NovelToon NovelToon

Maula

1

"Berapa hargamu untuk semalam?" Seorang pria gagah dengan mengenakan kaos berwarna hijau army menatap wanita di depannya penuh lekat.

Sayangnya, wanita itu tertunduk seperti takut-takut.

"S-saya nggak tahu" Lirihnya sambil berusaha membuang rasa yang bergemuruh dalam dada.

"What?? Nggak tahu?" Pria itu tersenyum miring, sedetik kemudian melempar pandangan ke arah kiri dengan malas. "Bukankah ini pekerjaanmu? Kamu biasa melakukan transaksi, kenapa nggak tahu harga untuk dirimu sendiri?"

"Saya baru di sini"

Mendengar ucapan dari lawan bicaranya, pria berinisial F kembali memusatkan atensinya ke wanita itu, jelas tak percaya pada wanita berbalut dress warna merah.

"Maksudmu, kamu baru bekerja di sini?"

Wanita itu mengangguk.

Lalu hening. Pria itu menatap dalam-dalam wajah wanita di depannya yang masih menundukkan kepala.

"Siapa namamu?" Tanyanya, setelah beberapa detik berlalu.

"Nama saya Maula"

"Maula?" Wajah tampannya terkesiap, agak sedikit terkejut namun hanya sesaat.

"Iya, Maula" Ulangnya.

"Coba lihat saya!"

Menelan ludah, Maula tak langsung menurut. Dia malah memejamkan mata, menarik napas perlahan berharap bisa melawan rasa takutnya.

"Saya di depanmu, bukan di bawahmu" Sindirnya, yang langsung memantik kepala Maula terangkat pelan-pelan.

Sepasang mata mereka pun kini saling bersirobok.

"Apa kamu juga belum pernah melakukannya sebelumnya? Maksud saya, kamu belum pernah berhubungan intim, begitu?"

"Belum" Jawabnya gugup.

"Dengan pacarmu juga belum?"

"Saya tidak punya pacar"

Sejenak pria tampan itu berfikir sambil menelisik wanita yang memang tampak begitu polos. Ada raut cemas membingkai wajah ayunya, juga hidupnya yang tersirat seakan menyimpan beban berat.

Mungkin saja memang sepolos itu, akan tetapi si pria masih belum percaya sebelum benar-benar membuktikannya sendiri.

Sementara Maula, di tatap begitu menghujam oleh pria matang dan tampan di hadapannya, dia reflek menunduk, meremat jari-jemarinya dengan gugup.

"Okay, saya Mr F dan saya akan membayarmu dua kali lipat, asalkan kamu bisa memuaskan saya malam ini"

Maula menelan ludahnya, mendadak ada rasa gundah yang persekian detik menyelimuti dirinya.

"Baik" Jawab Maula, hatinya seperti tercabik-cabik.

Miris memang...

Dia terpaksa menjual diri untuk membayar kuliahnya, membeli obat untuk ayahnya, juga untuk memenuhi kebutuhan ibu serta adik tiri yang super kejam.

Selain itu ada hutang yang harus di bayar pada rentenir saat dia meminjam untuk biaya operasi mata sang ayah.

"Ikut saya!" Dengan gaya elegannya, pria itu memakai kaca mata hitam, mendorong kursi lalu bangkit.

Di susul oleh Maula setelah sebelumnya dia menarik napas panjang, mengikuti langkah Mr F yang berjalan satu langkah di depannya. Meski dengan ragu, tapi harus ia lakukan agar bisa melaksanakan sesi paling akhir di dunia perkuliahan, wisuda.

"Bagaimana pak? Apa bapak tertarik dengan anak baru saya?"

Mendadak, baik Mr F dan Maula kompak berhenti saat ada seorang wanita menghadang langkah mereka.

"Iya, saya ambil dia"

"Tapi maaf jika servicenya nanti tidak maksimal, ini pengalaman pertama bagi dia, jadi harap maklum"

"Harus bayar berapa untuk membawanya pergi?" Tanya Mr F, tanpa peduli apa yang baru saja ia dengar. Nadanya dingin, sesuai dengan ciri khasnya selama ini.

"Karena dia masih perawan, jadi bapak harus membayarnya dua kali lipat dari harga normal"

"Katakan saja berapa nominalnya?"

