"Bu, jangan bercanda seperti itu. Winda nggak suka"
"Win, ini semua sudah di atur. Tidak bisa lagi di batalkan, bahkan undangan akan dicetak!" ujar Melati, ibunya Winda.
Winda meremas ujung bajunya, mencoba meredam emosinya agar tidak meluap-luap.
"Salah kamu sendiri, mengenalkan Ardi pada kakekmu" sungut Melati.
"Sabar Winda!" gumam Winda dengan helaan napas beratnya.
"Kenapa sulung keluarga Prakostama? Bukankah ada tiga anak laki-laki di keluarga itu?" tanya Winda.
Dengan entengnya Melati menjawab, "Karena kamu pernah pacaran dulu dengannya, maka dari itu kakekmu memilih untuk menjodohkanmu dengannya".
Rasa-rasanya Winda ingin ditenggelamkan saja, menikah dengan mantan? Tidak, tidak mungkin.
"Bu, bantuin Winda gagalkan perjodoham ini" Melas Winda berlutut dihadapan Ibunya.
Menghela napas, lalu menggeleng. Winda luruh ke lantai seketika. Ingin menangis tapi apa yang harus di tangisi? Nasib? Takdir?.
"Kenapa juga aku dulu mengenalkan Ardi si brengsek itu pada kakek! Ini sudah dua tahun yang lalu, aku sudah melupakan semuanya. Juga sikap Ardi yang cuek bebek itu" Winda berdiri berjalan ke kamarnya untuk mengambil tas slempang dan ponselnya.
Memesan ojek online dan segera menemui sulung Prakostama itu. "Kali ini perjodohan tidak akan terjadi, aku yakin Ardi juga tidak mau" sampai di depan gerbang, ojol pesanannya sudah sampai di depan.
"Cepat juga" batin Winda.
Dalam perjalanan, Winda tak henti-hemtinya merapalkan ayat kursi. Semoga setan itu menyetujui jika perjodohan itu batal. Bahkan harus batal sekarang juga.
Apakah ada yang membenci mantan? Kalau iya, sama Winda sebenarnya juga membenci apalagi kelakuan Ardi dulu sebelum mereka putus. Bahkan Wina memergoki Ardi sedang makan bersama dengan perempuan, sahabatnya lebih tepatnya.
Sakit bukan? Detik itu juga Winda memutuskan hubungan mereka. Tidak peduli dengan Ardi yang memohon pada Winda.
"Stop!" tutur Winda setelah sampai di depan gedung perusahaan Prakostama itu.
Setelah memberikan uang, Winda berjalan menapaki masa lalu. Dulu Winda juga sering di ajak ke perusahaan Ardi. Apa semua masih sama?
Tanpa memrdulikan resepsionis depan, Winda terus berjalan hingga menuju lift.
"Semua masih sama, bahkan dua tahun berlalu" gumam Winda.
Memencet tombol 10, yang artinya tempat paling tinggi di gedung ini. Juga, dimana Ardi berada. Mungkin jika masih sama.
Tanpa memerdulikan tatapan aneh dari karyawan, Winda menulikan pendengaran dan bersiap memuntahkan emosi pada mantannya.
Sampai di lantai 10, Winda di sambut beberapa orang. Juga sampai di depan meja sekretaris, di sambut baik.
"Em, Apa Brama ada?" Brama Ardi Prakostama nama lengkapnya. Winda masih hapal orang yang membuatnya menangis berhari-hari itu.
Sekretaris itu sempat terkejut, "Eh, Mbak Winda ya?" Winda mengangguk kaku, bahkan Sekretaris Ardi masih mengingatnya.
"Ada, kebetulan tadi selesai meeting. Sebentar, saya bicara dengan Pak Brama dulu"
Winda menunggu sekretaris itu yang menghubungi Ardi. "Masuk aja mbak, sudah ditunggu. Perlu saya antar?"
"Tidak usah" Winda lekas menuju pintu ruang Ardi.
Tanganya menggantung di udara saat mengetuk pintu. Mendadak Winda merasa aneh.
Tok tok tok
Berhasil, terdengar 'Masuk!' dari dalam sana. Winda memegang pegangan pintu dan membukanya.
Aroma mint, pertamakali menyapa Winda. "Huh, kenapa grogi?!" batin Winda.
