Siulan kereta berbunyi beberapa kali, menandakan semua penumpang sudah sepenuhnya selesai dalam turun ataupun naik di stasiun ini. Perlahan kereta mulai berjalan dan berangkat meninggalkan stasiun. Aku pun kembali merebahkan tubuhku pada sandaran bangku kereta ini.
"Ahh gabut banget berangkat jam segini. Mana sendirian pula gue," desahku sembari menikmati empuknya sandaran bangku.
Mataku memandang dengan jenuh pepohonan dan gedung-gedung yang berlarian di sebalik jendela. Pemandangan yang gelap dan penerangan hanya diisi oleh lampu jalan di setiap sisi rel membuat setiap pemberhentian di stasiun terasa sangat membosankan. Aku bahkan sudah tidak mood lagi untuk bermain dengan ponselku.
Aku kembali terlarut dalam lamunanku dan mencoba membunuh waktu dengan tidur. Bintang-bintang yang berterbangan laksana titik putih dilangit seakan menghipnotis kedua mataku dan tanpa sadar mataku mulai terpejam.
...****************...
Aku merasakan sedikit guncangan hingga membuat tidurku tidak nyaman. Aku perlahan membuka mataku dan cahaya putih yang pudar dengan lembut menyapa mataku. Aku dengan malas melihat ke sekeliling untuk mencari tahu sebab apa guncangan yang barusan aku rasakan. Aku mengintip bangku penumpang yang lain untuk melihat apa yang sedang mereka lakukan.
"Mereka gak ngerasain gempa apa gimana yak? Lelap banget tidurnya?" gumamku sendirian.
Aku benar-benar sendirian sekarang. Sendirian dalam arti tak ada kawan yang duduk di sampingku, dan sendirian yang mungkin masih terjaga untuk sekarang ini. Mungkin masih ada masinis yang terjaga untuk menjalankan laju kereta, tetapi aku yang berada di gerbong ke-3 dari ke-7 gerbong. Sangat jauh dari sang masinis.
Aku kembali duduk ke bangkuku dan kembali menikmati perjalanan. Untuk saat ini, diluar sudah sepenuhnya gelap tanpa ada penerangan apapun. Hanya lampu dari dalam gerbongku saja yang bersinar menerangi keadaan diluar sana. Tetapi keadaan diluar masih belum cukup untuk dapat terlihat oleh mataku. Hanya bayang-bayang hitam yang berlarian saja yang terlihat diluar sana.
Tiba-tiba aku kembali merasakan getaran yang tidak biasa diikuti oleh kecepatan kereta yang menurutku sedikit lebih lambat dari sebelumnya.
"Apa cuman perasaanku saja ya?" gumamku sembari menempelkan wajahku kepada jendela kereta.
Aku bahkan tidak bisa melihat keluar ada dimana aku sekarang ini sebab gelapnya malam. Aku terus memandangi pohon -pohon yang masih berlarian. Disela lamunanku, aku samar-samar mendengar suara ledakan kecil dari arah lokomotif hingga membuatku sedikit tersentak.
Aku berdecak dan memutuskan untuk bergegas menuju kepada sang masinis bahwa terdapat beberapa kejadian yang mencurigakan. Langkah kakiku berderap sedikit lebih cepat hingga beberapa penumpang terbangun karenanya. Aku terus berjalan dari gerbong 3 menuju ke tempat sang masinis.
Saat aku masih fokus melangkah menuju ke gerbong depan, terdengar suara ledakan yang lebih keras dari sebelumnya membuat kereta sedikit berguncang. Aku hampir terjatuh tetapi dengan reflek tanganku mencengkram bangku penumpang dan masih bisa menjaga keseimbanganku.
"Ada yang tidak beres," gumamku sembari mempercepat langkahku.
Aku menyebrang dari gerbong 3 ke gerbong 2. Suasana disini sangat hening. Bahkan suara kereta yang melaju hampir tak terdengar olehku. Aku berdiam diri sejenak di koridor penghubung antar gerbong dan melihat melalui jendela kecil disana. Sepertinya kereta perlahan-lahan memang semakin melambat. Aku pun membuka pintu gerbong kedua sembari mempercepat langkahku.
