[Malam ini datang ke Hotel A, kamar 106. Dandan yang cantik dan jangan bau dapur.]
Pesan singkat itu muncul di layar ponsel Sekar Ayuningtias. Jemarinya gemetar saat membaca setiap kata yang terpampang jelas. Eka—begitu ia biasa disapa—tersenyum, nyaris tak percaya. Setelah satu tahun menikah, baru kali ini suaminya mengajaknya bertemu di hotel.
"Apa Mas Adit mau menyentuhku malam ini?" gumamnya lirih.
Sejak diboyong ke Jakarta sebagai istri Aditya Wirawan, pernikahan mereka hanya sebatas status. Ia tetap gadis desa yang tak tersentuh oleh suaminya—masih perawan.
Eka tak pernah mengerti penyebabnya. Dulu, saat pertama kali berpacaran, Adit begitu mencintainya. Lalu, apa yang berubah?
Ia memandangi bayangannya di cermin. Wajah polosnya tampak merona karena harapan yang kembali menyala. Dengan penuh semangat, ia memilih gaun terbaiknya, berdandan secantik mungkin, dan menyemprotkan parfum lembut khas melati. Malam ini, ia ingin menjadi istri yang sesungguhnya.
Setelah memastikan semuanya sempurna, Eka berangkat menuju hotel dengan hati berdebar. Setiap langkah yang ia ambil terasa semakin mendekatkannya pada jawaban yang selama ini ia cari.
Di dalam taksi, ia menggenggam erat ponselnya. Pikirannya berkecamuk. Kenapa baru sekarang? Apa Mas Adit akhirnya menerima aku sebagai istrinya?
Setahun terakhir, ia hidup dalam bayang-bayang status. Bukan sebagai istri yang dicintai, melainkan sebagai pengurus rumah tangga keluarga Wirawan. Mertua yang selalu menuntut, adik ipar yang manja, serta nenek yang membutuhkan perhatian penuh. Dan Adit... suaminya, hanya pulang untuk singgah. Tidak pernah menyentuhnya. Tidak pernah memperlakukannya sebagai seorang istri.
"Kamu bau dapur, aku tidak suka."
"Pergilah, aku lelah. Jangan ganggu aku."
Kata-kata itu selalu dingin. Selalu membuatnya merasa tidak diinginkan. Tapi malam ini berbeda. Malam ini, ia dipanggil. Malam ini, ia memiliki harapan.
Begitu taksi berhenti di depan hotel, Eka menarik napas panjang sebelum melangkah masuk. Kakinya gemetar saat menaiki lift menuju lantai tempat kamar 106 berada. Namun, saat tiba di koridor, ia melihat sesuatu yang aneh—ada dua kamar dengan nomor yang sama.
Ia menatap kedua pintu itu dengan ragu. Baru saja hendak mengetuk salah satunya, pintu di sebelah terbuka lebih dulu.
Tangan kekar mencengkeram pergelangannya, menariknya masuk dengan cepat namun tidak kasar. Eka tersentak, tubuhnya terhuyung sebelum terdengar bunyi pintu tertutup di belakangnya.
Ruangan itu remang-remang, hanya diterangi lampu temaram di sudut kamar. Aroma maskulin bercampur alkohol samar tercium di udara.
"Mas... Adit?" panggilnya dengan suara bergetar.
Tidak ada jawaban.
Lalu, sebuah sentuhan hangat menyentuh bahunya. Napas pria itu terasa di dekat telinganya, membuat bulu kuduknya meremang.
"Kamu wangi sekali..." bisik suara rendah itu, terdengar berat dan samar.
Jantung Eka berdetak cepat. Ia mencoba menoleh, namun pria itu telah merengkuhnya dalam pelukan.
Eka tersentak, tubuhnya menegang saat bibir panas itu menyentuh kulit lehernya. Sensasi asing menyelimuti dirinya, membuatnya sulit bernapas.
"Mas Adit... kamu—" suaranya terputus, bergetar di udara.
