NovelToon NovelToon

Swipe You, Swipe Me

Prolog Three of Sword and The World

98 jam yang lalu

"Entahlah, lihat besok...."

"Ya, kabari--" sambungan telepon terputus bahkan sebelum ia menyelesaikan kalimatnya. Dipandangi layar itu sejenak.

Selamat tidur ❤️

Centang satu.

*

69 jam yang lalu

Komuter pada jam pulang kerja tidak pernah seperti komuter pukul sebelas malam yang lengang. Namun, ia tak pernah merasa terganggu ketika jam pulang kantor membuatnya berdempetan. Asalkan wireless di telinga tetap mengalunkan lagu-lagu yang menghiburnya.

私たちのプレイリスト (Watashi tachi pureirisuto) atau Our Playlist menjadi teman terdekat saat mempertahankan diri tetap teguh di atas komuter waktu petang. Our playlist adalah susunan lagu yang mereka rangkai berdua dengan lagu-lagu kesukaan mereka.

Yang dilakukan Tara saat merindukan pacarnya hanya membolak-balik playlist mereka di saat seperti ini. Di telinganya kini berkumandang salah satu lagu anime yang diberikan kekasihnya, Mou Sukoshi oleh Atsumi Saori. Kepalanya mengangguk sesuai dengan tempo lagu itu.

Sesekali tubuhnya terdorong ke depan karena banyaknya penumpang yang turun-naik. Terkadang tubuhnya terseret dan terpojok karena penumpang naik. Sampai seseorang yang berdiri di depannya mempersilahkan Tara menduduki kursi tak bertuan.

Apa yang sedang ia lakukan di sana?

Tara tidak mengecek aplikasi pesannya sejak tadi pagi. Tak ada satu pun pesan dari kekasihnya itu. Dia tak punya alasan untuk membaca satu pun pesan apalagi berkaitan dengan pekerjaan kantor setelah waktu kerja lewat.

Lagu berganti dan di telinganya berkumandang lagu anime lain dari masa kecilnya.

🎶ai sareteta koto e ni kaita you na yuuhi

(Dicintai oleh dirimu bagai lukisan indah senja di sore hari)

naki dashi sou ni natta koto nagusamete kuretatte

(Di saat aku menangis, kaulah yang menghiburku)

hitomi aruki dashita kage sono senaka ni tsuduita hi

(Di saat aku berjalan sendirian, bayanganmu mengikutiku)🎶

"Nee Nande oleh Yoshizawa Rie"

Baginya, seperti itulah Rendi di matanya. Pria yang mendukung segala keputusan positif bagi perkembangan hidup Tara. Pria yang menghiburnya saat ia lupa untuk berbahagia. Pria yang ada saat ia membutuhkan seseorang walau jarak memisahkan mereka. Ia menekan tombol share pada playlist itu dan mengirimkannya pada kekasihnya itu.

Kembali centang satu. Bahkan tak ada foto terpasang pada jendela percakapan mereka. Ini tidak biasanya, pikir Tara. Namun ia mengabaikan. Mungkin saja ia sedang bingung memilih foto yang ingin dipasang.

Terima kasih sudah hadir di hidupku, Ren ❤️

Semangat kerjanya sayang 🥰

Centang satu. Tara menyematkan kalimat itu setelah membagikan lagu yang ia dengarkan.

*

44 jam yang lalu

Tara memandang layar percakapannya, tak ada yang berubah semenjak terakhir ia membagikan sebuah lagu di sana. Rendi pundung lagi? Apa yang terakhir mereka bicarakan? Rasa-rasanya tak ada yang salah.

Jam menunjukkan pukul setengah sembilan malam dan kantuk melandanya hingga ia tidak tahu jika ia tertidur. Layar percakapan itu masih terbuka. Centangnya berpasangan dan foto pria itu telah muncul. Namun, tak ada indikator biru menyala pada pesan Tara.

*

22 jam yang lalu

"Semalam aku menelepon Acha. Dia bilang dia punya dua tiket lebih untuk pameran Cakrawala Pangrupa. Waktu pamerannya pas setelah aku pulang dari Belitung. Kita pergi?" celoteh Rendi.

"Kau menelepon Acha semalam?"

"Iya, dia menawarkan tiket itu lewat pesan. Makanya, aku meneleponnya untuk memastikan. Pasti akan se-" Tara memotong jawaban Rendi.