Sesaat setelah aku memasuki gerbong kedua, guncangan hebat diiringi suara berdecit nyaring kembali mengganggu keseimbanganku. Aku pun langsung jatuh terguling karenanya dan terjatuh ke salah satu bangku penumpang.
Guncangan hebat tersebut seketika membangunkan seluruh penumpang yang sudah terlelap. Suara berdecit nyaring terus berbunyi dan kondisi gerbong lambat laun semakin miring seakan-akan akan terguling untuk kedepannya.
Tanganku berusaha untuk mencari pegangan di sekelilingku agar aku tidak terjatuh ke lantai yang dingin. Tanganku mencengkram sandaran bangku salah satu penumpang.
"Sial! Pasti terjadi kerusakan di ruang kemudinya," gigiku bergemeretak menahan emosi atas kejadian yang kualami saat ini. Niat hati menaiki sebuah kereta malam agar terhindar dari kemacetan dan kebisingan lalu lintas, malah harus mengalami situasi yang tidak mengenakan.
Suara berdecit masih terus berbunyi nyaring dan perlahan gerbong mulai miring seakan-akan akan keluar dari jalur rel nya. Beberapa penumpang mulai menjerit panik semakin menambah ketegangan di dalam gerbong. Aku berusaha untuk berjalan kearah lokomotif walau kondisi gerbong setidaknya sudah miring kira-kira sebesar 30° sekarang.
Tubuhku terombang-ambing di dalam gerbong hingga membuatku terjerembab untuk beberapa kali. Aku masih terus berusaha berjalan dengan terhuyung-huyung menuju kabin masinis untuk memberitahukan kondisi kami saat ini yang sangat mencekam. Aku melihat dari luar jendela bahkan sudah terlihat beberapa bintang dengan sinar sang rembulan yang bersinar pudar di langit malam.
"Aneh sekali. Padahal kan sekarang seharusnya sudah jam 12, kenapa bulan masih berada di ufuk timur?" gumamku yang seketika langsung menyadarkanku.
"Sial! Kita sudah sepenuhnya miring sekarang!" teriakku hingga suaraku menggema ke penjuru gerbong.
Kembali terdengar suara ledakan yang kali ini lebih keras dari sebelumnya hingga membuat kereta keluar dari jalur relnya. Aku kembali terombang-ambing di dalam gerbong dan tubuhku terhempas ke seluruh dinding kereta.
Suara decitan semakin berbunyi nyaring diikuti suara gesekan tanah yang menyentuh roda semakin membuatku cemas. Aku berusaha untuk berpegangan pada apapun yang bisa menahan tubuhku yang masih terbanting kesana-kemari layaknya sebuah dadu yang dikocok di dalam gelas plastik.
Beberapa menit kejadian itu berlangsung, akhirnya kereta sudah sepenuhnya melambat dan kembali ke posisinya semula. Guncangan perlahan juga mulai reda dan aku mulai bisa menyeimbangkan tubuhku kembali pada lantai kereta. Perlahan-lahan kereta mulai berhenti dan akhirnya kereta sudah sepenuhnya berhenti.
Aku memandangi sekelilingku dan melihat kondisi seluruh penumpang dalam kondisi yang cukup mengerikan. Beberapa orang mengalami luka lebam dan beberapa mengalami luka gores sebab gesekan dengan benda tajam di seluruh ruangan.
Aku menghela napas lega dan dengan lemah berusaha untuk bangkit dari dudukku. Tiba-tiba pintu keluar gerbong terbuka dengan sendirinya. Aku tersentak melihatnya. Aku memutuskan untuk kembali dalam tujuan awalku yaitu pergi ke lokomotif untuk memberitahukan bahwa seluruh penumpang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja.
Gerbong dua sudah kulalui walau dengan terhuyung-huyung. Aku berjalan menuju ke gerbong kelas eksekutif sekarang. Tak diduga, pintu keluar gerbong ini juga sudah terbuka dengan sendirinya. Membuatku sedikit gundah atas apa yang sebenarnya terjadi dengan sang masinis.
Orang-orang di ruangan ini rata-rata mengenakan pakaian formal yang rapi dengan bau wangi yang semerbak memenuhi ruangan. Dengan lampu berwarna emas yang menerangi dan setiap bangku empuk dengan dominasi warna putih itu semakin menambah kesan mewah nan mempesona. Tetapi sekarang sudah hancur berantakan.
