Aroma kopi yang menguar dari dapur membangunkan pagi di rumah bеrukuran sedang itu. Wilda Sugandi yang berdiri di dekat kompor, tangannya cekatan menyiapkan sarapan. Hari ini adalah hari Senin, yang berarti suaminya, Arya Dwipangga, harus berangkat kerja.
"Sayang, kopinya sudah siap," panggil Wilda dari dapur. Arya, yang baru saja selesai mandi, segera menghampiri.
"Wah, аromanya enak sekali. Kamu memang istri yang baik," pujinya sambil mengecup singkat kening Wilda.
"Ah, bisa saja," jawab Wilda sambil tersenyum malu.
"Ini sarapannya sudah siap juga. Kamu mau makan nasi goreng atau roti bakar?"
"Nasi goreng saja deh. Sudah lama aku tidak makan nasi goreng buatanmu," kata Arya sambil duduk di kursi meja makan.
Wilda menuangkan nasi goreng ke piring Arya, tak lupa menambahkan telur mata sapi dan kerupuk sebagai pelengkap.
"Ini dia, nasi goreng spesial ala Wilda," ujarnya sambil menyodorkan piring tersebut.
Arya menerima piring itu dengan senang hati. "Terima kasih, sayang. Kamu memang yang terbaik," katanya sambil mulai menyantap sarapannya.
"Makan yang banyak ya, Sayang. Hari ini kamu ada meeting penting kan?" tanya Wilda sambil menuangkan teh hangat ke cangkir Arya.
"Iya, nih. Ada pertemuan untuk launching produk baru nanti siang," jawab Arya.
"Semoga saja semuanya berjalan lancar."
"Pasti lancar kok. Kamu kan hebat," kata Wilda menyemangati.
"Oh ya, nanti malam kita makan malam di luar yuk? Aku ingin mencoba restoran baru di dekat kantor kamu."
"Boleh saja. Aku juga sudah lama tidak mengajak kamu makan malam di luar," kata Arya.
"Nanti aku реsankan tempatnya."
"Asyik!" Wilda berseru senang.
"Kalau begitu, aku mau siap-siap dulu ya. Nanti kita berangkat kerja sama-sama."
"Oke," jawab Arya.
"Aku juga mau siap-siap lagi."
Keduanya kemudian makan sarapan dengan tenang, sambil sesekali bertukar cerita ringan. Setelah selesai, Arya berangkat kerja, Wilda mengantar Arya hingga depan pintu rumah, lalu mencium tangannya sebelum akhirnya Arya pergi dengan mobilnya.
Wilda melambaikan tangan hingga mobil Arya menghilang dari pandangan. Ia kemudian masuk kembali ke dalam rumah, bersiap untuk menjalani hari yang menyenangkan.
****
Ruang rapat kantor pemasaran itu penuh sesak. Para direksi dan staf pemasaran tampak antusias mendengarkan presentasi yang disampaikan oleh Arya Dwipangga. Hari ini adalah hari yang penting bagi perusahaan mereka. Mereka akan segera meluncurkan produk baru yang telah lama dinanti-nantikan. Arya, sebagai ketua tim pemasaran, berdiri di depan layar proyektor. Dengan penuh percaya diri, ia memaparkan fitur-fitur unggulan dari produk baru tersebut. Sesekali ia melemparkan pertanyaan kepada peserta rapat untuk memastikan bahwa mereka memahami apa yang ia sampaikan.
"Bapak dan Ibu sekalian, produk yang akan kita luncurkan ini adalah jawaban atas kebutuhan pasar saat ini," ujar Arya dengan suara lantang.
"Produk ini memiliki keunggulan yang tidak dimiliki oleh produk lain yang standar saja. Saya yakin, produk ini akan menjadi pemimpin pasar dalam waktu singkat."