"Tak lihat pesanku?"

"Sudah," jawabnya singkat bersamaan dengan indikator menyala biru di layar ponsel Tara. Ia sudah membacanya dua detik yang lalu. Tara mendengus merasa dirinya konyol sekali.

"Ah, ini lagu kesukaanmu," ujar Rendi senang. Entah mengapa ditelinga Tara tawa itu seakan tak tulus.

"Aku mau mandi dulu," responnya.

"Jam 10 malam? Ingatlah kesehatanmu, Tara," pesannya.

Kau malah membuat hatiku tidak sehat Rendi. Bisa-bisanya kau menelepon wanita lain saat aku menunggumu?

"Ya. Sudah, ya," Tara menutup sambungan telepon itu dengan kesal. Ia tidak beranjak ke kamar mandi karena ia sudah melakukannya setengah jam yang lalu.

*

2 jam yang lalu

Hari Sabtu ini layar percakapan tetap sepi seperti 3 hari lalu. Tak ada kata maupun gambar pemiliknya lagi. Ia bergelung di kasur sambil memandangi polaroid Tara dan Rendi saat hubungan mereka resmi berusia 3 bulan. Waktu itu, Rendi baru pulang dari projectnya di Sukabumi. Betapa Tara merindukannya. Ia mencoba menghubunginya namun hasilnya nihil.

Ndud melirik Tara bosan karena setelah Tara pulang kerja, tuannya hanya memandangi polaroid tanpa sedikit memanjakannya dengan gelitik di perut buntalnya. Ndud berpikir untuk mengambil lembaran kertas di tangan tuannya yang sudah menyedot perhatian melebihi dirinya. Ia bangkit dari posisi tengkurap dan menghampiri pembaringan tuannya. Tangan putih itu terulur sambil memegangi kertas yang membuat Ndud cemburu. Dengan tekad bulat...

Harghh!

Ndud berhasil merebut polariod di tangan Tara dan membawanya kabur. "Ndud, kembaliin polaroid-nya sini." Teriak Tara.

Namun, Ndud tetap saja berlari membawa kertas foto itu mengitari ruang tamu. Tara mengejarnya sampai jarak mereka tinggal setengah meter tapi Ndud kembali berhasil meloloskan diri dari antara kedua kaki Tara dan bersembunyi di bawah meja makan.

"Ndud! Gak lucu," bentaknya.

Tara beranjak mendekati meja makan.

"Ada apa sih, Nduk?" tanya Sekar heran karena keributan di sekelilingnya.

"Ndud ambil foto Tara, Ma," jawab Tara. Ia kembali memanggil anjing peliharaannya itu.

Sedikit lagi Tara berhasil menggapai polaroid-nya, Ndud hanya diam di bawah meja. Ia menatap tuannya yang berjuang mengambil kertas tanpa berkedip. Ayo usaha ambil, aku sebal dengan kertas ini. Itulah arti tatapan Ndud.

Tangan Tara gemetar karena jaraknya cukup jauh dengan panjang tangannya. "Ayolah, Ndud," mohon Tara. Ia hanya takut Ndud akan merobek foto itu.

Setelah susah payah, Tara berhasil mengambil foto itu. Alih-alih permasalahan selesai, foto yang berhasil direbut Tara malah menyulutkan kemarahan Ndud.

Grek!

Lengan Tara sukses berada di antara gigi-gigi, Ndud. "NDUD!!!"

***

Air hitam mengalir deras dari kedua bola matanya. Sabtu itu, angin aneh menyapanya di pagi hari sampai ia mengenakan eyeliner untuk membingkai bola matanya. Tak seperti Tara biasanya, Ia enggan bersolek terlalu rupa pada hari kerja hingga saat ini Ia menyesal.

Garis-garis hitam karena air mata melunturkan eyeliner-nya. Ia sudah tak tahu sebab yang mana yang menjadi akibatnya menangis. Entah lengannya yang masih nyut-nyutan karena Ndud yang menggigitnya karena berebut selembar polaroid atau kejut di hatinya saat bibirnya mengucapkan kata putus pada kekasihnya, Rendi.

Tara masih di atas motor, pulang dari klinik untuk mendapatkan pertolongan awal karena gigitan Ndud. Syukur, dokter berkata Ia baik-baik saja karena gigitan yang Tara terima oleh hewan peliharaan bukan anjing liar. Alkohol dan balutan kain kassa melingkar di lengan Tara yang kini memandangi ponselnya hampa.

