"Mas Aldrick sibuk atau ... dia memang nggak mau ada di rumah? Apa ... jangan-jangan, Mas Aldrick selingkuh?!"
Melodi menggeleng cepat, mencoba mengusir pikiran-pikiran buruk itu. Namun, semuanya terlalu sulit, sikap dingin yang ditunjukkan Aldrick selama beberapa bulan terakhir membuatnya merasa seperti orang asing di rumahnya sendiri. Padahal dulu, mereka tidak pernah seperti ini.
Aldrick bukan orang yang pandai bicara, tapi Melodi tahu, dulu pria itu mencintainya dengan tulus. Senyumnya, sentuhannya, semuanya terasa hangat. Sekarang? Yang tersisa hanya keheningan.
Langit sore kini mulai memerah, memantulkan cahayanya ke kaca jendela ruang tamu yang setengah terbuka. Melodi duduk di sofa, menatap layar ponselnya dengan pandangan kosong. Grup chat keluarga Aldrick yang biasanya ramai tidak menarik perhatiannya kali ini. Tangannya menggenggam secangkir teh hangat yang aromanya sudah mulai memudar. Tapi, teh itu tidak diminum, hanya dipegang erat seolah menjadi pelarian dari pikirannya yang semakin berat.
Melodi menarik napas panjang, lalu mengalihkan pandangannya ke arah pintu kamar. Aldrick belum pulang. Lagi.
Ia melirik jam dinding. Pukul 19.30. Sudah lewat waktu makan malam, dan dia tahu, seperti biasa, Aldrick mungkin akan pulang dengan alasan yang sama: “Lembur.”
Melodi meletakkan cangkir tehnya di meja. Hatinya mulai berbisik, merangkai prasangka yang selama ini dia coba abaikan. Tapi, bisikan itu semakin kencang.
Melodi meraih ponsel-nya lagi, kali ini mengetik pesan.
"Mas, pulang jam berapa?"
Ia menatap layar, menunggu balasan. Tapi seperti dugaan, tidak ada pesan masuk. Hanya tanda ceklis biru yang menambah rasa kesalnya.
Hampir satu jam kemudian, akhirnya terdengar suara pintu terbuka. Aldrick masuk dengan langkah pelan, membawa tas kerja yang sudah terlihat penuh sesak. Dia melepas sepatunya tanpa menoleh ke arah Melodi yang masih duduk di sofa.
“Mas,” panggil Melodi, berusaha terdengar santai meski ada nada gusar yang sulit dia sembunyikan.
“Hm?” Jawab Aldrick tanpa mengangkat wajah. Dia sibuk meletakkan tasnya di meja dekat pintu, membuka kancing lengan kemejanya, dan melonggarkan dasi.
“Kamu pulang telat lagi,” lanjut Melodi, suaranya sekarang terdengar lebih tajam.
“Kerjaan lagi banyak,” jawab Aldrick singkat.
Melodi memutar bola matanya. Jawaban itu lagi. Selalu jawaban itu, jawaban yang terdengar seperti alasan sekedarnya. Dia bangkit dari sofa, mendekati Aldrick yang sekarang duduk di kursi makan sambil membuka laptop.
“Kamu nggak lapar?” Tanya Melodi, mencoba mengalihkan suasana.
“Nggak. Udah makan di kantor.” Jawab Aldrick sambil mengetik sesuatu di laptopnya, tanpa sedikit pun menoleh ke arah Melodi.
Jawaban itu menampar perasaan Melodi. Dia sudah menyiapkan makan malam dengan hati-hati tadi sore. Bahkan Melodi rela menekan laparnya dengan sebungkus mie instan yang direndam dengan air panas saja, agar perutnya masih memiliki ruang untuk makan malam bersama sang suami.
Sementara Aldrick? Bahkan pria itu kini tidak menyadari kalau meja makan sudah tertata rapi dengan lauk favoritnya.