Tapi pria itu tidak merespons, hanya semakin mendekapnya erat. Nafasnya memburu, seakan dikuasai sesuatu yang tak bisa ia kendalikan.
Eka berusaha mendorongnya, tetapi tubuhnya terasa lemah. Kepalanya pening, pikirannya mengabur. Namun, di satu sisi, benaknya terus berbisik— Mas Adit akhirnya menginginkanku.
Selama ini, suaminya selalu menjauh, menolak bahkan untuk sekadar menyentuhnya. Tetapi sekarang? Ia seperti terobsesi padanya.
Mungkinkah ini kesempatan yang selama ini ia tunggu?
Keraguan menyelimutinya, tetapi harapan perlahan mengambil alih. Jika malam ini bisa membuat Adit puas, mungkin segalanya akan berubah. Mungkin ia tidak lagi hanya menjadi pelayan di rumah keluarga Wirawan, tetapi benar-benar menjadi seorang istri.
Eka menutup matanya, membiarkan dirinya tenggelam dalam dekap yang selama ini ia dambakan.
***
Keesokan Paginya. Sinar matahari menerobos celah gorden, menyapu kamar dengan cahaya keemasan. Eka mengerjap pelan, tubuhnya terasa lelah namun hatinya ringan.
Ia menggeliat di tempat tidur, merasakan kehangatan di sisinya. Dengan senyum kecil, ia mengulurkan tangan, berharap menemukan sosok suaminya di sana.
Namun, yang ia temukan hanyalah kasur kosong.
Eka membuka mata sepenuhnya, kepanikan menyergap dadanya. Ia menoleh ke sekitar kamar, hanya untuk menyadari sesuatu—ranjang itu memang masih hangat, tetapi tidak ada tanda-tanda keberadaan sang suami—Adit. Suara gemericik air terdengar dari kamar mandi, membuatnya sedikit tenang.
"Mas Adit, akhirnya aku bisa memenuhi kewajibanku sebagai istrimu seutuhnya," gumamnya, rona merah menghiasi pipinya.
Namun, sebelum ia sempat tenggelam dalam kebahagiaannya, matanya menangkap sesuatu di atas meja kecil di samping tempat tidur.
Sebuah kartu kunci kamar yang bertuliskan 109 bukan 106, dan di atasnya, tertinggal sebuah benda asing yang membuat napasnya tercekat.
Jam tangan.
Bukan milik Adit.
Dada Eka berdesir, tubuhnya mendadak terasa dingin. Tangan gemetarnya terulur, meraih benda itu dengan jantung yang berdebar kencang.
"Ini... bukan milik suamiku."
Matanya membelalak, sementara kesadaran menghantamnya bagaikan gelombang besar. Tak lama terdengar suara pintu kamar mandi terbuka, sosok lelaki asing, tapi terlihat menawan, keluar dengan santai, handuk melilit di pinggangnya, sementara sisa uap panas dari kamar mandi masih mengepul di udara.
Eka membeku. Napasnya tercekat di tenggorokan.
Lelaki itu—bukan suaminya.
Bukan Aditya.
Dia terlalu tinggi, terlalu asing. Rahangnya tegas, matanya tajam, dan ekspresi di wajahnya begitu tenang, seakan tidak ada yang salah. Pria itu menyeringai kecil ketika melihatnya, seolah menikmati kebingungan dan kepanikan yang terpancar jelas dari wajah Eka.
“Kamu sudah bangun?” suaranya rendah, dalam, dan terasa berbahaya.
Eka mundur di atas ranjang, jari-jarinya mencengkeram selimut erat, tubuhnya gemetar hebat. Pikirannya berputar, mencoba memahami apa yang telah terjadi.
"T-tunggu... siapa kamu?" suaranya nyaris tak keluar, hanya terdengar seperti bisikan putus asa.
Pria itu tidak langsung menjawab. Ia berjalan mendekat, mengenakan kemeja dengan gerakan santai.
Lalu, dengan seringai kecil, ia berkata, "Jangan terlihat begitu tersakiti."