Dua juta untuk satu malam, dan itu di luar dari bayaran dia. Bapak harus membayar gadis itu sesuai tarif yang dia pasang"

Pria yang sedari tadi tak melepas masker di mulutnya, mengeluarkan uang sesuai dengan jumlah yang di minta.

"Ini dua juta, saya akan membawanya sekarang"

"Baik, terimakasih!" Wanita itu menerimanya seraya tersenyum puas. "Silahkan!" Tambahnya setelah berhasil menghitung uang yang baru saja di terima.

Pria itu kembali melangkah.

"Kerja yang benar!" Bisik wanita berambut pirang di telinga Maula. "Jangan mengecewakannya, mengerti!!"

Maula merespon dengan bahasa tubuh, mengangguk, lalu mengambil langkah seribu untuk menyusul pria yang sudah jauh melangkah keluar area bar.

***

Namanya Maula anindya. Seorang mahasiswa yang selalu bekerja paruh waktu di sela-sela kuliahnya.

Ibunya meninggal saat melahirkannya, sementara sang ayah menikah lagi ketika dirinya berumur enam tahun.

Ibu tiri yang juga membawa anak dari pernikahan sebelumnya, selalu menuntut Maula untuk menghasilkan uang sebanyak-banyaknya.

Dan di titik terendahnya, Maula terpaksa menerima tawaran dari seorang wanita pemilik bar agar bisa mendapatkan banyak uang dalam sekejap.

Kini, Maula sudah berada di kamar mewah di salah satu hotel yang ada di Surabaya.

Menunggu dengan cemas pria yang saat ini tengah membersihkan diri di kamar mandi.

Berulang kali Maula menoleh ke arah di mana pintu kamar mandi terletak. Jantungnya berdebar kuat, menyesali keputusan yang dia ambil setelah berfikir hampir satu minggu.

Ada niat melarikan diri dari kamar bernuansa abu tersebut, namun bayangan pria tua yang mendesaknya supaya membayar hutang, biaya wisuda, obat ayahnya yang harus segera di tebus, juga jambakan ibu tiri, seakan-akan menari dengan begitu luwes di atas kepalanya.

Wanita itu pun mengurungkan niat, lantas kembali duduk di ujung ranjang dengan perasaan berkecamuk di hatinya.

Selang lima menit, pintu berwarna silver itu terbuka, menampilkan pria yang mengalungkan handuk kecil di lehernya.

Satu tangannya bergerak mengeringkan rambut, dan tangan lainnya menutup pintu kamar mandi.

Melihat pria itu muncul hanya mengenakan celana pendek, jantung Maula berdesir hebat.

Ia menelan salivanya dengan mata terpejam, namun alih-alih tenang, debaran di dadanya justru makin tak karuan, hingga keringat di dahinya bermunculan.

"Apa pekerjaanmu sebelumnya?" Tanya Mr F, dia berkaca sambil mencukur bulu-bulu halus yang memenuhi wajahnya.

Karena suatu hal yang membelitnya, membuatnya hampir tiga bulan ini tak memiliki waktu untuk merawat dirinya sendiri.

"Saya bekerja paruh waktu" Jawab Maula.

"Apa?"

"Mengantar koran sebelum pergi kuliah, menjadi pelayan restauran sepulang kuliah, dan malam harinya, saya bekerja di bar"

"Oh, seorang mahasiswa? Semester berapa?"

"Semester akhir"

"Tadi kamu bilang bekerja di bar. Apa bar milik wanita tadi?"

"Iya"

"Sampai pukul berapa?"

"Dua dini hari"

"Dalam sehari kamu tidur berapa jam?"

"Sekitar tiga jam" Sahut Maula tanpa berani memusatkan perhatian pada pria yang masih sibuk mencukur jambangnya.

"Pantas saja kamu memilih bekerja menjadi wanita penghibur, uangnya menggiurkan, bukankah begitu?"

"Tidak!"

Mendengar jawaban kilat Maula, Mr F menghentikan tangannya yang tengah bergerak di area wajah, lalu menatap Maula melalui cermin di hadapannya.

"Bahkan saya tidak berniat mengunjungi tempat laknat itu jika bukan karena sesuatu hal" Lanjut Maula.

