NovelToon NovelToon

Menantu Bar-bar Itu Aku

menjadi pembantu gratisan

"Mas, aku lelah. Mending kita ngontrak aja, lah. Biar sepetak, nggak masalah asal cuma berdua," rengek Karina dengan nada yang lelah dan sedikit manja, sambil memandang Rudi dengan mata yang memohon. Suaranya terdengar lembut.

"Kamu itu kenapa sih, tiap hari yang dibicarakan cuma ngontrak mulu," jawab Rudi dengan nada yang sedikit kesal dan tidak sabar. "Ngontrak itu mahal, kan? Sayang duitnya," tambahnya, sambil menggelengkan kepala dan memandang Karina dengan mata yang tidak setuju.

Selalu saja Rudi menolak ketika Karina meminta untuk hidup ngontrak, agar bisa pisah dari keluarga Rudi dan bisa hidup mandiri berdua saja. Karina sudah merasa sangat lelah harus hidup satu atap dengan keluarga Rudi yang sangat toxic, yang selalu membuatnya merasa tidak nyaman dan tertekan. Ia merindukan kebebasan dan kedamaian yang hanya bisa ia dapatkan jika hidup berdua saja dengan Rudi.

Tok.. Tok.. Tok.. pintu kamar digedor dengan keras, membuat Karina dan Rudi terkejut dan tidak nyaman. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Bu Marni, mertua Karina yang suka semena-mena dan tidak pernah berhenti mengganggu privasi mereka. Karina merasa kesal dan frustrasi, karena ia sudah tidak tahan lagi dengan perlakuan Bu Marni yang selalu mencari-cari kesalahan dan membuat masalah.

"Karin, piring kok belum dicuci sih!" teriak Bu Marni dari luar pintu, dengan nada yang keras dan menghardik.

Karina merasa kesal dan tidak nyaman, karena ia merasa bahwa Bu Marni tidak pernah berhenti mengkritik dan mengganggu privasinya.

"Mas..." rengek Karina, mencoba mencari pembelaan dari sang suami, Rudi. Ia memandang Rudi dengan mata yang memohon, berharap bahwa Rudi akan membantunya menghadapi Bu Marni yang suka semena-mena.

"Sudah kamu kerjakan saja apa yang ibu perintahkan, ingat kita ini cuma numpang disini," ucap Rudi dengan nada yang pasrah dan tidak bersemangat, membuat Karina merasa kesal dan sedih. Ia merasa bahwa Rudi tidak pernah membela atau mendukungnya dalam menghadapi perlakuan Bu Marni yang tidak adil.

Rasanya percuma juga Karina merengek, toh punya suami tak pernah mau membela istrinya yang dijadikan pembantu oleh keluarganya.

Karina pun dengan enggan keluar kamarnya, wajahnya terlihat kesal dan tidak sabar. "Apa sih, Bu, berisik tau malam-malam gedor-gedor pintu kamar kenceng banget," ucap Karina dengan nada yang tidak sabar dan sedikit marah, sambil memandang Bu Marni dengan mata yang tidak puas.

"Kamu tuli ya, cucian piring numpuk itu. Enak saja habis makan nggak mau nyuci. Kamu harus inget ya, kamu tuh cuma orang lain yang numpang disini karena kebetulan dinikahi Rudi," ucap Bu Marni, wajahnya terlihat keras dan tidak suka, matanya tajam dan menghina, membuat Karina merasa tidak nyaman dan terhina.

"Aku juga terpaksa kok, Bu, numpang disini," jawab Karina dengan nada yang sedikit keras dan tidak sabar. "Karena anak Ibu itu tidak mau diajak pindah," tambahnya dengan nada yang sedikit marah. "Padahal, kan, enak ngontrak sendiri, tidak apa-apa biarpun hanya sepetak, asalkan nyaman dan tidak ada pengganggu," ucap Karina dengan nada yang sedikit mengeluh dan merindukan kebebasan.

Mendengar ucapan sang menantu, Bu Marni semakin murka. Wajahnya merah padam, matanya tajam dan menghina. "Berani ya kamu melawan mertua mu sendiri?" ucapnya dengan nada yang keras dan menghardik. "Rudi, lihat nih istri macam apa begini! Kamu tuh jadi suami, nasehatin istri yang bener, Rud! Jangan sampai istrimu itu berani sama kamu, apalagi sama orangtuamu juga!" Bu Marni melanjutkan dengan nada yang semakin keras dan mengancam.

"Eh Bu, aku juga lama-lama capek dijadikan pembantu gratisan dirumah ini," ucap Karina dengan nada yang sedikit marah dan kesal. "Nih ya, dirumah ini bukan cuma ada aku, ada Ibu, ada Rina dan Rani juga. Aku tuh udah masak, nyapu, nyuci, ngepel, semua aku yang kerjain. Timbang nyuci piring itu juga bekas makan semua orang yang ada disini, masa harus aku lagi?" Karina melanjutkan dengan nada yang semakin keras dan protes, meminta keadilan dan pengakuan atas jerih payahnya.

Rudi memotong perkataan Karina dengan nada yang tidak sabar, "Karina, cukup! Lebih baik kamu cuci piring saja dulu, biar cepat kelar. Kalau debat terus, yang ada gak bakal beres tuh cucian." Suaranya terdengar keras dan tidak mendukung Karina, malah membela ibunya. "Benar kata Ibu, kita disini hanya numpang, jadi harus sadar diri," tambahnya dengan nada yang sedikit menghardik, membuat Karina merasa tidak nyaman dan tidak didukung oleh suaminya sendiri.

Bu Marni menatap Karina dengan mata yang tajam dan puas, kemudian ia mengucapkan dengan nada yang keras, "Tuh, dengar kata suamimu!" Suaranya terdengar seperti perintah yang tidak bisa ditolak, membuat Karina merasa tertekan dan tidak berdaya.

Dengan langkah yang berat dan malas, Karina berjalan menuju dapur untuk mencuci piring kotor. Ia merasa kesal dan sedih karena suaminya tidak mendukungnya dan malah seakan-akan mendukung ibunya.

Sambil mencuci piring, Karina menggumamkan kata-kata yang penuh kesedihan dan kekecewaan, "Dasar suami tidak punya perasaan, istrinya ditindas dan dijadikan pembantu keluarganya, kok diam saja, malah seakan mendukung. Keluarga laknat ya, gini. Ya Allah, dosa apa sebenarnya yang hamba lakukan sehingga memiliki mertua seperti itu?" Suaranya terdengar pelan dan penuh kesedihan, mencerminkan perasaannya yang terluka dan tertekan. Air mata Karina hampir jatuh, namun ia berusaha menahannya agar tidak terlihat oleh orang lain.

Rudi, anak pertama dari Bu Marni, seorang janda yang kuat dan tabah. Ia memiliki adik kembar, Rina dan Rani, yang masih bersekolah di kelas 3 SMA. Bu Marni, dengan kerja keras dan pengorbanan, membesarkan dan menyekolahkan anak-anaknya berkat penghasilan dari warung kecil di depan rumah. Meskipun warungnya tidak terlalu besar, namun cukup untuk menghidupi anak-anaknya dan memberikan mereka kesempatan untuk meraih pendidikan yang baik.

Namun, setelah Rudi mulai bekerja, tanggung jawab keuangan keluarga sepenuhnya beralih kepadanya. Ia harus menanggung biaya kebutuhan sehari-hari rumah, tagihan listrik, serta biaya sekolah Rina dan Rani.

Sebagai istri, Karina berusaha memahami posisi suaminya yang bekerja sebagai manager di sebuah pabrik produk pangan. Gaji Rudi yang cukup lumayan, sekitar 7 juta rupiah per bulan, belum termasuk bonus akhir bulan, harus dibagi-bagi untuk memenuhi seluruh kebutuhan keluarganya. Karina dapat merasakan beban tanggung jawab suaminya dan berusaha untuk mendukungnya dalam menghadapi kesulitan keuangan keluarga.

Dengan gaji Rudi yang cukup lumayan, seharusnya kebutuhan rumah tangga dapat terpenuhi dengan baik, apalagi jika dibantu dengan keuntungan dari warung Bu Marni. Namun, kenyataannya berbeda. Bu Marni tampaknya tidak mau mengeluarkan uang sepeserpun dari keuntungan warungnya untuk kebutuhan rumah sehari-hari dan biaya sekolah Rina dan Rani. Ia lebih memilih untuk menyimpan uang tersebut sendiri, dengan alasan bahwa itu adalah tabungan untuk hari tuanya nanti. Keputusan ini membuat beban keuangan Rudi semakin berat, dan Karina merasa bahwa ibu mertuanya tidak adil dalam membagi tanggung jawab keuangan keluarga.

