Almira Dolken tidak pernah menyangka hidupnya akan bersinggungan dengan Abizard Akbar, CEO tampan yang namanya sering muncul di majalah bisnis. Sebagai gadis bertubuh besar, Almira sudah terbiasa dengan tatapan meremehkan dari orang-orang. Ia bekerja sebagai desainer grafis di perusahaan Abizard, meskipun jarang bertemu langsung dengan bos besar itu.
Suatu hari, takdir mempertemukan mereka dengan cara yang tak biasa. Almira, yang baru pulang dari membeli makanan favoritnya, menabrak seorang pria di lobi kantor. Makanan yang ia bawa jatuh berserakan di lantai. Dengan panik, ia membungkuk untuk mengambilnya.
"Aduh, maaf, saya nggak lihat jalan," ucapnya tanpa mendongak.
Suara berat dan dingin terdengar,
"Sepertinya ini bukan pertama kalinya kamu ceroboh."
Almira menegakkan tubuhnya dan terkejut melihat pria di hadapannya—Abizard Akbar.
"Pak… Pak Abizard?" Almira menelan ludah.
Abizard menatapnya dengan ekspresi datar.
"Hati-hati lain kali."
Melihat sikap dingin pria yang menjadi atasannya itupun membuat Almira begitu kesal.Hingga ia melampiaskan kekesalannya pada sahabatnya yaitu Debora.
"Huuu...Dasar pria kulkas!Bukannya mengganti makananku yang jatuh malah pergi begitu saja." kesal Almira.
Debora terkekeh di seberang telepon.
"Al, dia bos kamu. Wajar kalau dia cuek. Lagian, siapa suruh nabrak CEO sendiri?"
Almira mengerucutkan bibirnya meski tak ada yang melihat.
"Ya mana aku tahu kalau dia yang kutabrak? Lagian, dia juga jalan tanpa lihat-lihat."
"Udahlah, yang penting lain kali hati-hati. Terus, kamu mau makan apa sekarang? Kan makananmu jatuh," tanya Debora.
Almira mendesah.
"Ya apalagi? Nasi padang favoritku udah hancur berantakan. Kayaknya takdir nggak berpihak sama aku hari ini."
Baru saja ia hendak melangkah menuju meja kerjanya, tiba-tiba seorang karyawan dari bagian sekretaris mendekatinya.
"Almira Dolken?"
"Iya, saya," jawabnya heran.
"Pak Abizard memanggil Anda ke ruangannya sekarang."
Jantung Almira berdegup kencang. Apa salahku kali ini? Apa dia mau memecatku gara-gara insiden tadi?
Dengan berat hati, ia berjalan menuju ruangan CEO di lantai paling atas. Setibanya di depan pintu kaca berlabel "Abizard Akbar – CEO," ia mengetuk pelan.
"Masuk."
Suara berat itu terdengar lagi. Almira menelan ludah sebelum membuka pintu. Di dalam, Abizard duduk dengan ekspresi yang sama—dingin dan tanpa emosi.
"Anda memanggil saya, Pak?" tanyanya hati-hati.
Abizard mengangkat tatapan dari laptopnya dan menatapnya tajam.
"Duduk."
Almira menurut, meski jantungnya makin berdegup kencang.
Abizard menyandarkan tubuhnya ke kursi.
"Makan siangmu jatuh gara-gara aku, kan?"
Almira membelalakkan mata. Tunggu, dia ingat?
"Saya..."
"Saya sudah memesankan sesuatu untukmu. Harusnya sebentar lagi diantar," potong Abizard.
Almira makin terkejut. "Hah?"
"Kamu suka nasi padang, kan?"
Almira terdiam. Ia tidak menyangka pria yang tadi ia sebut "pria kulkas" itu ternyata memperhatikan.Almira masih menatap Abizard dengan bingung.
"Pak… serius?"
Abizard tidak menjawab. Ia hanya melirik jam tangannya sebelum kembali fokus pada layar laptopnya.
Tak lama kemudian, seseorang mengetuk pintu dan masuk, membawa kantong kertas dengan logo restoran nasi padang favorit Almira.
"Silakan, Pak," ujar pegawai itu sambil menyerahkan makanan.
Abizard menunjuk meja kecil di samping Almira.
"Taruh di situ."
Setelah pegawai itu pergi, Almira masih terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa.
"Kenapa bengong?" tanya Abizard tanpa mengangkat kepala.
"Eh… saya cuma… terkejut," jawab Almira jujur.
"Saya kira Bapak nggak peduli."
Abizard menghela napas pelan.
"Aku memang nggak peduli. Tapi aku juga nggak suka berutang."