Aku tersenyum sinis melihat para konglomerat itu merintih kesakitan sebab guncangan sebelumnya seakan-akan dendam yang tersimpan di dalam lubuk hatiku merasa terbalaskan. Walaupun aku juga masih berjalan tertatih-tatih sekarang.
Kemudian aku berjalan tepat pada pintu masuk ke kabin masinis dan tanganku memegang handle pintu hendak membukanya.
"Ahh sudah kuduga. Pasti aku tidak bisa sembarangan masuk kesana,"
Pintu menuju ke ruang kemudi terkunci. Aku kemudian menempelkan wajahku pada jendela kecil yang menghubungkan antara gerbongku saat ini dengan kabin masinis. Mataku menyapu ke sekeliling dengan harapan aku bisa bertemu dengan orang yang mengemudikan kereta.
Disaat aku masih sibuk mencari-cari keberadaan sang masinis, betapa terkejutnya aku dengan kondisi yang mereka alami.
Mereka terbaring dengan mulut menganga dengan tanpa bola mata yang bersarang di kelopaknya, membuatku merasa nostalgia akan kejadian mengerikan sejak 10 tahun yang lalu.
Betapa terkejutnya aku melihat sang masinis berada dalam kondisi yang sangat mengenaskan. Dengan bola mata yang sudah tidak bersarang di dalam kelopaknya dan dengan mulut menganga membuat sekujur tubuhku bergidik ngeri melihatnya.
Aku langsung jatuh terduduk dan tubuhku seketika bergetar hebat teringat akan kejadian traumatis yang pernah menimpaku saat aku masih remaja dahulu. Aku bahkan tak mampu lagi untuk berkata-kata dan mataku terpaku kepada jendela kecil yang menghubungkan ke kabin masinis.
Tubuhku terasa membeku dan keringat dingin perlahan membasahi pelipisku. Jantungku berdegup tak karuan. Mataku perlahan melihat sekitar untuk memastikan bahwa sosok yang tidak ingin aku harapkan datang mengunjungiku.
Kegelapan malam masih menyelimuti diluar sana. Pemandangan dari setiap jendela di seluruh lorong masih dihiasi oleh malam yang pekat. Bahkan cahaya emas yang berasal dari lampu gerbong eksekutif masih belum mampu untuk menyinari bayangan diluar sana. Pintu keluar yang gelap dengan angin yang membelai masuk semakin menambah hawa dingin yang mencekam.
Aku perlahan menguatkan jiwaku dan bangkit dari dudukku. Aku berdiri walau sekujur tubuhku masih bergetar sebab rasa takut dan perasaan traumatis masih terngiang-ngiang di kepalaku.
"B-bagaimana cara masuk ke ruang lokomotif yang terkunci?" suaraku bergetar memecah keheningan ruangan. Para konglomerat yang masih meringis kesakitan menatap sinis kearahku.
"Apa masalahmu?" tanya seorang pria dengan perut sedikit buncit yang masih terbaring sembari memegangi perutnya.
"Kita sebisa mungkin harus mematikan seluruh lampunya agar sesuatu yang tidak kita inginkan datang menghampiri kita," jawabku sembari napasku yang masih tersengal-sengal.
"Disaat kami semua menderita seperti ini, kau lebih memilih untuk mematikan lampu seluruh gerbong? Kau gila!" umpat seorang perempuan dengan dengan dress putih dan jam tangan perak yang melingkar di pergelangannya.
"Tunjukkan saja caranya agar kalian semua bisa selamat!" gertakku kepada para konglomerat yang terlihat masih kesakitan itu.
"Kenapa kami harus menuruti perkataanmu, Sialan!" sahut seorang eksekutif muda dengan setelan jas dan celana hitam yang licin.
Beberapa umpatan dan cacian mulai terdengar saling bersahutan menolak permintaanku yang sederhana ini. Aku tak menyangka, mereka sangat kompak menghinaku hingga seperti itu layaknya setiap perkataan mereka sudah tertulis di dalam naskah sebelumnya.