"Ada apa?" tanya Ardi dingin.
"Ck, tanpa basa-basi. Baguslah aku juga tidak ingin berlama-lama di sini" batin Winda kesal.
Ardi melihat ke arah Winda, merasakan ada perubahan Winda yang sangat terlihat. Mukai dari pakaian yang Winda kenakan. Lebih tertutup.
"Apa saya tidak di persilahkan duduk?"
"Oh, silahkan duduk" balas Ardi.
"Saya mau membicarakan tentang perjodohan itu" ujar Winda memulai pembicaraan serius ini.
Berkas-berkas di tangan Ardi di letakannya di meja. Melepas Jas kebanggaanya.
Ardi memundurkan tubuhnya rileks, menyandarkannya pada kursi kebesaranya.
Meniti wajah Winda yang seakan terbakar emosi. "Kenapa dengan perjodohan itu?"
"Aku.. Eh Saya ingin perjodohan itu di batalkan!" kata Winda menatap Ardi sebentar.
"Tidak bisa!" Winda langsung melihat ke Ardi lagi. "Kenapa tidak bisa?" tanya Winda.
"Anda ingin tahu? Baiklah akan saya beritahu" jeda sejenak. Ardi memajukan tubuhnya.
"Hutang keluarga mu" perkataan Ardi membuat Winda lemas.
"Hut.. Hutang?" anggukan sombong Ardi menjawab pertanyaan dari Winda.
"Berapa hutang keluarga ku? Mungkin aku bisa menggantinya" jawab Winda.
"Amda yakin? Ini bercanda. Silahkan baca dulu sebelum anda membayar hutangnya" Ardi memberi sebuah map.
Dengan sigap Winda menerima berkas itu dan segera membacanya.
Mata Winda melotot saat melihat angka yang tertera dalam kertas itu. "Tiga Miliar?!" batin Winda.
"Menjual diri pun aku tidak akan bisa melunasinya" gumam Winda yang terdengar Ardi.
Ardi sempat terkejut mendengar gimana Winda. "Anda mau menjual diri?" tanya Ardi dengan senyum sinisnya.
"Bukan urusan anda tuan" jawab Winda.
Menghela napas kasar, Winda serasa melebur menjadi air saat itu juga. Perjodohan? Hutang? Kenapa harus Ardi.
"Pokoknya perjodohan ini harus batal" tangis Winda mulai terdengar.
"Kita tidak saling mencintai, kenapa perjodohan ini ada!" curahan Winda seiring dengan air mata tertahan.
"Perjodohan ini akan tetap di laksanakan. Kalau sampai batal kakekmu bisa dipenjara sekarang juga"
"Minggu depan adalah hari pernikahannya, jadi tolong jangan membahas pembatalan perjodohan!" Tegas Ardi.
"Ardi, aku mohon"
"Maaf" jawab Ardi terkejut saat Winda menyebut namanya.
Winda sontak berdiri, menghapus air mata sia-sianya. "Baiklah, saya akan menerimanya" membenarkan tas slempang Winda segera keluar dari ruangan Ardi.
...
(
Ardi )
Winda, nama seorang gadis masa lalu yang membuatku tidak bisa melupakannya.
Bahkan sampai aku melihat kembali Winda, dengan penampilan yang berbeda membuatku tertegun.
Sedikit khawatir saat ia mengatakan akan menjual dirinya. Aku berasa di timpa robohan.
Kenapa aku memikirkannya?
Melihat nya menangis membuatku ingin merengkuhnya. Mendengar namaku di sebut seperti dulu rasanya hatiku mendingin. Darahku seakan berdesir.
"Fin, tolong suruh orang untuk mengikuti Winda. Pastikan ia sampai dengan selamat"
Ah, kenapa aku peduli padanya.
Selesai makan malam, seluruh keluarga Adiwijaya berkumpul guna membahas lebih lanjut perjodohan Winda.
Mereka semua terlihat antusias, terkecuali Winda. Dengan malas Winda menopang dagu dengan kedua tangannya.
Winda asik berkelana dengan pikirannya. Membayangkan bagaimana jika ia menikah dengan Ardi.
Hingga tepukan pada bahu menyadarkannya. "Dengarkan! Jangan asik melamun" tegur Melati berbisik.