“Mas,” panggil Melodi lagi, kali ini dengan nada lebih serius.
“Hm?”
“Kamu sebenarnya masih peduli nggak sih sama aku?”
Pertanyaan itu membuat Aldrick menghentikan aktivitasnya. Dia menatap Melodi, keningnya berkerut.
“Apa maksud kamu?” tanyanya.
Melodi menelan ludah. “Aku ngerasa kamu semakin berubah. Kamu dingin, jarang ngomong, jarang nanya kabar aku. Kamu lebih banyak di kantor daripada di rumah. Aku ini istri kamu, Mas, tapi ... aku ngerasa kayak tinggal sama orang asing.”
Aldrick menghembuskan napas berat. “Mel, aku capek. Kerjaan di kantor lagi berat. Aku bukannya nggak peduli sama kamu, tapi, aku cuma ... nggak tahu harus gimana.”
Melodi tertawa kecil, tapi, tidak terdengar menyenangkan. “Nggak tahu harus gimana? Mas, aku nggak minta banyak. Aku cuma pengen kamu ngomong sama aku. Jangan cuma diem. Kita ini suami-istri, bukan sekedar orang yang tinggal di bawah atap yang sama.”
Aldrick tidak menjawab. Dia hanya menatap Melodi dengan tatapan sulit dijelaskan. Ada rasa bersalah, tapi, juga ada kelelahan yang nyata di matanya.
“Aku sayang kamu, Mel,” ucap Aldrick pelan.
Melodi tertegun sejenak. Kalimat itu seharusnya membuat hatinya hangat. Namun, entah kenapa, kali ini terdengar seperti kalimat kosong. Kalimat yang semakin membuat dadanya sesak.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Melodi duduk di sebuah kafe kecil di dekat rumah. Dia sengaja menghubungi Nadia, sahabatnya, untuk bertemu. Nadia datang dengan senyum lebar, tapi, ekspresinya langsung berubah begitu melihat wajah Melodi yang tampak kusut.
“Ada apaan, Mel? Komuk lo murung amat?” tanya Nadia sambil duduk di kursi seberang.
Melodi mengaduk-aduk cappuccino-nya tanpa menatap Nadia. “Gue ngerasa Aldrick udah nggak sayang sama gue.”
Nadia mengerutkan alis. “Hah? Kok lo bisa mikir gitu?”
“Dia dingin banget, Nad. Mirip sama kulkas 4 pintu, kayak ... nggak peduli sama gue. Pulang kerja telat terus, jarang ngobrol. Gue bahkan mulai mikir jangan-jangan dia ada cewek lain.”
Nadia langsung tertawa kecil. “Aldrick selingkuh? Yang bener aja, Mel. Laki lo itu terlalu kaku buat yang namanya selingkuh.”
Melodi menatap Nadia dengan tatapan tidak percaya. “Lo tau apa soal Aldrick? Dia itu misterius banget. Gue bahkan nggak tau apa yang dia rasain sekarang.”
Nadia menghela napas. “Lo udah coba ngomong serius sama dia?”
“Udah. Tapi dia selalu bilang dia capek kerja. Gue ngerti dia kerja keras buat kita, tapi ... apa ya, gue ngerasa kayak dia nggak ada buat gue.”
Nadia menyentuh tangan Melodi, memberikan dukungan. “Gue ngerti perasaan lo. Tapi, coba deh, jangan langsung mikir yang jelek-jelek dulu. Mungkin dia emang lagi banyak tekanan di kantor.”
Melodi terdiam. Kata-kata Nadia masuk akal, tapi itu tidak cukup untuk menghapus rasa sakit yang dia rasakan.
Sementara itu, di tempat yang berbeda, Aldrick duduk di ruang kerjanya. Matanya menatap layar komputer, tapi, pikirannya melayang ke percakapan tadi malam dengan Melodi. Dia tahu istrinya tidak bahagia, dan itu membuatnya merasa bersalah.