Nada suaranya terdengar lembut, tapi kata-katanya seperti belati yang menusuk dada Eka.
"Kamu masuk ke kamarku, berarti sudah tahu konsekuensinya. Lagi pula... ini bukan pertama kali, kan?" Ia merogoh dompetnya, menarik beberapa lembar uang. "Katakan saja harganya."
Eka membeku.
Hari itu, ia merasa dunianya benar-benar hancur, rasa sakit di fisiknya tidak seberapa dibandingkan dengan hatinya.
Kehormatannya yang selama ini ia jaga untuk suaminya, yang ia pertahankan dengan penuh harapan… lenyap dalam semalam. Tidak hanya itu, lelaki yang bahkan tidak ia kenal kini menganggapnya sebagai wanita malam, seseorang yang bisa dibayar.
Air mata terus membasahi pipinya. Tangannya mengepal, tubuhnya gemetar hebat. Dengan suara bergetar, ia akhirnya berkata,
"Aku bukan wanita seperti yang kamu pikirkan!"
Kaisar Harjunot, lelaki berusia 27 tahun itu, menarik sudut bibirnya. Sebuah senyum tipis yang lebih mirip ejekan daripada keramahan.
"Bukan wanita seperti yang aku pikirkan?" ulangnya, nada suaranya berlapis cemooh yang dingin.
Kai tidak berbicara tanpa alasan. Ia ingat dengan jelas—semalam, di bawah pengaruh obat bius yang entah bagaimana masuk ke dalam tubuhnya, ia memerintahkan asistennya untuk mencari seorang wanita malam. Seseorang yang bisa melayaninya tanpa banyak tanya.
Namun kini, wanita di depannya justru menangis. Bahunya bergetar, bibirnya mengucapkan penolakan dalam suara yang nyaris pecah—seolah dirinya adalah korban.
Sungguh menggelikan.
Kai menatapnya lebih lama, menikmati kepanikan yang menguar dari wajah itu. Tatapannya menyapu tubuh mungil yang bergetar di hadapannya—kusut, lemah, dan penuh luka tak kasatmata.
Ia tertawa kecil. Dingin.
"Kalau bukan, lalu kamu siapa?" tanyanya, melangkah mendekat dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan. "Wanita baik-baik yang salah masuk kamar? Atau istri yang mencari petualangan di ranjang pria lain?"
Eka semakin mengepal selimut di tubuhnya. Tangannya putih pasi, gemetar hebat.
"A-aku tidak tahu kenapa aku ada di sini... Aku pikir kamar ini—"
"Cukup cari alasan!" Kai menyela, suara tajamnya membelah udara seperti bilah pisau. "Katakan saja berapa harganya."
Eka tersentak. Napasnya tertahan di tenggorokan.
Ia turun dari ranjang, tubuhnya tertatih-tatih menahan perih di bagian yang tak ingin ia pikirkan. Kedua tangannya gemetar saat meraih pakaiannya—sebuah gaun merah yang kini tampak menyedihkan. Robek di berbagai sudut, lusuh, ternoda.
Gaun itu dulu adalah kebanggaannya. Ia membelinya setelah menabung selama setahun, menyisihkan sedikit demi sedikit dari uang belanja yang diberikan Adit.
Saat mengenakan gaun itu, ia membayangkan momen spesial. Ia ingin terlihat cantik di mata Adit. Ia ingin hari itu menjadi kenangan yang manis.
Namun sekarang… gaun itu menjadi saksi bisu kehancurannya.
Matanya panas, tapi air mata tak lagi jatuh. Untuk apa? Tidak ada gunanya menangis di depan pria seperti yang tidak manusiawi ini kan?
Kai masih berdiri di tempatnya, ekspresinya malas, seolah muak dengan dramanya. "Kenapa diam? Tidak ingin menyebut harga?"
Eka menggigit bibir, menahan isakan. Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhnya, mengiris setiap inci keberadaannya. Ia menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan sisa-sisa keberanian.
"Aku bukan wanita seperti yang kamu kira," suaranya lirih, namun tegas.