Winda menatap malas Ibunya, "Winda ngantuk Bu!" ujar Winda mebenarkan posisi kakinya menyila di sofa.
"Jadi, perjodohan ini akan berlanjut ke pernikahan. Prakostama sudah memberitahu jika pernikahan akan dimajukan tiga hari lagi!" jelas kakek Adiwijaya yang membuat Winda tersedak minumannya.
"Uhuk, kok dimajukan? Winda kan belum bilang setuju mau dijodohkan!" seru Winda tak setuju.
"Setuju tidak setuju, pernikahan tetap dilaksanakan!" tegas Kakeknya.
Winda menatap iba pada Ayahnya, berharap bantuan datang dari ayahnya.
"Maaf Ayah, apa tidak sebaiknya mereka pendekatan terlebih dahulu?" lega yang dirasa Winda mendengar Ayahnya berbicara.
Adiwijaya melihat kearah Winda dan berkata, "Bukankah mereka pernah dekat?".
"Tidak ada bantahan! Pernikahan akan diadakan tiga hari lagi!" tegas Adiwijaya sekali lagi. Kemudian berdiri menggunakan tongkatnya.
"Kalau sampai kamu kabur! Kakek akan hapus kamu dari daftar warisan!" ujapnya sebelum berjalan meninggalkan semua yang ada di ruang keluarga.
"Egois!" teriak Winda. Mengikuti kakeknya, Winda kembali ke kamarnya.
Merebahkan dirinya, meremas hijab kepalanya. "Ck, masalah hutang saja aku yang dibawa-bawa" gerutu Winda.
🍁🍁🍁
Setengah jam lagi ijab qabul akan dilaksanakan. Winda duduk di ranjang kamar ditemani Ibunya dan Ibu mertuanya.
Jantung Winda tengah mengadakan konser sekarang. Detaknya terasa cepat. Ditambah hawa dingin yang diciptakan AC kamarnya.
"Gugup ya,Nak?" Santi, ibu mertuanya melihat Winda tengah gelisah.
Winda menggigit bibir bawahnya dan mengangguk. "Wajar sih, dulu mama juga gitu. Kamu rileks, ambil napas lalu buang. Baca bismillah, oke".
"Iya Wind, nggak kerasa kamu udah diambil orang. Padahal baru kemarin Ibu gendong kamu" Ucap Melati sedih.
Winda yang melihat ikut menitikan air mata. "Kalau kamu sudah menjadi istri. Hormati suamimu, turuti semua perintahnya kecuali mengajak keburukan. Jangan mendiamkan suamimu. Semoga pernikahan kalian sakinah mawadah warrahmah"
Diamini oleh ibu mertuanya. Winda sudah tidak tahan lagi menaham air matanya. Ia juga sedih mungkin saja selepas ini Winda jarang bersama Ibunya.
"Maafin Winda ya Bu, Winda banyak salah sama Ibu"
"Justru Ibu yang minta maaf, kamu sampai terbawa masalah kakek", Winda menggeleng, "Nggak Bu, Winda sudah ikhlas menerima Ardi" tuturnya.
Mulai detik ini Winda akan belajar ikhlas menerima Ardi sebagai suaminya. Semua dendamnya entah mengapa menguap seketika.
"Jangan nangis, nanti makeup nya luntur. Sini Mama benarkan make up kamu. Kasihan nanti kamu malu dilihat Ardi maskaranya luntur" Santi beranjak dan mengambil peralatan make up.
Hanya sedikit yang perlu dibenahi, hingga suara adiknya Melati memberitahukan bahwa ijab qabul sebentar lagi akan dilaksanakan.
Jantung Winda kembali berpacu dengan cepat. Beberapa menit lagi, ia akan berganti status dan semua tanggung jawabnya sudah tidak pada orang tua, melainkan Ardi suaminya.
"Saya terima nikah dan kawinnya, Gita Winda Adiwijaya dengan mas kawin tersebut dibayar tunai" Suara Ardi terdengar lantang dan tegas.
"Sah" ujar seluruh orang yang ada di rumah Winda.
"Alhamdulillah" ujar Winda dalan hati. Tak henti-hentinya Winda merapalkan Allahhu Akbar.
"Selamat ya nak, kamu sudah jadi mantu Mama" Santi dan Melati memeluk Winda.
