NovelToon NovelToon

PELET

Bab 1 Air Jampi-jampi

Melihat cucunya termenung, Kakek Sapto mencoba menghibur dan menanyakan apa yang terjadi.

"Ada apa, Mirna? Apa ada yang mengganggu mu lagi?" Tanya Kakek Sapto. Dia mengusap kepala cucunya.

"Sekarang Sarah tidak peduli lagi padaku. Dia sangat sibuk, sampai melupakan janjinya!"

"Memangnya apa yang dia lakukan? Tidak biasanya Sarah mengabaikan mu." Kakek Sapto duduk disamping Mirna, siap mendengar keluh kesah cucunya.

"Dia sibuk karena acara lamarannya sebentar lagi, dia akan segera menikah dengan anak Kepala Desa." Ucapnya kesal.

"Tentu saja dia sibuk, ini acaranya. Lain halnya kalau acara orang lain, pasti dia punya waktu luang untuk mu." Nasihat Kakek Sapto.

Aku dan Sarah adalah sahabat sejak kecil, Dia yang notabene anak seorang juragan terpandang di desa tidak merasa jijik berteman dengan ku yang hanya seorang gadis miskin.

Keluarga ku menjadi bahan ejekan warga sekitar, karena Ibu yang ketahuan mencuri di rumah warga. Padahal saat itu keadaan mental ibu ku tidak baik, bisa disebut sakit jiwa.

Semua orang mengacuhkan ku, tapi tidak dengan Sarah.

"Mirna menyukai anak Pak Kades, kek!" Ucapan Mirna membuat kakeknya menoleh dan menatap lekat wajah cucunya.

Lama terdiam akhirnya Kakek Sapto buka suara. "Kalau begitu berusahalah menjadi wanita yang disukai anak Pak Kades." Ucapnya.

"Maksudnya Gimana, Kek?"

"Bukankah kau iri pada Sarah? Kau juga ingin merasakan kenikmatan yang dia rasakan, kan?" Mirna mengangguk cepat.

"Ambil hati lelaki itu, gunakan ilmu keluarga kita. Demi kebahagiaan mu, kau harus merebutnya dari Sarah." Kata Kakek Sapto.

"Jujur Kek, aku memang iri.Tapi aku tidak mau memaksakan perasaan ku. Selain nanti akan menyakiti hati Sarah, lelaki tampan seperti Purnomo tidak akan mau bersanding dengan perempuan seperti ku."

"Dasar bodoh! Belum juga berjuang, kau sudah menyerah duluan." Kakek Sapto memukul kepala Mirna pelan.

"Pelajari ini!" Menyerahkan sebuah bambu kuning yang panjang sama seperti telapak tangan.

Mirna menerima potongan bambu itu, dia belum tahu maksud kakeknya.

"Buka ujung bambu itu. Didalamnya ada catatan Ilmu keluarga kita, yang memang harus diturunkan pada tiap generasi." Ucap kakek Sapto.

Mirna membukanya. Didalam ada gulungan yang terbuat dari kulit binatang.

"Apa ini, kek? Aku tidak bisa membacanya."

"Malam ini kakek akan ajarkan, dihari lamaran Sarah dan Purnomo kamu bisa menggunakan ilmu itu. Laki-laki itu akan menjadi milikmu." Ucapnya.

*** ***

Hari Lamaran

Semua mata memandang ke arah ku. Sepertinya aku orang yang tidak pantas menghadiri acara ini, padahal Sarah sendiri yang memintaku untuk hadir.

"Kenapa kamu datang, Mirna? Gak malu kamu, datang di acara seperti ini pakai baju Kumal." Kata Bude Imah yang tidak menyukai kehadiran Mirna di acara lamaran keponakannya.

"Maaf, Bude! Sarah yang meminta ku datang." Kata Mirna.

"Eh Mirna. Sarah itu cuma main main saja. Kenapa kamu asal datang? Harusnya kamu berfikir!" Bude Imah terus terusan menentang kehadiran Mirna di acara itu.