***

Karina menggoyangkan tubuh Rudi dengan lembut, berusaha membangunkannya dari tidurnya. "Mas, bangun," ucapnya dengan nada yang lembut tapi tegas. "Sudah jam setengah 7, loh. Kamu tidak akan terlambat kerja, kan?" Suaranya terdengar khawatir dan mengingatkan, berusaha memastikan bahwa Rudi tidak akan ketinggalan waktu kerjanya.

Rudi akhirnya bangun, meskipun dengan sedikit terpaksa. Ia membuka mata yang masih terlihat ngantuk dan mengucek-nguceknya dengan tangan. "Iya, iya, ih, brisik banget sih, Karin," ucapnya dengan nada yang masih terdengar ngantuk dan sedikit menggerutu, menunjukkan bahwa ia belum sepenuhnya sadar dan masih membutuhkan waktu untuk memulai hari.

Karina tidak bisa menahan tawanya yang terbahak-bahak mendengar komentar Rudi yang masih terlihat ngantuk. "Kamu tuh aneh, namanya bangunin orang ya harus brisik lah biar cepat bangun. Kalau pelan-pelan, bukan bangunin namanya, tapi bisikin." Suaranya yang penuh humor dan sindiran membuat Rudi akhirnya bangun sepenuhnya dari tidurnya.

Rudi memutuskan untuk mengakhiri perdebatan dan bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya dan bersiap-siap untuk berangkat ke kantor.

Sementara itu, di ruang makan, semua orang telah berkumpul di sekitar meja makan yang telah diatur dengan rapi. Karina telah memasak beberapa hidangan lezat, termasuk sayur kangkung yang segar, tempe goreng yang renyah, dan telur dadar yang telah dipotong-potong menjadi lima bagian yang rapi. Aroma masakan yang lezat memenuhi udara, membuat perut semua orang terasa lapar dan siap untuk menikmati sarapan bersama.

Rina memandang menu yang ada di meja makan dengan ekspresi kekecewaan yang jelas terlihat di wajahnya. "Yah, Mbak, kok kangkung lagi, tempe lagi?" ucapnya dengan nada yang sedikit mengeluh dan mempertanyakan. "Mbok ya sesekali masak ayam. Kalau begini, kapan kita jadi pintar? Nutrisi saja tidak terpenuhi," tambahnya dengan nada yang sedikit sinis, seolah-olah mengatakan bahwa menu yang disajikan tidak cukup bergizi untuk mendukung kecerdasan mereka.

Rani, kembarannya, segera menyahut dengan nada yang setuju dan mengangguk, "Iya, bener."

Karina memandang Rina dan Rani, kemudian berkata, "Heh, anak-anak prawan, taunya cuma makan, tidur, sekolah, dan main, udah itu aja," ucapnya dengan nada yang sedikit menyinggung. "Kalian tidak pernah mau tahu bagaimana pusingnya mengatur uang belanja yang dikasih dengan nominal yang pas-pasan. Asal kalian tahu ya, Mbak masak ya sesuai dengan jatah bulanan yang Mas mu kasih. Kalau Mas mu ngasihnya sedikit, ya mana bisa masak ayam?" Karina mengucapkan kata-katanya dengan nada yang sedikit kesal, namun masih terdengar lembut, seolah-olah ingin mengingatkan Rina dan Rani tentang kenyataan yang dihadapi oleh keluarga mereka.

Rudi memandang Karina dengan ekspresi tidak terima, kemudian berkata dengan nada yang sedikit protes, "Karin, aku tuh ngasih 1 juta ya hanya untuk makan. Kamu bilang itu kecil nominalnya?" Ia mengucapkan kata-katanya dengan nada yang sedikit meninggi, ingin menekankan bahwa 1 juta adalah jumlah yang cukup besar untuk kebutuhan makan sehari-hari.

Karina tersenyum lebar, menampilkan deretan giginya yang putih dan rapi. "Suamiku sayang, 1 juta itu memang besar jika hanya untuk makan selama satu minggu saja," ucapnya dengan nada yang santai dan sedikit sindir. "Tapi, kalau itu harus cukup untuk satu bulan penuh, dan harus memenuhi kebutuhan makan lima orang dewasa di rumah ini, kamu pikir itu banyak?" Ia mengucapkan kata-katanya dengan nada yang sedikit menantang, seolah-olah ingin membuat Rudi memahami realitas keuangan keluarga mereka. "Hello, udah bisa masak begini saja, Alhamdulillah," tambahnya dengan nada yang sedikit lega dan bersyukur.

Rudi menghela napas, kemudian berkata dengan nada yang sedikit kesal, "Aku langsung berangkat saja. Sarapan dipabrik saja nanti, sudah tidak selera makan rasanya." Ia berpaling untuk pergi, namun terhenti oleh suara Rani yang memanggilnya.

"Mas, minta uang saku," ucap Rani dengan nada yang polos dan manja, membuat Rudi tersenyum dan mengeluarkan dompetnya untuk memberikan uang saku kepada Rani.

Rudi mengeluarkan selembar uang Rp20.000 dari kantongnya dan menyerahkannya kepada Rina dan Rani.

"Terimakasih, Mas," ucap mereka secara bersamaan, dengan nada yang serempak dan polos, serta senyum yang lebar di wajah mereka.

***

Sesampainya di kantor, Rudi langsung menuju ke kantin, meninggalkan tasnya di meja kerja. Firman, teman sekerja Rudi di satu divisi, menyapanya dengan nada heran. "Tumben, Rud, kamu sarapan di kantin," ucap Firman sambil menunjukkan rasa penasaran tentang perubahan kebiasaan Rudi.

Rudi menjawab dengan singkat, "Lagi sebel sama istri," sambil memasukkan nasi ke dalam mulutnya, tidak menoleh ke arah Firman.

Firman, yang penasaran dengan jawaban Rudi, duduk di kursi yang berada di depan Rudi, ikut nimbrung sarapan bersama. Ia memperhatikan Rudi yang terlihat masih kesal,

Firman mencoba menebak penyebab kesalahan Rudi, sambil tersenyum sinis. "Kenapa lagi, pasti istri lu minta ngontrak lagi ya," ucapnya dengan nada yang sedikit ejekan, seolah-olah sudah tahu jawabannya.

Rudi menghela napas, kemudian menjelaskan penyebab kesalahan hari itu. "Dia bilang kalau uang jatah untuk belanja sehari-hari itu kecil, jadinya masak cuma itu-itu aja," ucapnya dengan nada yang sedikit kesal. "Satu juta kok dibilang kecil, jatuhnya istri tidak tahu diuntungkan atau tidak," tambahnya dengan nada yang sedikit geram, merasa bahwa istrinya tidak menghargai upayanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Firman bertanya dengan nada yang santai dan sedikit penasaran, "Satu juta untuk seminggu?"

Rudi terkejut mendengar pertanyaan itu dan melotot dengan mata yang lebar, seolah-olah tidak percaya bahwa Firman bisa berpikir seperti itu. "Sejuta buat sebulan lah!" ucapnya dengan nada yang sedikit keras dan geram. "Gila kamu, masa iya sejuta buat seminggu? Itu buat makan apa, buat foya-foya?" tambahnya dengan nada yang sedikit ejekan, seolah-olah ingin menekankan bahwa satu juta untuk seminggu adalah jumlah yang tidak masuk akal.

Firman tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban Rudi, seolah-olah tidak percaya bahwa temannya bisa berpikir seperti itu. "Hahahaha... satu juta buat makan sebulan, terus yang makan lima orang dewasa?" ucapnya dengan nada yang penuh ejekan dan penasaran. "Gila kebangetan deh, kamu Rud! Aku nih, ya yang belum nikah aja, tau loh, sejuta buat makan sebulan itu kurang. Masak iya, kamu yang seorang direktur tidak tau, apa tidak mau tau?" Firman mengucapkan kata-katanya dengan nada yang sedikit sindir dan penasaran, seolah-olah ingin menekankan bahwa Rudi seharusnya lebih tahu tentang kebutuhan keluarga. "Wajar saja istrimu itu protes," tambahnya.