"Ayo! Kita ke depan. Temui suamimu"
Sampai di tempat dilaksanakanya ijab qabul, Ardi terpana melihat Winda yang anggun dengan baju pengantinnya.
Winda sudah duduk disamping Ardi. Bersiap mengambil tangan Ardi karena disuruh Ibu dan mertuanya.
Dengan khidmat Winda mengecup punggung tangan Adri. Kemudian Ardi juga mencium kening Winda.
Gelenyar aneh menyusup dan membuat darah keduanya berdesir.
Selesai mencium punggung tangan, mereka sedang melakukan tukar cincin dilanjutkan tanda tangan pada buku nikah.
Ardi mendekat pada Winda selepas menandatangani buku nikah. "Lihat bagaimana kedepannya! Itu tidak akan mudah!" bisik Ardi.
Winda tidak mengerti maksudnya, tetapi nada bicara yang dingin membuat Winda menjadi gelisah.
"Apa maksudnya?" gumamnya kecil, bahkan nyaris tak terdengar.
Acara hari ini sukses, selepas ijab qabul tadi keduanya sudah berada di kamar Winda setelah syukuran diadakan.
"Em.. Mas duluan saja yang mandi" Winda terkejut sendiri saat ia memanggil Ardi dengan sebutan Mas.
Ardi menoleh pada Winda, memberikan jawaban dengan anggukan lalu memasuki kamar mandi yang ada di dalam kamar Winda.
Sedang Winda menuju meja rias dan menghapus makeuo yang menempel pada wajahnya.
"Ugh, ternyata setebal ini. Kenapa sikap Ardi menjadi dingin?" ujarnya disela-sela mebersihkan wajahnya.
Selesai membersihkan, Winda kini beralih pada jilbabnya. "Huh, banyak sekali jarum pentulnya" gerutu Winda mencabuti jarum yang tersemat di jilbabnya.
Terdengat pintu kamar mandi akan terbuka. Winda memakai asal kain jilbabnya, ia belum siap Ardi melihat rambutnya.
Nampak Ardi yang lebih segar, rambut yang basah juga handuk yang melilit pada pinggangnya saja. Membuat mata Winda melotot seketika.
Menyadari Winda menatapnya. Ardi menyunggingkan bibirnya ke atas, "Terpesona!?" tukas Ardi mendekat pada Winda.
Winda akhirnya sadar dan terkejut kala Ardi sudah ada di depannya.
"M.. Mau apa kau?" tanya Winda gugup.
"Jangan mendekat!" tutur Winda mengeratkan jilbabnya.
Seolah menulikan pendengaran. Ardi malah memutus jarak antara keduanya. Ardi mencondongkan badanya hingga wajah Ardi dan Winda nyaris bersentuhan.
"Astaga Winda! Sadar!" batin Winda.
"Bagaimama jika aku meminta hak ku?"
Deg!
Oksigen di dalam kamar Winda serasa menipis. Napas Winda nyaris tersenggal.
"A.. Aku" Winda malah tidak bisa berucap sekarang. Kenapa pesona Ardi membiusnya.
Ardi semakin memajukan wajahnya. Mengecup singkat bibir Winda. Setelah itu ia menjauhkan wajahnya dan berdiri tegak.
Winda mematung masih mencerna apa yang terjadi barusan.
"Sekarang mandilah! Atau aku yang akan memandikanmu!"
Winda tersadar dan segera menuju ke kamar mandi.
"Manis" ujar Ardi tanpa sadar.
Dalam kamar mandi Winda masih membayangkan apa yang Ardi lakukan. "Ada apa denganku? kenapa mudah sekali terpengaruh??" kesal Winda.
Selama ritual mandi pun, Winda masih membayangkan.
"Mudah sekali membuatnya luluh padaku" ujar Ardi sembari mengenakan pakaiannya. Rencananya malam ini Ardi dan Winda akan pindah ke rumah Ardi.
Lima belas menit sudah Winda dalam kamar mandi. Sebenarnya ia sudah selesai lima menit yang lalu. Tetapi ia menghindari Ardi, apalagi Winda lupa membawa baju ganti.
Dengan mengendap-endap Winda membuka pelan pintu kamar mandi. "Syukurlah dia tidak ada di sini" Winda keluar dengan lilitan handuk.
"Kau mencariku? mau menggodaku?" Ardi bersedekap melihat ke arah Winda.