Arya kemudian menjelaskan lebih lanjut mengenai strategi pemasaran yang akan mereka lakukan. Ia juga memaparkan hasil riset pasar yang menunjukkan bahwa produk mereka memiliki potensi yang sangat besar untuk sukses. Para peserta rapat tampak sangat tertarik dengan apa yang disampaikan oleh Arya. Beberapa di antara mereka mengajukan pertanyaan untuk mendapatkan informasi yang lebih jelas. Arya dengan sabar menjawab semua pertanyaan yang diajukan. Setelah rapat selesai, para peserta memberikan tepuk tangan yang meriah. Mereka merasa kagum mereka atas penjelasan yang telah disampaikan oleh Arya.
"Saya sangat tertarik dengan presentasi yang Anda sampaikan, Pak Arya," ujar salah satu peserta.
"Saya yakin, produk ini akan sukses besar di pasaran."
"Terima kasih atas dukungannya," jawab Arya sambil tersenyum. "Saya berharap kita semua dapat bekerja sama untuk mencapai kesuksesan produk ini."
Arya kemudian berjalan menuju tempat duduknya dengan perasaan lega. Ia tahu bahwa presentasi yang ia sampaikan hari ini berjalan dengan lancar. Ia berharap, peluncuran produk ini akan menjadi langkah awal yang baik bagi kesuksesan produk baru mereka.
****
Di tengah rapat yang sedang berlangsung, handphone Arya bergetar. Ia melirik layar handphonenya dan melihat nama Agustine tertera di sana. Ia nampak mengernyitkan dahi, namun kemudian mengangkat telepon tersebut.
"Halo, Gus?" sapa Arya agak berbisik agar tidak mengganggu rapat yang masih berjalan.
"Arya, ini aku, Agustine," jawab suara di seberang telepon. "Kamu lagi sibuk ya? Maaf mengganggu."
"Tidak apa-apa, Gus. Aku sedang sibuk sedikit," jawab Arya. "Ada apa ya?"
"Aku cuma mau mengajak kamu bertemu nanti siang di cafe dekat kantor kamu," kata Agustine.
"Aku ada hal yang ingin disampaikan sama kamu."
Arya nampak terdiam. Ia nampak bingung dengan ajakan Agustine ini. Pasalnya, mereka sudah lama tidak bertemu.
"Boleh saja," jawab Arya kemudian. "Nanti aku kabari lagi kalau sudah selesai rapatnya."
"Oke deh. Ditunggu ya," kata Agustine. "Oh ya, Arya. Ini hal penting lho."
"Iya, Gus. Ada apa?" tanya Arya penasaran.
"Nanti saja ya aku cerita di cafe," jawab Agustine.
"Sudah dulu ya, Arya. Aku harus pergi dulu."
"Oke, Gus," jawab Arya. "Sampai nanti."
Agustine kemudian mematikan teleponnya. Arya menghela napas sedikit. Ia sedikit penasaran dengan apa yang ingin dibicarakan oleh Agustine. Namun, ia memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya terlebih dahulu. Ia harus fokus dengan rapat yang sedang berlangsung.
Setelah rapat selesai, Arya segera menghubungi Agustine untuk memastikan pertemuan mereka nanti siang. Ia sudah tidak sabar ingin mengetahui apa yang ingin dibicarakan oleh teman baik istrinya itu.
****
Arya tiba di cafe yang telah disepakati. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencari sosok Agustine. Tak lama kemudian, ia melihat seorang wanita yang duduk di salah satu sudut cafe. Wanita itu mengenakan pakaian yang agak terbuka, sesuatu yang tidak pernah Arya lihat sebelumnya dari Agustine. Ia terkejut, namun tetap menghampiri wanita tersebut.
"Gus?" sapa Arya ragu.
Wanita itu menoleh dan tersenyum. "Arya! Sini, aku udah pesan minum untukmu," katanya.
Arya menghampiri dan duduk di depan Agustine. Ia masih terkejut dengan penampilan Agustine yang berbeda dari terakhir kali ia bertemu dengannya.
