NovelToon NovelToon

Actually, I Was Super Stronger

1. Digigit Ular

Tahun Jaya Karu 234, Bulan 4, Desa Sawentar

Di bawah kaki Gunung Kelud, terdapat sebuah desa kecil bernama Sawentar. Desa ini terkenal dengan monumen-monumen candinya yang tersebar di berbagai sudut. Candi-candi tersebut bukan hanya berfungsi sebagai tempat peristirahatan terakhir, tetapi juga digunakan sebagai lumbung penyimpanan makanan dan simbol kehidupan desa.

Seperti biasa, pagi di Desa Sawentar dimulai dengan kesibukan masyarakatnya. Para petani bergegas ke sawah sebelum ayam jago berkokok, sementara para pedagang menyiapkan dagangan mereka untuk pasar. Beberapa keluarga terampil memilih berburu di hutan lebat sekitar gunung. Namun, di tengah hiruk-pikuk desa yang sibuk, ada satu rumah yang tetap sunyi tanpa tanda-tanda kehidupan.

"Lagi-lagi," seorang pria dengan rambut kelabu menghela napas sambil melihat pintu rumah Bhanu.

Dia adalah seorang penatua, ayah Bhanu, Whiradarma.

Mengingat anak-anaknya yang lain selalu rajin membawa cangkul, dia tidak bisa menahan diri lagi. "BHANU, BANGUN! Saatnya membantu keluarga panen! Jangan hanya tidur dan menikmati hasil!"

Namun, tidak ada balasan yang keluar dari dalam rumah. Darma yang sudah terlihat menua, hanya bisa menatap pintu dengan cemas, sambil merasa frustrasi dengan kebiasaan putranya yang selalu malas.

Karena teriakannya yang keras, beberapa penduduk desa berhenti dan melihat ke arah rumah itu. Seorang pria paruh baya yang tampaknya sebaya dengan Darma, Darsono mendekat sambil tersenyum lebar. "Kenapa, Ma? Anak ke-enam mu malas lagi?"

Melihat kenalannya, kekesalan Darma tidak juga mereda. Dia mendengus keras, wajahnya memerah karena kesal. "Entah siapa yang dia tiru. Dia sudah berkeluarga dan memiliki dua anak, tapi masih saja malas begitu. Ayam jago saja lebih rajin daripada dia!"

"Hei, benar-benar berbeda dari kakak-kakaknya." Kata salah seorang penduduk, Sutilah.

Penduduk lain, Rubinem menimpali, "Iya. Tapi bukan hanya Bhanu, Nirmala, istrinya juga pemalas."

"Anak-anaknya jadi ikutin kebiasaan itu, kan. Mereka jadi malas juga." Sahut Sumijah.

Mendengar suara para penggosip di desa, Darma merasa lebih geram. Dia melangkah maju, bersiap mendobrak pintu rumah.

Beberapa teman dan saudara yang sedang menonton buru-buru mencoba menahan tindakannya. Namun, saat itu sebuah suara tiba-tiba terdengar dari luar, menghentikan tindakan mereka.

"Bapak?" Sebuah suara familiar yang terdengar terkejut membuat mereka semua menoleh ke arah belakang.

Bahkan Darma juga sangat terkejut. Dia segera berbalik untuk melihat. Saat mengenali orang itu, dia melihat ke langit, takut matahari terbit dari arah berbeda.

Sementara itu orang-orang lainnya juga terlihat bingung.

Siapa ini, apakah ini benar-benar Bhanu? Orang paling malas didesa mereka?

Bhanu mengabaikan semua orang yang kebingungan dan segera menghampiri ayahnya. "Bapak kenapa disini, aku, anak dan istriku sudah menunggu bapak di sawah bersama Mas Tama dan Mbak Lestari."

Dia menarik ayahnya keluar dari kerumunan dan pergi ke sawah dengan langkah tenang.

Bhanu mendengar semua obrolan penduduk desa tadi, dan itu membuatnya terlalu malu untuk masuk dan bersantai ke dalam rumah.