Rudi merasa tidak puas dengan komentar Firman yang berpihak pada Karina. "Kok kamu jadi belain Karina sih?" ucapnya dengan nada yang sedikit kesal. "Suami itu sudah bekerja keras mencari uang untuk keluarga. Nah, istri itu harusnya pinter-pinter lah mengelola uang biar cukup sampai gajian selanjutnya. Hargai seberapa pun suami memberi," tambahnya dengan nada yang sedikit keras, ingin menekankan bahwa istrinya harus lebih menghargai upayanya.

Firman tersenyum sinis mendengar jawaban Rudi. "Terserah deh, bro. Yang jelas, kalau aku yang jadi istrimu, sudah minta cerai aja, mending," ucapnya dengan nada yang santai namun sedikit menantang.

Rudi mengucapkan kata-katanya dengan nada yang sedikit sombong dan percaya diri. "Mana mungkin dia minta pisah dari aku, hidup dia aja cuma numpang dan bergantung sama aku." Ia kemudian berpaling dan berjalan meninggalkan Firman, yang masih duduk dan belum selesai menghabiskan sarapannya. "Sudah lah, aku balik ke ruangan dulu ya," ucapnya sebelum pergi.

Firman menatap Rudi yang berjalan pergi dengan ekspresi yang sedikit khawatir dan penasaran. "Ya ampun, Rudi, Rudi... harusnya kamu itu bersyukur punya istri kayak Karina," ucapnya dengan nada yang sedikit berat dan khawatir. "Lihat saja nanti, kalau Karina udah sadar dan benar-benar merasa capek dengan keluargamu, kelar kalian semua," tambahnya dengan nada yang serius.

Karina dan Rudi memiliki latar belakang yang unik. Mereka berdua dulunya bekerja di tempat yang sama, yaitu di kantor tempat Rudi sekarang bekerja. Namun, karena peraturan perusahaan yang melarang karyawan yang sudah menikah bekerja di tempat yang sama, Karina terpaksa mengambil keputusan sulit. Ia memilih untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya, sehingga Rudi bisa tetap bekerja di kantor tersebut.

Selain itu, pernikahan Karina dan Rudi juga tidak direstui oleh keluarga Karina. Orang tua Karina tampaknya tidak menyukai Rudi sebagai menantu mereka, meskipun alasan pastinya tidak jelas. Mungkin karena perasaan atau "feeling" yang tidak enak, atau mungkin karena alasan lain yang lebih kompleks. Yang jelas, pernikahan Karina dan Rudi diwarnai oleh berbagai tantangan dan kesulitan.

Namun, cinta buta Karina membuatnya tetap memilih menikah dengan Rudi, meskipun harus melawan keinginan orang tuanya. Awal pernikahan mereka berjalan dengan mulus, seperti pengantin baru pada umumnya. Rudi masih sangat baik dan perhatian terhadap Karina.

Namun, di bulan-bulan berikutnya, keadaan mulai berubah. Keluarga Rudi, yang ternyata memiliki sifat toxic, mulai menunjukkan watak aslinya. Mereka mulai memperlakukan Karina seperti pembantu gratisan di rumah mereka. Karina dipaksa untuk melakukan pekerjaan rumah tangga yang berat, tanpa ada penghargaan atau rasa terima kasih dari keluarga Rudi. Rudi, yang awalnya sangat baik, tampaknya tidak dapat melindungi Karina dari perlakuan keluarganya yang tidak adil.

Karina adalah anak tunggal dari keluarga yang relatif berada. Namun, setelah memutuskan menikah dengan Rudi, hubungannya dengan orang tuanya menjadi renggang. Orang tuanya tidak menerima pilihan hidupnya dan akhirnya memutuskan hubungan dengan Karina. Selama hampir 2 tahun pernikahan, Karina tidak pernah menghubungi atau pulang ke rumah orang tuanya. Ia tampaknya telah memutuskan untuk memulai hidup baru dengan Rudi, meskipun itu berarti meninggalkan hubungan dengan keluarganya. Kehidupan Karina sekarang sepenuhnya bergantung pada Rudi dan keluarganya, yang sayangnya tidak selalu memperlakukannya dengan baik.

Bersambung...

karina marah

Teriakan Bu Marni dari arah warung terdengar jelas, "Karina, langit mendung mau hujan kayaknya. Itu jemuran belum diangkat!" Namun, suara itu tidak dapat menembus ke dalam kamar Karina, yang sedang tiduran dengan lelap, tidak menyadari panggilan mertuanya.

Bu Marni, yang mulai khawatir jemuran akan basah terkena hujan, menghela napas dan berpaling kepada tetangganya, Bu Sri. "Duh, mana sih itu anak?" ucapnya dengan nada yang sedikit kesal. "Bentar ya, Bu Sri, saya panggil mantuku dulu, takut keburu hujan ini," tambahnya sambil berjalan menuju rumahnya, berencana memanggil Karina untuk mengangkat jemuran.

Bu Sri mencoba menenangkan Bu Marni dengan kata-katanya yang lembut. "Yaudah sih, Bu Marni, tinggal diangkat dulu jemuran nya. Siapa tau Karina nya lagi sibuk didalam."

Namun, Bu Marni tidak sependapat dengan Bu Sri. Ia menggelengkan kepala dan mengucapkan kata-katanya dengan nada yang sedikit kesal. "Sibuk ngapain, lah? Wong Karina itu anaknya pemalas kok. Kalau gak disuruh, ya nggak bakal dikerjain. Anak jaman sekarang mesti sering dikasih tau, Bu Sri, biar nggak manja dan leha-leha saja bisanya."

Bu Marni kemudian berjalan masuk ke dalam rumah, sambil berteriak memanggil menantunya. "Karin, Karina... kamu dimana? Angkat jemuran ini, sudah mau hujan!" Suaranya yang keras dan memerintah terdengar jelas.

Tetap saja tidak ada jawaban dari Karina. Bu Marni semakin kesal dan menggedor-gedor pintu kamar Karina dengan kencang, membuat suara yang keras dan mengganggu. "Dokkk.. dokkk.. dokkk..!"

Akhirnya, dengan enggan, Karina membukakan pintu kamarnya. Ia tampak sedang mengantuk dan tidak senang dengan gangguan tersebut. "Apa sih, Bu? Berisik banget, ganggu aja deh," ucapnya dengan nada yang sedikit kesal dan tidak sabar, rasanya ingin kembali ke tidurnya.

Bu Marni melotot dengan mata yang lebar, mendengar ucapan menantunya yang terdengar tidak hormat. "Apa kamu bilang ibu ganggu?" ucapnya dengan nada yang tinggi dan kesal. "Dari tadi dipanggil gak nyaut-nyaut, ternyata malah asik-asik tidur ya!"

Bu Marni kemudian menunjuk ke arah luar rumah, "Tuh, angkat jemuran sudah mau hujan!" Ia berharap Karina segera mengerti apa yang harus dilakukan.

Namun, Karina tidak menunjukkan reaksi yang diharapkan. Ia malah membalas dengan nada yang sedikit keras dan tidak sabar, "Astaga, ibu teriak-teriak cuma buat nyuruh aku angkat jemuran? Bu, timbang angkat jemuran doang apa susahnya. Udah aku cuciin loh semua baju satu keluarga disini." Karina berusaha mempertahankan dirinya, namun kata-katanya hanya membuat Bu Marni semakin kesal.

"Gak usah membantah ya kamu! Cepat angkat jemuran, kamu tuh harus sadar kalau..." Bu Marni berhenti sejenak, menunggu Karina untuk memahami apa yang ingin ia katakan.

Namun, Karina sudah menyahut sebelum Bu Marni selesai berbicara. "Kalau aku cuma numpang disini kan, aku hanya orang asing yang kebetulan dinikahi oleh anak ibu, ya kan?" Karina mengucapkan kata-katanya dengan nada kesal, seolah-olah ingin menekankan bahwa ia merasa tidak dihargai dan hanya dianggap sebagai 'orang asing' di rumah tersebut.

Bu Marni tampaknya puas dengan jawaban Karina, karena ia kemudian mengangguk dan mengucapkan, "Nah, tuh, kamu sadar siapa kamu disini. Udah, sana buruan, ibu masih ada pembeli." Dengan itu, Bu Marni berpaling dan keluar meninggalkan Karina, yang masih berdiri di tempat dengan ekspresi yang sedih dan kesal.

Bu Marni menggerutu dengan suara yang kencang, sengaja agar orang-orang yang berada di sekitar warungnya dapat mendengar. "Dasar, orang tua manggil dari tadi, ternyata malah enak-enak tidur di kamar," ucapnya dengan nada yang kesal dan tidak puas.