Pria itu menghembuskan napas kasar, sembari menatap kaca pembatas ruangan. Namun, beberapa detik kemudian ia tersentak saat seorang wanita melintas di depan kaca ruangan kerjanya, sambil melemparkan kedipan nakal nan menggoda.
Tatapan Aldrick beralih pada ponselnya yang bergetar. Sebuah pesan masuk dari Melodi.
Melodi : Mas, nanti pulang jangan telat, ya. Aku tunggu.
Aldrick menatap pesan itu lama. Dia ingin membalas dengan sesuatu yang menenangkan, tapi seperti biasa, dia tidak tahu harus menulis apa. Akhirnya, dia hanya mengetik:
"Ya."
Malam itu, Aldrick pulang tepat waktu. Melodi sudah menunggunya di ruang makan dengan meja yang kembali tertata rapi. Dia mengenakan dress sederhana, tapi, terlihat cantik seperti biasa.
“Mas, ayo kita makan,” ajak Melodi dengan senyum kecil begitu Aldrick keluar dari kamar. Pria itu baru selesai mandi.
Aldrick mengangguk dan duduk di kursi di depannya. Mereka makan dalam keheningan. Melodi berusaha memulai pembicaraan, tapi, Aldrick hanya menjawab singkat.
Setelah makan, Melodi menghela napas panjang. Dia ingin bicara lagi, tapi, takut akan hasilnya. Dia memutuskan untuk tidak memaksakan diri malam itu dan lekas masuk ke dalam kamar.
Namun, saat dia masuk ke kamar, air matanya jatuh tanpa bisa dia tahan. Tepat di belakang pintu, sehelai rambut menempel di jas kerja Aldrick yang bergelantungan di sana. Rambut yang jelas Melodi tau, bukan miliknya ataupun Aldrick. Air matanya semakin menetes.
Melodi memandang ponselnya. Tangannya gemetar saat mengetik pesan untuk Nadia:
"Nad, gue nggak tahu berapa lama lagi gue bisa bertahan kayak gini. Kayaknya umur pernikahan gue gak bakal lama lagi."
Melodi menekan tombol kirim, lalu memejamkan matanya, membiarkan rasa sakit itu membanjiri dirinya.
*
*
*
Hallo readers, kita berjumpa lagi di karya sederhana ini 😇
Mohon dukungannya untuk meramaikan lapak Author, dukungan kalian selalu berharga😘
Dukungan bisa berupa like & meninggalkan jejak komentar, gift, vote, permintaan update, dan cara membaca yang benar (tidak lompat-lompat bab 🥰)
Jangan lupa di subscribe ya, biar dapat notifikasi update 🎉
Di kamar yang temaram, hanya diterangi lampu meja yang redup, Melodi masih menggenggam ponselnya. Pesan untuk Nadia telah terkirim, tapi pikirannya masih berputar-putar. Tubuhnya terasa lelah, bukan hanya karena rasa sakit yang terus menghantui, tapi juga karena hatinya yang semakin hari semakin berat.
“Ugh! Kepalaku sakit sekali ...,” gumamnya pelan.
Nada pesan masuk dari ponselnya memecah keheningan. Melodi segera mengangkat ponselnya, membaca balasan dari Nadia.
Nadia : Lo serius, Mel? Gue ke sana sekarang.
Melodi tersenyum kecil. Sahabatnya itu selalu seperti itu, penuh dengan perhatian meski kadang caranya terdengar kasar. Ia mengetik balasan dengan cepat.
Melodi : Nggak usah, Nad. Gue cuma butuh ngobrol. Video call aja yuk!
Hanya butuh beberapa detik sebelum layar ponsel Melodi menampilkan wajah Nadia yang cerah, meskipun ekspresi di wajahnya jelas menunjukkan kekhawatiran. Rambut Nadia diikat asal, dan ia sedang mengenakan kaus longgar dengan tulisan “I’m too sassy for you.”