Darma mengikuti Bhanu yang menariknya dengan ekspresi lega, seolah-olah beban berat di pundaknya baru saja terangkat. Dia merasa sedikit bersemangat merasa anaknya menjadi lebih tercerahkan.

Namun, begitu mereka sampai di sawah, wajahnya langsung berubah masam. Istri Bhanu dan anak perempuannya bekerja dengan giat di ladang, memanen dengan cekatan. Tapi anak laki-laki Bhanu, Arka, duduk santai di atas batu besar dengan mata terpejam, jelas sekali dia sedang tidur.

"Arka, dasar anak ini!" geram Dimin, nada kekesalannya terdengar jelas di sela-sela mulutnya. Tanpa ragu, dia maju untuk menegur cucunya, tapi Bhanu segera menahan tangannya.

"Bapak, tidak apa-apa, tidak apa-apa. Arka tadi tangannya digigit ular hijau. Biarkan dia istirahat. Tangannya masih sakit." kata Bhanu cepat-cepat, mencoba meredam amarah ayahnya.

Darma berhenti, wajahnya tetap muram, tapi tatapan khawatir di matanya tidak bisa disembunyikan.

"Kalau begitu, suruh dia pulang. Kenapa malah duduk-duduk santai disini, merusak pemandangan saja," gerutunya, sambil melirik Arka yang tampak tidak terganggu sedikit pun oleh kehadiran mereka.

Darma akhirnya mengabaikan Bhanu, anak ke-enamnya, dan mendekati Sijitama, anak sulungnya yang tengah sibuk memanen padi. Darma ikut memotong padi di beberapa tempat didekat Sijitama. Dengan nada penasaran, dia bertanya, "Ada apa sama Bhanu? Kenapa dia dan keluarganya tiba-tiba ikut memanen padi dengan rajin begini?"

Sijitama menghentikan pekerjaannya sejenak dan menggeleng pelan. "Nggak tahu juga, Pak. Waktu aku sama keluarga mau pergi ke sawah, tiba-tiba Bhanu udah nunggu di depan pintu rumahnya dan langsung ikut ke sawah hari ini," jelasnya, masih terdengar heran.

Dia menambahkan, "Tadi juga, waktu Rendra, anaknya Dwiren, hampir digigit ular, Arka entah gimana ada disebelahnya dan menghadang ularnya. Gara-gara itu dia malah yang kena gigit."

Darma mengerutkan kening, matanya menyipit penuh perhatian dan kekhawatiran. "Ular hijau berbisa, kan? Apa tidak perlu manggil Dukun Damang?"

Dukun Damang adalah sebutan untuk tabib di desa. Dia sangat ahli dalam obat-obatan dan menjadi Dukun Obat di desa. Istrinya, Dasinem adalah seorang Dukun bayi yang membantu persalinan. Ketika ada masalah dengan penyakit dan kecelakaan seperti yang dialami Arka, warga desa sering berkonsultasi dengannya.

Sijitama buru-buru mengangguk untuk meyakinkan ayahnya. "Tenang, Pak. Racun ularnya udah dikeluarkan. Arka sendiri tidak mau bertemu Dukun Damang. Anak itu bilang cuma butuh istirahat sekarang."

Sijitama sendiri juga tidak pernah bisa menebak keponakannya itu. Arka terlihat sangat malas, bosan dan tidak pernah melakukan apa-apa. Tapi bagaimana dia dan seluruh keluarga tidak tau bahwa Arka selalu muncul di saat-saat berbahaya.

Contohnya saat babi hutan liar hampir merobohkan pagar belakang mereka, Arka yang membawa pisau untuk membantu tiba-tiba tersandung dan jatuh. Pisau yang dia bawa melayang dan tanpa sengaja menancap ke tengah kepala babi dan membuat keluarga mereka makan enak selama beberapa hari. Dan masih banyak kejadian-kejadian lain semacam itu yang membuatnya tidak bisa menebak tentang Arka.

Mendengar Arka baik-baik saja, Darma akhirnya menunjukkan wajah lega. Dia menghela napas panjang sambil melirik keluarga Bhanu yang tiba-tiba berubah.

"Tidak apa-apa, bagus kalau baik-baik saja." Balas Darma yang mendapat anggukan dari Sijitama.