"Kita putus aja," ucap Tara tercekat. Napas dan air mata seakan tak mengizinkan Ia berkata.

"Kok gitu?" jawab suara berat diujung telepon. "Aku lagi sibuk banget, kamu tau kan? Aku kan tidak bengong seperti kerbau dicucuk hidungnya seharian? Aku kerja."

"Iya," tapi Tara tau dalam hatinya, sesuatu yang lain dalam nada bicara Rendi mengamini intuisinya. "tapi aku ga bisa begini terus."

"Tara, jadi kamu maunya apa?" jawab Rendi sambil mendesah. Ia bingung. Sampai Ia tak sadar telah memegang ponselnya bahkan terlalu keras. "Ponselku mati dan bank daya aku tertinggal. Tidak ada colokan di sekitar sini. Aku... aku,"

Sepanjang Rendi berbicara, Tara menguatkan dirinya untuk berkata tegas, "Kita putus." Tara menahan air matanya jatuh lebih banyak.

Rendi, lelaki baik yang Ia kenal dua tahun belakangan. Mereka LDR. Banyak waktu mereka habiskan bersama menggunakan kuota dari pada berjumpa langsung. Kesibukan dan jarak mengikis perlahan rasa percaya dan membuka lebar gerbang insecurities. Tara paham, tak seharusnya Ia begitu. Tapi sebagai seorang wanita yang tidak tahu kabar kekasihnya, membuat Ia jauh lebih uring-uringan.

Rekan kerjanya sering menanyakan apakah semua baik-baik saja yang dibalas senyuman paksa di bibir Tara, walau akhirnya Ia bergegas ke toilet sambil menggenggam lembaran tisu di tangannya.

Tara tahu, kata putus itu hal terberat yang diucapkannya. Tapi ia tahu, Ia jauh lebih menderita jika harus menunggu kabar dari Rendi yang seakan biasa saja. Diseka wajahnya yang semakin belepotan dan tak keruan. Hatinya gundah tak ingin cepat sampai rumah dan ibunya melihat keadaannya seperti orang yang tak ada harapan hidup, berantakan dan penuh ingus.

Tara memasukkan ponselnya lesu, lalu menyalakan mesin motor. Ia lupa bahwa starter otomatisnya sedang tidak bekerja. Sambil mengumpat kesal Tara turun dan memasang standar ganda lalu mulai menyalakan motor dengan manual. Sampai usahanya yang kesekian, motor tak kunjung menyala. Ia berteriak kesal sambil memukul jok motornya.

"Ah, gini aja lu gak becus," kesalnya pada diri sendiri. "Rendi..." Ia tersedu.

"Mari mbak saya bantu," seorang pemuda yang Tara tak sadari kehadirannya menawarkan bantuan untuk menyalakan motornya.

Tanpa basa basi Tara menyingkir mempersilahkan pemuda itu membantu menyalakan motornya. Tara hanya menunduk tak melihat siapa yang membantunya, Ia masih sadar seburuk apa rupanya sekarang.

Dua kali selak, motor itu hidup. "Ini mbak, sudah." pemuda itu menyingkir mempersilahkan Tara menaiki motornya.

Sambil menarik lendir hidungnya agar Tara dapat berbicara dengan baik, Ia mengucapkan terima kasih tidak jelas sambil mengendikkan kepalanya hormat.

"Gak usah sampai nangis ga bisa hidupin motor, tinggal panggil aja orang di warung-warung, mbak. Banyak. Minta tolong kalau butuh, kita ga bisa selalu kuat sendirian," ujarnya.

"Iya," Tara menjawab. "Makasih lagi, ya, mas."

"Sama-sama, mbak. Untung saya lewat, ya. Hati-hati di jalan, mbak. Diseka matanya, biar liat jalannya jelas."

Tara mengangguk dan tidak tahu harus berkata apa, Ia menurunkan standarnya dan memutar gasnya.

Pemuda itu memperhatikan Tara yang semakin mengecil jauh, Ia tersenyum.

🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷

Ditunggu likes, comment, kritik dan sarannya dear readers 🥰

Author notes: This story already been edited.

Recluse "Argh, just leave me alone!"