Suara gerutu Bu Marni menarik perhatian beberapa orang yang sedang berbelanja di warungnya. Mereka menoleh ke arah Bu Marni, penasaran dengan apa yang terjadi.

Bu Ratih, tetangga yang sedang berbelanja di warung Bu Marni, mencoba menenangkan situasi dengan kata-katanya yang lembut. "Biarkan saja, to Bu Marni, siapa tau Karina memang capek jadi tidur. Perkara angkat jemuran saja gak usah dipanjangin," ucapnya dengan nada yang santai dan tidak ingin memperburuk situasi. Bu Ratih berusaha menengahi konflik antara Bu Marni dan Karina, dengan harapan dapat meredakan ketegangan yang ada.

"Iya, tu Bu Marni, kan kasihan Karina pasti capek beberes rumah sendirian," sahut Bu Sri dengan nada yang lembut dan penuh empati.

Bu Marni mengangguk, namun dengan nada yang sedikit keras dan tidak fleksibel. "Eh, itu memang sudah kewajiban seorang istri dan menantu, Bu Ibu. Karina kan istri Rudi, jadi wajar dia yang lakukan semua pekerjaan rumah." Ucapannya terdengar seperti perintah yang tidak bisa ditolak.

Bu Sri tidak setuju dengan pendapat Bu Marni dan segera membela Karina. "Eh, Bu Marni, Karina itu istri dan menantu, bukan pembantu, tau," ucapnya dengan nada yang tegas dan tidak ragu-ragu. Bu Sri berusaha menekankan bahwa Karina memiliki hak dan martabat yang sama sebagai anggota keluarga, bukan hanya sebagai pembantu rumah tangga.

Para tetangga di sekitar rumah Rudi sudah tidak asing lagi dengan kelakuan buruk keluarga tersebut terhadap Karina, yang sering kali diperlakukan dengan semena-mena.

Saat itu, Karina keluar dari rumah bersama dengan Rina. Karina menunjuk ke arah tali jemuran yang berada di teras, "Tuh, Rin, angkat jemuran yang sudah kering, nanti yang masih belum kering kamu taruh di teras sana."

Rina mengangguk singkat dan menjawab, "Iya." Ia kemudian berlari ke arah tali jemuran, siap untuk melakukan tugas yang diberikan oleh Karina.

Bu Marni terkejut dan tidak terima ketika melihat Rina, anak kembarnya, yang sedang mengangkat jemuran. "Loh, loh, kok jadi Rina yang angkat jemuran?" ucapnya dengan nada yang kesal dan tidak puas.

"Tau tuh, Bu, Mbak Karin maksa. Kalau gak mau, besok gak bakal di cuciin bajuku katanya." Rina mengulangi perkataan Karina dengan nada yang sedikit takut, seolah-olah ia tidak ingin melakukan sesuatu yang salah. Bu Marni semakin kesal mendengar perkataan Rina, dan ia merasa bahwa Karina telah melampaui batas sebagai menantu.

Bu Marni melotot tajam ke arah Karina, matanya terlihat marah dan tidak puas. "Enak saja kamu nyuruh-nyuruh anakku. Gak bisa Rina itu harus belajar," ucapnya dengan nada yang keras dan tidak sabar.

Karina, yang merasa perlu membela diri, menjawab dengan nada yang sedikit manis dan mencari pembelaan. "Bu, anak perawan tuh jangan diajarin males, dong. Timbang angkat jemuran sebentar doang. Justru ibu harus terimakasih sama aku, karena mau mendidik anak ibuk biar gak jadi gadis pemalas." Karina berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan nada yang sedikit memelas. "Iya kan, Bu Ibu?"

Bu Sri mencoba menenangkan situasi dengan kata-katanya yang lembut. "Iya, Bu Marni, biarin aja sih. Biar Rina nanti bisa ngelakuin pekerjaan rumah tangga." Ia berharap bahwa dengan membiarkan Rina melakukan pekerjaan rumah tangga, gadis remaja itu akan menjadi lebih mandiri dan terampil.

Rina, yang merasa tidak nyaman dengan situasi tersebut, mengucapkan kata-katanya dengan nada yang sedikit takut-takut. "Bu..."

Namun, Karina tidak memberikan kesempatan kepada Rina untuk berbicara lebih lanjut. Ia malah mengancam Rina dengan nada yang keras. "Udah, buruan angkat sekarang, atau..." Karina tidak menyelesaikan kalimatnya, namun Rina sudah memahami apa yang ingin dikatakan oleh Karina.

Rina berjalan dengan menghentakkan kakinya, menunjukkan bahwa ia tidak senang dengan situasi tersebut. "Iya, iya, ih nyebelin banget sih, Mbak," ucapnya dengan nada yang sedikit kesal.

Bu Marni hanya bisa diam menyaksikan anaknya, Rina, disuruh oleh Karina. Ia merasa tidak puas dan ingin melawan, namun ia tidak ingin membuat situasi menjadi lebih buruk, terutama karena ada beberapa ibu-ibu yang sedang berbelanja di warungnya.

Bu Sri, salah satu ibu-ibu yang sedang berbelanja, menghampiri Bu Marni dan mengucapkan, "Bu Marni, aku sudah nih belanjanya." Bu Marni kemudian mulai menghitung belanjaan yang dibeli oleh Bu Sri, dengan teliti dan sabar.

Setelah selesai menghitung, Bu Marni mengucapkan, "Semua jadi 34 ribu." Ia menyerahkan total belanjaan kepada Bu Sri, yang kemudian membayar dengan uang tunai 20 ribuan 2 lembar.

Bu Marni menyerahkan kembalian kepada Bu Sri dengan senyum yang ramah. "Nih, kembaliannya 6 ribu," ucapnya sambil menyerahkan uang kembalian tersebut.

Bu Sri menerima kembalian tersebut dan menyimpannya di dalam dompetnya, lalu berpamitan dengan Bu Marni sebelum berangkat.

Sementara itu, Bu Ratih, yang juga telah selesai berbelanja, menghampiri Bu Marni dan mengucapkan, "Aku juga sudah, Bu Marni." Ia menyerahkan uang pembayaran dan menerima kembalian dari Bu Marni, sebelum berpamitan dan berangkat meninggalkan warung.

***

Pukul 16.30, jam kerja di pabrik telah usai. Para karyawan mulai bersiap-siap untuk pulang, termasuk Rudi. Ia langsung berjalan menuju parkiran, siap untuk meninggalkan tempat kerja dan kembali ke rumah.

Saat Rudi berjalan, Lisa, salah satu bawahannya di pabrik, menghampiri dan menyapa Rudi dengan sopan. "Sore, Pak Rudi, udah mau pulang, Pak?" tanyanya dengan nada yang ramah dan hormat. Rudi tersenyum dan mengangguk, menunjukkan bahwa ia siap untuk pulang dan meninggalkan kesibukan hari itu.

"Sore, Lisa. Iya, nih, mau pulang. Aku duluan ya," ucap Rudi sambil tersenyum dan mengangguk.

Lisa, yang sedang berdiri di samping Rudi, segera memanfaatkan kesempatan tersebut. "Eh, anu, Pak Rudi, maaf, bisa numpang ikut pulang gak ya? Kebetulan kita kan searah nih. Motor aku tadi pagi dibengkel," tanyanya dengan nada yang sopan dan sedikit berharap.

Rudi tidak keberatan dan mempersilakan Lisa untuk ikut pulang bersamanya. "Oh, boleh, Lisa. Sekalian kita kan searah juga," ucapnya sambil tersenyum.

Lisa sangat senang ketika Rudi memperbolehkan dia untuk ikut pulang bersama. Ia merasa sangat beruntung karena dapat bersama dengan sosok yang sangat diidolakannya. Menurut Lisa, Rudi adalah orang yang sangat sempurna, dengan wajah yang tampan, jabatan sebagai direktur, dan gaji yang pasti sangat memuaskan. Lisa tidak dapat menyembunyikan rasa kagumnya terhadap Rudi, dan ia merasa sangat bahagia karena dapat bersama dengannya.

Meskipun Rudi sudah memiliki istri, tidak mengurangi rasa kagum Lisa terhadapnya. Ia tetap mengidolakan Rudi sebagai sosok yang tampan, sukses, dan berwibawa.

Awalnya, Rudi tidak memiliki perasaan khusus terhadap Lisa. Ia hanya memandangnya sebagai bawahan yang kompeten dan rajin. Namun, lama-kelamaan, Rudi mulai merasa nyaman ketika berada di dekat Lisa. Ia menikmati percakapan dengan Lisa, yang selalu sopan dan hormat.