Almira mengerjapkan mata. Jadi ini… semacam tanggung jawabnya?
"Kalau begitu, terima kasih, Pak," katanya akhirnya.
Abizard hanya mengangguk kecil.
Almira menatap kantong makanan itu, lalu tersenyum tipis. Meskipun pria ini dingin, ternyata dia tidak seburuk yang ia kira.
Namun sebelum ia pergi, Abizard tiba-tiba berkata,
"Lain kali, jangan jalan sambil melamun. Dan…"
Almira menoleh. "Dan apa?"
Abizard akhirnya menatapnya langsung. 0
"Jangan panggil aku 'pria kulkas' lagi."
Wajah Almira langsung memanas. Dia dengar?!.Almira nyaris tersedak udara.
"A-apa?"
Abizard menyandarkan punggungnya ke kursi, menatapnya dengan ekspresi datar.
"Aku punya telinga yang cukup bagus, Almira."
Wajah Almira memerah seketika. Ia yakin sekali hanya mengeluh pada Debora lewat telepon, tapi… jangan-jangan ada yang mendengar dan menyampaikan ke bosnya?
"Eh, itu… saya nggak bermaksud…"
Abizard mengangkat alis, seolah menunggu kelanjutan kalimatnya.
Almira menghela napas panjang. Percuma beralasan.
"Oke, maaf. Saya nggak akan panggil Bapak begitu lagi."
"Bagus."
Abizard kembali fokus ke laptopnya.
"Sekarang pergi sebelum makan siangmu dingin."
Almira hanya bisa mengangguk dan buru-buru keluar dari ruangan itu. Begitu pintu tertutup, ia menempelkan tangan ke wajahnya.
Ya Tuhan, ini memalukan banget!
Di mejanya, ia langsung menelepon Debora.
"Deb, aku udah ketemu bos kul—eh, Pak Abizard."
"Terus? Dimarahi?"
"Nggak! Dia malah beliin aku nasi padang!"
"Hah? Serius?! Jangan-jangan dia naksir kamu, Al?" goda Debora.
Almira mendengus.
"Halah, mana mungkin. Dia cuma nggak suka berutang. Katanya ini sekadar ganti rugi."
"Tapi tetap aja, dia perhatian, kan?"
Almira diam. Ya, kalau dipikir-pikir… Abizard memang dingin, tapi tindakannya tadi cukup mengejutkan.
Debora terkekeh.
"Hati-hati, Al. Bisa aja nanti kamu malah kepincut sama bos sendiri."
Almira mendelik.
"Gila, Deb! Aku dan dia itu kayak bumi dan langit!"
Debora tertawa. "Kita lihat aja nanti."
Almira hanya mendesah, tapi jauh di dalam hatinya, pertemuan tadi masih terngiang. Entah kenapa, ia merasa bahwa insiden nasi padang ini hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar.
Hari-hari berikutnya, Almira berusaha menjalani hidupnya seperti biasa, tapi entah kenapa, setiap kali melewati ruangan Abizard, ia jadi sedikit canggung. Bayangan insiden nasi padang dan tatapan tajam bosnya itu terus terngiang di kepalanya.
Debora benar, mungkin Abizard hanya sekadar membayar "utang" karena insiden itu, tapi tetap saja, ini pertama kalinya seseorang sepertinya memperhatikan hal kecil seperti itu.
Namun, Almira segera melupakan perasaan aneh itu ketika pekerjaannya mulai menumpuk. Sebagai desainer grafis di perusahaan sebesar ini, ada banyak proyek yang harus ia tangani. Salah satunya adalah proyek desain untuk presentasi investor yang dikepalai langsung oleh… Abizard Akbar.
"Al, ini beneran harus sempurna. Pak Abizard tuh terkenal perfeksionis," ujar Sarah, rekan satu timnya.
Almira mengangguk.
"Iya, aku ngerti. Tenang aja, aku bakal pastiin semuanya rapi."
Namun, mengatakan itu lebih mudah daripada melakukannya. Almira menghabiskan beberapa malam lembur, memastikan desainnya sesuai standar. Akhirnya, presentasi pun tiba.
Almira dan timnya berada di ruang konferensi, menunggu giliran Abizard untuk memulai presentasi. Almira sendiri duduk agak di belakang, berusaha tetap tenang.
Abizard masuk ke ruangan dengan karismanya yang khas. Ia mengenakan setelan rapi, ekspresinya tetap dingin dan serius. Saat presentasi dimulai, Almira bisa merasakan napasnya tertahan.