Kai mengangkat alis. Ada ketertarikan samar di matanya, seolah mendengar sesuatu yang menggelitik telinganya.
"Itu sudah kamu katakan tadi." Ia melangkah lebih dekat, begitu dekat hingga Eka bisa merasakan hawa dingin yang menguar darinya. Tatapannya mengunci Eka dalam ketakutan yang mencekik. "Tapi kenyataannya, kamu tetap ada di ranjangku pagi ini. Perlu aku perjelas situasinya?"
Eka mengeratkan genggaman pada kain merah di tangannya, seakan itu satu-satunya pegangan yang tersisa dalam hidupnya.
Ia menatap Kai dengan mata yang berkilat, bukan karena keberanian, melainkan keputusasaan yang membara di dalamnya.
"Aku tidak menjual diri," ulangnya.
Kali ini, suaranya lebih mantap. Seakan berusaha menyelamatkan sisa harga dirinya yang hampir hancur. Setelah mengenakan baju, Eka meninggalkan kamar itu dengan luka dan keputusasaan.
"Hai, tunggu!" cegah Kai sayangnya Eka sama sekali tidak menggubris. Dentuman pintu keras membuat Kai frustasi. Ia segera melirik ke arah ranjang yang menjadi tempat pergulatannya semalam dan menemukan setitik darah seger di sana.
"Di-dia... Masih perawan?"
***
Setengah jam perjalanan terasa seperti seumur hidup bagi Eka. Setiap detik yang berlalu menambah beban di dadanya, menyesakkan hingga nyaris membuatnya sulit bernapas.
Bagaimana ia bisa menjelaskan semua ini saat kembali ke rumah keluarga Wirawan? Kehormatannya telah direnggut oleh pria lain. Apa Adit masih mau menerimanya? Jika ia diusir, ke mana harus pergi?
Pikirannya berkelana lebih jauh. Keluarganya di kampung sangat menjunjung tinggi nama baik. Jika mereka tahu apa yang terjadi, apakah mereka masih mau menerimanya? Atau justru akan membuangnya seperti aib yang memalukan?
Nyeri menjalar ke kepalanya, denyutannya menusuk hingga ke dasar batin. Ketakutan mencengkeram hatinya yang sudah cukup luka.
Tanpa sadar, langkahnya telah membawanya ke depan rumah keluarga Wirawan. Eka menatap pintu kayu yang begitu familiar, namun kini terasa asing. Jantungnya berdegup tak karuan.
Apakah tempat ini masih bisa disebut rumah baginya?
Belum semuanya terjawab, tapi suara tawa dari dalam rumah menciptakan dentuman lain di dadanya.
Eka berdiri mematung di ambang pintu. Aroma makanan yang sedap menyeruak ke dalam hidungnya, tapi tak sedikit pun membangkitkan selera. Matanya terpaku pada meja makan yang seharusnya menjadi bagian dari kesehariannya.
Namun ada yang berbeda. Ada sosok asing yang duduk di kursinya, kursi yang bahkan sulit ia jangkau dalam satu tahun ini. Seorang wanita muda dengan wajah manis dan senyum yang tampak terlalu nyaman di tengah keluarga ini.
Sementara itu, tak ada satu pun yang tampak terkejut dengan kehadiran Eka. Seolah dirinya tak lebih dari bayangan yang keberadaannya tak diinginkan.
"Oh? Lihat siapa yang akhirnya pulang."
Suara itu menghantam Eka seperti cambukan.
Ia menoleh pelan. Yuni, ibu mertuanya, menatapnya dengan ekspresi penuh penilaian, bibirnya melengkung dalam senyum dingin yang jelas tidak tulus.
"Kamu jalan sampai nyasar ke mana, hah?" Nada bicaranya datar, tapi setiap kata terasa seperti paku yang menghujam dada Eka. "Atau sengaja menghilang semalaman dengan alasan yang sudah bisa kami tebak?"
Jantung Eka mencelos.