Tara memperhatikan bunyi jam mekaniknya di dinding, suaranya halus bahkan bisa membuat Ia terlelap kadang. Ruangannya sesekali redup lalu menggelap lagi. Cahaya itu berasal dari layar ponsel yang sesekali menyala dan redup seiring notifikasi yang masuk pada ponselnya. Tak ada keinginan untuk menggerakkan tangan menggapai benda itu. Tara hanya berbaring dan memandang langit-langit kamar yang membiaskan bayangan lampu temaram dari luar jendelanya.

Ini Sabtu ke empat setelah Ia berpisah dari Rendi. Sesekali Ia mengecek jendela percakapannya dengan Rendi yang hanya di sapa sunyi dan tanpa gambar foto.

Aku benar-benar putus, ya?

Pertanyaan itu asik sekali berenang di kepalanya berminggu-minggu ini, itu membuat dirinya lebih sering termenung dan seperti jasad tanpa roh yang menjalankan tugas sehari-hari.

Tara tahu, Ia harus menjadi dirinya yang dulu. Ia lelah hanya menjalani rutinitas tanpa gairah, tapi beginilah yang terjadi ketika penghuni hatinya check-out tanpa ada kabar berita. Ia merasa serba salah, bersama tanpa kabar Ia gelisah, berpisah tanpa berita Ia merana.

Tara bangkit dan hendak keluar kamar. Ia haus. Sekilas dilirik ponselnya yang tergeletak masih dengan sesekali layarnya menyala karena notifikasi. Beberapa dari Kiara, sahabatnya. Beberapa grup komunitas dan selebihnya teman kantornya. Sama sekali tak ada keinginan untuk sekedar membuka aplikasi pesan tersebut. Tara melangkah membuka pintu.

"Eh! Astaga," seorang perempuan terkaget ketika Tara membuka pintu. Ia nyaris terjerembab karena sedari ia berdiri di depan pintu kamar. Ia mencoba mendengar suara apapun dari dalam yang nihil. Maka saat pintu terbuka dan ia nyaris terjerembab, untunglah Sekar masih dapat menguasai dirinya. Sekar, Mamanya Tara.

"Astaga, Mama ngapain?" Tara terkejut.

"Mama baru... mau panggil kamu makan. Mama udah masakin tumis bunga pepaya kesukaan kamu tuh," lapornya.

Ga ada yang lebih pahit dari itu, ya? Huft jeritan hati Tara. Suasana dirinya sedang pahit dan ibunya menyiapkan tumis bunga pepaya yang getir itu.

Sekar mengintip ke balik bahu anak perempuannya. "Kamu ga nyalain lampu, Nduk?"

"Tadi niatnya mau langsung tidur, tapi aku haus," ucapnya sambil melewati ibunya yang menutup pintu di belakangnya.

"Kamu ga laper?" tanya Sekar membuntuti anaknya turun dari lantai dua rumahnya.

"Tadi Tara udah makan sebelum sampai rumah, Ma. Maaf Tara lupa bilang," bohongnya. Nafsunya untuk sekedar melihat tumpukan makanan di piring lenyap entah kemana.

"Nduk, sudahlah. Jangan terlalu dipikirkan. Mungkin bukan jalannya kalian bersama," Sekar berujar pelan saat Tara mulai meneguk air di gelasnya.

Tara diam. Ia menahan dirinya tak menangis.

"Nduk," sapa Sekar memastikan anaknya mendengar perkataannya.

"Iya, Ma," Tara melangkahkan kakinya ke tempat cuci piring dan membersihkan gelasnya. "Tara naik ya, ngantuk. Besok pagi Kiara ajak jogging ke taman."

"Yowes, tidur sana kalau kamu lelah," Sekar mengelus pelan punggung anak gadisnya.

***

"Eh, lu gila," teriak seorang gadis yang berjalan ke arah Tara.

Tara menjauhkan sebatang rokok yang terselip di bibirnya. Ia memandang Kiara tak jauh kagetnya seperti saat Kiara mengetahui bahwa namanya dipakai sebagai alasan tanpa sepengetahuannya.

"Lu bilang jogging ama gua, tanpa janjian dulu. Di sini lu malah ngudud bukan jogging," Kiara memandang kesal ke arah rokok di jemari Tara. "Gua ke rumah lu tadi, nyokap lu kaget kok gua dateng sendiri ga sama elu. Mana baju gua ga ada kesan jogging-jogging-nya acan."