“Are you okay, Mel?” suara Nadia terdengar tegas, tanpa basa-basi. “Gue tahu banget kalau lo udah mulai kirim-kirim pesan galau kayak gini, pasti ada yang bikin hati lo remuk.”
Melodi tertawa kecil, meski lebih terdengar seperti hembusan napas yang lelah. “Lo tau gue terlalu sering over thinking, kan? Tapi, kali ini ... gue nggak tahu, Nad. Gue ngerasa kayak ... gue udah capek banget.”
Nadia memiringkan kepalanya, menatap Melodi dengan tajam. “Aldrick? Dia ngelakuin sesuatu lagi?”
Melodi mengangguk pelan. “Firasat gue bener-bener nggak enak, Nad. Gue yakin banget dia selingkuh.” Suaranya mulai bergetar, dan ia meremas selimut yang menutupi kakinya.
Manik Nadia membola. “Lo beneran yakin, Mel? Udah ada bukti emang?”
Melodi menghembuskan napas kasar. “Tadi, gue nemuin rambut orang lain di jas kerjanya laki gue, Nad. Dan gue yakin, itu rambut cewek!” Tangan mungil itu menyugar rambut yang mulai menutupi wajah. “Selain itu ... gue tuh bener-bener yang udah capek banget, Nad. Gue ngerasa kayak gue ini cuma bayangan di rumah ini. Dia nggak pernah ngomong apa-apa ke gue, nggak pernah nanya gue capek atau nggak, nggak pernah nunjukin dia peduli. Gue cuma ... capek berusaha sendiri buat bikin hubungan ini hidup.”
Nadia menghela napas panjang, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. “Mel, gue tau ini nggak gampang, tapi, lo pernah coba ngomong langsung sama dia? Maksud gue ... kayak serius, duduk bareng, ngomongin apa yang sebenernya lo rasain? Dari hati ke hati.”
Melodi tertawa pahit. “Ngomong? Lo tau Aldrick, kan? Dia itu kayak tembok, Nad. Kalau gue ngomong, dia cuma bilang, ‘Aku sibuk,’ atau ‘Jangan over thinking.’ Gue udah nggak tau lagi gimana caranya bikin dia ngerti.”
Nadia menatap Melodi dengan ekspresi serius. “Lo tau kan, Mel ... cowok kayak Aldrick itu nggak gampang berubah. Dia bukan tipe yang tiba-tiba jadi romantis cuma karena lo bilang lo nggak bahagia. Tapi, lo harus kasih dia kesempatan buat ngerti. Jangan cuma diem dan nunggu dia sadar sendiri. Cowok itu nggak peka, Mel. Lo tau sendiri. Dan, untuk perkara rambut itu ... ada bagusnya langsung lo bahas sama Aldrick. Kalau ini semua hanya salah paham, gimana? Kesalahpahaman yang nggak diluruskan itu bisa bikin penyakit di dalam suatu hubungan, Mel.”
Melodi menghela napas panjang, menatap ke arah jendela. Hujan mulai turun di luar, menciptakan irama lembut yang mengisi kesunyian.
“Gue tau, Nad. Tapi gue takut. Takut kalau gue ngomong, dia malah makin menjauh. Takut kalau gue bilang gue nggak bahagia, dia malah ngerasa gue nyalahin dia. Dan ... gue takut kalau gue ngomong, lalu Aldrick jujur kalau dia selingkuh ... gue takut sama semua itu, Nad ...,” lirihnya.
Nadia mendengus pelan. “Mel, dengerin gue. Lo nggak bisa terus-terusan kayak gini. Kalau lo terus simpen semuanya sendiri, lo yang bakal hancur. Gue tau lo sayang sama dia, tapi, hubungan itu kerja dua orang, bukan cuma lo doang. Kalau dia bener-bener cinta sama lo, dia bakal dengerin.”