Di sebelah Yuni, Rina mendecakkan lidah sambil menyilangkan tangan di dada.
"Masya Allah, Kak. Muka lecek, baju kusut, kelihatan jelas banget habis dari mana." Rina menyeringai, matanya memicing tajam. "Kamu pikir rumah ini tempat singgah, ya? Pergi semalaman, pulang-pulang dengan tampang penuh dosa."
Eka mengepalkan tangannya tapi bibirnya tetap membisu, seolah otaknya tidak bisa menyusun kalimat demi kalimat. Sesekalinya kalimat yang bisa keluar kini terhalang begitu saja, "Bukan begitu, aku—"
"Bukan begitu?" Yuni menyelanya cepat. "Lalu apa? Kamu mau bilang semalaman di masjid?"
Tawa dingin meledak dari Rina. "Iya, ya, Bu. Mungkin Kak Eka semalaman tahajud."
Eka menelan ludah. Matanya bergerak ke arah Adit, berharap setidaknya ada pembelaan. Tapi laki-laki itu hanya duduk diam, menyendokkan makanan ke piring wanita asing di sampingnya.
Seketika, udara di dada Eka habis.
Yuni mengikuti arah tatapan Eka, lalu tersenyum tipis. "Oh? Kamu belum kenalan?" Nadanya dibuat seolah-olah ini hal kecil. "Ini Nadin. Sekretaris Adit. Kasihan, dia sendirian di kota ini."
Yuni menghela napas dramatis, lalu melirik Eka dengan sinis. "Jadi ya... daripada repot-repot menunggu perempuan yang entah pulang jam berapa dan dalam keadaan seperti apa, lebih baik aku carikan istri baru untuk Adit. Yang lebih... pantas."
Darah Eka membeku. "A-apa?"
Rina menyeringai. "Iya, Kak. Lagian, laki-laki mana sih yang mau istri yang hilang semalaman? Mas Adit itu berhak dapat yang lebih baik."
Adit masih tidak mengatakan apa pun.
Tidak menyangkal.
Tidak membela.
Tidak ada penjelasan.
Dan di sana, Nadin hanya tersenyum sopan—senyum yang membuat Eka ingin berteriak.
Eka terhuyung selangkah ke belakang. Mereka sudah memutuskan.Tanpa memberi kesempatan padanku untuk bicara?
Ka, aku janji, kamu akan menjadi satu-satunya wanita dalam hidupku. Jadilah istri dan ibu dari anak-anakku. Aku akan menjaga kalian selamanya.
Bait demi bait janji yang dulu diucapkan Adit saat melamarnya kini terus berputar di benak Eka. Meskipun ia bersalah, apakah tidak ada kesempatan kedua untuknya? Mengapa Adit tidak membelanya? Mengapa ia bahkan tidak menolak keinginan orang tuanya untuk menikah dengan Nadin? Apa benar dirinya telah dibuang hanya dalam satu malam?
Mengumpulkan keberanian, Eka melangkah mendekati Adit.
"Mas, semalam kamu yang memintaku datang ke hotel itu. Aku tidak tahu kalau kamar itu—"
"Cukup, Eka! Kamu sudah kotor," ucap Adit dengan nada tinggi, seolah jijik hanya dengan melihatnya.
Eka menelan ludah kasar, tapi matanya justru tertuju pada tangan Adit yang kini menggenggam tangan Nadin.
"A-apa karena kesalahan yang tidak sengaja aku perbuat, kamu langsung berpaling pada wanita lain, Mas?" Suaranya bergetar. "Selama ini kita saling mencintai. Tiga tahun kita bersama, tapi hanya karena satu kesalahanku, kamu begitu mudah meninggalkanku?"
Eka berusaha sekuat tenaga untuk meyakinkan Adit, berharap masih ada ruang di hati suaminya untuk memaafkan. Ia memang telah ternoda, tapi apakah semua kenangan mereka tidak berarti? Namun, harapannya hancur seketika saat mendengar kata-kata yang keluar dari mulut suaminya.