Sebagai laki-laki, Rudi tidak dapat menyangkal bahwa ia juga memiliki kelemahan terhadap wanita cantik dan menarik seperti Lisa. Ia mulai merasa tertarik pada Lisa, meskipun ia tidak ingin mengakui perasaannya tersebut. Rudi berusaha untuk tidak terlalu dekat dengan Lisa, namun ia tidak dapat menyangkal bahwa ia telah mulai merasa nyaman dan bahagia ketika berada di dekatnya.

"Sudah sampai, Lis," ucap Rudi sambil memperlambatkan laju motor. Ia dapat merasakan pelukan erat Lisa dari belakang, yang membuatnya merasa nyaman dan bahagia.

Lisa memeluk Rudi dengan erat, bahkan dadanya sengaja dipentokkan di punggung Rudi. Ia merasa sangat nyaman dan aman dalam pelukan Rudi, sehingga ia tidak sadar bahwa ia telah bersandar terlalu dekat.

"Ah, terimakasih banyak, Pak Rudi," ucap Lisa dengan nada yang manis dan sopan. "Sampai tidak sadar saya saking nyaman nya bersandar di punggung Pak Rudi, hehehe..." Ia tertawa dan mengajak Rudi untuk berhenti sejenak. "Mampir dulu yuk, Pak Rudi."

"Kapan-kapan saja ya, Lis, takut istri di rumah nyariin," ucap Rudi sambil tersenyum dan mengangguk. Ia kemudian melanjutkan kembali perjalanannya, meninggalkan Lisa di tempat mereka berhenti.

Lisa mengucapkan selamat jalan kepada Rudi dengan nada yang sopan. "Yasudah, hati-hati di jalan ya, Pak Rudi."

Setelah Rudi sudah tidak terlihat, Lisa menggumamkan kata-kata yang menunjukkan niatnya yang sebenarnya. "Akan aku buat kamu mencintaiku, Pak Rudi. Aku tidak peduli kamu itu pria yang sudah beristri. Aku bahkan rela jika harus jadi yang ke dua." Lisa mengucapkan kata-kata tersebut dengan nada yang penuh semangat dan tekad, Lisa telah memutuskan untuk melakukan apa pun yang diperlukan untuk memenangkan hati Rudi.

***

Begitu Rudi sampai di rumah, Karina menyambut Rudi dengan pertanyaan yang sedikit heran ketika Rudi masuk ke dalam rumah. "Tumben baru sampai, Mas?" Ia bertanya dengan nada yang sedikit penasaran, karena Rudi biasanya sudah sampai di rumah lebih awal.

Rudi tersenyum dan berbohong dengan nada yang santai. "Iya, jalan macet banget." Ia tidak ingin mengungkapkan kebenaran bahwa ia baru saja mengantar Lisa pulang, karena ia tahu bahwa Karina pasti akan merasa tidak nyaman dan cemburu jika mengetahuinya. Rudi berusaha untuk menyembunyikan kebenaran dan menjaga agar Karina tidak curiga.

"Yasudah, mandi dulu sana, Mas, setelah itu kita makan malam," ucap Karina dengan nada yang lembut.

Rudi mengangguk patuh dan berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri setelah seharian beraktivitas. Sementara itu, Karina dan anggota keluarga lainnya sudah berkumpul di meja makan, menunggu Rudi selesai mandi untuk kemudian menikmati makan malam bersama.

Suasana di meja makan terlihat hangat dan nyaman, dengan semua orang duduk bersama dan menunggu Rudi untuk bergabung dengan mereka. Namun, suasana tersebut segera berubah menjadi tidak nyaman ketika Rani, adik ipar Karina, memprotes makanan yang disajikan.

"Yah, sayur tadi pagi, bosen tau, Mbak," ucap Rani dengan nada yang tidak puas, menunjukkan bahwa ia tidak ingin makan sayur yang sudah disajikan sebelumnya.

Karina, yang merasa tidak senang dengan protes Rani, membalas dengan nada yang sinis. "Kalau tidak suka, gak usah makan," ucapnya dengan nada yang dingin dan tidak ramah. Jawaban Karina tersebut membuat suasana di meja makan menjadi semakin tidak nyaman.

Bu Marni, ibu Rudi, menatap Rudi dengan ekspresi yang tidak puas, sambil menunjuk ke arah Karina. "Tuh, Rud, kamu lihat sendiri bagaimana kelakuan istrimu. Adikmu cuma ungkapin unek-uneknya, toh kenyataannya memang benar begitu kan. Apa yang dibilang Rani memang benar. Apa kamu gak bosan makan pakai itu-itu mulu?" Bu Marni bertanya dengan nada yang keras dan tidak sabar, seolah-olah ingin memastikan bahwa Rudi juga merasa tidak puas dengan kelakuan Karina.

Namun, Karina tidak terpengaruh oleh ucapan mertuanya. Ia lebih memilih untuk menikmati makanan di depannya, mengisi tenaga untuk menghadapi debat dengan keluarga yang toxic. Ia tahu bahwa debat seperti ini membutuhkan tenaga ekstra, dan ia tidak ingin kehabisan energi. Dengan demikian, Karina memilih untuk fokus pada makanannya, dan tidak mempedulikan ucapan mertuanya.

"Karin, besok masak lah ayam, aku juga bosan makan pakai itu-itu mulu. Benar kata Rani," ucap Rudi, mencoba meminta Karina untuk memasak sesuatu yang lebih variatif.

Karina tidak menjawab, melainkan menengadahkan tangannya.

"Kenapa itu tangan?" tanya Rudi, tidak mengerti apa yang ingin dilakukan Karina.

Karina kemudian menjelaskan dengan nada yang sedikit kesal. "Minta uang lah buat beli ayam besok. Kamu pikir makan enak cukup pakai uang satu juta buat sebulan? Aku juga bosen sih makan kangkung tempe terus, pengen juga makan ikan atau ayam gitu." Karina mengeluhkan tentang keterbatasan uang yang diberikan Rudi untuk membeli bahan makanan, dan ingin memiliki variasi makanan yang lebih baik.

Rudi memprotes dengan nada yang sedikit kesal. "Baru dua minggu aku kasih jatah kan untuk belanja sehari-hari. Satu juta masa iya udah habis sih." Ia tidak percaya bahwa uang yang diberikan untuk belanja sehari-hari sudah habis dalam waktu yang relatif singkat.

Bu Marni, ibu Rudi, kemudian ikut campur dengan nada yang sedikit menghakimi. "Rud, istrimu tuh gak becus mengelola uang. Boros dia itu pasti uangmu ditilep sama dia." Bu Marni mengompori Rudi dengan kata-kata yang tajam, Ia ingin memastikan bahwa Rudi menyadari bahwa Karina tidak mampu mengelola uang dengan baik.

Bruak! Karina menggebrak meja dengan keras, menunjukkan bahwa ia sudah tidak sabar lagi dengan tuduhan-tuduhan yang terus-menerus dilontarkan kepadanya. Wajahnya memerah dengan marah, dan matanya berkilat dengan kemarahan.

"Aku sudah tidak sabar lagi, Mas!" Karina berteriak, suaranya menggema di ruangan. "Kamu kira kalau gas habis, minyak, beras, bumbu dapur semua pada habis terus, beli pakai uang apa coba? Ya, uang 1 juta itu! Kamu pikir itu cukup untuk kebutuhan sehari-hari keluarga ini?"

Karina juga menoleh ke arah Bu Marni, matanya berkilat dengan kemarahan. "Dan Ibu juga, aku sudah terlalu sabar ya, ngeladenin ucapan Ibu. Jangan mentang-mentang aku cuma numpang di sini, kalian bisa seenaknya memperlakukan aku seperti ini. Aku tidak akan diam saja!"

Karina mengutarakan unek-uneknya dengan nada yang tegas dan jelas. "Kalau Ibu mau makan enak, ya modal, keluarin duit buat beli makanan enak. Jangan bisanya nuduh aku boros lah, tidak pintar kelola duit lah," ucapnya dengan nada yang sedikit kesal.

Ia melanjutkan dengan nada yang lebih tegas. "Kalian pikir duit 1 juta itu gede? Hello, gimana kalau mulai sekarang aku minta jatah uang untuk belanja harian saja? Setiap hari aku minta jatah khusus untuk beli sayur saja. Uang untuk gas, beras, dan lainnya tidak termasuk didalamnya."