"Apakah kau seorang anak presiden hah? Jadi kau bisa seenaknya mengatur kami?" ucap seorang pria paruh baya dengan jaket kulit yang terlihat sangat mahal.
"Ohh mungkin aku bisa mengatakan, kalau kau sebenarnya hanya orang biasa yang sok jago dan ingin menjadi pahlawan kemudian berpikir bahwa kami akan menyanjungmu setelahnya?" sambung seorang wanita dengan jaket merah darah di sebelahnya diiringi suara tawa yang terdengar merendahkan keluar dari mulutnya.
Para konglomerat itu kemudian saling tertawa atas tindakan provokatif wanita itu dengan tawa yang seakan meremehkanku. Aku yang geram dengan seluruh tingkahnya, aku pun menodongkan pistol yang senantiasa aku bawa dalam tas ranselku.
"Aku akan membungkam mulut kalian dengan ini," ucapku dengan tatapan tajam dan memandangi wajah mereka satu persatu. Mereka kemudian terkejut dan seketika ruangan kembali hening.
"Hohoho tuan? S-sebaiknya kau tidak bermain-main dengan benda itu!" pinta seorang pria paruh baya dengan jaket kulit sembari mengangkat kedua tangannya.
"Kalian semua ingin selamat tidak?! Jika ingin selamat, maka turuti perintahku. Aku tidak ingin mengambil semua uang kalian. Aku hanya ingin tahu bagaimana cara membuka pintu yang menuju ke ruangan lokomotif saja untuk mematikan lampu seluruh gerbong sembari menunggu bantuan. Tetapi tingkah laku kalian semua membuatku jijik bahkan aku ingin sekali meludah ke wajah kalian semua satu persatu," ucapku dengan tatapan penuh intimidasi kepada mereka.
Suasana pun menjadi hening. Mereka saling menatap satu lain dan tak ada lagi yang sembarangan untuk mengucap kata. Aku masih menodongkan pistolku itu kearah mereka semua yang sudah diselimuti oleh ketegangan yang aku ciptakan. Tiba-tiba seorang pria dengan kacamata bulat dan rambut yang sedikit klimis bangkit dari duduknya dan dengan suara lirih berbicara,
"Izinkan aku untuk membantumu. Aku seorang insinyur, sepertinya aku bisa menyelesaikan masalahmu,"
"Kau bisa?" tanyaku sedikit ragu.
"Aku harap aku bisa. Sepertinya aku sedikit tahu beberapa hal tentang kereta api. Yah walaupun aku bukanlah seorang masinis," sambungnya dengan suara bergetar. Aku pun mengendurkan pistolku darinya dan berjalan menghampirinya.
"Baiklah. Pertama-tama, bagaimana cara membuka pintu untuk menuju ke ruangan masinis sekarang?" tanyaku sembari memasang wajah sedikit curiga terhadapnya.
"Untuk membuka pintu ruangan masinis yang dikunci dari dalam tidak bisa, Pak. Dengan dilengkapi sistem keamanan yang canggih, dia hanya bisa dibuka dari dalam saja. Tidak bisa sembarangan dibuka bahkan dengan cara didobrak sekalipun," jawabnya.
"Lalu?" ucapku sembari mengangkat salah satu alisku.
"M-mungkin kita bisa memecahkan kaca depannya dan.. dan kita bisa memanjat masuk ke dalam ruangan, Pak," ucapnya dengan suara bergetar. Aku pun mengangguk dan mengajaknya untuk berjalan keluar dari gerbong. Dia dengan tertatih-tatih mengikutiku dari belakang.
Aku sedikit terkejut dengan tindakan cepat yang dilakukan oleh sang masinis sebelumnya. Dia dengan refleks cepat langsung menekan tombol ataupun tuas untuk membuka seluruh pintu keluar setiap gerbong. Dengan begitu, kami tidak serta-merta terjebak di dalam kereta dan hanya berpangku tangan saja menunggu bantuan.
Sesaat setelah aku keluar dari kereta, aroma khas dari hutan langsung tercium olehku. Hawa dingin sebab rimbunnya daun menyentuh kulitku dan menggoyangkan rambut ikalku. Bayangan pepohonan yang tinggi laksana tangan-tangan hantu yang seakan ingin meraih cakrawala. Aku berjalan dengan perlahan sembari melihat kondisi kereta yang aku tumpangi sebelumnya.