"Hah? Apa kamu tidak pernah berpikir kenapa aku tidak pernah menyentuhmu sejak kita menikah?"
Eka terdiam. Ia menggigit bibir, mencoba menelan sesak yang memenuhi dadanya.
"Kamu hanya tidak suka dengan bau badanku, kan, Mas? Aku berjanji akan merawat diriku lebih baik lagi," sahutnya dengan suara nyaris putus.
Adit berdiri dari tempat duduknya, menatap Eka dengan tatapan dingin. Sudut bibirnya tertarik ke atas seolah mengejeknya. "Kamu yakin hanya itu?"
"Lalu apa?" tanyanya polos.
Adit mengangkat tangannya yang kini bertautan dengan Nadin. "Karena dalam hidupku, aku hanya mencintai Nadin. Tiga tahun lalu, maaf, aku tersesat olehmu dan memutuskan untuk menikahimu. Tapi satu tahun ini, Nadin kembali padaku dan aku sudah memutuskan untuk bersamanya. Tidak hanya itu, kami akan segera memiliki momongan."
Eka merasa dunianya runtuh dalam sekejap. Tubuhnya membeku, pikirannya kosong. Kata-kata Adit terus terngiang di kepalanya, mengiris perasaannya lebih dalam daripada yang bisa ia bayangkan.
"Tiga tahun lalu aku tersesat olehmu..."
Kalimat itu menggema berulang kali, mencabik setiap harapan yang tersisa di hatinya. Jadi, selama ini ia hanyalah kesalahan bagi Adit? Hanya persinggahan sementara sebelum pria itu kembali pada cinta yang sebenarnya?
Eka menatap tangan mereka—Adit dan Nadin—bertaut erat, seakan tidak ada celah di antara mereka. Pandangannya mulai kabur, tapi ia menolak untuk menangis di hadapan mereka. Tidak lagi.
Ia menarik napas dalam, berusaha meredam guncangan di dadanya. "Jadi... sejak awal, aku tidak pernah ada di hatimu?"
Adit menghela napas malas, seolah merasa percakapan ini membuang waktunya. "Kamu istri yang baik, Eka. Tapi hanya untuk mengurus keluarga ini dan aku tidak pernah mencintaimu."
Seketika, Eka merasa kakinya lemas. Seandainya ada sesuatu yang bisa menopangnya, mungkin ia tidak akan jatuh sekarang. Namun, hatinya yang lebih dulu hancur membuat tubuhnya nyaris tidak mampu berdiri.
Nadin, yang sedari tadi hanya tersenyum puas, akhirnya angkat bicara. "Lebih baik kamu pergi, Eka. Jangan buat dirimu semakin menyedihkan."
Kalimat itu menusuk.
Tapi anehnya, Eka tidak marah. Tidak juga menangis.
Sebaliknya, ia justru tersenyum kecil. Bukan senyum bahagia, melainkan senyum yang penuh dengan kepedihan yang sudah tak bisa lagi ditahan.
Sementara itu, mertua dan adik iparnya tertawa terbahak-bahak seolah-olah sedang melihat lelucon.
"Kamu itu harusnya tahu diri, Eka. Selama ini sudah membiarkan kamu masuk dalam keluarga ini dan menjadi bagian dari keluarga ini meskipun seperti pembantu," sindir Yuni.
"Benar, Kak Eka. Kalau kamu nggak mau pergi dan merestui kakakku, kamu bisa kok tetap di sini, menjadi pembantu gratis kami," sahut Rina.
Eka menggenggam erat tangannya. Selama ini, ia sudah sabar dihina dan dipaksa bekerja demi mendapat tempat di hati keluarga Wirawan atau setidaknya membuat Adit melirik ke arahnya. Tapi sekarang, setelah ia mengetahui kebenarannya, ia langsung menghampiri Rina yang tak jauh darinya dan menampar gadis itu tanpa ragu.
"Berani sekali kamu menamparku?!" Rina memegang pipinya yang panas dengan mata melotot penuh amarah.