Sedikit yang mereka tahu, Bhanu dan Nirmala sebenarnya sedang kesulitan saat ini.

Karena bujukan dan tipu daya anak perempuan mereka yang mendadak penuh semangat, keduanya dengan impulsif memutuskan untuk ikut memanen padi. Namun, baru beberapa langkah bekerja, tubuh mereka sudah kelelahan.

Bhanu yang merasa malu untuk berhenti, segera mencari alasan agar bisa meninggalkan ladang. Dia pun pergi memanggil ayahnya sebagai alasan, berharap bisa bersembunyi dan bermalas-malasan dirumah, tapi siapa yang menyangka bahwa ayahnya sedang menunggu di depan rumahnya, membuat Bhanu hanya bisa kembali ke sawah bersama ayahnya.

Bhanu dan Nirmala hanya bisa memandang iri pada anak laki-laki mereka, Arka, yang tidur santai di atas batu seolah tidak punya beban. Dalam hati, mereka berharap bahwa Mereka yang melihat ular dan menyelamatkan Roman.

Tapi itu juga anak mereka sendiri, melihatnya malas tidak menyakiti mereka.

Namun, yang lebih membingungkan bagi mereka adalah perubahan sikap anak perempuan mereka, Vanya. Mengapa tiba-tiba dia menjadi begitu rajin dan penuh semangat, hingga mampu menyeret mereka ke ladang pagi-pagi buta seperti ini?

Arka yang terlihat sedang duduk santai di atas batu, menikmati semilir angin pagi, meski di sering memejamkan matanya, dia sesekali membuka pandangannya dan melirik ke arah Vanya, adiknya.

Tidak ada yang menyadarinya, Vanya juga hanya merasakan seseorang menatapnya dan mulai gelisah.

Karena tidak tau darimana orang yang mengawasi itu, Vanya hanya bisa terus bekerja dan berpura-pura tidak ada masalah.

2. Gadis Dari Masa Depan

Vanya membungkuk, mengayunkan arit dengan cekatan ke batang-batang padi yang melambai di bawah sinar matahari pagi. Tangannya bergerak cepat, namun pikirannya jauh melayang, terjebak dalam arus kenangan dan kecemasan.

Dia masih sulit percaya bahwa dia berada di sini, di dunia kuno yang seharusnya hanya ada dalam novel yang pernah dia baca. Namun, kenyataan itu tak terbantahkan.

Dia, Vanya, sudah meninggal di dunianya yang asli. Dan entah bagaimana, dia terbangun kembali di dunia fiksi ini.

Dunia ini adalah panggung tragedi. Sebuah novel yang pernah dia baca.

Cerita itu dimulai dengan kehancuran keluarga besar Whiradarma di desa Sawentar, binasa dalam kekacauan yang tak terelakkan. Tidak ada yang selamat, kecuali satu orang, Arka Aniruddha, kakaknya.

Arka, sosok yang kini duduk santai di atas batu dengan angin pagi menerpa rambutnya, tampak begitu malas dan acuh tak acuh. Namun, Vanya tahu lebih dari itu. Kakaknya ini adalah calon penjahat utama dalam novel tersebut. Sosok yang kelak akan menghancurkan banyak kehidupan, seorang monster yang lahir dari dendam dan kehancuran.

Vanya menelan ludah, mencoba menahan gejolak yang memenuhi dadanya. Dia mengingat jelas rasa sakit dan keputusasaan yang melahirkan sisi kelam Arka. Kehilangan demi kehilangan menimpa kakaknya, menghancurkan hatinya hingga yang tersisa hanyalah kehampaan.

Dan semua itu bermula dari satu tuduhan kejam.

Dia mengingat bagian pertama novel itu dengan jelas.

Ketika musibah datang, seorang pendekar elit dari kerajaan datang membantu desa Sawentar. Salah satu penduduk desa, berusaha menyenangkan pendekar tersebut dan berhasil. Dia akhirnya memiliki hubungan dengan Pendekar Penyelamat.