Slide demi slide berlalu, dan Abizard dengan lancar menyampaikan materinya. Tapi kemudian—
"Sebentar."
Abizard menghentikan pembicaraannya. Semua mata langsung tertuju padanya. Ia menatap layar, lalu mengernyit tipis.
"Desain di halaman ini… siapa yang mengerjakannya?"
Jantung Almira mencelos. Itu bagian yang ia buat. Dengan gugup, ia mengangkat tangan.
"Itu saya, Pak," jawabnya pelan.
Abizard menatapnya beberapa detik, lalu—
"Bagus."
Almira mengerjapkan mata, tak percaya dengan yang ia dengar.
"H-hah?"
Abizard kembali menatap layar.
"Kesederhanaannya tepat sasaran. Tidak berlebihan, tapi tetap elegan."
Ruangan sempat hening sebelum salah satu investor mengangguk setuju.
"Saya juga suka desainnya. Tidak membingungkan, tapi tetap menarik."
Almira masih belum bisa memproses semuanya. Ia pikir tadi ia akan dikritik habis-habisan, tapi ternyata… malah dipuji?
Saat presentasi selesai dan semua orang mulai beranjak, Almira masih duduk terpaku. Sarah menepuk bahunya.
"Al! Gila, tadi kamu dipuji langsung sama Pak Abizard!"
Almira masih bengong. "Aku… nggak salah dengar, kan?"
Sarah tertawa.
"Nggak! Aku juga dengar! Kamu berbakat, Al!"
Namun, sebelum Almira sempat bereaksi lebih jauh, sebuah suara berat terdengar di dekatnya.
"Almira."
Ia mendongak dan melihat Abizard berdiri di sampingnya.
"Ikut aku ke ruangan sebentar," katanya singkat sebelum berbalik pergi.
Almira menelan ludah. Kenapa lagi, nih?
Almira mengikuti Abizard ke ruangannya dengan perasaan campur aduk. Baru saja ia merasa lega karena mendapat pujian, sekarang ia malah dipanggil secara pribadi. Apa ada yang salah?
Setibanya di dalam, Abizard langsung duduk di kursinya sementara Almira berdiri canggung di depan meja.
"Kamu duduk," kata Abizard tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptopnya.
Almira menurut, meskipun jantungnya masih berdebar. Ia memperhatikan ruangan itu—minimalis, rapi, dan terasa dingin, sama seperti pemiliknya.
Beberapa detik berlalu sebelum Abizard akhirnya menutup laptopnya dan menatapnya.
"Aku mau kamu mulai menangani lebih banyak proyek utama," katanya langsung.
Almira mengerjapkan mata, terkejut.
"Maksud Bapak… saya?"
Abizard mengangguk.
"Kamu punya bakat. Aku tidak suka menyia-nyiakan potensi yang ada di perusahaanku."
Almira masih belum bisa percaya. Selama ini, ia merasa dirinya hanyalah salah satu dari sekian banyak karyawan di perusahaan besar ini. Tiba-tiba, ia dipilih langsung oleh CEO untuk menangani proyek-proyek penting?
"Tapi… saya masih belum selevel dengan senior lain," ujarnya ragu.
Abizard menatapnya tajam.
"Kamu punya kemampuan. Gunakan itu dengan baik."
Ucapan itu singkat, tapi cukup untuk membuat Almira terdiam. Ia tidak terbiasa mendapatkan pengakuan seperti ini, apalagi dari seseorang seperti Abizard.
Setelah beberapa saat, ia mengangguk pelan.
"Baik, Pak. Saya akan berusaha."
Abizard mengangguk kecil sebelum kembali fokus ke laptopnya.
"Mulai minggu depan, kamu akan bekerja lebih dekat denganku untuk beberapa proyek."
Kalimat itu membuat Almira semakin terkejut. Bekerja lebih dekat… dengan Abizard?
Dengan perasaan masih campur aduk, ia akhirnya keluar dari ruangan itu. Ia tidak tahu apakah ini berkah atau tantangan besar, tapi satu hal yang pasti—hidupnya tidak akan sama lagi setelah ini.
Almira keluar ruangan tersebut dengan langkah gontai,tubuh gemuknya seolah sangat berat untuk melangkah.Dari kejauhan Felisha sang kekasih CEO perusahaan tersebut pun memperhatikannya dengan tatapan sinis.
"Hei,gendut!Apa yang kau lakukan di sana?." bentak Felisha.
Almira langsung terhenyak dan mendongak menatap Felisha dengan gugup.Felisha melangkah mendekat dengan tatapan meremehkan, kedua tangannya terlipat di depan dada.