"Matilah aku!" gumamnya pelan.
.
.
.
.
AN: Maaf jauh ya dari ekspektasi kalian. Insyaallah, updatenya dipercepat.
Follow ig : @anindynf_
Koment ya untuk koreksi dan pengembangan tulisan saya ini.
Malam ini, keluarga Prakostama dan Adiwijaya berkumpul. Mereka berbincang lega karena telah menggelar pernikahan cucu-cucu mereka.
Winda tidak ikut bergabung karena Winda sedang membantu memasak. Hanya laki-laki yang berkumpul.
"Bu, ini sudah matang. Taruh dimana?" tanya Winda mematikan api kompor.
"Sebentar, Ibu ambil tempatnya" jawab Melati mengambil mangkuk besar dari dalam lemari.
Ditaruhnya di atas meja. Sehingga Winda dengan mudah menuangkan sop nya.
"Aww, panas" pekik Winda saat tanganya tidak sengaja mengenai panci yang sedang ia tuang isinya. Beruntung sop tidak tumpah.
"Biar Mama aja, tangan kamu obati dulu. Nanti melepuh" suruh Santi segera menggantikan Winda menuang sop nya.
"Siapa yang melepuh?" tanya seseorang. Winda mengenalnya, Raka Dimas Prakostama. Adik dari Ardi.
"Oh, itu kakak iparmu. Tidak sengaja mengenai panci panas ini" dijawab anggukan dari Winda.
"Sini aku obati. Kak, ikut aku. Oh iya, dimana P3K?" tanya Raka.
"Di samping lemari itu" tunjuk Winda.
Setelah mendapatkan kotak P3K. Raka menarik tangan Winda dan menduduki ruangan sebelah dapur.
"Sini" tepuk Raka pada sofa. Mengisyaratkan bahwa Winda di suruh duduk di samping Raka.
"Ah, iya!" jaeab Winda.
Raka segera menarik tangan Winda dan melihat luka bakar itu yang kemerahan.
"Sebaiknya Raka oles dengan salep. Nanti baru di perban sedikit"
"Tidak perlu diperban" tolak Winda. "Baiklah" jawab Raka segera mengoles salep itu.
"Nah, selesai. Kalau kakak sakit, kakak bisa saja memanggilku kapan pun" profesi Raka adalah dokter muda. Winda jadi iri, keluarha Prakostama merupakan gen unggul semua dalam apapun, bahkan kepintarannya.
"Sedang apa kalian?" tegur seseorang yang tengah menahan emosi, terlihat dari rahangnya yang sedikit mengeras.
"Aku hanya mengobatinya" jawab Raka kemudian berlalu meninggalkan dua insan yang sama-sama diam.
Apakah Ardi cemburu?
Winda sebenarnya masih malu atas tindakan Ardi tadi yang menciumnya tiba-tiba. Bahkan ia sudah berusaha menghindar.
Winda menatap Ardi, "Ada apa? Mencariku?" tanya Winda berusaha menutupi kegugupannya.
"Tidak!" setelah mengatakan itu, Ardi berlalu. Niatnya untuk minum air hilang, karena melihat Winda akrab dengan Raka.
"Tsk, dasar orang aneh!" Winda bergegas menuju dapur lagi. Ternyata Raka masih di dapur malah ia tengah membantu menyiapkan makanan.
"Kau tidak ke depan?" tanya Winda mengambil alih piring yang di pegang Raka.
"Eh, kaka ipar. Aku sudah bosan mendengar obrolan mereka. Hanya bisnis dan bisnis. Membuatku pusing" jujur Raka.
Winda terkekeh, "Oh iya, profesimu beda, kau dokter. Adik kecil!" Winda mengacak pelan rambut Raka kemudian menuju Ibunya yang sedang menggoreng sesuatu.
Raka masih diam, perlakuan kakak iparnya. Apakah hal yag wajar dalam islam?
"Raka, piringnya mau kamu bawa kemana? Kok nggak ditaruh" Raka terkejut, segera ia menaruh piring itu pada tempatnya.
"Iya, Ma" jawab Raka membuat beberapa orang yang ada di dapur tertawa.
Santi menepuk pantat anaknya, "Kamu mau bawa kemana piring itu?" tanya Santi jenaka.