Dari arah dapur keluar seorang wanita berhijab. "Sudah, Mbak! Mirna memang disini karena permintaan Sarah. Mereka sejak kecil bersama, apa salahnya di momen bahagia ini Mirna juga hadir untuk merasakan kebahagiaan Sarah." Kata wanita itu yang tak lain adalah Ibu Sarah.

"Mirna, ayo masuk!" Ajak Bude Siti.

Harusnya Mirna merasa senang mendapat pembelaan dari yang punya hajatan, tapi dia semakin kesal saja. Membiarkan dirinya melihat kebahagian sahabatnya, sama saja menyalakan api ditumpukan jerami. Padam tidak, justru merembet kesana kemari.

Acara akan segera dimulai, aku dipanggil untuk membantu menyajikan minuman dan makanan untuk para tamu nanti.

"Eh Bu Ibu. Acara lamaran mau dimulai, ayo ke depan!" Bude Imah mengajak ibu ibu yang di dapur untuk masuk menyaksikan lamaran ponakannya.

Aku pun mengikuti ibu ibu itu. Ingin menyaksikan lamaran Sarah dan Purnomo. Dari kejauhan dapat kulihat Sarah, yang memasuki ruangan dengan di dampingi kedua adiknya yang tak kalah cantik dari Sarah.

Mereka mengenakan pakaian yang sangat bagus, sedangkan aku membayangkan saja menggunakan pakaian seperti itu pun tak sanggup.

"Jadi Sarah! Apakah kamu mau menerima lamaran, Purnomo?" Ucap Kepala Desa, dengan senyum yang merekah.

Sarah tersipu malu, dia tak berani memandang wajah Purnomo. Dia mengangguk pelan tanda setuju dan menerima lamaran itu.

Aku merasakan pisau menikam jantung ku, setelah Sarah menerima lamaran Purnomo. Hidup ini tidak adil bagiku. Kenapa selalu Sarah yang diberkahi dengan kebahagiaan? Sedangkan aku ...

"Kenapa rasanya sakit sekali dada ini? Aku gak terima, Purnomo harus jadi milik ku!" Gumam Mirna pada dirinya sendiri.

"Mirna! Tolong bawa minumannya ke depan." Kata Bude

"Minuman!"

Sepertinya keberuntungan berpihak pada Mirna hari ini. Dia ingat dengan air yang diberikan oleh Kakeknya semalam.

"Campurkan air itu ke dalam minuman Purnomo, setelahnya dia akan menjadi milikmu selamanya."

Mirna mendapat kesempatan untuk melakukan aksinya, segera dia menuangkan air yang dia bawa di botol kecil. Sebelumnya dia memperhatikan sekitar, jangan sampai aksinya ini dipergoki oleh orang lain.

Kini Mirna sudah membawa minuman itu keluar. Hanya tinggal memastikan saja, air yang diberi campuran jampi-jampi sampai pada Purnomo.

"Aku tidak akan meminta maaf padamu, Sarah. Kau sudah dipenuhi dengan kebahagian, kehilangan satu lelaki tidak akan membuat mu hancur." Gumam Mirna.

Orang-orang sedang menikmati hidangan yang disajikan. Mirna meletakkan nampan tempat membawa minuman, masih tersisa satu dan dia mengambilnya.

Minuman di gelas itu harus sampai pada Purnomo, tapi entah cara apa yang akan dia gunakan.

"Bagaimana caranya agar minuman ini sampai pada, Purnomo?" Gumam Mirna.

"Mirna, sini! Kita foto bareng, buat kenang-kenangan." Kata Sarah.

Sarah meminta Mirna berada di posisi tengah antara, dia dan Purnomo. Tapi ibu Purnomo tidak menyukainya.

"Kamu jangan disitu, Mirna. Sana, didekat Sarah saja." Ucapnya sarkas.

"Bisa bisa kena penyakit menular anak ku, dekat dengan gadis kumuh begitu." Suara Bu Kades masih bisa di dengar oleh Mirna, Sarah dan Purnomo.