"Kamu berbeda ya, Gus," kata Arya.
Agustine tertawa. "Ah, masa? Aku cuma ingin mencoba gaya baru saja," jawabnya.
"Kamu sendiri bagaimana kabarnya? Sudah lama kita tidak bertemu."
"Baik, Gus. Aku baik," jawab Arya. "Kamu sendiri bagaimana kabarnya? Aku dengar kamu tinggal di Prancis cukup lama."
"Iya, aku baru saja kembali ke Indonesia," kata Agustine. "Aku ingin membuat kejutan untuk Wilda, sahabatku."
"Oh ya? Kapan kamu mau menemuinya?" tanya Arya.
"Aku belum tahu," jawab Agustine. "Aku ingin membuat kejutan yang benar-benar menyenangkan untuknya. Aku butuh bantuanmu, Arya."
"Tentu saja aku akan membantu," kata Arya. "Ada ide?"
Agustine berpikir. "Aku ingin membuat pesta kecil untuknya," katanya. "Kamu tahu kan, Wilda sangat suka dengan pesta."
"Ide bagus," kata Arya. "Tapi, bagaimana caranya kita membuat pesta tanpa sepengetahuan Wilda?"
"Itu dia masalahnya," kata Agustine. "Aku butuh bantuanmu untuk merahasiakan ini darinya."
"Tenang saja, aku akan membantumu," kata Arya. "Aku akan mencari cara untuk membuat pesta ini berhasil."
Agustine tersenyum lega. "Terima kasih banyak, Arya," katanya. "Kamu memang yang terbaik."
"Sama-sama, Gus," jawab Arya. "Aku juga senang bisa membantu."
Namun tentu saja ada niatan terselubung Agustine untuk mendapatkan sesuatu yang akan menghancurkan Wilda.
Wilda menyusuri rak demi rak di supermarket, matanya mencari barang-barang yang perlu dibeli. Sesekali ia melirik daftar belanja di tangannya, memastikan tidak ada yang terlewat. Saat ia berbelok di sebuah lorong, matanya menangkap sosok seorang ibu hamil yang sedang memilih buah-buahan. Ibu itu terlihat begitu bahagia, perutnya yang besar terlihat jelas di balik pakaiannya. Wilda tertegun, hatinya tiba-tiba dipenuhi rasa sedih yang mendalam. Bayangan masa lalu kembali hadir di benaknya, tentang kehamilan yang harus berakhir karena keguguran tiga tahun lalu.Ia masih ingat dengan jelas bagaimana bahagianya ia saat mengetahui dirinya hamil, bagaimana ia dan suaminya, mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut kehadiran sang buah hati. Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Di usia kehamilan yang masih muda, Wilda mengalami keguguran. Dokter mengatakan bahwa janinnya tidak berkembang dengan baik. Wilda dan Arya sangat terpukul, mereka harus menerima kenyataan pahit bahwa mereka kehilangan calon anak mereka. Setelah kejadian itu, Wilda merasa trauma dan takut untuk hamil lagi. Wilda menghela napas panjang, berusaha mengusir pikiran yang menyakitkan itu. Ia tidak ingin terus terlarut dalam kesedihan. Ia harus kuat, ia harus bisa menerima kenyataan bahwa ia belum bisa memiliki anak lagi. Ia mencoba untuk fokus pada belanjaannya, namun bayangan ibu hamil itu masih terus tеrbayang di benaknya. Wilda merasa iri melihat kebahagiaan ibu itu, ia juga ingin merasakan hal yang sama. Tiba-tiba, ibu hamil itu menoleh dan tersenyum pada Wilda. Wilda terkejut, ia tidak menyangka ibu itu akan menyadari keberadaannya. Dengan gugup, Wilda membalas senyuman ibu itu.
"Selamat ya atas kehamilanmu," kata Wilda dengan suara sedikit bergetar.