"Apa yang membuatmu melakukan itu?" Tanya si pria kali ini sambil membalikkan badan menghadap Maula.

"Ada banyak alasan yang membuat saya terpaksa melakukan ini"

"Begitu ya!"

Maula tak merespon, dia hanya menunduk menatap dua ibu jarinya yang ia mainkan.

"Apapun alasanmu, layani saya malam ini"

Maula masih diam, sementara Mr F kembali berbalik menghadap ke cermin untuk melanjutkan aktivitasnya.

Beberapa saat kemudian...

"Apa bapak sudah punya istri?" Tanya Maula ketika pria itu melangkah menghampirinya.

"Sudah"

Dan jantung Maula, detik itu juga makin menggila detakannya bersamaan dengan wajahnya yang terangkat demi bisa melihat pria yang tahu-tahu sudah berdiri tegak di hadapannya.

Gesturnya sangat santai, berbanding terbalik dengan Maula yang gugup bercampur takut dan juga bingung.

2

Dia lantas mengangkat kepalanya dan langsung menemukan sorot kelam dari sepasang iris milik pria yang terlihat lebih tampan dari sebelumnya.

Bagaimana bisa Maula menjadi wanita bayaran untuk pria beristri? Andaikan dia berada di posisi istri Mr F, hatinya pasti hancur ketika tahu sang suami mencari kepuasan di luar sana.

Dan apa ini? Dia begitu tega menyakiti hati sesama wanita?

Sejenak Maula benar-benar merasa sangat bersalah. Ingin pergi dari tempatnya berada, akan tetapi ia lagi-lagi membiarkan egonya memenangkan pertarungan ini.

"Jika sudah memiliki istri, kenapa harus mencari emotional affair dengan saya, bukankah itu sama saja bapak menyakiti istri bapak?"

"Aku membayarmu bukan untuk menceramahiku, kamu saya bayar untuk memuaskanku, bukan untuk mendengar cerita tentang istriku" Seperti ada raut kesal di wajah Mr F.

"Apa bapak sudah punya anak?"

"Kenapa begitu ingin tahu tentangku?" Dia berkacak pinggang. "Jangan banyak bertanya, lebih baik ganti bajumu dengan gaun layaknya wanita malam"

Sungguh Maula ingin sekali menamparnya, tapi apalah daya, dia tidak mampu melakukannya.

Dari pada berdebat, Maula memilih beranjak dari tempat duduknya, membawa tasnya menuju kamar mandi.

Si pria itu sendiri menatap punggung Maula hingga tubuhnya tertelan daun pintu, sebelum akhirnya merebahkan diri di atas ranjang.

"Apa memang sepolos itu?" Desis Mr F mengangkat salah satu sudut bibirnya. Tangannya lalu terlipat untuk menopang kepala bagian bawah.

Sekian menit berlalu...

Merasa bosan dengan pemikirannya, pria itu meraih ponsel yang ada di atas nakas. Selagi menunggu Maula, dia memainkan ponsel untuk berselancar di dunia maya mencari beberapa informasi terkait pekerjaannya.

Sampai kemudian Maula keluar, pria yang tadi fokus menatap layar sepanjang satu jengkal, kini kepalanya terangkat.

Dia termenung, terpaku mendapati Maula dengan pakaian mini.

Spontan salivanya tertelan melihat penampakkan di depan pintu toilet.

Putih tanpa noda, mulus seperti kulit bayi, anggun dengan rambut di ikat tinggi, serta gaun mini berwarna coksu.

Cantik... Itulah kesan pertama yang ia tangkap.

Mungkin usianya jauh di bawahnya, tapi raut dewasa tergambar jelas di wajah Maula.

"Maaf, apa yang harus saya lakukan?" Tanya Maula selagi kakinya melangkah ragu. Suaranya seperti tercekat di tenggorokkan karena saking takutnya.

Mendengar suara Maula, seketika fokus si pria buyar, sedetik kemudian menarik napas panjang lalu bangun dari rebahnya.

"Berapa usiamu?" Tanyanya berjalan mengikis jarak.

"Dua puluh enam tahun"

Pria itu mengangkat satu alis, merasa heran atas jawaban Maula.