Sarah dan Purnomo saling pandang. "Ayo berpose, yang bagus ya!" Seru Purnomo mengalihkan.

Mirna segera menyembunyikan gelas yang dia bawa, dibalik gorden jendela tepat di belakangnya.

Acara foto foto selesai. Tiba-tiba Sarah minta tolong untuk diambilkan air minum, Purnomo juga meminta segelas minuman.

"Aku haus sekali! Mirna, apa boleh aku minta tolong? Ambilkan aku segelas air putih." Kata Sarah.

"Iya, tunggu sebentar! Bagaimana dengan mu Purnomo?" Kata Mirna.

"Aku juga sangat haus, boleh bawakan segelas minuman." Ucap Purnomo.

Dijawab anggukan oleh Mirna.

Tak lama kemudian, Mirna datang membawa segelas air putih untuk Sarah. Sedangkan minuman untuk Purnomo, dia mengambil gelas yang sudah dia sembunyikan dibalik gorden.

"Ini Sarah, tapi minuman untuk Purnomo sudah habis. Aku tadi menyisihkan satu untuk ku minum, tapi belum sempat. Kalau tidak merasa jij1k kamu bisa meminumnya." Kata Mirna menyodorkan gelasnya.

Bab 2

"Kenapa harus jij1k, Mirna? Justru aku berterima kasih, kalau tidak kau ambil duluan mana kebagian aku." Kata Purnomo dengan senyum menawannya.

Tanpa ragu lelaki itu meminumnya dengan sekali teguk. Sekali lagi aku merasa senang dengan keberuntungan ini.

Purnomo masih bisa bersenda gurau bersama Sarah dan itu membuat ku semakin iri.

"Tunggu saja Sarah, pujaan hatimu akan segera mengejar-ngejar ku. Pada saat itu rasa sakit hati yang selama ini ku rasakan, akan berbalik padamu."

Acara belum selesai, tapi aku pamit lebih dulu pada Bude Sitti. Aku tidak bisa meninggalkan kakek terlalu lama sendirian di rumah.

Beliau sudah sangat tua, kadang waras kadang gila. Saat waras dia akan menjadi orang yang normal, bijaksana, dan ya itu jiwa paranormalnya kembali.

Tapi saat kambuh, dia akan berkeliling kampung dan merapal kan mantra sepanjang jalan. Baru tiga bulan terakhir kakek bersikap seperti ini, tapi perubahannya membuat warga semakin tidak suka dengan kami.

"Sarah, Bude Sitti! Aku izin pulang dulu ya. Sudah terlalu lama aku meninggalkan kakek di rumah." Kata Mirna pada dua orang yang cukup peduli padanya di desa itu.

"Kenapa cepat sekali!?" Ucap keduanya.

"Ya sudah, ayo sini ikut Bude!" Aku mengikuti langkah Bude Sitti ke dapur.

Dia memberi ku satu kresek besar, entah apa saja isinya. "Apa ini, Bude?" Tanyaku, sembari menatap kresek itu.

"Itu...." Belum selesai Bude Sitti bicara, segera dipotong oleh Bude Imah.

"Halah, kamu terlalu baik Mbak. Kerjanya saja nda seberapa, pulang dikasi bawaan sebanyak itu." Katanya, dengan muka sinis yang menatap Mirna.

Mirna tak ambil pusing, semakin diladeni Bude Imah akan semakin banyak bicara. Mirna memutuskan meninggalkan dua kakak beradik itu, sedangkan Bude Sitti hanya bisa geleng kepala melihat sikap adiknya.

*** ***

"Kau sudah pulang, Mirna? Bagaimana rencana mu, apakah berhasil?" Tanya Kakek yang berdiri menyambut ku di ambang pintu.

"Iya, Kek! Aku senang sekali, rasanya keberuntungan selalu berpihak padaku hari ini." Ucap Mirna dengan senyum sumringah.