Ibu itu tersenyum ramah, "Terima kasih banyak," jawabnya. "Ini adalah anak pertama saya, saya sangat bahagia dan tidak sabar ingin bertemu dengannya."
Wilda mengangguk, "Semoga semuanya berjalan lancar ya," ucapnya tulus.
"Terima kasih," balas ibu itu. "Kamu juga semoga segera diberi momongan ya."
Wilda hanya tersenyum tipis, ia tidak tahu harus menjawab apa. Kata-kata ibu itu membuatnya semakin sedih. Ia ingin sekali memiliki anak, namun ia belum tahu kapan keinginannya itu bisa terwujud.
Setelah berbincang sebentar, ibu hamil itu pergi meninggalkan Wilda. Wilda masih terdiam di tempatnya, menatap kepergian ibu itu dengan perasaan campur aduk. Ia merasa sedih, iri, dan juga sedikit bersalah karena telah merasa iri.
Wilda tahu, ia tidak seharusnya merasa iri pada ibu hamil itu. Setiap orang memiliki jalan hidupnya masing-masing. Mungkin saat ini ia belum bisa memiliki anak, tapi ia percaya bahwa suatu saat nanti ia juga akan merasakan kebahagiaan menjadi seorang ibu. Wilda memutuskan untuk melanjutkan belanjanya untuk tidak terlalu memikirkan hal yang menyakitkan itu. Ia ingin fokus pada masa depannya, ia ingin menjadi wanita yang kuat dan bahagia.
****
Selepas dari supermarket, Wilda memutuskan untuk pergi ke rumah adiknya, Juwita. Ia ingin menghabiskan waktu bersama keluarga adiknya, sekaligus mengalihkan pikirannya dari kesedihan yang ia rasakan. Rumah Juwita tidak terlalu jauh dari supermarket. Wilda mengendarai mobilnya dengan hati-hati, sambil sesekali melirik ke arah jalan. Pikirannya masih tеrbayang-bayang tentang kehamilan yang ia alami tiga tahun lalu.
Tak terasa, mobil Wilda sudah sampai di depan rumah Juwita. Rumah itu terlihat asri dengan taman kecil di halaman depannya. Wilda memarkirkan mobilnya di garasi, lalu keluar dari mobil dengan langkah berat. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya sebelum bertemu dengan Juwita. Ia tidak ingin terlihat sedih di depan adiknya. Ia ingin terlihat kuat dan tegar. Wilda berjalan menuju pintu rumah Juwita, lalu mengetuknya perlahan. Tak lama kemudian, pintu rumah terbuka dan muncul Juwita dengan senyum lebar di wajahnya.
"Mbak Wilda, ayo masuk!" sapa Juwita dengan ramah.
Wilda membalas senyuman Juwita, lalu masuk ke dalam rumah. Rumah itu terlihat asri dan hangat. Wilda bisa merasakan kebahagiaan yang terpancar dari keluarga Juwita.
"Mana anakmu?" tanya Wilda sambil mencari-cari keberadaan keponakannya.
"Ada di kamar, lagi tidur," jawab Juwita. "Mbak mau lihat?"
Wilda mengangguk dengan semangat. Ia sudah tidak sabar ingin menggendong keponakannya yang baru berusia tiga bulan itu. Juwita mengajak Wilda ke kamar anaknya. Di sana, Wilda melihat keponakannya sedang tidur pulas di dalam box bayi. Wajahnya terlihat sangat tenang dan damai. Wilda terdiam menatap wajah keponakannya. Hatinya tiba-tiba dipenuhi rasa haru dan bahagia. Ia sangat menyayangi keponakannya itu. Ia ingin sekali memiliki anak seperti Juwita. Namun, ia masih trauma tentang keguguran yang ia alami kembali hadir di benaknya. Ia merasa sedih dan iri melihat kebahagiaan Juwita. Ia juga ingin merasakan hal yang sama. Juwita yang menyadari perubahan ekspresi wajah Wilda, ia pun menghampirinya. Ia tahu bahwa kakaknya masih терluka karena kejadian tiga tahun lalu.