Pada saat pemindahan penduduk, dia menuduh keluarga Whiradarma sebagai pemalas, pelit, dan tidak peduli pada masyarakat. Penduduk desa lainnya, yang takut pada kekuasaan pendekar itu, mendukung tuduhan tersebut.

Dan itu, adalah awal kehilangan Arka.

Vanya mengepalkan tangannya kuat-kuat, menyembunyikan kemarahan yang membakar dadanya. Tatapannya menjadi tajam dan suram. Beruntung dia sedang menunduk, sehingga tidak ada yang menyadari perubahan ekspresinya, kecuali satu orang yang selalu memperhatikannya.

Dalam novel itu, Vanya hanya menganggap kehancuran keluarga Whiradarma sebagai bagian dari alur cerita untuk membangun karakter penjahat. Namun sekarang, setelah hidup bersama mereka, dia tahu kenyataannya jauh berbeda.

Kakeknya, Darma, adalah sosok keras kepala tapi adil, selalu membantu tetangga yang membutuhkan. Anak-anak Darma, saudara-saudara ayahnya, juga sangat akrab dengan masyarakat desa, bahkan neneknya, Sundari, sering menjaga anak-anak desa dengan sukarela.

Satu-satunya kelemahan keluarganya hanyalah ayah, ibu, dan kakaknya, Bhanu, Nirmala, dan Arka, yang memang terlalu malas mengikuti ritme kerja keras desa.

Meski begitu, mereka mencintai keluarganya dengan sepenuh hati, terutama Arka, yang meskipun terlihat malas, selalu melindungi Vanya dari bahaya.

Namun, itu tidak cukup. Jika takdir tetap berjalan seperti dalam novel, mereka semua akan mati.

Dia tidak bisa membiarkan itu. Dia akan memastikan akhir cerita berubah.

Langkah pertama? Mengubah citra buruk ayah dan ibunya di mata penduduk desa.

Tiba-tiba, sebuah tangan menggenggam lengannya dengan kuat. Vanya tersentak ketakutan. Tanpa dia sadari entah sejak kapan, Arka sudah berdiri di dekatnya.

“Hati-hati,” kata Arka pelan, suaranya lemah terlihat malas seperti biasanya.

Vanya melihat ke bawah, dan tubuhnya langsung membeku. Mata arit yang tajam hanya beberapa inci dari tangannya. Kakinya seketika terasa lemas seketika. Jika bukan karena Arka yang menghentikannya, dia mungkin sudah kehilangan tangan ini.

Arka menatapnya sejenak, di matanya yang malas melintas sedikit ketertarikan yang tidak disadari siapapun. Lalu, dia melepas tangan Vanya, kembali ke tempat duduknya di atas batu, seolah tak terjadi apa-apa.

Vanya menatap punggung kakaknya dengan campuran rasa syukur dan rasa bersalah. Dia berjanji dalam hati, sekali lagi, bahwa dia akan melindungi keluarganya dan kakaknya dari takdir tragis yang menunggu mereka.

—————

Hari itu mereka bekerja sampai siang. Untungnya, ayahnya yang dikenal licik dan ibunya yang cerdik tidak bermain trik seperti biasanya.

Mungkin juga karena melihat Vanya bekerja lebih keras dari biasanya, membuat mereka tak tega dan memutuskan untuk benar-benar membantu sampai akhir.

Saat matahari terik di atas kepala, mereka berhenti untuk beristirahat di bawah rindangnya pohon besar di tepi ladang. Di bawah sengatan matahari seperti ini, tubuh mudah lelah, bahkan bisa pingsan jika dipaksakan. Mereka memutuskan untuk menunggu satu hingga dua jam sebelum melanjutkan pekerjaan.

Darma dan yang lainnya duduk bersama para penduduk desa, menikmati angin sepoi-sepoi yang membawa sedikit kelegaan dari udara panas. Vanya memilih tempat dekat dengan beberapa orang tua yang tinggal lebih dekat ke gunung. Diaa menyesap air dari kendi kecil yang dia bawa, sembari mendengarkan gosip yang mulai menyeruak di antara mereka.

"Apa kalian mendengar gemuruh semalam? Sangat mengerikan," kata seorang ibu paruh baya dengan suara pelan, Sinem. Kata-katanya yang pelan masuk ke pendengaran Vanya dan menarik perhatiannya.