"Dua puluh enam tahun baru mau wisuda?"

Maula mengangguk.

"Ambil berapa tahun?"

"Empat tahun" Jawab Maula sambil menormalkan debaran jantungnya yang semakin menjadi, sebab saat ini jarak mereka tak kurang dari satu meter.

"Cuma ambil empat tahun baru mau wisuda?"

"Saya kuliah saat usia saya dua puluh dua tahun"

Mr F mengangguk-anggukkan kepala seraya menaikkan kedua alisnya.

Dia membatin, membenarkan spekulasinya bahwa ternyata usianya memang beda jauh darinya.

"Di usiamu itu kamu belum menikah?"

Kali ini Maula menggeleng memberi respon.

Wanita itu terlalu sibuk mengurus biaya hidup untuk keluarganya. Bekerja kesana kemari sambil mewujudkan cita-cita. Berharap pendidikannya akan bermanfaat di kemudian hari, dan bisa bekerja dengan gaji yang tinggi.

Jangankan untuk menikah, berpacaran saja sang ibu tidak pernah mengijinkannya. Lagi pula Maula adalah wanita yang tak ingin membuang waktu untuk hal-hal yang tidak bermanfaat.

Hanya kerja, pendidikan, dan keluarga yang ada dalam otaknya.

"Kenapa? Bukankah jika menikah hidupmu akan terjamin, kamu memiliki seseorang yang akan bertanggung jawab atas dirimu?"

"Saya belum berminat"

"Kamu cantik, mustahil tidak ada pria yang menyukaimu?"

"Saya sibuk bekerja, tidak ada waktu untuk bersenang-senang"

Maula berharap obrolan ini akan berlanjut sampai pagi, namun harapannya sia-sia karena pria di depannya kini semakin dekat.

Otomatis membuatnya merasa gugup dan canggung karena pria di hadapannya sama sekali tak mengalihkan pandangannya dari Maula.

Maula menahan napas, perlahan menunduk saat Mr F mendekatkan bibirnya, dan dengan cepat tangan si pria menahan dagunya.

Sungguh, jantung Maula seperti berhenti berdetak saat merasakan sapuan hangat dari nafas pria itu.

'Astaghfirullahal'adzim' Maula membatin dengan dada bergemuruh hebat ketika bibir mereka saling bertemu. Tulangnya melemas sampai rasanya tak mampu berdiri.

Untuk saat ini tak ada yang bisa Maula lakukan kecuali pasrah menerima jalan takdirnya.

Hingga semakin lama, sapuan bibirnya terasa semakin panas, meski di lakukan dengan lembut, tapi tetap penuh nafsu.

Satu tangan si pria melingkar di pinggang Maula, sementara tangan lainnya masih menahan dagunya.

Terus melumatnya hingga lewat bermenit-menit.

Sampai nafas keduanya tercekat, Mr F melepas ciumannya, namun hanya sesaat.

Di detik berikutnya dia kembali menempelkan bibirnya di bibir Maula.

Hal yang belum pernah Maula lakukan sebelumnya, benar-benar membuatnya seperti orang bodoh. Hanya membalas ciumannya pun tak bisa.

Di tengah-tengah pertemuan bibirnya, pikiran Maula berkelana, dan hatinya bicara.

Okay, Maula... Jika hari ini kamu jatuh bersimpuh, hancur dan luluh, maka akan ada waktu untuk sembuh. Ini hanya sementara, sampai masalahmu selesai, hutangmu lunas, dan kamu berhasil menggenggam nilai cumlaude untuk mencari pekerjaan yang lebih terhormat.

Satu menit, hingga lima menit...

Tak terasa, tahu-tahu mereka sudah berada di atas ranjang, menikmati gelenyar aneh yang begitu memabukkan.

Si pria yang sudah tiga bulan ini tak merasakan hangat sentuhan wanita, sedangkan Maula yang memang belum pernah merasakannya sebelumnya. Benar-benar membuat mereka hanyut ke dalam lubang dosa.

Tapi tak menampik, di balik rasa perih yang menjalar di sekujur tubuh Maula, ada rasa yang tak bisa ia ungkapkan.

Meski pengalaman pertama bagi Maula, tapi dia bisa melakukannya dengan sangat sempurna, menuruti setiap intruksi dari si pria.