Kakek Sapto melihat kantongan kresek yang dibawa Mirna.

"Apa itu ndo'?" Tunjuknya pada kantongan yang Mirna bawa.

"Gak tahu juga, kek! Tadi ibunya Sarah yang kasih." Mirna meletakkan kreseknya di atas meja. Dia memeriksa satu persatu isi bungkusan itu, ada aneka jajanan yang seperti disajikan di acara lamaran Sarah. Ada nasi serta lauk pauknya.

"Bude Sitti baik sekali, Kek. Dia memberi kita banyak makanan, ta pi kita malah akan menyakitinya." Ucap Mirna ragu.

"Sudah sampai disini, tidak bisa kembali lagi. Jangan terlalu kasihan pada orang, apa kamu tidak melihat bagaimana tanggapan warga lain kepada kita." Kata Kakek Sapto.

Mirna tidak bisa menampik bagaiman perlakuan buruk warga lain kepada keluarganya, hanya karena miskin dan keberadaan ayah, ibu nya yang tidak jelas. Mereka bertindak semena-mena padanya.

"Aku hanya merasa kasihan, kek. Hati ku tak tega melihat mereka dalam kesedihan."

"Jangan gunakan perasaanmu, setelah Sarah menikah, dia pasti akan melupakanmu." Tegas Kakek Sapto.

"Kalau kau merebut Purnomo, kau akan menjadi wanita kaya raya. Tidak ada lagi yang akan berani menyinggung mu." Imbuhnya.

Nasi sudah mereka habiskan. Mirna membersihkan bekasnya.

Malam tiba, Mirna dan kakek Sapto duduk di ruang tamu mereka yang sederhana.

"Kakek, Mirna ingin menanyakan sesuatu. Apa boleh?" Ucapnya.

"Katakan saja."

"Bagaimana ilmu ini bisa membuat orang jatuh cinta pada kita? Tapi melihat kakek yang seperti ini aku sedikit ragu. Kakek mempunyai ilmu tapi kenapa kehidupan kakek seperti ini, tidak bahagia dan miskin?" Tanya Mirna, karena menurutnya ajian kakeknya tidak berguna.

"Huftt!" Kakek menghembuskan nafas kasar.

"Ilmu ini sangat hebat, Mirna. Tapi setiap ajian yang bertentangan dengan agama selalu memiliki pantangan." Kata Kakek Sapto.

"Maksudnya bagaimana, Kek?" Mirna masih sulit mencerna apa yang dikatakan kakeknya.

"Jangan sekali-kali kamu jatuh cinta, pada lelaki yang sudah kamu beri jampi-jampi."

"Jadi aku tidak boleh mencintai Purnomo! Sebelumnya aku mengatakan pada kakek, kalau aku menyukai nya." Mirna panik, karena baru mulai sudah dihadapkan dengan kenyataan seperti ini. Jika bisa memilih, dia tidak akan memberi jampi-jampi pada Purnomo.

"Ajian ini bernama Pelet Dendam Panggalih, sebagai syarat utama kau tidak boleh mencintai target mu." Ucap Kakek Sapto.

"Ajian ini hanya digunakan untuk balas dendam saja, artinya kita tidak boleh ada perasaan. Entah itu rasa suka atau rasa kasihan." Lanjutnya.

Mirna tampak berpikir kembali, berharap langkah yang dia ambil kini merupakan pilihan yang tepat. Kakeknya tak mungkin selamanya berada disisinya, dia harus menemukan kebahagiaan menjadi wanita kaya. Masalah perasaan mudah untuk menghilangkannya.

"Aku paham, kakek! Lalu, bagaimana kelanjutan cerita kakek?" Mirna masih penasaran dengan kehidupan kakeknya. Apa yang membuat kakeknya justru berakhir dengan kemiskinan dan hinaan dari masyarakat?

"Kakek jatuh cinta pada Nenek mu. Sekali lagi kakek ingatkan, jangan jatuh cinta pada target mu." Tegas Kakek Sapto.