Melodi terdiam. Kata-kata Nadia masuk ke dalam pikirannya, tapi, ada keraguan yang sulit ia hapus. Ia tahu Nadia benar, tapi mempraktikkannya jauh lebih sulit daripada sekadar mendengar nasihat.
“Gue cuma pengen dia perhatian, Nad,” bisik Melodi akhirnya. “Gue nggak minta dia kasih bunga tiap hari atau ngajak gue makan malam romantis. Gue cuma pengen dia nanya, ‘Gimana hari lo?’ atau sekadar bilang dia sayang sama gue.”
Nadia mengangguk pelan. “Gue ngerti, Mel. Dan lo pantas dapet itu. Tapi, lo harus kasih tau dia. Lo harus mulai duluan. Kadang cowok nggak ngerti kalau kita nggak ngomong.”
Melodi menghela napas lagi. “Gue nggak tau, Nad. Gue nggak tau apa gue masih punya energi buat terus berusaha. Kadang gue ngerasa kayak gue lebih baik pergi aja. Mungkin dia bakal lebih bahagia tanpa gue.”
Wajah Nadia langsung berubah serius. “Jangan ngomong gitu, Mel. Lo nggak tau apa yang ada di kepala dia. Lo bilang dia nggak pernah nunjukin kalau dia peduli, tapi, gue yakin dia sayang sama lo. Dia cuma nggak tau cara nunjukin nya. —Selingkuh dari lo itu namanya melakukan kebodohan, Mel. Dan ... Aldrick bukan pria bodoh, you know what i mean, ‘kan?”
Melodi terdiam, menundukkan kepalanya. Ia tahu Nadia mencoba menghiburnya, tapi, rasa sakit di hatinya terlalu dalam untuk dihapus dengan kata-kata.
---
Sementara itu, Aldrick duduk di ruang kerja kecilnya, menatap layar laptop yang penuh dengan angka dan grafik. Namun, pikirannya tidak ada di sana. Ia memikirkan Melodi. Ia tahu ada sesuatu yang salah, tapi, ia tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya.
Pikirannya kembali ke saat-saat awal pernikahan mereka. Melodi selalu ceria, selalu tertawa, dan ia selalu tahu cara membuatnya merasa istimewa. Tapi sekarang, senyum itu jarang terlihat. Dan Aldrick tahu, itu salahnya.
Ia bangkit dari kursinya, berjalan menuju kamar. Ketika ia membuka pintu, ia melihat Melodi sedang menatap keluar jendela. Wajahnya terlihat lelah, tapi ada sesuatu di matanya yang membuat Aldrick merasa bersalah.
“Mel,” panggilnya pelan.
Melodi menoleh, sedikit terkejut. “Kamu ... kenapa belum tidur? Aku kira kamu ketiduran di ruangan kerja.”
Aldrick berjalan mendekat, duduk di tepi tempat tidur. “Aku cuma ... mau nanya. Kamu baik-baik aja?”
Melodi terdiam, menatap suaminya. Pertanyaan itu sederhana, tapi, ada sesuatu di nada suara Aldrick yang membuatnya merasa bahwa ia benar-benar peduli. Namun, luka di hatinya terlalu dalam untuk sembuh hanya dengan satu pertanyaan.
“Aku baik,” jawabnya singkat.
Aldrick mengangguk pelan, meskipun hatinya berkata sebaliknya. Ia ingin mengatakan lebih, ingin bertanya apa yang sebenarnya ia rasakan, tapi kata-kata itu tersangkut di tenggorokannya. Akhirnya, ia hanya mengangguk lagi, lalu berdiri.
“Kalau kamu butuh sesuatu, bilang, ya.”
Melodi memandang punggung Aldrick yang perlahan menjauh menuju pintu. Air mata mengalir di pipinya. Ia ingin berteriak, ingin mengatakan bahwa ia butuh lebih dari sekadar kata-kata itu. Tapi, sama seperti Aldrick, ia juga tidak tahu bagaimana cara mengatakannya.