Hingga lenguhan panjang menandakan bahwa aktivitas mereka baru saja selesai.

Pria itu ambruk di atas tubuh Maula dengan nafas terengah. Keringatnya menetes dan jatuh tepat di bibir Maula.

Maula sendiri berusaha menormalkan perasaannya, menahan laju air yang keluar dari sudut matanya..

Tentu saja ada penyesalan terdalam tersisip di hati wanita itu.

***

Pagi harinya, tepat pukul tujuh Maula terbangun, matanya mengedar mencari sosok pria yang sudah merenggut keperawannya tadi malam.

Sepasang manik bulatnya lantas melirik ke arah kamar mandi.

Pintunya agak sedikit terbuka, sementara lampunya padam, sudah bisa di pastikan tidak ada aktivitas apapun di dalam sana.

"Kemana dia?" Maula menarik napas panjang, bibirnya tersungging merutuki kebodohannya.

"Semua pria hidung belang memang tidak tahu diri, sudah puas maka mereka akan pergi begitu saja, tanpa peduli perasaan orang lain yang hancur berkeping-keping"

"Hhh... Memangnya siapa aku" Tambah Maula bergumam lirih. "Aku hanya wanita pemuas nafsunya. Dia sudah membayarku, jadi ya suka-suka dia"

Tepat ketika lirikannya beralih ke atas meja nakas, di sana ada sebuah stcky notes, di atasnya ada ponsel Maula untuk menghalau supaya kertas itu tak kabur.

Reflek kening Maula mengerut tajam.

Karena rasa ingin tahu, Maula pun buru-buru meraihnya.

Membacanya dalam hati di iringi jantung berdebar.

Maaf, tanpa izin aku membuka ponselmu. Aku hanya ingin tahu nomor rekeningmu.

Aku hargai jasamu lima juta dalam semalam, dan sudah ku transfer lima puluh juta.

Kamu berhutang sembilan malam padaku.

Identitasmu juga sudah ku pegang berikut nomor telfon beserta alamat rumahmu.

Oh iya, jangan temui pria manapun selagi kamu masih punya hutang padaku. Berani melanggar, akan aku beri perhitungan yang tidak pernah bisa kamu lupakan.

Backinganku ada di mana-mana, jangan coba-coba kabur dariku.

CAMKAN ITU.

Mata Maula membulat sempurna, lengkap dengan mulut menganga.

Entah apa yang memicunya, mendadak ada rasa khawatir di hatinya. Dia seperti terjerat siasat pria misterius yang tak dia ketahui identitasnya.

3

"Loh Maula? Kamu baru pulang?" Salah satu tetangganya bertanya saat beberapa orang sedang belanja ke tukang sayur langganannya.

Maula hanya tersenyum, melanjutkan langkah tanpa peduli tatapan-tatapan aneh dari ibu-ibu julid.

"Itu anaknya pulang pagi, bu?" Tetangga yang lain ikut bertanya kali ini pada bu Wina. Ibu tiri Maula.

"Kenapa memangnya? Itu kan bukan urusanmu?"

"Ih ketus amat jawabnya bu, perasaan bu Galih biasa aja nanyanya" Celetuk ibu lain, biasa di panggil bu Tejo.

"Ya ngapain kalian nanya-nanya? Kepo sama hidup anak saya? Pengin tahu banget urusan anak saya yang cantik, hmm?"

"Halah, dia kan bukan anak bu Wina, jadi ya cantik kayak ibu kandungnya"

Wina melempar tatapan tajam pada bu Galih. Sedikit tersinggung dengan kalimatnya barusan.

"Hati-hati loh bu, jangan-jangan Maula jadi simpanan para pejabat" Bu Kinan ikut menyela.

"Memangnya kenapa kalau jadi simpanan pejabat? Masih mending dari pada kalian yang bisanya cuma julidin orang. Dan jangan asal fitnah ya, kalau memang Maula jadi simpanan pejabat, sudah lama kami pindah ke rumah yang lebih bagus dari ini"

"Sepertinya cuma bu Wina yang ngajarin anaknya supaya jadi wanita simpanan atau pelakor. Hati-hati bu, nanti suami kita di gaet sama Maula"

"Sudah ibu-ibu. Kalian ini mau beli sayur apa mau ngegosip? Udah siang ini, saya harus keliling lagi" Ujar si tukang sayur, berusaha membuat suasana kembali normal.