Karina menatap Rudi dengan mata yang tajam. "Mas Rudi, ngasih banyak ya kita makan enak. Begitu juga sebaliknya, kalau ngasihnya kecil, ya jangan harap makan enak. Oke, mulai sekarang aku putuskan untuk meminta uang belanja harian, biar kalian tau tiap hari aku belanja habis berapa." Dengan demikian, Karina ingin menunjukkan bahwa ia tidak boros dan tidak tidak pintar mengelola uang, melainkan hanya ingin memiliki kejelasan tentang anggaran belanja harian.

Rudi mencoba untuk menenangkan Karina dengan nada yang lembut. "Sudahlah, hanya masalah kecil, jangan kamu besar-besar kan, Karin? Ini kita mau makan loh."

Namun, Karina tidak dapat ditenangkan. Ia meletakkan sendok dengan kasar dan memandang Rudi dengan mata yang marah. "Apa kamu bilang, Mas? Masalah sepele? Tapi kalian semua selalu mengungkitnya. Kamu pikir aku tidak punya perasaan, Mas? Pernah tidak kamu bela aku disaat keluarga mu menghina aku? nggak pernah, Mas, justru kamu sama saja malah ikutan menghinaku."

Bu Marni dan kedua anak kembarnya hanya diam menyaksikan percekcokan antara Rudi dan Karina, tidak berani untuk memotong atau membela Karina. Mereka hanya menundukkan kepala, tidak berani untuk bertemu mata dengan Karina yang sedang marah. Padahal, awal mulanya percekcokan ini juga karena mereka, tapi jika Karina sudah ngomel-ngomel, mereka hanya bisa diam saja, tidak berani untuk menghadapi kemarahan Karina..

Setelah makan malam, Karina masuk ke dalam kamarnya dan disusul oleh Rudi. Karina merasa curiga ketika Rudi mengikutiinya ke dalam kamar dan mengunci pintu dari dalam. "Ngapain pake dikunci segala, Mas?" tanya Karina dengan nada yang sedikit waspada.

Rudi tersenyum manis dan mendekati Karina dengan langkah yang pelan. Matanya berkilat dengan nafsu dan keinginan. "Mas kangen, Karin, Mas kepengen," ucap Rudi dengan suara yang lembut dan penuh gairah. Karina dapat merasakan getaran suara Rudi yang penuh dengan keinginan dan nafsu, membuatnya merasa tidak nyaman dan sedikit terkejut.

Karina memandang Rudi dengan mata yang sedikit sinis. "Halah, kamu nih, Mas. Giliran minta jatah, baik-baikin bicaranya, manis bener kayak gula. Tapi giliran dimintai duit aja, pelit banget."

Rudi tersenyum dan meminta maaf. "Iya, maafin, ya. Kita harus sadar diri, disini hanya numpang."

Karina kemudian mengajak Rudi untuk pindah dan ngontrak berdua saja. "Ya, makanya ayo kita pindah, Mas. Kita ngontrak berdua saja."

Rudi tersenyum dan mengangguk, namun tidak membuat keputusan yang pasti. "Iya, nanti Mas pikirkan, ya. Sekarang Mas mau minta jatah kangen ni." Rudi kembali mendekati Karina.

Karina hanya bisa pasrah mengikuti kemauan suaminya, dan akhirnya mereka berdua melakukan olahraga malam bersama. Rudi mencapai klimaksnya dan mengucapkan "Ah" dengan puas, namun seketika itu juga tubuhnya ambruk ke samping dan ia tertidur dengan cepat.

Karina merasa kecewa karena belum mencapai klimaksnya. Ia menggoyang-goyangkan tubuh Rudi yang sudah tertidur di kasur, berusaha untuk membangunkannya. "Ya ampun, Mas, baru mau enak, belum ada 10 menit udah selesai aja sih. Mas bangun dong, aku kan belum selesai," ucap Karina dengan nada yang sedikit kesal dan kecewa.

Rudi membungkus tubuhnya dengan selimut dan tidur membelakangi Karina, meninggalkan Karina yang masih merasa kecewa dan tidak puas. "Aku capek, Karin, udah ah, aku mau tidur," ucap Rudi dengan nada yang lelah dan tidak peduli.

Karina merasa kesal dan kecewa dengan perilaku Rudi yang egois dan tidak memperhatikan kebutuhan istrinya. Ia gerutu dengan nada yang sedikit keras, "Kebiasaan, maunya enak sendiri, gak mau enakin istri. Giliran udah selesai, ditinggal molor. Dasar laki-laki egois. Kalau begini terus, gimana mau punya anak, coba?" Karina merasa frustrasi dan kecewa dengan perilaku Rudi yang tidak memperhatikan kebutuhan dan keinginannya sebagai istri.

Bersambung...

menantu vs mertua

Pagi hari seperti biasa, Karina melakukan rutinitasnya sehari-hari, yaitu memasak dan membersihkan rumah. Sebelum memulai memasak, Karina terlebih dahulu membeli sayuran di tukang sayur yang biasa mangkal di depan gang setiap pagi.

"Selamat pagi, Pak. Saya ingin membeli ayam satu kilogram, boleh?" pinta Karina dengan sopan.

"Iya, Neng. Sebentar, saya ambilkan," jawab tukang sayur dengan ramah, sebelum berjalan ke arah bakulannya untuk mengambil ayam yang diminta Karina.

Salah seorang ibu-ibu yang juga sedang membeli sayur di depan gang tersebut menatap Karina dengan rasa penasaran. "Loh, Mbak Karin, kok tumben beli ayam? Biasanya juga kangkung, kalau enggak ya bayam sama tempe," ucapnya dengan nada yang santai.

Karina tersenyum lebar, sehingga memperlihatkan deretan gigi putihnya yang rapi dan terawat. "Iya, nih Bu, bosen tau nggak sih makan kangkung dan tempe terus, udah kaya embek saja," ucap Karina dengan nada yang santai dan sedikit bergurau. "Sesekali kan pengen juga gitu makan ayam," tambahnya dengan senyum yang masih terukir di wajahnya.

Ibu-ibu tersebut mengangguk dan menyetujui pilihan Karina. "Iya, bagus itu, Mbak Karin, biar ada vitaminnya," ucapnya dengan nada yang mendukung.

Karina hanya mengangguk dan tersenyum, kemudian kembali memilih-milih sayur yang akan dibelinya untuk hari ini. Ia dengan teliti memeriksa kualitas sayuran dan memilih yang terbaik. Setelah menimbang-nimbang, Karina memutuskan untuk membeli ayam sekitar satu kilogram, sawi, bakso, wortel, tak lupa tempe dan juga bumbu dapur yang dibutuhkan. Ia dengan teliti memeriksa jumlah dan kualitas barang belanjaannya sebelum membayarnya.

Karina telah merencanakan menu masakan untuk hari ini, yaitu ayam goreng lengkuas, sayur orak-arik sawi campur bakso dan wortel, serta tempe goreng sebagai pelengkap.

Setelah selesai memilih barang belanjaannya, Karina mengatakan kepada tukang sayur, "Sudah, Mang."

Tukang sayur kemudian menghitung total biaya barang belanjaan Karina. "Total semuanya jadi 53 ribu, Neng," ucapnya.

Karina menyerahkan uang pecahan lima puluh ribuan dan juga sepuluh ribuan kepada tukang sayur. "Masih ada 7 ribu ya, Mang. Kasih dadar gulung saja, Mang," ucap Karina dengan ramah.

Tukang sayur tersenyum dan mengucapkan terima kasih. "Siap, Neng, uangnya pas ya. Ini belanjaannya, terima kasih banyak," ucapnya sambil menyerahkan barang belanjaan Karina.

Karina mengucapkan terima kasih kepada tukang sayur dan berpamitan dengan ibu-ibu lainnya. "Sama-sama, Mang. Ibu-ibu, kalau begitu saya permisi duluan ya," ucapnya dengan sopan.

Ibu-ibu lainnya mengucapkan selamat jalan kepada Karina. "Iya, Mbak Karin," ucap salah satu ibu-ibu tersebut.

Sesampainya di dapur, Karina langsung mengeluarkan semua belanjaan yang dibelinya tadi. Ia meletakkan barang-barang belanjaan di atas meja dapur, siap untuk diolah menjadi masakan yang lezat. Dengan semangat, Karina memulai proses memasak, memotong sayuran, membersihkan ayam, dan mempersiapkan bumbu-bumbu yang dibutuhkan.