Aldrick bergeming setelah menutup pintu, pria itu sedikit bersandar. Wajahnya kelihatan murung. Aldrick meraih ponsel di dalam sakunya, sebuah pesan masuk dari rekan kerja yang kerap melemparkan tatapan nakal padanya.
‘Aldrick, besok berangkat jam berapa?’
Setelah membaca pesan tersebut, Aldrick menghela napas panjang. Kemudian, ia kembali menuju ruangan kerjanya.
.
.
.
Pagi itu, Melodi memutuskan untuk mengikuti saran Nadia. Ia akan berbicara dengan Aldrick. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi ia tahu ia tidak bisa terus seperti ini.
Namun, saat ia turun ke ruang makan, Aldrick sudah pergi. Hanya ada secarik kertas di atas meja dengan sebuah pesan :
“Aku harus ke kantor lebih awal hari ini. Lagi banyak kerjaan. Jaga diri kamu, ya.”
*
*
*
Readers, terimakasih banyak saya ucapkan untuk kalian yang masih setia mampir 🥰
Jujur Author sedikit kurang percaya diri untuk merilis karya Melodi, karena sempat istirahat dari karya dengan kisah rumah tangga.
Namun, setelah melihat komentar pembaca yang hadir, Author jadi semangat 45 🔥
Mohon dukungannya para kesayangan saya 🥰
Malam itu, udara terasa berat di ruang tamu rumah yang sepi. Lampu kuning temaram menggantung di langit-langit, menyinari sofa tempat Melodi duduk dengan kaki bersila. Ia menatap jam dinding yang berdetak pelan, jarum-jarumnya terasa seperti bergerak semakin lambat tiap detiknya. Sudah pukul sembilan malam, dan Aldrick belum juga pulang.
Melodi menghembuskan napas panjang, lalu mengalihkan pandangannya ke ponsel yang tergeletak di meja. Tak ada pesan masuk dari Aldrick. Tidak ada kabar. Tidak ada "Aku pulang telat ya, Dek." Bahkan, emoji pun nihil. Hening seperti biasa.
Melodi menggigit bibirnya, mencoba menahan perasaan kesal yang perlahan mendidih di dadanya. Tapi kali ini, ia memutuskan untuk tidak marah-marah seperti biasanya. Tidak ada gunanya. Ia tahu Aldrick hanya akan menatapnya dengan wajah datar seperti patung, lalu mengangguk tanpa ekspresi. Rasanya seperti berbicara dengan tembok, cuma temboknya bisa balas mengangguk.
“Yaudah!” Gumam Melodi sambil mendongakkan kepala, berbicara pada langit-langit. “Malam ini aku bakal coba pendekatan lain. Lucu-lucuan, biar nggak tegang terus kayak tali jemuran.”
Ia melirik ke arah dapur, berpikir sejenak. Lalu, ide itu datang.
---
Pukul sembilan lebih lima belas menit, suara deru mobil akhirnya terdengar dari luar. Melodi langsung bangkit dari sofa. Ia berdiri di depan pintu, menunggu Aldrick masuk. Saat pintu terbuka, aroma khas parfum Aldrick yang selalu sama sejak mereka pacaran menyeruak.
Aldrick melangkah masuk, melepas sepatunya dengan gerakan rapi seperti biasa. Ia menatap Melodi sekilas, lalu mengernyit. “Kenapa kamu berdiri di situ?” tanyanya, suaranya datar seperti biasa.
Melodi tidak menjawab. Dengan wajah serius, ia menatap Aldrick dari ujung kepala sampai kaki, lalu menggeleng pelan.
“Ada apa?” Aldrick bertanya lagi, kali ini dengan nada agak waspada.
Melodi menghela napas panjang, lalu menepuk jidatnya sendiri dengan dramatis. “Mas, aku tuh baru sadar satu hal penting banget.”
Aldrick mengangkat alis. Ia melepas jaketnya, menggantungkan di gantungan dekat pintu, lalu berkata, “Apa?”