"Udah pak, ini belanjaan saya berapa?"

"Cuma ini doang bu Wina?"

"Iya" Sahutnya datar.

"Baik, ayo berhitung" Si tukang sayur mulai menghitung total belanjaan bu Wina.

"Semua tiga puluh delapan ribu, bu Wina"

"Ini uangnya, kembaliannya buat nutup kurangan kemarin ya"

"Okay, bu. Jadi sisa tiga ribu ya, hutang bu Wina"

"Iya" Tanpa mengatakan apapun lagi, Wina bergegas pergi dari sekerumunan ibu-ibu yang berjumlah empat orang.

Langkahnya terburu-buru karena ingin menanyai perihal Maula yang baru pulang di pagi hari.

"Maula!!" Teriak Wina ketika sudah berada di depan kamar Maula. Tangannya tak berhenti menggedor pintu yang tertutup rapat.

"Maula buka pintunya!"

Maula yang tengah merebahkan dirinya di atas kasur, terpaksa bangun untuk membuka pintu kamar.

"Ada apa bu?" Tanya Maula begitu pintu terbuka.

"Dari mana saja kamu, kenapa pulang pagi?"

"Aku menginap di rumah teman"

"Oh, jadi kamu enak-enakkan menginap di rumah teman sementara adikmu kebingungan karena belum bayar uang semester? Kamu enak-enakan tidur nyenyak di rumah teman sementara kami dapat cacian dari pak Dudung karena kamu belum bayar hutang-hutangmu?"

"Aku capek bu, tolong biarkan aku istirahat sebentar"

"Enak saja, setelah tidak pulang semalam, sekarang kamu mau istirahat?" Sinis Wina dengan tatapan marah. "Tuh, ayah kamu belum sarapan, obat juga belum di tebus, mau ayah kamu buta beneran hah?"

"Kenapa ibu nggak masak dari tadi? Bukankah Naomi juga harus sarapan?"

"Nggak usah banyak tanya, masak sekarang juga! Setelah itu bayar hutangmu ke pak Dudung, sebentar lagi dia kesini untuk menagihmu"

Maula menyentakkan nafas kasar.

"Tunggu apa lagi? Ayo masak sekarang" Desak Wina tak terbantahkan.

"Permisi!" Tiba-tiba suara bariton dari seorang pria menguar di iringi ketukan pintu.

Maula dan Wina otomatis menoleh ke arah sumber suara.

"Itu pasti pak Dudung, tadi malam ibu berjanji kalau kamu akan melunasinya hari ini" Pungkas Wina tanpa memperdulikan kondisi keuangan Maula "Temui dia, dan bayar hutangnya sekarang juga!"

"Kenapa main janji aja bu, aku kan belum punya uang"

"Ibu nggak mau tahu, pokoknya sertifikat rumah ini harus balik ke tangan ibu"

Hufftt... Padahal Maula berniat mengembalikkan uang dari pria berinisial F. Tentu saja karena dia sudah bulat tidak mau melayaninya di lain waktu. Dia juga sudah memutuskan untuk berhenti bekerja sebagai wanita malam

Cukup satu kali sudah membuatnya menyesal seumur hidup.

"Buka pintu Wina, aku tahu kamu di dalam!" Teriaknya lagi.

"Dengar tuh, Maula! Pokoknya kamu harus melunasi hutang-hutangmu" Tekan Wina sebelum akhirnya dia melangkah untuk membukakan pintu.

****

Setelah pintu terbuka, pria bertopi koboy langsung memasuki rumah Maula.

Tangannya berkacak pinggang dengan gestur keangkuhannya selama ini.

"Dimana Maula?" Tanyanya seraya melempar pandangan ke seluruh ruangan.

"Dia di dalam, pak"

"Panggil dia suruh menghadap saya"

Tanpa beranjak dari ruang tamu, Wina berteriak memanggil Maula.

"Cepat keluar, Maula!"

Dengan penuh keterpaksaan, Maula keluar membawa serta ponselnya.