"Sepertinya tidak ada hujan. Gemuruh apa yang kamu dengar, Mbak Nem." Sahut seorang wanita muda, Yunita dengan bingung.

“Aku juga mendengar raungan dari gunung. Itu aneh,” gumam seorang lelaki kurus dengan kerutan di wajahnya, Giyanto.

“Aneh bagaimana?” tanya Yunita semakin penasaran.

“Bukan seperti raungan binatang biasanya. Suara itu seperti petir yang menggelegar, tapi kalian tahu semalam tidak ada hujan sama sekali.” Giyanto menggeleng pelan, lalu menambahkan, “Lebih dari itu. Rasanya seperti... logam beradu, tajam dan menusuk telinga.”

“Logam? Itu cuma imajinasimu,” potong seorang lelaki tua yang duduk bersandar pada batang pohon. Wajahnya penuh guratan pengalaman, namun sorot matanya mencerminkan kehati-hatian.

“Suara-suara yang kamu dengar itu mirip saat gunung hampir meletus puluhan tahun lalu. Kita dulu mengungsi jauh dengan bantuan prajurit kerajaan, tapi tetap saja banyak yang tidak diselamatkan.” Lelaki tua itu mendesah panjang, wajahnya seolah kembali mengingat kejadian yang menyakitkan.

“Pakde Yan, jangan terlalu mengada-ada,” potong seorang pemuda lain, Gunawan dengan senyum santai meski wajahnya juga terlihat sedikit tegang. Jelas dia juga mendengar suara di gunung semalam.

“Kalau itu tanda-tanda letusan gunung, pasti sudah banyak hewan yang turun. Kita saja tidak melihat ada monyet atau kijang dari hutan atas.” tambah Giyanto.

Pakde Yani mendengus kesal, wajahnya semakin mengerut. "Kalian anak muda benar-benar tidak bisa dikasih tahu. Apa yang kalian tahu tentang tanda-tanda bencana? Gunung itu menyimpan rahasianya sendiri."

Suasana hening sejenak, hanya terdengar suara angin yang menggerakkan dedaunan di atas mereka. Vanya menyadari keheningan ini bukan hanya karena rasa lelah, tetapi juga kekhawatiran yang mulai menjalar di benak mereka semua. Dia menunduk, pura-pura membetulkan letak sendalnya, tapi pikirannya berputar.

Sebenarnya, Vanya juga telah melihat sesuatu dari puncak gunung. Meskipun dia tidak tau hal apa itu.

Karena kata-kata yang baru dia dengar, kilatan cahaya yang dia lihat semalam terus terngiang di benaknya. Dia yakin, di kejauhan, ada sesuatu yang aneh. Sebuah siluet bayangan samar berdiri tegak dalam kegelapan, seolah-olah itu adalah seorang manusia.

Tunggu, sepertinya dia ingat tentang sebuah kekuatan yang dimiliki oleh pendekar dalam novel itu. Bukankah kakaknya adalah bos terakhir dalam novel karena dia memiliki kekuatan tersebut pada tingkat tertinggi.

Apa namanya?

Sepertinya tidak ada penduduk desa yang tahu.

Yah, apa yang bisa dia harapkan dari orang-orang biasa? Jika dia benar-benar ingin mengetahuinya, dia harus pergi ke Perguruan, Sanggar, atau Wiku. Tapi dia tidak tau dimana lokasi tempat-tempat itu.

3. Mendaki Gunung

Malam datang, menyelimuti desa dengan selimut keheningan. Suara jangkrik mendominasi udara, sesekali diselingi oleh nyanyian burung hantu dari kejauhan. Angin berhembus lembut, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan wangi daun kering. Cahaya bulan yang redup menembus celah-celah ranting, menciptakan bayangan yang bergerak pelan di atas jalan setapak yang sunyi

Vanya teringat kejadian siang tadi sambil melihat langit dari jendela kamarnya. Tidak berselang lama, dia menghela nafas lelah.