Wanita itu memang dikenal di perusahaan sebagai seseorang yang angkuh dan gemar memandang orang lain sebelah mata, terutama mereka yang dianggapnya "tidak selevel" dengannya.
"Aku tanya, apa yang kau lakukan di ruangan Abizard?" ulangnya dengan nada tajam.
Almira menelan ludah, mencoba tetap tenang meski hatinya terasa tidak nyaman.
"Pak Abizard memanggil saya untuk membahas proyek."
Felisha mendengus, lalu menatap Almira dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan ekspresi jijik.
"Kau? Menangani proyek penting? Jangan bercanda. Aku bahkan tidak tahu kalau dia mau berurusan dengan… seseorang sepertimu."
Ucapan itu menyakitkan, tapi Almira sudah terbiasa dengan tatapan dan komentar seperti ini sejak lama. Ia menegakkan bahunya, berusaha untuk tidak terpancing.
"Itu keputusan Pak Abizard sendiri," jawabnya dengan suara tenang.
Felisha tersenyum sinis.
"Jangan besar kepala hanya karena dia mengakuimu sekali. Aku sudah lebih dulu ada di sisinya, dan aku tahu tipe wanita seperti apa yang dia suka. Percayalah, kau bukan salah satunya."
Almira mengepalkan tangannya erat-erat, tapi ia menahan diri. Ia tidak mau membuang energi untuk meladeni seseorang seperti Felisha.
"Permisi, saya masih ada pekerjaan," katanya sebelum melangkah pergi.
Namun, baru beberapa langkah, Felisha bersuara lagi.
"Kita lihat saja, sampai kapan kau bisa bertahan."
Almira tidak menanggapi. Ia terus berjalan menuju mejanya, mencoba mengabaikan perasaan tak nyaman yang kini menggelayuti hatinya.
Tapi satu hal yang pasti, bekerja lebih dekat dengan Abizard bukan hanya berarti menghadapi tantangan profesional. Sepertinya, ia juga harus bersiap menghadapi tekanan dari orang-orang di sekitarnya—terutama dari seseorang seperti Felisha.
Almira mencoba mengabaikan ucapan Felisha, tapi kata-kata sinis wanita itu terus terngiang di kepalanya. Aku sudah lebih dulu ada di sisinya… Kau bukan salah satunya.
"Ada apa ,Al?Kau tampak murung?." tanya Sarah.
Almira hanya tersenyum tipis ,"Aku tidak apa-apa ,Sar!."
***
Di dalam ruangan Felisha terlihat kesal melihat sikap Abizard yang sangat dingin kepadanya .
"Zard,bisakah kau tak mengabaikan?Aku Ingin kau menganggap aku sebagai seorang wanita ." kesal Felisha.
Abizard tak menggubrisnya ,ia hanya memperhatikan laptopnya saja.Felisha menggertakkan giginya, kesabarannya sudah hampir habis. Ia mendekat ke meja Abizard, tangannya terlipat di depan dada.
"Zard, aku sedang bicara denganmu," ujarnya tajam.
Abizard akhirnya mengangkat kepalanya, menatap Felisha dengan ekspresi datar.
"Aku sibuk."
Felisha mendengus.
"Kau selalu sibuk. Aku ini kekasihmu, atau hanya seseorang yang kau biarkan berada di sekitarmu sesuka hati?"
Abizard menutup laptopnya dengan pelan, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi.
"Kekasih?" Ia mengulang kata itu seolah terdengar asing di telinganya.
"Seingatku, aku tidak pernah mengatakan hal seperti itu."
Felisha membelalakkan mata. "Apa maksudmu?"
"Kita tidak pernah punya hubungan spesial, Felisha. Kau yang selalu menganggapnya seperti itu."
Suara Abizard tetap tenang, tapi dingin.Felisha merasa wajahnya memanas. Selama ini, semua orang di perusahaan menganggap dirinya adalah wanita di sisi Abizard.
Ia menikmati status itu, merasa istimewa karena bisa dekat dengan pria yang begitu berkuasa. Tapi kini, mendengar Abizard sendiri menepis anggapannya, ia merasa seperti ditampar.
"Kau serius mengatakan itu?"
Abizard menatapnya tanpa emosi.
"Aku tidak ingin mengulanginya dua kali."
Felisha mengepalkan tangannya, matanya berkilat penuh kemarahan.
"Jadi, ini karena perempuan gemuk itu?!"
Abizard mengerutkan kening. "Siapa?"
"Almira!" Felisha hampir berteriak.
"Dia cuma pegawaimu, tapi kau bersikap seolah dia begitu spesial! Apa dia menarik perhatianmu, Zard?"
