarakan,” ucapnya papanya Nadhira kemudian melirik ke arah Bisma adiknya itu.

Bisma yang dilirik mengerti arti tatapan kakak sulungnya kemudian langsung berjalan ke arah keluar sambil bersiul. L

“Kalau bapak butuh sesuatu saya ada di depan! Saya permisi kalau begitu, Pak Baruna," ucapnya Bisma.

Pria yang dipanggil Baruna itu mengangguk sambil tersenyum tipis.

Setelah pintu tertutup rapat Baruna meminta Adinda untuk duduk. “Duduklah sedari tadi kamu berdiri terus,.apa kamu tidak kelelahan," pintanya.

“Makasih banyak Om,” Adinda kemudian segera duduk yang agak jauh dari posisi Baruna.

Baruna pun menjelaskan maksudnya kenapa Adinda dibawa ke RS itu. Baruna menjelaskan secara detail keinginan putri tunggalnya itu.

“Nadhira tidak ingin menjalani pengobatan sebelum kita menikah, jadi saya meminta kepadamu untuk meyakinkan putriku kalau kita akan menikah setelah Nadhira di operasi," Baruna menjeda ucapannya sejenak.

Adinda menunggu dengan sabar apa lagi yang akan dikatakan oleh calon suami dadakannya itu.

"Saya berharap padamu untuk meyakinkan putriku untuk secepatnya dioperasi karena hanya kamu yang bisa membujuknya dan memintanya untuk dioperasi,” imbuhnya Baruna.

“A-pa sa-ya eh ki-ta harus menikah Om?” Tanyanya Adinda yang merasa pendengarannya kali ini bermasalah.

Adinda kembali memainkan ujung hijabnya yang sudah nampak lusuh itu. Dia tidak menyangka ternyata permintaan Nadhira tempo hari adalah benar-benar nyata dan bakalan jadi kenyataan bukan lelucon seperti dugaannya.

“Apa tidak ada jalan lain selain menikah?” Cicitnya Adinda yang sungguh dalam keadaan yang sulit.

“Saya akan menikahimu satu bulan dari sekarang, saya tidak menerima penolakan karena di tanganmu lah kehidupan anakku dipertaruhkan jadi saya tunggu keputusanmu paling lambat besok pagi jam 9,”

“Ya Allah masa aku harus menikahi pria tua ini! Ganteng sih iya, kaya sudah pasti, tapi kami itu berbeda jauh aku baru 19 tahun sedangkan Om Baruna sudah 40 tahun. Bisa-bisa orang-orang bilang kalau aku menikahi om-om lagi,” monolognya Adinda.

Adinda dalam posisi yang terjepit, maju kena mundur kena. Hidupnya seperti dalam drama Korea yang sering ditontonnya saja. Hidupnya berubah seperti rollcoster saja.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!