Ibu dan ayahnya masih belum bisa diandalkan. Mereka pura-pura pingsan saat harus bekerja lagi di sore hari, sehingga Vanya dan kakaknya terpaksa mengantar mereka kembali ke rumah.

Awalnya, Vanya sangat ketakutan saat kakaknya siap menggendong ayah mereka yang pingsan kembali. Namun, sebelum dia bisa membuat keributan. Tangannya yang menggenggam tangan ayahnya digaruk oleh jari telunjuk sang ayah, yang membuat Vanya langsung menyadari bahwa mereka hanya pura-pura. Akhirnya, mereka sekeluarga kembali ke rumah saat belum ada penduduk yang kembali dari ladang.

Hal itu tidak berhenti disana. Setelah sampai rumah, ayahnya mengeluh dan menyatakan bahwa dia tidak ingin melakukan itu lagi. Ibunya yang lembut juga tidak berbeda. Vanya hanya bisa berada di samping mereka dan mendengarkan.

Yah, mau bagaimana lagi. Ayahnya lebih ahli dalam membuat kerajinan dari kayu dan logam, sementara ibunya pandai menjahit dan mengenal banyak huruf.

Vanya menemukan hal itu akhir-akhir ini dalam pekerjaan sehari-hari ayah dan ibunya. Ibunya sering menjahit dan membuat baju sendiri, dia bahkan membuat sulaman indah seperti bordir masa depan. Di sisi lain, Ayahnya akan memperbaiki perabotan yang rusak atau membuat beberapa kerajinan lain.

Vanya tidak lagi memaksa mereka. Dia tahu orang tuanya tidak bisa dipaksakan untuk melakukan sesuatu yang tidak mereka inginkan. Dan sebagai anak, bahkan jika dia ingin memperbaiki kebiasaan buruk kedua orangtuanya, dia tidak ingin melakukannya dengan paksa.

Seperti kata pepatah, tidak akan ada hal baik yang datang dari paksaan.

Namun, masih ada satu hal yang membuat Vanya bingung.

Kakaknya, Arka.

Orang yang kelak akan menjadi penjahat besar di akhir novel, benar-benar sulit dipahami. Arka jelas seorang pemalas di mana pun dia berada. Tidur tanpa tau tempat dan tidak melakukan apapun.

Vanya tidak bisa membayangkan bagaimana Arka bisa berubah menjadi seorang penjahat besar.

Tidak, ada hal yang lebih mendesak. Vanya tahu bahwa hal yang lebih penting saat ini adalah mengetahui apa yang terjadi di gunung. Mungkin saja dia bisa membantu desa mencegah bencana yang sedang mengancam.

Ketika bencana itu berhasil dicegah, pendekar dari kerajaan tidak akan datang, keluarga mereka tidak akan dikucilkan dan berakhir hancur, menjadi mimpi buruk pertama Arka.

Tapi bagaimana jika bencana itu memang karena alam. Bisakah dia mencegahnya.

Pikiran itu mengusik benak Vanya, membuatnya tidak bisa tenang.

"Aduh, lebih baik melihatnya. Jika memang bencana alam, aku akan mencoba memberitahu warga." Gumam Vanya sebelum pergi ke kamar mandi.

Orang di jaman ini belum terlalu memperhatikan kebersihan, namun bagi Whiradarma dan keluarganya, mereka selalu menjaga kebersihan. Meskipun sekedar mencuci alat makan, membersihkan rumah dan pakaian setiap hari.

Bhanu juga melakukan hal itu, lalu Nirmala, istri Bhanu menyarankan mereka untuk mulai mandi setelah masuk ke rumah ini, meskipun tidak sering (beberapa hari sekali). Namun sejak Vanya pindah ke tubuh itu. Mereka harus mandi sekali sehari, menjaga kebersihan dan mencuci tangan sebelum makan.

Setelah mandi, Vanya makan bersama orang tua dan kakaknya. Lalu masuk ke kamarnya. Jika dia ingin pergi ke gunung, dia harus menunggu sampai larut malam.

Jika dia meminta ijin, Vanya yakin tidak akan mendapatkan ijin untuk naik ke gunung. Apalagi malam-malam begini.