"Mbak, jangan sedih ya," ucap Juwita dengan lembut. "Aku yakin Mbak juga pasti akan segera diberi momongan."
Wilda hanya tersenyum tipis mendengar ucapan Juwita. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Ia hanya berharap, suatu saat nanti ia juga bisa merasakan kebahagiaan menjadi seorang ibu.
****
Setelah mengunjungi rumah Juwita, Wilda kembali ke rumahnya dengan perasaan yang masih campur aduk. Ia merasa lelah dan ingin segera beristirahat. Sesampainya di rumah, Wilda langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah itu, ia berwudhu dan melaksanakan salat dzuhur. Saat salat, Wilda berdoa kepada Tuhan, memohon agar diberikan keturunan. Ia sangat ingin memiliki anak, namun ia belum tahu kapan keinginannya itu bisa terwujud.
"Ya Allah, berikanlah aku seorang anak," doa Wilda dengan suara lirih. "Aku ingin merasakan kebahagiaan menjadi seorang ibu. Aku ingin memberikan yang terbaik untuk anakku nanti."
Setelah salat, Wilda duduk терdiam di atas sajadahnya. Ia merenungkan apa yang telah terjadi hari ini. Ia menyadari bahwa ia tidak boleh terus terlarut dalam kesedihan. Ia harus bangkit dan melanjutkan hidupnya.
Wilda percaya bahwa Tuhan memiliki rencana yang indah untuknya. Ia yakin bahwa suatu saat nanti ia pasti akan diberikan seorang anak.
Wilda memutuskan untuk tidak menyerah. Ia akan terus berusaha dan berdoa. Ia juga akan terus belajar dan mempersiapkan diri untuk menjadi seorang ibu yang baik.
Wilda ingin menjadi wanita yang kuat dan bahagia. Ia ingin membuktikan bahwa ia bisa meraih semua impiannya, termasuk menjadi seorang ibu.
****
Ketika Wilda tengah melipat sajadah dan peralatan salatnya, tiba-tiba terdengar ketukan pintu dari luar. Wilda sedikit terkejut, ia tidak menyangka ada seseorang yang akan datang ke rumahnya sore ini. Dengan sedikit tergesa-gesa, Wilda mеletakkan sajadah dan peralatannya di tempatnya. Ia merapikan rambutnya yang berantakan dan mengenakan hijabnya sebelum ia membukakan pintu untuk tamunya yang datang.
"Assalamualaikum," suara Zulaikha terdengar ketus, tidak seperti biasanya yang selalu berusaha ramah di depan Wilda.
Wilda mencium tangan mertuanya dan mempersilakan Zulaikha masuk. "Kok Ibu tidak bilang dulu mau ke sini? Kan Wilda bisa siap-siap," kata Wilda sambil menutup pintu.
Zulaikha duduk di sofa ruang tamu, tanpa mempedulikan ajakan Wilda untuk duduk di meja makan.
"Tidak perlu repot. Saya cuma mau bicara sebentar," jawabnya dengan wajah masam.
Wilda merasa tidak enak hati. Dia tahu mertuanya pasti punya maksud tersembunyi di balik kedatangannya.
"Ada apa, Bu? Apa ada yang bisa Wilda bantu?" tanyanya hati-hati.
Zulaikha menghela napas panjang. "Kamu ini sudah berapa tahun menikah dengan anak saya, Wilda? Kenapa belum juga kasih kami cucu?" tanyanya dengan nada sinis.
Wilda terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Dia sudah sering mendengar pertanyaan ini, dan selalu membuatnya sakit hati. "Saya juga pengen, Bu. Tapi, belum dikasih rezeki," jawabnya lirih.