Abizard menghela napas, tampak lelah.
"Aku memilih seseorang berdasarkan kemampuannya, bukan penampilannya. Jika Almira bekerja dengan baik, maka dia pantas mendapat tempatnya. Tidak ada hubungannya dengan hal lain."
Felisha menatapnya dengan mata berkilat marah, lalu tersenyum sinis.
"Baik. Kalau itu maumu, kita lihat saja bagaimana kelanjutannya."
Setelah itu, ia berbalik dan pergi, menyisakan ruangan yang kembali sunyi.
Abizard menghela napas pelan, lalu kembali membuka laptopnya. Ia memang tidak suka membuang waktu untuk drama, tapi entah kenapa, kali ini ia merasa apa yang baru saja terjadi hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar.
Felisha keluar dari ruangan Abizard dengan langkah penuh amarah, namun di dalam hatinya, ada rasa khawatir yang mulai tumbuh. Ia sudah lama berada di posisi yang nyaman sebagai pasangan CEO, namun sekarang ia merasakan adanya ancaman yang datang dari seorang wanita yang tidak pernah ia anggap serius—Almira.
Sementara itu, Almira masih terbenam dalam pekerjaannya di meja kerjanya. Meski usahanya untuk tetap tenang sudah berhasil, kata-kata Felisha tetap membekas di dalam pikirannya. Perasaan tidak nyaman mulai mencuri masuk, tapi ia berusaha keras untuk tidak mempedulikannya.
"Sabar, Al. Ini kesempatan besar," bisiknya pada dirinya sendiri.
Namun, pada saat itu, Sarah datang dan duduk di sampingnya.
"Al, kau baik-baik saja? Aku lihat wajahmu nggak enak banget."
Almira tersenyum tipis, berusaha untuk tidak menunjukkan betapa gelisahnya dirinya.
"Aku hanya lelah, Sar. Aku cuma butuh sedikit istirahat."
Sarah menatapnya dengan khawatir.
"Kamu yakin? Kalau ada masalah, kenapa nggak cerita?"
Almira menggeleng.
"Nggak ada masalah kok. Aku cuma... butuh waktu untuk menyesuaikan diri dengan perubahan ini."
"Al,boleh aku tahu,apa yang dikatakan pak Abizard padamu ?."
Almira langsung menatap Sarah.
"Aku tidak takin Sar,tapi pak Abizard memintaku untuk menangani proyek baru bersamanya."
Sarah ikut senang mendengarnya.Selama ini sarah tahu jika para pegawai selalu meremehkan kemampuan Almira.Menurit sarah ini merupakan kesempatan yang bagus untuk menunjukkan kepada mereka bahwa Almira mampu melakukannya .
"Bukankah itu sangat bagus,Al.Aku sangat mendukung mu kalau itu permintaan langsung dati pak Abizard."
Almira mengangguk pelan, meskipun ada keraguan yang masih menggelayuti hatinya.
"Iya, Sar. Tapi, aku merasa cemas juga. Tiba-tiba aku harus menangani proyek-proyek besar, dan aku masih belum merasa siap. Apalagi dengan Felisha yang terus memperlakukanku seperti itu."
Sarah menyentuh lengan Almira dengan lembut, memberi dukungan.
"Aku tahu kamu bisa, Al. Jangan biarkan komentar orang lain menghentikanmu. Ini kesempatan besar, dan kamu pantas mendapatkannya. Felisha itu hanya cemas karena dia merasa posisinya terancam, kamu nggak perlu pusingkan dia."
Almira tersenyum tipis, merasa sedikit lebih ringan setelah mendengar kata-kata Sarah.
"Terima kasih, Sar. Aku akan berusaha sebaik mungkin."
Sarah memberi senyum lebar.
"Kamu pasti bisa! Jangan ragu untuk bertanya kalau kamu butuh bantuan."
"Aku duluan ya,Al." ucap Sarah seraya mengambil tas dimejanya.
Almira hanya menatap kepergian Sarah itu dan beberapa karyawan yang ikut pulang bersama Sarah.Almira sebenarnya ingin sekali pulang lebih awal.Ia begitu lelah namun pekerjaan memaksanya untuk selalu lembur.
"Huft"
"Aku harus segera menyelesaikan pekerjaan ku." batin Almira.
Almira menatap layar laptopnya yang penuh dengan dokumen-dokumen dan catatan penting. Semua itu menunggu untuk diselesaikan sebelum besok, dan ia tahu bahwa tak ada jalan lain selain terus bekerja.