Tara memandang Kiara yang memakai jaket oversized, jeans selutut dan sendal jepit yang digunakan Kiara.

"Matiin tuh rokok!" hardik Kiara. Ia tidak menyukai kebiasaan baru Tara yang sudah berjalan lebih dari setengah tahun ini. Tara berusaha tidak pernah merokok di depan Kiara tapi pagi ini kedatangan Kiara membuatnya tanpa persiapan.

"Gua cari di taman lu ga ada, untung gua tau lu suka nyepi di pinggir danau," gadis itu mendudukkan dirinya tepat di sebelah Tara.

"Sekali-kali lu kudu setenang danau. Kadang gua mikir itu mulut apa petasan," jawab Tara kembali menghirup rokoknya.

"Matiin!" bentaknya tapi tak berusaha merebut batang rokok itu dari tangan Tara.

"Huss..., dari pada lu teriak-teriak mending nikmatin danau yang tenang," Tara memandang ke depan tanpa berkedip.

"Dari pada lu tenang di luar bergemuruh di dalem. Ga pake cerita abcd, bales chat gua kek, DM gua kek, angkat telpon gua kek. Berasa ngehubungin orang mati," bebernya.

"Yang penting masih connected, kan? Dari pada sama sekali udah ga nyambung. Tandanya gua masih hidup, Ra," jawab Tara malas.

"Lu tu ye," Kiara menjitak pelan kepala Tara. "Gua khawatir. Takut lu mikir macem-macem, takut lu... ah pokoknya gua takut. Besok-besok kalo gua hubungin, gua ga mau tau, harus lu angkat. Mau lu lagi mandi kek, kayang kek!"

"I knew, thank you for that, dear." Tara menghembuskan asap panjang dari mulutnya. Rasanya Ia ingin gemuruh dalam dirinya ikut keluar bersama asap itu, tapi nihil. "Kalo gua notice ponsel gua bunyi."

Tara menunjukkan ponselnya yang ia atur tidak menerima notifikasi apapun. Kiara makin sebal.

"Gua ngerti yang Lo rasain sekarang. Gua pernah kok di posisi Lo," Kiara memasukkan kedua tangannya pada saku jaket.

Pagi itu udara lumayan dingin di sekitar danau buatan di kota mereka. Pohon-pohon yang mengelilingi danau itu dihinggapi burung-burung kecil pada dahannya di sana-sini. Beberapa kelopak bunga dan dedaunan masih terselimuti oleh tipis kelabu embun yang disisakan malam.

Tara mengangguk saja mendengar celotehan sahabatnya. Setidaknya, walau Kiara tak tahu segala aksaranya itu masuk ke lubang telinga kanan dan terhempas melewati lubang sebelah kiri. Ia tetap memberikan responnya. Ia tahu kuliah ini tak akan berakhir cepat karena pengacara satu ini akan sulit sekali diberhentikan saat mulai berbicara. Padahal, Tara masih ingin menikmati kesendiriannya. Kesunyian tempat itu untuk menenangkan hatinya.

"Lo kan yang waktu itu nyuruh gua ga down terus," Kiara menyenggol dengan sikunya. "Lo bilang roda kehidupan bergulir dan ga akan selamanya diam di tempat seperti ini. Masih ada yang jauh lebih baik dari pada pria itu. Dia aja gak ngehargain Lo, buat apa Lo masih berlama-lama tenggelam dalam situasi ga menentu seperti ini. Keenakan tuh banci satu!"

Tara tetiba berdiri. Jujur Ia lelah mendengar sugesti yang dibeberkan tapi Ia tak sampai hati mengutarakan. Sebal juga mendengar Kiara menyebut Rendi banci. Bagaimana pun juga Rendi hebat, belanya dalam hati.

"Cari makan yuk, laper." alih Tara dan bangkit dari bangku semen pinggir danau itu. Matanya mulai mencari makanan yang bisa menarik hatinya untuk mencoba dan mengisi perut. Kalau pun ia bisa menelannya.

"Ih, nih anak," umpat Kiara kesal lalu menyusul Tara.

🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷

Ditunggu likes, comment, kritik dan sarannya dear readers 🥰

Author notes: This already been edited.

Ace of Coin

Tara menoleh saat merasa sebuah jari menyolek bahunya. Vanka bersandar pada kubikel dan melipat kedua tangannya di dada. "Maksi gak lu?"