Yuni yang berada di dekat sang anak langsung menolong, ia merasa tidak terima dan hendak membalas tamparan itu, tetapi Eka lebih dulu membaca gerakannya. Dengan sigap, ia menangkisnya.
"Jadi kalian semua sudah tahu hubungan Mas Adit dengan wanita itu?" tanya Eka tajam sembari menahan tangan Yuni.
Yuni tertawa lebih kencang sambil berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Eka, "Kamu hanya wanita bodoh dari desa yang dibutakan oleh cinta. Jadi kalau kami tahu tentang hubungan mereka, memangnya kenapa?"
Eka merasakan amarahnya semakin memuncak. "Jadi karena ini kalian semua menjadikan aku pembantu, bukan sebagai istri Adit?"
"Awalnya kami menerimamu, tapi anakku lebih menyukai Nadin, jadi kami bisa apa? Aku lihat kamu bisa dimanfaatkan di sini, jadi..." Yuni menghentikan kalimatnya sejenak lalu melanjutkan dengan nada penuh penghinaan. "Apa aku perlu menjelaskan semuanya?"
Kesabaran Eka sudah di ujung tanduk. Tanpa ragu, ia mendorong Yuni hingga tersungkur di lantai.
Adit yang sejak tadi diam di sisi Nadin, segera melangkah maju dan menatap Eka dengan tatapan penuh amarah. "Jangan keterlaluan, Eka!" Tanpa peringatan, ia mendorong Eka hingga tersandung ke belakang, membuatnya jatuh ke lantai.
Eka mendongak, menatap Adit dengan mata berkaca-kaca. Tapi kali ini, bukan karena rasa sakit, melainkan karena kesadaran bahwa tidak ada lagi yang bisa dipertahankan. Eka bangkit lalu berkata, "Kamu bilang aku keterlaluan? Kamu dan keluarga kamu selama ini sudah membuatku seperti badut, kamu bilang aku keterlaluan?"
"Apa aku pernah memintanya? kamu melakukannya dengan suka rela!"
"Kamu benar, aku melakukannya dengan suka rela karena aku sudah buta," sahut Eka.
"Jika kamu sadar untuk apa kamu melampiaskan semua ini pada kami? Kamu yang bodoh, Kakak Ipar!" sahut Rina yang sudah tidak tahan lagi.
Eka mendekati Rina penuh kemarahan, membuat gadis itu mundur perlahan. Nadin yang melihat itu langsung melindungi Rina. "Aku rasa setelah semalam melayani lelaki, kekuatanmu semakin bertambah."
Eka menghentikan langkahnya sejenak. "Apa kamu bilang?"
Nadin menarik sudut bibirnya. "Aku mewakili Adit mengucapkan terima kasih karena jasamu. Perusahaan kami akan memenangkan tender untuk mengerjakan proyek perumahan."
"Apa maksudmu? Bicara yang jelas!" tekan Eka dengan jantung berdegup kencang.
Meskipun dirinya orang desa, tapi Eka juga pernah mengenyam pendidikan hingga sarjana, karena saat itu dirinya bisa berkenalan dengan Adit dan menjalin kasih, hingga satu tahun lalu setelah lulus ia melepas niat berkarirnya dan memilih menjadi ibu rumah tangga, jadi dirinya bukan wanita bodoh yang tidak paham situasi.
"Apa lagi? Kamu sudah tidur dengan salah satu pejabat kota, dan itu sebagai jaminan agar perusahaan kami bisa memenangkan tender untuk membangun proyek perumahan yang nilainya fantastis."
Saat Eka mundur satu langkah mendengar fakta barusan, satu keluarga itu kini kembali tertawa penuh kemenangan.
Sayangnya, tawa itu tidak berlangsung lama. Ponsel Adit berdering, memperlihatkan asisten pejabat kota itu memanggilnya. Adit mengangkat telepon dengan santai, tetapi seketika ekspresinya berubah. Wajahnya yang penuh kemenangan tadi mendadak menegang, seolah baru saja mendengar sesuatu yang tidak seharusnya.
"Apa?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!