Raka menggaruk kepalanya, "Apa ada yang salah?" tanya Raka polos. Hal itu mebuat gelak tawa di dapur terdengar sampai ruang tamu.
🍁🍁🍁
Di dalam kamar, Winda masih bergelut dengan pikirannya. Apakah Ardi akan meminta haknya malam ini?.
Winda menuju kamar mandi, mengambil air wudhu. Menyegerakan shalat isya yang sempat tertunda.
Saat sedang khusyu dalam doanya, Ardi masuk dengan setelan baju koko. Karena baru saja pulang dari masjid bersama dengan keluarga.
Ardi menaruh kopyah yang dipinjamkan ayah mertuanya di meja nakas.
Saat membereskan peralatan shalatnya, Winda berdiri dan tatapanya mengarah pada Ardi yang tengah menatapnya juga.
"Ya Allah, baru saja aku berdoa. Agar Ardi tidak muncul tiba-tiba" batin Winda.
Keduanya kini tengah duduk di ranjang. Diam menyelimuti mereka. Winda ingin bertanya tentang kebenaran masa lalu. Dan Ardi meminta kejelasan tentang masa lalu.
"Winda"
"Mas"
Ujar mereka bersamaan. Ah author jadi gemas sendiri dengan mereka.
"Ada apa?" tanya Winda enggan menatap Ardi.
"Aku hanya ingin bilang, aku sudah mempunyai kekasih. Jadi, kamu jangan terlalu berharap pada pernikahan ini" ujar Ardi, ia berbohong.
Winda menatap Ardi, "Hah, lalu pernikahan ini hanya main-main?" tanya Winda tak percaya.
"Kau berniat poligami?" Winda menutup mulutnya heboh.
Ardi sebenarnya hanya mengerjai Winda, balas dendam karena tadi berduaan dengan Raka.
Setengah mampus Ardi menahan tawanya. Ia terlampau mengenal Winda, Winda adalah orang yang mudah percaya.
"Kamu setuju jika aku poligami? Wah, terimakasih" Ardi masih menahan tawanya dengan menampakkan raut wajah datarnya.
Winda menatap Ardi tak percaya, baru beberapa jam mereka menikah. Ardi berniat poligami.
"Apa yang ingin kamu katakan tadi?" Ardi bertanya penasaran.
Winda tersadar, "Ah tidak ada" jawabnya menggelengkan kepala.
Winda ingin menangis sekarang, benar-benar iblis, setan si Ardi umpat Winda.
"Benarkah?" selidik Ardi yang mulai memperpendek jarak keduanya.
"Iya" ketus Winda. Saat hendak beranjak lengan Winda tertahan oleh tangan kekar Ardi.
Sekarang Ardi tertawa terbahak melihat Winda yang sepertinya tengah cemburu atau menahan amarah.
Winda bingung menyikapi Ardi, kenapa ia malah tertawa terbahak setelah mengungkap jika ia memiliki kekasih.
"Maaf, aku kelepasan. Hei, aku berbohong sayang"
Jantung Winda seakan berhenti memompa saat Ardi mengucapkan kata sayang.
Tersadar cepat dari kebingungannya Winda mencoba melepas cekalan tangan Ardi.
"Tidak lucu!" ketus Winda kemudian meninggalkan Ardi yang masih tertawa.
"Kenapa kak? Kelihatan marah" sapa Raka saat melihat Winda keluar dari kamar dengan wajah emosinya.
"Ck, kakakmu itu menyebalkan" gerutu Winda.
Raka terkekeh melihat Winda. "Bukankah dari dulu dia selalu menyebalkan? Bagaimana kalau kita membalasnya?" tawar Raka.
"Membalasnya? Dengan?" tanya Winda penasaran.
Raka mendekatkan wajahnya ke telinga Winda. Tidak, tidak sampai menyentuh bahkan jaraknya hampir satu kepal. Raka mulai membisikan sesuatu.
"Baiklah, Mas tunggu pembalasanku!" sunggingan senyum misterius dari Winda.
.
.
.
AN: Komentar dan like donk biar cepet up kalau bisa bulan depan selesai. Follow ig : @anindynf_ buat spoiler mungkin nanti aku bakal diadakan di Instagram. Jangan lupaFollow pasti folback.
IG: @anindynf_ ramaikan yaa baru soalnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!