Vanya membuka matanya, melihat ke langit malam. Kadang menulis di tanah, kadang melakukan gerakan senam ringan untuk menghilangkan kantuk.

Sungguh betapa sulitnya bagi gadis 8 tahun untuk tetap terjaga tanpa adanya gadget seperti di masa depan. Di masa depan, dia bisa bermain game, menonton drama, memesan makanan yang akan diantarkan oleh drone, dan banyak pekerjaan yang bisa dilakukan dari rumah. Semua itu membuat hidup terasa mudah dan menyenangkan. Namun, di sini, tanpa semua kemudahan itu, segala sesuatu terasa jauh lebih sulit.

Sangat membosankan!

Akhirnya, setelah bertahan sepanjang malam untuk tetap terjaga, Vanya memutuskan untuk menyelinap pergi menuju gunung. Dengan langkah hati-hati, dia menapaki jalan setapak yang gelap, berusaha menghindari suara yang bisa membangunkan orang di rumah. Namun, dia tidak tahu bahwa sebuah ekor panjang sedang membuntutinya, diam-diam mengikuti langkahnya dalam kegelapan malam.

—————

Arka sedang duduk di dekat jendela kamarnya saat merasakan gerakan dari kamar Vanya dan mengikutinya.

Arka telah merasakan kegelisahan adiknya akhir-akhir ini. Dia telah menebak beberapa hal, namun dia terus mengawasi adiknya untuk memastikan.

Vanya yang sebelumnya terlihat sebagai pendiam, penurut, malas dan acuh tak acuh, mulai menyemangati orang tuanya dan dirinya sehingga tidak lagi malas.

Arka bahkan terkejut saat Vanya berhasil membujuk kedua orangtuanya untuk bekerja di ladang, sesuatu yang hampir mustahil dilakukan sebelumnya. Tapi tentu saja, kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Orang tuanya kembali berkelit, menjadi licik dan menghindari pekerjaan seperti sebelumnya.

Ada hal lain yang lebih mengganggu pikiran Arka. Vanya seharusnya tidak peduli dengan apapun, dia seharusnya tidak memikirkan banyak hal di kepalanya, dan dia hanya selalu mengikuti dibelakang Arka. Namun beberapa hari yang lalu, Vanya memintanya untuk menjadi orang yang lebih baik.

Itu membuat Arka merasa aneh.

Bukankah dirinya selalu hidup dengan baik?

Meskipun dia hidup sesuai keinginannya, dia tidak pernah berbuat jahat.

Lalu kenapa Vanya tiba-tiba menginginkan perubahan itu darinya?

Dia telah lama mengawasi adiknya.

Dan hari ini, dia akhirnya menemukan alasan adiknya berubah. Dan itu sesuai tebakannya.

Didalam tubuh adiknya, terdapat dua jiwa yang tinggal. Meskipun sebentar, Arka bisa merasakannya, kedua jiwa itu hampir membuat tubuh Vanya celaka pagi tadi.

Keadaan dua jiwa itu juga anehnya normal dan tidak normal. Arka merasa dia harus menemukan cara untuk mengobati adiknya.

Namun sebelum masalah jiwa itu tuntas, Arka tidak menyangka melihat Vanya tertarik pada gosip desa. Awalnya dia tidak terlalu mempedulikannya, tapi lama kelamaan, rasa penasaran Vanya semakin jelas terlihat.

Tanpa diduga, Vanya bahkan berani pergi ke gunung sendirian!

Karena itu, Arka mengikuti Vanya diam-diam. Ingin melihat apa yang akan dia lakukan di gunung.

Dia tidak peduli apapun yang terjadi di gunung. Dia hanya ingin melindungi adiknya, keluarganya.

Saat Arka mengikuti Vanya, dia mulai merasakan aura yang tidak biasa. Empat sosok yang tampaknya memiliki kekuatan luar biasa.

Sangkan Paraning.

Dua kata itu tiba-tiba muncul dibenaknya.

Dia bisa merasakan keberadaan empat orang dengan jelas. Wajah Arka masih tampak malas, namun cahaya tajam melintas dimatanya. Dia mendekati Vanya dan lebih menjaganya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!