Karina memulai proses memasak dengan membersihkan ayam yang telah dibelinya. Setelah ayam bersih, ia kemudian merebusnya bersama dengan bumbu-bumbu yang sudah dihaluskan dan juga lengkuas parut. Proses ini membutuhkan waktu yang cukup lama, sehingga Karina harus menunggu sampai ayam meresap dengan bumbu-bumbu tersebut.

Sambil menunggu, Karina memotong sayuran untuk membuat orak-arik. Ia ingin membuat masakan yang lezat dan enak untuk hari ini. Dengan demikian, ia merasa bersyukur karena suaminya, Rudi, memberikan uang 50 ribu untuk belanja sayur pagi ini. Meskipun uang tersebut masih kurang, Karina tidak keberatan karena setidaknya ia masih mendapatkan uang untuk membeli bahan makanan.

Sambil memasak, Karina juga menikmati dadar gulung yang telah dibelinya tadi. Ia merasa bahwa dadar gulung tersebut dapat mengganjal perutnya sementara waktu. Dengan demikian, Karina dapat melanjutkan proses memasak dengan lebih tenang dan tidak merasa lapar.

Dengan kecepatan dan keterampilan yang dimilikinya, Karina berhasil menyelesaikan semua menu masakan yang telah direncanakannya. Semua hidangan pun telah tertata rapi di meja makan, menunggu untuk disantap oleh keluarga. Waktu telah menunjukkan pukul 06.10 pagi, dan Karina merasa puas dengan hasil masakannya.

Setelah selesai masak, Karina masuk ke dalam kamarnya untuk membangunkan suaminya, Rudi. Ia menggoyangkan tubuh Rudi yang masih terlelap di atas kasur. "Mas, bangun! Buruan mandi, udah jam 6 pagi ini," ucap Karina dengan nada yang lembut namun tegas, berusaha untuk membangunkan Rudi dari tidurnya.

Rudi hanya merenggangkan kedua tangannya, lalu kembali tidur dengan lelap. Melihat suaminya yang kembali tertidur, Karina pun berinisiatif untuk membangunkannya dengan cara yang lebih ekstrem. Ia mengambil air dari bak mandi dan menyiprat-nyipratkan air tersebut tepat di wajah Rudi.

Sontak, Rudi langsung beranjak dari kasur dan bangun dari tidurnya, terkejut dengan air yang tiba-tiba menyiprat di wajahnya. "Karina, kamu itu apa-apaan sih?" ucap Rudi dengan nada yang terkejut dan sedikit kesal, sambil mengusap wajahnya yang basah dengan air.

Karina menjawab dengan santainya, "Habisnya kamu dibangunin nggak bangun-bangun, Mas. Yasudah, aku inisiatif bangunin pakai air saja biar bangun. Dan terbukti, kamu langsung mau bangun, kan?"

Rudi memprotes dengan nada yang sedikit kesal, "Ya, nggak pakai air juga, Karin."

Karina balik bertanya dengan nada yang penasaran, "Terus, pakai apa dong, Mas?"

Namun, Rudi lebih memilih untuk tidak menjawab pertanyaan istrinya. Ia tahu bahwa jika ia terus-menerus ditanggapi, percakapan mereka akan semakin panjang dan berpotensi menjadi konflik. Oleh karena itu, Rudi memilih untuk mandi saja, meninggalkan Karina yang masih menunggu jawabannya.

****

Kini semua orang telah berkumpul di meja makan untuk sarapan pagi. Di atas meja makan, telah tersaji menu masakan yang lezat dan menggugah selera, hasil masakan Karina tadi pagi. Semua menu terlihat nikmat dan menarik, membuat semua orang tidak sabar untuk mencicipinya.

Rani, yang melihat menu tersebut, tidak bisa menahan kekagumannya. "Wuah, hari ini makan enak nih," ucapnya dengan nada yang gembira dan penasaran, sambil menatap menu-menu yang ada di atas meja makan.

Rina mengangguk membenarkan ucapan kembarannya, sambil tersenyum lebar. "Iya, tumben Mbak Karina masak enak. Kalau bisa setiap hari Mbak masaknya seperti ini terus. Biar kita semua napsu makan," ucapnya dengan nada yang gembira dan penasaran.

Karina tersenyum dan menjawab dengan nada yang santai. "Iya, dong, hari ini Mbak masak enak. Bosen juga makan kangkung terus. Kebetulan tadi pagi Mas mu ngasih duit Mbak 50 ribu, yasudah Mbak beliin ayam sama yang lainnya ini." Karina kemudian melirik suaminya dengan nada yang sedikit menggoda. "Tenang, Mbak akan masak enak setiap hari kalau Mas mu mau ngasih duit banyak buat beli sayur."

Mendengar ucapan menantunya, Bu Marni melotot tajam ke arah Karina dengan ekspresi yang terkejut dan tidak percaya. "Apa kamu bilang? Rudi tadi pagi ngasih uang 50 ribu sama kamu? Memangnya uang 1 juta yang diberikan Rudi kemana?" tanyanya dengan nada yang tinggi dan penasaran.

Karina menjawab dengan santainya, tanpa menunjukkan tanda-tanda kesal atau tidak nyaman. "Habis lah, Bu," ucapnya dengan nada yang datar.

Bu Marni menatap Karina dengan mata yang berapi-api, tuduhan yang tajam terdengar dalam ucapannya. "Habis kamu bilang? Buat apa saja, kamu tilep ya uang anakku?" tanyanya dengan nada yang tinggi dan penuh kemarahan.

Karina menghela napas panjang, mencoba untuk menenangkan diri dan menjelaskan situasi yang sebenarnya. "Ibu pikir kalau beras habis, gas, bumbu dapur, belum lagi sabun dan kebutuhan lainnya... kalau habis, belinya pakai duit apa?" ucapnya dengan nada yang sabar dan menjelaskan. "Ya, pakai duit satu juta itu," tambahnya, mencoba untuk membuat Bu Marni memahami situasi yang sebenarnya.

Bu Marni menatap Rudi dengan mata yang tajam, mencoba untuk memprovokasi anaknya dengan kata-kata yang pedas. "Rudi, sepertinya istrimu itu nggak pinter ngatur duit. Buktinya, baru pertengahan bulan saja sudah habis tak tersisa," ucapnya dengan nada yang keras dan menghakimi.

Bu Marni kemudian melanjutkan dengan nada yang lebih tegas. "Besok, nggak usah dikasih uang lagi! Pasti yang satu juta masih dan diumpetin sama istrimu itu."

Karina menjawab dengan nada yang santai dan tidak terganggu oleh komentar Bu Marni. "Yasudah, nggak apa-apa kalau Mas Rudi nggak ngasih uang. Palingan juga nggak ada yang dimasak dan berakhir kita semua tidak makan," ucapnya dengan senyum yang lebar.

Di sisi lain, Rudi merasa pusing menyaksikan keributan yang hampir terjadi setiap waktu. Ia merasa lelah dengan konflik yang terus-menerus terjadi antara istri dan ibunya. Setiap kali mereka bersatu, sudah pasti akan ada keributan. Rudi berusaha untuk menghentikan keributan tersebut dengan mengusulkan untuk sarapan bersama. "Sudah-sudah, lebih baik sekarang kita sarapan. Takutnya aku, Rina, dan Rani akan terlambat," ucapnya dengan nada yang sabar dan berusaha untuk mengalihkan perhatian dari keributan tersebut.

Setelah keributan yang sempat terjadi, semua orang akhirnya berhenti berbicara dan memilih untuk sarapan bersama. Suasana makan pagi yang tadinya tegang, kini berubah menjadi lebih santai dan harmonis.

Setelah selesai sarapan, semua orang kini melakukan aktivitas masing-masing. Rudi berangkat ke kantor dengan langkah yang cepat dan percaya diri, siap untuk menghadapi hari yang baru. Rina dan Rani berangkat sekolah dengan tas yang penuh dan wajah yang ceria, siap untuk belajar dan menimba ilmu. Bu Marni sibuk menjaga warung, memastikan bahwa semua barang dagangan tersedia dan siap untuk dijual.

Sementara itu, Karina sibuk membereskan pekerjaan rumah. Ia menyapu lantai dengan sapu yang kuat, membersihkan debu dan kotoran yang menempel. Kemudian, ia mengepel lantai dengan air yang jernih, membuat lantai menjadi bersih dan mengkilap. Selain itu, Karina juga mencuci piring yang kotor, membersihkan sisa-sisa makanan yang menempel. Ia juga mencuci baju yang kotor, membuatnya menjadi bersih dan wangi. Dengan demikian, Karina berhasil membereskan pekerjaan rumah dengan baik dan efisien.