Melodi mendekat, menatapnya dengan ekspresi serius. “Aku ini istrimu, kan?”
Aldrick mengangguk pelan. “Iya, memang. Kenapa?”
“Nah, itu dia!” Melodi melambaikan tangan ke udara, seperti seorang pengacara yang baru saja menemukan bukti penting di persidangan. “Kalau aku ini istrimu, kenapa aku selama ini lebih sering ngobrol sama kulkas daripada sama kamu?”
Aldrick terdiam. Ia menatap Melodi, mencoba mencerna kalimatnya. “Ngobrol sama kulkas?” ulangnya, bingung.
“Iya!” Melodi bersandar ke dinding dengan tangan menyilang di dada. “Kulkas itu, Mas, lebih sering dengar curhatan ku daripada kamu. Dia saksi bisu semua keluh kesahku. Bahkan, kadang aku merasa kulkas itu lebih perhatian.”
Aldrick masih diam, tapi sudut bibirnya sedikit terangkat. Entah itu senyuman atau hanya refleks, Melodi tidak tahu.
“Kamu tahu nggak, Mas,” lanjut Melodi tanpa memberi Aldrick kesempatan untuk menjawab. “Tadi siang aku bilang ke kulkas, ‘Kulkas, aku ini istri yang diabaikan.’ Dan tahu nggak dia jawab apa?”
Aldrick menggeleng pelan. “Apa?”
Melodi mencondongkan tubuhnya ke depan, berbisik dengan nada penuh konspirasi. “Dia nggak jawab apa-apa, Mas. Tapi lampunya berkedip dua kali. Itu kode, lho. Dia setuju sama aku.”
Aldrick menghela napas dan menutupi mulutnya dengan tangan, seolah berusaha menyembunyikan tawa kecil yang hampir muncul. Tapi Melodi tidak berhenti di situ.
“Terus,” Melodi kembali berdiri tegak, memasang ekspresi sedih yang dramatis. “Aku bilang ke kulkas, ‘Kulkas, aku ini istri yang malang.’ Dan tahu nggak apa yang terjadi?”
“Apa lagi?” Aldrick bertanya, kali ini dengan nada yang lebih lembut.
“Es batu di freezer jatuh, Mas. Itu tandanya dia nangis. Ikut sedih sama aku.”
Kali ini, Aldrick tidak bisa menahan tawa kecil yang akhirnya keluar. Ia menggelengkan kepala, lalu berjalan ke ruang tengah sambil berkata, “Kamu ini ada-ada aja.”
Melodi mengikuti di belakangnya, tidak peduli dengan respons datar itu. Setidaknya, ia berhasil membuat Aldrick tertawa, walaupun hanya sedikit.
---
Di ruang tamu, Aldrick duduk di sofa dengan punggung tegak khasnya. Ia mengambil ponsel dari saku, mulai memeriksa sesuatu di layar. Melodi duduk di sofa sebelahnya, lalu menyandarkan kepala di sandaran tangan sofa dengan wajah menghadap Aldrick.
“Mas,” panggil Melodi lembut.
“Hm?”
“Kamu tahu nggak kalau aku itu stand-up comedian?”
Aldrick menoleh sebentar. “Sejak kapan?”
“Sejak aku menikah sama kamu.”
Aldrick mengangkat sebelah alis. “Kenapa?”
“Soalnya, kalau aku nggak bikin lelucon, rumah ini bakal sunyi senyap kayak kuburan.”
Aldrick menatap Melodi dengan ekspresi yang sulit ditebak. “Kamu ini kenapa sih, Dek?”
Melodi tersenyum miring. “Aku cuma pengen ngobrol sama kamu. Itu aja. Tapi kalau aku ngomong serius, kamu biasanya cuma jawab ‘iya’ atau ‘nggak’. Jadi, aku coba cara lain. Lelucon.”