"Sebelumnya suara ledakan berasal dari sini. Tetapi aku belum menemukan kerusakan yang cukup serius sekarang," gumamku sembari memandangi dengan seksama ke seluruh badan kereta.
Aku pun turut memeriksa kondisi roda, piston, dan apapun yang menurutku mengalami kerusakan dikarenakan guncangan dan ledakan yang berturut-turut terjadi sebelumnya. Aku mengeluarkan senter kecilku untuk melihat dengan jelas diantara kegelapan.
"Untuk membuat hubungan kita semakin akrab, apa bisa aku mengetahui namamu, Pak?" ucap insinyur itu yang seketika mengganggu fokusku dalam memperhatikan keadaan kereta ini.
"Namaku Willie," jawabku singkat tanpa mengalihkan pandanganku dari badan kereta.
"Dan pekerjaan anda?" tanyanya lagi.
"Anggap saja aku seorang polisi khusus," aku kembali menjawab pertanyaannya secara singkat.
"Sebuah kehormatan bisa bertemu dengan anda, Pak. Perkenalkan namaku Ir. Hadi Rudyatmo. Aku seorang lulusan terbaik dari...," sebelum dia menyelesaikan ucapannya aku menyela sembari mendengus dingin.
"Yayaya aku tidak peduli atas riwayat pendidikanmu. Asalkan kamu bisa menyelesaikan tugasmu nanti dengan baik," aku pun mempercepat langkahku.
Kami pun sampai di depan moncong lokomotif. Cahaya lampu depan yang berwarna putih menyorot sampai jauh menyilaukan mataku. Aku sedikit kesulitan dalam melangkah hingga kakiku tersandung rel dan hampir terjatuh karenanya. Aku pun mengeluarkan kembali pistolku untuk memecahkan kaca jendela itu.
"Agak mundur sebentar!" perintahku
Kaca pun pecah dan beberapa serpihan kaca berhamburan dari sana. Aku menembak kaca itu beberapa kali untuk membuat lubang yang sekiranya muat untuk insinyur itu memasukinya.
"Ayo segera naik ke punggungku dan segera masuk ke ruangan masinis," ucapku sembari menutupi wajahku sebab silaunya lampu. Tak lupa aku juga melepas jaket tebalku sebagai bantalan agar kaki ataupun tubuhnya tak tergores sebab runcingnya kaca yang tersisa.
"Baik, Pak. Saya mohon izin untuk melakukannya," jawabnya.
Aku kemudian merendahkan tubuhku dan dia melepas sepatu pantofel yang ia kenakan. Aku sedikit simpati terhadap tingkah lakunya. Tak seperti para konglomerat sebelumnya yang malah mencaci dan menghinaku.
Dia pun segera naik ke pundakku sebab jendela untuk memasuki ruangan cukup tinggi untuk kami raih. Aku sedikit bersusah payah mengangkat tubuh gempalnya itu.
"Baik! Aku sampai!" ucapnya sembari mendengus dan terdengar sedikit kesulitan dalam mengangkat tubuhnya.
"Segera bentangkan jaketku diatas kaca jendela yang pecah agar tanganmu tidak tergores!" ucapku dengan napas yang tersengal-sengal mengangkat beban tubuhnya.
Aku terus berusaha bertahan mengangkatnya. Beberapa kali dia menginjak ubun-ubunku dengan keras entah bagaimana caranya dia mengangkat tubuhnya ke atas sana. Beberapa menit ia mencoba, akhirnya dia berhasil memasuki kabin masinis.
"Cuih dasar babi," umpatku sembari memijat pundakku yang sedikit kaku.
Dia berusaha dengan tubuh gempalnya memanjat dan segera masuk ke dalam lokomotif. Aku menatapnya sinis dan beranjak pergi dari sana. Aku berniat untuk kembali mengecek kondisi badan kereta pada sisi yang lain.
Aku kembali mengeluarkan senter kecilku agar hal-hal yang ada di depanku semakin jelas terlihat. Cahaya putih nan panjang pun tersorot darinya dan memecah bayangan hutan yang gelap.