Mirna mengangguk, tanda dia sudah mengerti.

"Malam sudah larut, tidur lah! Besok kau akan melihat khasiat dari ajian yang kakek ajarkan pada mu." Ucap Kakek Sapto.

Mirna masuk ke bilik kamarnya, tidak luas bahkan tidak ada tempat tidur. Mirna membentangkan tikar sebagai alas tidurnya.

Baru saja dia berbaring rasa kantuk dengan cepat menyergap, padahal saat kakek Sapto memintanya tidur dia belum benar-benar mengantuk.

Entah sudah berapa lama dia tidur, kakek Sapto datang membangunkan nya.

"Mirna! Bangun ndo', para sesepuh menunggumu." Terdengar jelas suara Kakek Sapto di telinga Mirna.

Dia segera bangun. "Apa aku kesiangan, kek?" Katanya sembari menguap.

"Tidak, tapi para sesepuh menunggu mu di belakang." Kata Kakek Sapto.

Dia membantu Mirna berdiri dan mengajak gadis itu ke area dapur. Suasana yang temaram hanya diterangi satu lampu ublik (pelita), membuat bulu kuduk Mirna bergidik.

"Kakek! Siapa yang kakek maksud sesepuh? Disini hanya ada kita berdua, kek." Tanya Mirna, sembari mengedarkan pandangannya di dapur yang tidak begitu luas itu.

"Ambil dinglik nya dan duduklah di dekat gentong air itu." Tunjuk Kakek Sapto pada sebuah tempat penampungan air yang terbuat dari tanah liat.

Samar dapat Mirna lihat, disana sudah ada kembang yang ditaruh diatas nampan.

"Dimana kakek mengambil bunga bunga itu?" Mirna nampak penasaran dan khawatir. Jangan jangan kakeknya pergi saat dia di rumah Sarah.

"Apa hari ini kakek membuat keributan lagi di rumah warga? Apa besok pagi aku akan digeruduk lagi, karena lalai menjaga kakek?" Gumam Mirna.

"Tidak usah khawatir, kembang itu tidak diambil di rumah warga. Tidak akan ada warga yang akan menggeruduk mu disini." Ucap kakek Sapto, yang membuat Mirna terkejut.

"Bagaimana kakek..."

"Duduklah! Kakek dan para sesepuh akan memindahkan semua ajian di tubuh kakek padamu." Kakek Sapto memotong cepat ucapan cucunya.

Mirna hanya mengangguk dan patuh dengan kata-kata kakeknya.

Bab. 3 Mimpi?

Saat duduk Mirna sempat menundukkan kepalanya sejenak, memastikan bahwa posisi bangkunya sudah benar. Area dapur Mirna dibuat model panggung dengan lantainya beralaskan bambu kuning, karena dibawah dapur ada aliran sungai.

Bambu-bambu itu sudah sangat lapuk menurut Mirna, sepertinya rumah kakek Mirna di bangun sebelum Mirna lahir. Karena nyatanya selama Mirna tinggal bersama kakeknya, dia tidak pernah melihat rumah ini di renovasi.

Mirna sudah memastikan duduknya sudah benar. Saat mengangkat kepalanya dia sangat terkejut, melihat ada beberapa orang tua yang sudah mengelilinginya.

Mirna menatap kakeknya yang sedang membawa centong air, ingin bertanya padanya siapa orang-orang ini. Tapi kakek memberi isyarat dengan meletakkan telunjuk di bibirnya.

"Shutt! Mereka sesepuh, pejamkan matamu. Jangan pernah di buka, sebelum kakek yang minta."

Mirna kembali mengangguk. Kini dia merasa tubuhnya tengah diguyur air kembang, aroma kemenyan menyengat di hidungnya.

Suara berisik merapal mantra, memenuhi dapur tempatnya melakukan ritual. Puncaknya kakek Sapto membaringkan Mirna di lantai beralaskan bambu itu.

Dia menarik ujung jarik (kain panjang) yang Mirna selipkan agar tidak terbuka.