Terkadang, ia merasa seperti tenggelam dalam tugas-tugas yang tak ada habisnya. Namun, malam ini, sesuatu di dalam dirinya terasa berbeda. Ada sebuah dorongan kuat untuk membuktikan bahwa ia bisa melakukan lebih dari sekadar memenuhi ekspektasi orang lain.
Ia menarik napas dalam-dalam dan mulai kembali bekerja, mengetik dengan cepat dan memeriksa setiap detail untuk memastikan tidak ada yang terlewat. Walaupun rasa kantuk mulai menyergap, ia tetap fokus.
Beberapa jam berlalu, dan waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Almira merasa matanya mulai berat, namun ia tahu ia hampir selesai dengan tugas penting ini. Saat itulah ponselnya bergetar.
Sebuah pesan masuk dari Abizard.
"Almira, pastikan kamu siap untuk rapat besok. Aku akan memantau perkembanganmu. Jangan khawatir, kamu bisa."
Membaca pesan itu, Almira merasa sebuah kekuatan baru mengalir dalam dirinya. Ia tahu ini adalah ujian besar. Bukan hanya untuk membuktikan kemampuannya kepada Abizard, tetapi juga untuk dirinya sendiri.
"Terima kasih, Pak Abizard," bisiknya pelan sambil menatap layar ponselnya.
Dengan semangat yang kembali menyala, ia menyelesaikan pekerjaan yang tersisa. Begitu semua selesai, Almira menatap tumpukan dokumen di mejanya dengan perasaan puas. Hari ini mungkin baru permulaan, tapi ia merasa sudah mencapai langkah besar dalam perjalanan kariernya.
Dengan sebuah senyum tipis, ia menutup laptop dan berdiri, meraih tasnya.
"Besok akan menjadi hari yang berbeda," pikirnya sebelum akhirnya meninggalkan kantor yang sudah sepi, menyusuri lorong panjang menuju pintu keluar.
Malam ini, ia pulang dengan kepala tegak, tahu bahwa ia telah melakukan yang terbaik.Almira sampai dirumah pukul 10 malam.Debora yang sejak tadi menunggunya pun merasa ibu melihat sahabatnya itu.
Sesampainya di rumah, Almira langsung disambut oleh Debora, sahabatnya yang sudah lama menunggunya. Wajah Debora yang penuh perhatian langsung menyambutnya, seolah bisa merasakan kelelahan yang tersimpan dalam diri Almira.
"Kamu pulang terlambat lagi ya?" tanya Debora,
Debora mengamati wajah Almira yang terlihat sedikit lelah namun tetap cerah.Almira hanya tersenyum tipis, meletakkan tasnya di meja samping pintu.
"Iya, harus lembur lagi. Tapi, aku merasa baik-baik saja kok."
Debora mengerutkan kening, tahu betul bahwa meskipun Almira terlihat kuat, sahabatnya itu tidak bisa terus-menerus menahan beban sendiri.
"Al, kamu pasti capek banget," ujar Debora dengan nada lembut.
"Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Pekerjaan itu penting, tapi kesehatanmu juga lebih penting."sambungnya.
Almira menatap Debora, merasa sedikit tersentuh dengan perhatian sahabatnya.
"Aku tahu, Deb. Tapi ini kesempatan besar. Abizard memberiku kepercayaan untuk menangani proyek besar. Aku tidak bisa menyia-nyiakan kesempatan ini."
Debora terhenya ,ia langsung mendekat, duduk di sebelah Almira, dan memegang tangannya.
"Apa?. Sepertinya dugaanku sebelumnya benar deh,Al.Jangan-jangan Abizard memiliki perasaan kepadamu."
Almira terkejut mendengar pernyataan Debora. Ia menatap sahabatnya dengan sedikit kebingungan.
"Apa? Maksudmu… Abizard punya perasaan padaku?"
Debora mengangguk, wajahnya serius.
"Ya, aku rasa begitu. Lihat saja, dia memberikanmu kesempatan besar, bahkan lebih dari yang kamu bayangkan. Mungkin itu bukan hanya tentang pekerjaan."
Almira terdiam sejenak, mencerna kata-kata Debora. Abizard memang berbeda dengan semua atasan yang pernah ia temui. Kepercayaannya padanya bukan hanya soal kemampuan profesional, tetapi juga perhatian yang tampaknya lebih dari sekadar hubungan kerja. Namun, Almira merasa aneh memikirkan hal itu.
"Aku… aku nggak tahu, Deb. Aku nggak ingin berpikir yang macam-macam. Ini tentang pekerjaan, kan?"
Almira mencoba meyakinkan dirinya sendiri, meskipun hatinya sedikit ragu.