Aku berjalan di sisi lain kereta. Aku menyoroti dengan senter kecilku apapun yang menurutku mencurigakan. Tanah kering bercampur dedaunan yang jatuh berdecak mengiringi setiap langkahku. Aroma diesel yang kuat dan logam panas menusuk hidungku yang sensitif.
Aku terus mencari dimanakah kerusakan yang membuat kereta ini mengeluarkan suara ledakan yang cukup keras hingga membuat gerbong yang kutempati keluar jalur dan nyaris terguling. Memikirkannya saja membuatku pening sebab semua ini tak masuk akal.
Ketika aku masih menyoroti seluruh badan kereta, pandanganku terpaku pada sebuah bekas penyok yang cukup besar di sisi kiri lokomotif. Benakku terus bertanya-tanya benda apa yang mampu membuat penyok sebesar ini? Penyok yang cukup besar hingga seukuran bekas tabrakan sebuah mobil sedan yang menabrak dengan kecepatan kira-kira 40 km/jam. Aku pun mengelus penyok itu sembari menganalisa apa penyebabnya.
Di gerbong satu juga terdapat bekas goresan besar yang terlukis disana. Aku terus memandanginya dengan seksama. Aku melebarkan cahaya senterku dan menghampiri bekas goresan yang seperti goresan cakar binatang buas itu. Asumsi pertamaku mungkin gerbong ini sempat tergores oleh batang kayu yang mencuat dan menyentuhnya dengan kasar.
Aku kembali berkeliling untuk memeriksa keadaan kereta lebih lanjut. Di gerbong yang lain juga terdapat beberapa bekas goresan sama seperti sebelumnya. Bukan seperti goresan batang kayu atau hasil gesekan dengan tanah, goresan itu memanjang dan teratur layaknya digores oleh cakar binatang yang cukup besar.
"Apa yang sebenarnya terjadi diluar sebelumnya?" gumamku di antara kesunyian malam.
Aku menggosok telapak tanganku sebab dinginnya angin malam mulai merasuk menembus baju. Dedaunan mendesis saling bergesekan dihembus oleh angin malam yang dingin. Cahaya lampu di dalam gerbong menjadi penunjuk arah di setiap langkahku.
Aku sejenak menarik napasku dalam-dalam hingga membuat paru-paruku terasa sejuk oleh angin yang berhembus. Sejenak melepas penat dan merilekskan pikiranku dengan masalah yang tidak logis ini.
Untuk saat ini, mungkin aku akan menghadapi kejadian yang pernah aku alami 10 tahun yang lalu. Ketika sebuah penduduk di suatu daerah mengalami kebutaan secara massal dan berbondong-bondong untuk merebut bola mata dari makhluk hidup lain. Seperti seekor hyena yang berebut untuk memakan mangsa yang tidak berdaya.
Aku menatap langit dan kembali menguatkan jiwaku. Aku sudah berkembang lebih baik daripada 10 tahun yang lalu. Sekarang aku sudah lebih kuat dan lebih matang dalam mengambil sebuah keputusan.
Seseorang telah mengajarkanku apa itu arti dari pengorbanan dan cinta sejati. Cinta yang mampu menggerakkan jiwa dan bahkan mampu untuk menghadapi kematian demi seseorang yang dia sebut sebagai keluarga. Cinta yang membuatnya menjadi seorang pria yang kuat walau dirinya masih banyak kekurangan.
Seorang pria yang sangat mencintai keluarganya terutama terhadap adik perempuannya. Membuatnya harus menjadi pahlawan demi menyelamatkan teman-temannya. Sosok pria yang ku kagumi dan akan selalu ku jadikan panutan walau aku benci mengakuinya karena dia lebih muda dariku.
"Ck mengingatnya saja hampir membuatku tertawa," tak kusadari bulir bening perlahan menetes di pipiku.
Aku meneruskan perjalananku menyusuri tanah yang berbatu. Angin malam kembali berhembus lebih kuat dari sebelumnya. Cahaya rembulan yang bersinar lembut seakan mengusir seluruh bahaya yang bersembunyi dibalik bayangan. Aku kembali mengingat wajah pria itu. Senyumannya yang bodoh seakan terngiang-ngiang di kepalaku. Dan pria itu bernama...
Andra...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!