Dia akan mencoba bernegoisasi supaya Dudung bersedia memberikan perpanjangan waktu.

Tak kurang dari satu menit, Maula sudah berada di antara Dudung dan juga Wina.

Sepasang matanya menyorot heran ketika mendapati anak buah Dudung ada di teras rumah.

"Hey Maula, mana uangnya? Ibumu bilang kamu akan melunasinya hari ini" Tanya Dudung sarkas.

"Maaf pak, saya belum bisa melunasinya sekarang, tolong kasih saya waktu beberapa bulan. Dan hari ini saya cuma bisa mencicilnya saja"

"Oh, tidak bisa, Maula. Dari kemarin kamu minta waktu terus, waktuku sudah cukup buatmu, dan sesuai perjanjian, jika akhir bulan ini kamu tidak bisa membayarnya kalian harus angkat kaki dari rumah ini"

"Tapi hutang saya kan nggak sebanding dengan rumah ini, pak"

"Ya saya nggak peduli, wong itu sudah perjanjian hutang piutang kok, itu resikomu karena telat bayar, kamu sendiri juga menyetujuinya, kan?"

"Tapi saya belum punya uang, pak"

"Saya nggak mau tahu Maula, yang saya mau uang saya kembali secepatnya"

"Tapi pak_"

"Nggak ada tapi-tapian. Saya beri waktu dua jam untuk kalian mengemasi barang-barang kalian"

Usai mengatakan itu, Dudung berbalik hendak keluar, namun langkahnya terhenti ketika mendengar panggilan Maula.

"Ada apa?" Dudung kembali berbalik.

"Berapa hutang saya?" Tanya Maula to the point.

Pria paruh baya itu tersenyum miring.

"Jadi kamu sudah punya uang?"

"Berapa hutang saya semuanya?"

"Hutang beserta bunga totalnya tiga puluh lima juta"

"Tiga puluh lima juta?" Maula kaget.

Sepertinya tak hanya dia yang terkejut, Wina yang sedari tadi hanya diam menyimak pun turut melongo.

"Bukankah bulan lalu dua puluh lima juta? Kenapa jadi tiga puluh lima?"

"Kemarin itu bunganya belum di hitung, dan karena telat bayar lagi, jadi bunganya bertambah"

"Tapi nggak segitu banyaknya pak" Maula berupaya menangkis.

"Kalau tidak mau bayar ya sudah"

"Okay akan aku bayar, tapi serahkan dulu sertifikat rumahnya"

"Beneran mau bayar kan?" Dudung menatap serius wajah Maula.

Maula menganggukkan kepala sedikit agak ragu.

Entahlah, yang terpenting saat ini adalah sertifikat rumah. Tak peduli dengan hutangnya pada pria yang menyewanya semalam.

"Ini sertifikat rumah kalian, sekarang mana uangnya?" Dudung menyerahkan map setelah ada jeda kurang lebih satu menit.

Maula menerimanya dan langsung mengeceknya.

Ketika mendapati sertifikat itu memang benar miliknya, Maula membuka ponsel, lalu mentransfer uang sejumlah tiga puluh lima juta ke rekening atas nama Dudung yang tersimpan di hapenya.

Satu hutang tertutup, tapi hutang yang lain seakan mengancamnya lebih parah dari ini.

Setelah uang berhasil masuk ke rekening, Dudung beserta anak buahnya langsung pergi meninggalkan rumah Maula.

Wina yang tak percaya kalau anak tirinya bisa melunasi semua hutangnya, langsung menghampiri Maula.

"Dari mana kamu dapat uang sebanyak itu?" Tanya Wina dengan penuh intimidasi.

"Aku dapat pinjam dari teman, bu"

"Hari gini ada teman yang rela meminjamkan uangnya sebanyak itu? Kamu pikir ibu percaya?"

"Kalau ibu nggak percaya ya sudah?" Maula hendak ke dapur usai mengatakan itu.

"Apa kamu jual diri? Atau menjadi simpanan pria berdasi?"

Langkah Maula terhenti. Tanpa menoleh ke belakang, sesaat kemudian ia kembali melanjutkan langkahnya. Tak peduli dengan prasangka sang ibu yang memang benar bahwa dia menjual keperawanannya pada pria beristri.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!