Mirna terkejut, tangannya ingin menahan apa yang dilakukan kakeknya tapi tubuhnya tidak bisa digerakkan, bahkan mulutnya sulit untuk mengeluarkan suara. Ingin membuka mata tapi serasa matanya telah diberi lem perekat yang sangat kuat, akhirnya dia memilih pasrah.

"Sejak kapan aku menggunakan jarik, jelas semalam aku menggunakan pakaian biasa. Sejak kapan juga aku tidur tidak memakai dalaman."

Bukan kebiasaan Mirna tidur tanpa mengenakan pakaian, tapi dia tidak sadar kapan mengganti pakaiannya? Saat dibangunkan oleh kakeknya dia masih bisa merasakan pakaian yang melekat di tubuhnya.

"Aku sangat malu, para sesepuh akan melihat tubuh ku!"

Mirna kembali diguyur air kembang oleh kakeknya, dengan rapalan mantra yang memekakkan telinga. Dari ujung kepala hingga ujung kaki, saat guyuran ketiga Mirna merasa seperti tersengat listrik bertegangan tinggi. Sakit hingga tubuhnya kejang.

*** ***

"Mirna! Mirna! Bangun Ndo', sudah pagi." Kata Kakek Sapto.

Mirna samar mendengar suara kakeknya, sampai setelah semua kesadarannya terkumpul dia segera duduk dan mengingat kejadian semalam.

"Astaga!" Mirna memeriksa pakaiannya, tidak ada yang berubah. Pakaiannya masih sama dengan yang dia kenakan semalam saat tidur.

"Apa aku bermimpi?"

Mirna mengabaikannya dia segera merapikan alas tidurnya. "Badan ku terasa remuk, nanti aku akan pergi mencari kapuk lagi. Kalau sudah cukup akan ku buat kasur kecil dan bantal." Gumamnya.

Kakek Sapto terlihat duduk di teras, pandangannya lurus ke depan.

"Kakek! Maaf Mirna kesiangan." Ucap Mirna sembari meletakkan secangkir kopi pahit di hadapan kakeknya.

"Mungkin kamu kecape-an, kemarin habis bantu bantu di rumah Sarah." Kata Kakek Sapto dengan pandangannya masih lurus ke depan, entah apa yang sedang dia lihat.

"Pergilah mandi! Tamu kita sedang tersesat, kalau kau bertemu dengannya ajak saja dia ke rumah." Ucapnya.

"Tamu? Siapa, kek?" Mirna kadang bingung dengan kakeknya, ucapannya kadang benar kadang ngawur. Tapi sebagai orang yang masih memiliki kewarasan, dia mencoba memahami kondisi kakeknya.

"Pergilah! Dia menunggumu." Perintah kakek Sapto yang terdengar seperti orang lain.

"Iya, kek!" Segera Mirna mengambil kain panjangnya dan sebuah ember untuk membawa pulang air bersih.

***

Mirna telah selesai mandi, kini dia sedang mengisi embernya air untuk dibawa pulang. Tapi dia dikejutkan dengan suara patahan ranting kayu yang terinjak.

"Krek, tak!"

"Siapa itu?" Spontan Mirna bersuara. Antara hewan dan manusia, dia lebih takut untuk bertemu dengan manusia. Apalagi kalau lelaki yang hanya melihatnya dengan lilitan kain panjang.

"Maaf! Aku tidak bermaksud mengintip." Ucap seseorang dari seberang sungai. Lelaki itu membelakangi Mirna saat berbicara.

Mirna tidak menjawab, dia memperhatikan postur tubuh lelaki diseberang sana. "Dia tidak terlihat asing." Ucap Mirna lirih.

"Aku mencari rumah Mirna. Apa kau tau tempatnya?" Teriak lelaki itu.

"Purnomo! Apa itu dia? Suara dan postur tubuhnya sama." Gumam Mirna.

"Aku Mirna!" Teriak Mirna karena suara aliran air yang menenggelamkan suaranya.