"Alasan saja! Apa kamu tidak pernah periksa ke dokter? Atau jangan-jangan kamu mandul?" tuduh Zulaikha tanpa belas kasihan.
Air mata Wilda mulai menetes. Dia tidak menyangka mertuanya akan berkata sekejam itu. "Saya sudah periksa, Bu. Kata dokter, saya sehat-sehat saja," jawabnya dengan suara bergetar.
"Sudah, sudah! Saya tidak mau dengar alasanmu lagi. Pokoknya, saya mau kamu cepat kasih saya cucu. Kalau tidak, saya tidak tahu lagi harus bagaimana," kata Zulaikha sambil berdiri dan pergi meninggalkan rumah Wilda.
Wilda terduduk lemas di sofa. Dia tidak tahu harus berbuat apa lagi. Dia sudah berusaha sekuat tenaga untuk menjadi istri yang baik, menantu yang berbakti, dan wanita yang sempurna. Tapi, kenapa mertuanya selalu saja merendahkannya? Apa salahnya kalau belum dikaruniai anak? Wilda menangis tersedu-sedu. Dia merasa hidupnya sangat berat. Dia ingin bahagia, tapi kenapa selalu saja ada masalah yang datang? Apa dia harus menyerah saja?
****
Mobil Kijang Innova yang dikendarai Arya berhenti tepat di depan rumah mereka. Senyum bahagia terpancar dari wajahnya,membayangkan kejutan yang akan ia berikan untuk Wilda. Hari ini adalah hari yang istimewa, di mana ia akan mempertemukan kembali Wilda dengan sahabatnya, Agustine, yang sudah lama tidak bertemu. Arya keluar dari mobil dengan hati berdebar-debar. Ia tidak sabar ingin melihat reaksi Wilda saat bertemu kembali dengan sahabatnya. Ia yakin, ini akan menjadi kejutan yang tak terlupakan bagi Wilda. Dengan langkah mantap, Arya berjalan menuju pintu rumah. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum menekan bel.
"Assalamualaikum," ucapnya dengan suara lantang.
Pintu terbuka dan Wilda muncul dengan wajah bingung. "Mas Arya? Kok sudah pulang?" tanyanya heran.
"Ada kejutan untukmu," jawab Arya sambil tersenyum misterius.
Wilda mengerutkan kening, penasaran dengan kejutan yang dimaksud suaminya. " kejutan apa?" tanyanya.
"Tunggu sebentar," kata Arya sambil berjalan menuju mobil. Ia membuka pintu penumpang dan mempersilakan seseorang keluar.
Wilda terkejut melihat siapa yang keluar dari mobil. "Agustine?" ucapnya dengan suara bergetar.
Agustine membalas senyum Wilda dan mengangguk. "Hai, Wilda," sapanya dengan suara lembut.
Wilda tidak bisa menahan air matanya. Ia langsung berlari memeluk sahabatnya itu. "Aku kangen banget sama kamu," ucapnya sambil terisak.
Agustine membalas pelukan Wilda. "Aku juga kangen banget sama kamu," jawabnya.
Arya tersenyum melihat kedua wanita itu berpelukan erat. Ia senang kejutannya yang ia rencanakan berjalan lancar.
****
Dengan senyum lega, Arya menjelaskan kepada Wilda bahwa kejutan ini berasal dari Agustine sendiri. Tadi siang, Agustine meneleponnya, mengabarkan bahwa ia telah kembali dari Prancis dan ingin membuat kejutan untuk sahabatnya. Arya, yang mengetahui betapa Wilda merindukan Agustine, tentu saja menyetujui ide tersebut.
"Maaf ya, Sayang, makan malam romantis kita jadi batal," kata Arya sambil mengusap lembut kepala Wilda. "Tapi, aku yakin kamu lebih senang bertemu Agustine, kan?"
Wilda mengangguk dengan mata berkaca-kaca. "Iya, Mas. Aku senang banget bisa ketemu Agustine lagi," jawabnya tulus. "Aku nggak masalah makan malamnya ditunda. Yang penting, aku bisa ngobrol dan melepas rindu sama dia."