"Iya," Tara kembali memalingkan pandangan pada komputer Ia bekerja.

"Ayo, sekarang. Keburu si Susi ikut ntar," Vanka menoleh kebelakang bahunya berusaha memastikan si objek pembicaraan mereka berada setidaknya 1 km dari ia berdiri.

"Iya," Tara akhirnya menjawab sedikit kesal sambil menyimpan semua hasil kerjanya di komputer. Ia merapikan berkas-berkas di atas meja dan memasukkan pada laci terkunci. Ia menggamit pouch kecil bergambar mobil VW bertuliskan 'Travel The World' dan gerakannya terhenti ketika hendak menyambar ponselnya beserta. Ia memutuskan untuk memasukkannya ke laci mejanya beserta berkas-berkas pekerjaan. "Ayo, cuss..."

Vanka langsung menggandeng lengan Tara setengah memaksanya untuk melangkah lebih cepat. Dalam perjalanan menuju tempat makan mereka masih saja membicarakan project acara akhir tahun yang akan diselenggarakan kantornya. Vanka mulai memberi ide untuk tema pakaian yang sekiranya pantas untuk dimasukkan dalam acara, Tara menyahut agar Ia kemukakan di rapat berikutnya. Tempat makan yang berada dalam sebuah Mall tentunya menyajikan berbagai macam makanan juga manusia. Sesekali Vanka memberi tanggapan ke arah cowok yang duduk di sebuah toko kopi sambil berbincang lewat ponsel.

"Cowok yang lengan kemejanya digulung itu kenapa ngegemesin, ya?" bisiknya.

"Sempet aja mata lu, si Berryl kumaha?" Tara menyodok pelan pinggang Vanka.

"Ya, Berryl di hati, tapi kan lagi ga di sini. Masa mata ga boleh sekedar 'window shopping'. Kan ga ada masalah dengan hubungannya," Vanka mengibaskan tangannya seakan ada sesuatu melayang di depan wajahnya, gestur angin lalu.

"Iyalah, Vanka. Mau makan apa nih?" Tara bertanya mengalihkan pembicaraan. Sebetulnya Ia pun tak serius bertanya bahkan makan itu ada dalam daftar terakhir yang ingin dia lakukan.

"Lu aja yang pilih, gua tau lu lagi ga selera makan," Ia tertawa. "******."

"Lu emang paling bisa ya, dasar," Tara menggerutu. "Kita ke food court aja dulu lah, siapa tau gua bisa mikir."

"Pilihan lu cuma satu aja, move on. Itu aja lu susah milih gimana makin banyak," nyinyir Vanka sambil nyengir.

"Eh, setan," sembur Tara namun ia ikut nyengir juga akhirnya. Saat menaiki tangga eskalator, seorang menyerahkan selebaran yang diambil Tara tanpa sedikit pun memeriksa.

Mereka akhirnya memilih sebuah resto yang menyajikan banyak sajian pasta. Tara berpikir itu satu-satunya jenis makanan yang mungkin dapat Ia santap dengan cepat. Setelah memesan dan menyantap hidangan, Vanka mengeluarkan bungkus rokok mentolnya dan menawarkan Tara. Tara mengambil satu dan menyalakan pemantik yang tergeletak saat penggunanya sudah menghembuskan asapnya nikmat. Mereka memang mengambil meja di smoking area.

Vanka melirik selebaran yang dibawa Tara. Selebaran dengan warna menyolok dan gambar dua besar hati serta gambar panah yang saling bertolak belakang. Vanka menarik selebaran itu. "Eh, dapet dari mana Lo?"

Tara melirik sekilas sebelum menghembuskan asap putih tipis, "tadi sebelum naik eskalator. Lo ga liat?"

"Engga," wajah Vanka sedikit berlebihan melihat selebaran itu

"Hunting terus sih tuh mata," sergah Tara.

"Eh, wajar dong liat yang gemes. Tar, lu tau ini apa?" Vanka kini menggoyangkan selebaran di tangannya.

"Apaan, sih?" Tara merebut selebaran itu dari tangan Vanka yang melepasnya dengan penuh drama.

"Itu tuh, di mana gua ketemu Berryl!" Ia menunjuk dengan antusias.