Debora menggelengkan kepala.
"Kadang, kita nggak bisa mengabaikan perasaan, Al. Kamu harus hati-hati. Kalau Abizard benar-benar punya perasaan padamu, itu bisa merumitkan semuanya. Pekerjaan dan hubungan pribadi bisa sulit dipisahkan."
Almira menghela napas panjang, mencoba untuk tetap berpikir jernih.
"Aku cuma ingin fokus pada pekerjaan. Itu lebih penting sekarang."
Debora menatap Almira dengan tatapan penuh pengertian.
"Aku paham. Tapi jangan lupakan dirimu sendiri dalam proses ini, ya? Jangan sampai kamu terjebak dalam sesuatu yang lebih besar dari yang kamu inginkan."
Almira mengangguk, walaupun dalam hatinya ada rasa bingung yang mulai tumbuh. Ia tak bisa menepis perasaan bahwa sesuatu yang lebih dari sekadar pekerjaan sedang terjadi. Namun, ia berusaha untuk menekannya. Fokus pada tujuan utamanya—membuktikan kemampuannya dan menunjukkan bahwa ia bisa sukses.
"Aku akan berhati-hati, Deb. Terima kasih sudah selalu ada untukku," kata Almira dengan senyum tipis.
Debora membalas senyum itu dan meraih tangan Almira.
"Aku selalu ada untukmu, Al. Jangan ragu untuk berbagi apa pun yang kamu rasakan."
Malam itu, Almira berbaring di tempat tidurnya, memikirkan apa yang telah terjadi dan apa yang akan datang. Sebuah tantangan besar menantinya di depan, baik dalam pekerjaannya dengan Abizard maupun dalam hubungannya dengan orang-orang di sekitarnya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi satu hal yang pasti—Almira siap menghadapinya dengan segala yang dia miliki.
Keesokan paginya, Almira bangun lebih awal dari biasanya. Meski tubuhnya masih terasa lelah, semangat untuk menghadapi hari ini membuatnya segera beranjak dari tempat tidur. Setelah bersiap-siap, ia berangkat ke kantor dengan penuh tekad.
Setibanya di kantor, Almira langsung menuju ruangannya. Beberapa karyawan sudah mulai berdatangan, tetapi ia lebih memilih untuk fokus pada persiapan rapat dengan Abizard. Ia memeriksa ulang dokumen-dokumen yang telah ia siapkan semalam, memastikan semuanya sempurna.
Saat ia sedang tenggelam dalam pekerjaannya, pintu ruangannya diketuk.
"Masuk,"
Ucap Almira tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop.
Pintu terbuka, dan sosok Abizard muncul di ambang pintu. Almira segera berdiri, sedikit terkejut dengan kedatangan atasannya.
"Pagi, Almira," sapa Abizard dengan senyum tipis.
"Kamu sudah siap untuk rapat nanti?"sambungnya.
Almira mengangguk.
"Sudah, Pak. Saya sudah menyiapkan semua dokumen dan poin-poin yang perlu dibahas."
Abizard melangkah masuk, lalu menyandarkan dirinya di meja Almira sambil melipat tangannya. Matanya menatap Almira dengan penuh ketertarikan, seolah sedang menilai sesuatu yang lebih dari sekadar hasil kerja.
"Bagus," ucapnya pelan.
"Aku tahu kamu bisa diandalkan."tambahnya.
Almira merasa ada sesuatu yang berbeda dalam cara Abizard berbicara. Entah mengapa, ia merasa pria itu tidak hanya menilai profesionalismenya, tetapi juga dirinya secara pribadi.
"Tapi jangan terlalu memaksakan diri, Almira. Aku tidak ingin kamu terlalu lelah hanya demi membuktikan sesuatu," lanjut Abizard dengan nada lebih lembut.
Almira sedikit tersentak mendengar ucapan itu. Kata-kata yang mirip dengan yang diucapkan Debora tadi malam kini keluar dari mulut atasannya.
"Saya baik-baik saja, Pak," jawabnya singkat.
Abizard mengangguk, tetapi tatapan matanya seolah mengatakan bahwa ia tidak sepenuhnya percaya.
"Baiklah. Aku akan menunggumu di ruang rapat lima belas menit lagi," ucapnya sebelum berbalik dan berjalan keluar.
Saat pintu tertutup, Almira menghela napas panjang. Pikirannya mulai dipenuhi dengan kata-kata Debora semalam. Apakah benar Abizard memiliki perasaan padanya? Atau ini hanya perhatiannya sebagai seorang atasan?