Arya tersenyum lega mendengar jawaban Wilda. Ia tahu, Wilda adalah istri yang pengertian dan selalu mendukungnya dalam segala hal. Ia berjanji akan segera mengatur ulang makan malam romantis mereka, setelah Agustine kembali ke rumahnya.
"Ya sudah, sekarang kita masuk yuk. Agustine sudah nunggu dari tadi," ajak Arya sambil merangkul Wilda.
Wilda mengangguk dan mengikuti langkah Arya menuju pintu rumah. Ia sudah tidak sabar ingin bertemu dan bercerita banyak hal dengan sahabatnya itu. Pertemuan ini pasti akan menjadi momen yang sangat berharga bagi mereka berdua.
****
Di tengah obrolan hangat antara Wilda dan Agustine, Arya merasa ada sesuatu yang aneh. Ia menyadari bahwa Agustine seringkali melirik ke arahnya, bahkan ketika ia sedang berbicara dengan Wilda. Awalnya, Arya mengira itu hanya perasaan sesaat saja. Namun, semakin lama, ia semakin yakin bahwa Agustine memang memperhatikannya secara intens. Arya menjadi sedikit canggung. Ia berusaha untuk tidak terlalu memperdulikan tatapan Agustine, tetapi tetap saja merasa tidak nyaman. Ia tidak ingin salah paham atau berpikir yang tidak-tidak tentang sahabat istrinya itu. Namun, di sisi lain, ia juga tidak bisa mengabaikan perasaannya yang mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
"Mas, kok diem aja?" tegur Wilda, membuyarkan lamunan Arya.
"Eh, enggak kok. Aku lagi merhatiin kalian aja," jawab Arya, berusaha bersikap biasa.
"Oh gitu. Kirain Mas Arya lagi mikirin apa," kata Wilda sambil tersenyum.
Arya membalas senyuman Wilda, tetapi pikirannya masih dipenuhi dengan tatapan Agustine. Ia berharap, perasaannya hanya salah saja. Ia tidak ingin ada masalah yang timbul di antara mereka, apalagi sampai merusak persahabatan Wilda dan Agustine.
****
Agustine semakin menjadi-jadi dalam memprovokasi Arya. Ketika Wilda pergi ke toilet, Agustine memanfaatkan kesempatan itu untuk mendekati Arya. Ia sengaja duduk di samping Arya, terlalu dekat hingga membuat Arya merasa tidak nyaman.
"Arya, kamu kok ganteng banget sih malam ini?" kata Agustine dengan suara yang dibuat-buat sensual. Ia mengulurkan tangannya dan menyentuh lengan Arya dengan lembut.
Arya terkejut dengan tindakan Agustine. Ia berusaha untuk menjaga jarak dan tidak terpancing dengan rayuan sahabat istrinya itu. "Agustine, kamu apa-apaan sih?" kata Arya dengan nada sedikit gugup.
"Aku cuma bilang yang sebenarnya. Kamu memang ganteng, Arya. Aku jadi inget waktu kita SMA, kamu selalu jadi idola cewek-cewek," balas Agustine sambil tersenyum menggoda.
Arya semakin tidak nyaman. Ia melirik ke arah toilet, berharap Wilda segera kembali. "Agustine, jangan gini dong. Aku suami sahabatmu," kata Arya, mencoba mengingatkan Agustine.
"Justru itu masalahnya. Aku jadi penasaran, gimana rasanya punya suami seperti kamu," ucap Agustine dengan nada berani. Ia semakin mendekat ke arah Arya, bahkan hampir menyentuh wajahnya.
Arya benar-benar panik. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia tidak mungkin berteriak atau mendorong Agustine, karena Wilda pasti akan curiga. Namun, ia juga tidak bisa membiarkan Agustine terus merayunya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!