Karina menghela napas berat, merasa lelah dan putus asa dengan kehidupannya saat ini. "Ck... Ya ampun, begini banget nasibku. Dari wanita karir menjadi pembantu gratisan," gumamnya dengan nada yang sedih dan merasa menyesal.

Di otaknya, ada sedikit terbesit rasa penyesalan, tidak mendengarkan ucapan orangtuanya dulu. Ia merasa bahwa jika saja ia mendengarkan orangtuanya, hidupnya tidak akan sesulit seperti sekarang ini. Tapi, nasi sudah menjadi bubur, dan pilihan yang telah ia buat harus dijalani dengan ikhlas dan sabar.

Karina memandang ke depan, mencoba untuk melupakan rasa penyesalan dan memfokuskan diri pada kehidupan yang harus dijalani. Ia berjanji pada diri sendiri untuk tetap bertahan hidup bersama dengan Rudi, selama suaminya tidak berselingkuh dan tetap mencintainya. Dengan demikian, Karina mencoba untuk menemukan kekuatan dan motivasi untuk menjalani kehidupan yang penuh tantangan ini.

Di warung yang sederhana namun ramai, Bu Marni sibuk melayani pembeli dengan senyum yang ramah dan pelayanan yang cepat. Meskipun warungnya tidak besar, namun warung Bu Marni telah menjadi tujuan favorit bagi warga sekitar untuk membeli kebutuhan sehari-hari.

"Total semuanya jadi 23 ribu, Bu," ucap Bu Marni kepada pembeli yang sedang membayar.

Pembeli tersebut kemudian menyerahkan uangnya dan berkata, "Ini uangnya, kembaliannya dikasih penyedap masakan saja, Bu Marni."

Bu Marni tersenyum dan mengucapkan terima kasih. "Uangnya jadi pas ya, Bu. Ini penyedapnya," ucapnya sambil menyerahkan barang belanjaan kepada pembeli. Dengan demikian, transaksi pun selesai dan pembeli tersebut dapat membawa pulang barang belanjaannya.

Di tengah-tengah melayani para pembeli, Bu Marni tiba-tiba merasakan perutnya terasa mules. Sepertinya panggilan alam tidak bisa ditunda lagi. Bu Marni kemudian berteriak memanggil Karina, "Karina, sini sebentar kamu!"

Karina, yang sedang menjemur pakaian di halaman, menoleh ke arah warung dengan langkah yang malas. Ia berjalan menuju warung, sambil bertanya dengan nada yang sedikit tidak sabar, "Ada apa sih, Bu? Memangnya tidak lihat aku sedang jemur pakaian?" Karina tidak menyadari bahwa ibu mertuanya sedang mengalami keadaan darurat dan membutuhkan bantuanannya.

Bu Marni meminta tolong kepada Karina dengan nada yang sedikit terburu-buru. "Minta tolong, jagain warung sebentar. Ibu mau ke kamar mandi sebentar. Ingat, jangan pernah ambil uang warung!" ucapnya, kemudian langsung berlari pergi tanpa menunggu jawaban Karina.

Karina menghela napas dan menggerutu dalam hati. "Huh, dasar emak-emak nyebelin," ucapnya dengan nada yang pelan dan tidak sabar. Ia merasa bahwa Bu Marni terlalu seenaknya sendiri, meminta tolong tapi juga mengancam. Untung saja, Karina memiliki kesabaran yang luas dan tidak ingin membuat situasi menjadi lebih buruk. Dengan demikian, ia memutuskan untuk menjaga warung dengan sabar dan tidak mengeluh.

Seorang pelanggan, Bu Ratih, mendekati warung dan terkejut melihat Karina yang sedang menjaga warung. "Loh, kok Mbak Karin yang jaga warung? Bu Marni nya kemana?" tanyanya dengan nada yang penasaran.

Karina tersenyum dan menjawab, "Eh, Bu Ratih, Ibu sedang ke kamar mandi. Belanjanya sudah?" Ia kemudian mempersilakan Bu Ratih untuk membayar belanjannya.

Bu Ratih menganggukkan kepalanya dan berkata, "Sudah, Mbak, tolong dihitung kan ya."

Karina kemudian menghitung total belanja Bu Ratih dan berkata, "Total semua jadi 46 ribu, Bu Ratih."

Bu Ratih menyodorkan uang 50 ribu kepada Karina dan berkata, "Ini uangnya, Mbak."

Karina kemudian mengambil uang tersebut dan mengembalikan kembaliannya. "Ini kembaliannya 4 ribu, ya Bu. Terima kasih banyak," ucapnya dengan senyum yang ramah.

Bu Ratih tersenyum dan berkata, "Sama-sama, Mbak Karin. Eh, iya, Mbak, aku baru ingat. Kemarin sore ada bapak-bapak datang ke rumah saya, dan bapak-bapak itu menanyakan tentang Mbak Karin sama saya loh."

Karina mengernyitkan keningnya, merasa penasaran tentang siapa bapak-bapak tersebut. "Bapak-bapak?" tanyanya penasaran.

Bu Ratih menganggukkan kepalanya, "Iya, mungkin umurnya seumuran dengan Bu Marni, mertuanya Mbak Karin. Bapak-bapak itu tampaknya sedang mencari informasi tentang Mbak Karin," ucapnya dengan nada yang sedikit misterius.

Karina semakin penasaran tentang identitas bapak-bapak yang dimaksud Bu Ratih. Ia menebak-nebak dan bertanya, "Kira-kira ciri-cirinya seperti apa, Bu Ratih? Dan bertanya apa beliau?"

Bu Ratih tampak mengingat-ingat kembali, mencoba untuk menggambarkan ciri-ciri bapak-bapak tersebut. "Orang itu pakai peci, punya kumis, kulitnya sawo matang," ucapnya dengan nada yang berusaha untuk mengingat detail.

Bu Ratih kemudian melanjutkan, "Orang itu bertanya kepada saya tentang kehidupan Mbak Karina disini, perlakuan keluarga suaminya bagaimana, dan bertanya tentang keadaan Mbak Karina. Saya tanya beliau siapa Mbak Karina, katanya keluarga jauh dari Mbak Karina."

Bu Ratih menghela napas dan melanjutkan, "Saya suruh mampir kesini, katanya sedang buru-buru. Saya tidak bisa bertanya lebih lanjut karena beliau sudah pergi."

Karina memikirkan satu nama yang muncul di pikirannya setelah mendengar ciri-ciri yang disebutkan oleh Bu Ratih. Ia merasa yakin bahwa bapak-bapak tersebut adalah ayahnya sendiri yang tinggal di kampung.

Bu Ratih tampak khawatir dan meminta maaf kepada Karina. "Mbak, Mbak Karina tidak kenapa-kenapa kan? Maaf ya Mbak kalau saya lancang mengatakan keadaan Mbak Karina yang sebenarnya kepada bapak-bapak itu."

Karina tersenyum getir, menunjukkan bahwa ia tidak terlalu terganggu oleh kejadian tersebut. "Tidak apa-apa kok Bu Ratih. Terima kasih banyak sudah memberi tahu semuanya sama saya," ucapnya dengan nada yang sopan dan menghargai.

Bu Ratih tersenyum dan berucap, "Sama-sama, Mbak Karin, kalau begitu saya permisi dulu ya, Mbak." Karina menganggukkan kepalanya sebagai tanda persetujuan, dan Bu Ratih pun berpamitan dan berjalan pergi.

Tak berselang lama, Bu Marni sudah kembali ke warung, wajahnya tampak lega setelah selesai melakukan keperluannya. "Sudah, kamu bisa lanjutkan pekerjaanmu," ucapnya kepada Karina, yang sedang berdiri di dekat warung.

Namun, Karina tidak menjawab ucapan mertuanya. Ia berpaling dan berjalan pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun, meninggalkan Bu Marni yang tampak sedikit terkejut dengan reaksi Karina.

Bu Marni menggelengkan kepala dan bergumam dalam hati, "Kesambet apa tuh bocah, tumben diem saja mulutnya. Biasanya ngoceh mulu." Ia terkejut dengan reaksi Karina yang tiba-tiba menjadi diam dan tidak menjawab ucapan mertuanya, karena biasanya Karina selalu menjawab dengan cepat dan tidak pernah ragu untuk berbicara.

Bersambung..

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!