Satu hal yang pasti, Almira tidak ingin pikirannya teralihkan oleh hal-hal yang belum jelas. Ia harus tetap fokus.
Mengambil dokumen yang sudah disiapkan, ia melangkah menuju ruang rapat dengan kepala tegak.
Hari ini, ia akan membuktikan bahwa ia memang pantas mendapatkan kepercayaan ini—bukan karena siapa dirinya bagi Abizard, tetapi karena kemampuannya sendiri.
Brukk
"Maaf,Pak!" ucap Almira.
Pria itu menatap Almira dengan lembut seraya tersenyum kepadanya.Wajah tampan nan berseri itu pun tak luput dari pandangan Almira.
"Sekali lagi saya minta maaf ,Pak." tambahnya lagi sambil membungkukkan setengah tubuhnya .
"Tak apa-apa!." sahut Abigail .
Almira terkejut mendengar nama pria itu. Abigail? Siapa dia?
Pria yang berdiri di depannya tampak percaya diri, dengan senyum ramah yang membuatnya terlihat berbeda dari kebanyakan rekan kerja di kantor ini. Almira merasa belum pernah melihatnya sebelumnya.
“Sepertinya kamu terburu-buru,” ujar Abigail santai, tangannya masih memegang beberapa dokumen yang hampir terjatuh akibat tabrakan tadi.
“Saya benar-benar minta maaf, Pak…”
Almira mencoba mencari tahu siapa pria ini.
Abigail tersenyum, lalu mengulurkan tangannya.
“Aku Abigail Rendra. Aku baru bergabung sebagai kepala divisi pengembangan bisnis di perusahaan ini.”
Almira sedikit terkejut, namun segera menyambut uluran tangan itu.
“Almira, dari tim proyek strategis.”
“Senang bertemu denganmu, Almira. Sepertinya kita akan sering bekerja sama,” ujar Abigail dengan nada ringan, namun matanya menunjukkan ketertarikan.
Almira mengangguk sopan, lalu melirik jam tangannya. Ia harus segera ke ruang rapat sebelum Abizard mencarinya.
“Maaf, Pak Abigail, saya harus segera ke rapat sekarang,” katanya cepat.
Abigail mengangguk.
“Tentu. Jangan sampai terlambat.”
Almira melangkah pergi dengan perasaan sedikit aneh. Entah mengapa, pertemuannya dengan Abigail terasa berbeda. Ada sesuatu dalam tatapan pria itu yang membuatnya sedikit gelisah—seolah ia telah diperhatikan sejak awal.
Saat Almira tiba di ruang rapat, Abizard sudah duduk di kursinya, menatap layar laptop. Begitu melihat Almira masuk, ia melirik jam tangannya sebelum menutup laptopnya.
“Tepat waktu,” ujarnya singkat.
Almira mengangguk dan duduk di tempatnya, lalu mengeluarkan dokumen yang sudah ia siapkan. Rapat segera dimulai, dengan beberapa eksekutif lain yang ikut hadir.
Selama rapat berlangsung, Almira mempresentasikan proyek yang telah ia kerjakan dengan penuh keyakinan. Ia menjelaskan strategi, potensi pasar, dan langkah-langkah yang akan diambil untuk mencapai target perusahaan.
Abizard memperhatikannya dengan saksama. Sesekali, ia mengajukan pertanyaan yang menantang, tetapi Almira menjawab semuanya dengan percaya diri.
Di akhir rapat, Abizard menyandarkan punggungnya ke kursi, lalu menatap Almira dengan ekspresi yang sulit ditebak.
“Presentasi yang baik,” katanya akhirnya. “Aku senang melihat perkembanganmu, Almira.”
Almira menghela napas lega. “Terima kasih, Pak.”
Saat semua orang mulai meninggalkan ruang rapat, Almira merapikan dokumennya. Namun sebelum ia sempat keluar, Abizard berdiri di dekatnya.
“Setelah ini, ada waktu untuk bicara sebentar?” tanyanya.
Almira menatapnya dengan sedikit ragu.
“Tentu, Pak. Tentang proyek ini?”
Abizard menggeleng.
“Tidak. Tentang sesuatu yang lain.”
Almira merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Entah mengapa, ia merasa bahwa yang akan dibicarakan Abizard bukan hanya soal pekerjaan.
Di saat yang bersamaan, saat ia melangkah keluar ruang rapat, matanya bertemu dengan tatapan Abigail yang berdiri di ujung koridor, seolah sedang menunggunya.
Dua pria. Dua sosok yang berbeda.
Dan Almira tidak tahu mengapa, tapi ia merasa bahwa kehidupannya akan berubah dalam waktu dekat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!