Purnomo segera berbalik, karena merasa suara itu benar milik Mirna. Suara yang semalam telah mengusiknya.

Purnomo segera menyebrangi sungai dan menghampiri Mirna.

"Mirna benar ini kau?" Katanya yang kini sudah berada di hadapan Mirna.

"Kang Purnomo! Apa yang akang lakukan disini?" Mirna masih belum percaya bahwa Purnomo benar datang mencarinya.

"Seperti yang kukatakan tadi, aku mencari mu. Aku ingin tahu dimana kau tinggal? Bolehkah aku ke rumahmu?" Ucapnya sembari menatap wajah polos Mirna.

Mirna mengangguk. Purnomo mengambil ember berisi air dari tangan Mirna dan meminta gadis itu berjalan duluan.

"Biar aku yang membawa ember itu, jalan lah lebih dulu aku akan mengikuti mu." Perintah Purnomo, yang memang jalan yang mereka lalui hanyalah jalan setapak.

"Apa yang dimaksud kakek, tamu itu Purnomo? Apa benar dia tersesat?"

"Kang Purnomo! Apa tadi akang tersesat? Tanya Mirna yang dipenuhi rasa penasaran.

Purnomo terkekeh, "He he..! Iya. Aku belum pernah ke rumahmu, aku masuk ke hutan ini hanya mengikuti arahan warga saja. Seandainya tadi aku tidak melihatmu yang berjalan di depan ku, mungkin aku akan sampai di tengah hutan gelap sana." Terang Purnomo.

"Aku berjalan di depan akang?"

"Iya!" Jawab cepat Purnomo.

Mirna berbalik ke belakang melihat Purnomo sejenak, lalu kembali lagi melangkah.

"Bagaimana bisa aku berjalan di depannya? Bahkan arah rumahku dan jalan masuk kesini berlawanan. Purnomo juga berada diseberang sungai." Gumam Mirna.

Tak terasa mereka telah sampai di gubuk Mirna.

"Maaf, Kang! Ini gubuk tempat tinggal kudan kakek. Tidak sebagus rumah warga diluar sana." Kata Mirna.

"Aku tidak mempermasalahkannya Mirna. Kalau hanya rumah, aku bisa memberikannya untuk mu." Ucap Purnomo yang memang merupakan anak Tuan tanah.

"Silahkan duduk, kang! Aku pamit ganti baju dulu, sekalian buatkan minum."

Singkatnya Mirna sudah mengganti pakaiannya, dia berjalan ke dapur hendak membuatkan kopi. Tapi di tengah ruangan sudah tersedia kopi panas yang masih mengepulkan asapnya.

"Bawa kopi itu keluar, berikan pada Purnomo. Saat dia meminumnya, rapalkan mantra yang sudah kami ajarkan." Ucap kakek Sapto dengan suara yang berbeda.

Mirna dikejutkan dengan kakeknya yang tiba tiba muncul di belakangnya.

"Kakek mengagetkan ku saja. Iya, kek! Terimakasih karena Mirna sudah merepotkan kakek untuk membuat kopi." Ucapnya segera membawa kopi itu.

"Aku tidak salah dengar, kan? Tadi kakek bilang 'kami ajarkan' ! Apa yang bersama ku tadi para sesepuh?"

Selama Mirna mengetahui tentang ilmu keluarganya, dia merasa kakeknya sering berubah-ubah. Tidak bisa dia deskripsikan, bagaimana pastinya. Intinya kakeknya kadang menjadi seperti orang lain yang membuat Mirna merasa asing.

"Maaf, lama! Silahkan diminum kopinya."

"Terimakasih, Mirna. Tau saja aku sangat haus." Purnomo mengambil gelas kopi yang diberikan Mirna.

"Panggalih panjenengan naming dhateng kula. Pikiranipun panjenengan naming wonten kula. Dipunpisahakan badhe ewah. Dipunpisahakan badhe sekarat."

Segitu aja reader ya, tar ada yang nyobain. Bah4ya!

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!