Aldrick meletakkan ponselnya di meja. Ia menatap Melodi lebih lama, seolah sedang mencari sesuatu di balik mata istrinya. “Kamu mau ngomong apa sebenarnya?” tanyanya akhirnya.
Melodi menghela napas. Ia duduk tegak, lalu menatap Aldrick dengan serius. “Aku pengen kita ngobrol kayak dulu, Mas. Kayak waktu kita masih pacaran. Ingat nggak? Dulu kita bisa ngobrol berjam-jam sampai lupa waktu. Sekarang, ngobrol lima menit aja udah bagus banget.”
Aldrick terdiam. Ia mengalihkan pandangannya ke lantai, seolah tidak tahu harus menjawab apa.
“Mas,” Melodi melanjutkan, suaranya sedikit bergetar. “Aku tau kamu sibuk kerja. Aku tau kamu capek. Tapi, aku ini istrimu, lho. Aku ada di sini, di rumah ini, nungguin kamu tiap hari. Tapi, kadang aku merasa ... aku cuma bayangan. Ada, tapi nggak kelihatan.”
Aldrick mengangkat kepalanya. Ada sesuatu di matanya yang membuat Melodi berhenti sejenak, sesuatu yang jarang ia lihat: rasa bersalah.
“Dek,” kata Aldrick pelan. “Aku nggak pernah bermaksud ngebuat kamu merasa kayak gitu.”
“Tapi, itu yang aku rasain, Mas,” balas Melodi cepat. “Dan aku udah capek pura-pura nggak apa-apa.”
Aldrick terdiam lagi. Ia mengusap wajahnya dengan tangan, lalu berkata, “Aku cuma ... aku nggak tahu gimana cara ngomong sama kamu, Dek. Kadang aku takut kalau aku ngomong, malah bikin kamu marah atau sedih.”
Melodi menatap Aldrick dengan mata berkaca-kaca. “Mas, aku ini nggak butuh kata-kata yang sempurna. Aku cuma butuh kamu. Aku butuh tau ... kalau kamu peduli. Itu aja.”
Aldrick menghela napas panjang. Ia menoleh ke arah Melodi, lalu mengulurkan tangan untuk meraih tangan istrinya. “Aku peduli sama kamu, Dek. Aku cuma ... aku nggak tau gimana cara menunjukkannya. Karena aku ya emang begini.”
Melodi terdiam, merasakan genggaman tangan Aldrick yang hangat tapi canggung. Ia tahu Aldrick sedang berusaha, meskipun caranya terlihat kikuk.
“Mas.” Kata Melodi akhirnya, mencoba meringankan suasana. “Kalau kamu nggak tahu cara menunjukkan cinta, gimana kalau aku kasih pelajaran privat?”
Aldrick tersenyum kecil. “Pelajaran apa?”
“Pelajaran jadi suami yang romantis.”
“Aku nggak romantis ya?”
Melodi tertawa kecil, meskipun matanya masih basah. “Mas, romantis itu bukan cuma ngasih bunga atau cokelat. Romantis itu bisa sekadar bilang, ‘Aku kangen’ atau ‘Aku sayang kamu’. Sesederhana itu.”
Aldrick mengangguk pelan, seolah sedang mencerna kata-kata Melodi. “Aku bakal coba,” katanya akhirnya.
.
.
.
Dengan wajah sumringah, Melodi membawa pakaian kotor milik Aldrick ke mesin cuci. Obrolan mereka malam ini, cukup membuat perasaan wanita itu berbunga-bunga.
“Mas Aldrick bakal mencoba.” Melodi mengulum senyum, sembari menggebrak tutup mesin cuci saking senangnya.
Namun, tiba-tiba senyuman di bibirnya luntur seketika. Tangannya yang memegang kemeja putih milik Aldrick tampak bergetar.
“I-ini ... lipstik siapa?!” Lirih Melodi ketika melihat noda lipstik merah menyala tercetak jelas di belakang kemeja Aldrick.
*
*
*
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!