"Yakin, Lo?" Tara mengamati selebaran itu, akhirnya. Aplikasi bernama SwipeLove, menyertakan QR code untuk memudahkan pengunduhan aplikasi jodoh itu. "Pasti tuh apps ga laku sampe marketingnya nyebarin selebaran gini."

"Lu download, ga perlu pake tanya ba-bi-bu, deh. Percaya Ama gue."

"Ya, paling sama aja sama aplikasi jodoh lainnya. Banyak yang fake, atau isinya brengsek gitu," jawab Tara apatis.

"Download udah," ucapnya sedikit memerintah.

"Ga bawa hp," jawab Tara ringan.

"Nih gua kasih liat," Vanka dengan lincah membuka ponsel dan menunjukkan aplikasi tersebut. Juga memberikan penjelasan sedikit hingga Tara mulai berpikir apakah Vanka itu rekannya bekerja di perusahaan yang sama atau selama ini dia hanya Intel yang ingin meluaskan jaringan aplikasi tersebut ke karyawan-karyawan single di perusahaan besar, seperti Mitra Grup Indo.

Tara kaget, "Lu masih pake sampe sekarang, si Berryl-" ucapan Tara langsung terpotong.

"Udah, lu mending..." Vanka mengambil kembali selebaran itu melipatnya lalu langsung menjejalkan pada pouch Tara. "download aja ga usah kebanyakan mikir. Susah emang ngomong ama Capricorn mikirnya kelamaan."

"Ga usah bawa-bawa rising gitu lah," Tara terkikik.

"Udah," Vanka ******* rokoknya pada asbak seakan menjadikan sebagai segel atas apa yang dibicarakan. "Ayo balik ke kantor."

Tara mematikan rokok miliknya lalu menyusul Vanka yang sedang menyemprotkan sedikit pengharum agar bau asap rokok menghilang dari tubuhnya.

***

Malam sudah larut saat Tara meletakkan tasnya pada kursi meja riasnya. Ponsel digenggamnya mati dan Ia mengambil pouch untuk mengeluarkan kabel pengisi daya. Tara melihat selebaran yang dilipat asal oleh Vanka saat Ia menarik seleting pouch itu. Ia menimbang-nimbang tentang gagasan Vanka tadi siang. Tak ada salahnya mencoba, mungkin ada penghiburan yang ia dapatkan untuk menghapus jejak Rendi dalam benaknya. Ia sadar ponselnya harus diisi daya, setelah memastikan aliran listrik masuk mengisi ponsel itu, Tara membersihkan wajahnya dengan micelar water dan bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

***

Yuda, 30.

Mapan, siap nikah, serius.

swipe

Danar, 28.

Bertualang aku dan kamu sampai tua

swipe

Satria, 28.

Having fun, kost? hotel? Jadi 😎

Ih, swipe

Tara tak benar-benar memperhatikan apa yang ia lakukan. Terkadang ia berhenti pada satu pilihan yang mungkin mengingatkannya pada senyum Rendi, atau ucapan-ucapan Rendi yang tertulis di beberapa data pengguna aplikasi tersebut. Terhenti pada perawakan yang mirip Rendi, atau backround-backround foto yang pernah dikunjungi mereka berdua saat bersama.

Tidak ada harapan terlalu besar bagi Tara melakukan itu, dia hanya berpikir ini satu-satunya cara yang bisa Ia lakukan untuk membunuh waktu sampai ia bisa tertidur. Tidak hanya memandangi langit malam sambil menyalakan sebatang-dua rokok atau memandangi langit kamarnya dengan pikiran yang melayang kepada kenangan indah Ia dan Rendi.

Seakan semua baru terjadi kemarin atau semua pikirannya saja yang membuat segalanya terasa seperti luka baru setiap harinya.

Tara memejamkan mata, saat berhenti pada akun Asep, 27. Foto laki-laki berkacamata hitam dengan background jalanan di malam hari. Wajahnya tertimpa cahaya rumah. Datanya bertuliskan, Adem coy.

"Ah, sia-sia," Tara sedikit geli dengan akun terakhir itu. Ia memutuskan untuk membiarkan dirinya termakan oleh pekatnya alam mimpi yang asing.

_____________

Terima kasih yang telah membaca, aku masih galau mau terusin apa pindah lapak. (sambil nyedot NiKopSu~)

Jangan lupa like dan comment, yaaa 😁 Happy reading!

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!