NovelToon NovelToon

ARUNA

satu

Kedua tangannya bergetar hebat, juga kedua tungkaian kakinya serasa melemah seketika saat melihat bagaimana benda persegi itu menunjukkan garis dua dengan jelas.

Aruna menutup mulutnya dengan sebelah tangannya yang kosong, menutup erat agar isakan tangisnya tidak meledak hebat dan membuat orang-orang luar penghuni kos lainnya mendengar.

"B-bagaimana ini... " lirihnya dengan bingung, kedua matanya mengerjap cepat hingga lelehan air mata yang sedari tadi mengembun seketika luruh membasahi kedua pipi tirusnya.

Dirinya hamil, tespack itu menunjukkan dua garis merah.

Bagaimana ini? Apa yang harus Aruna lakukan sekarang?

'Hhuuhhh'

Aruna sebisa mungkin mengatur pernapasan nya yang tiba-tiba saja terasa terhimpit, merasakan dadanya berdegup kencang terus memompa kuat membuat dadanya terasa sakit. Dirinya harus tenang.

Tenang... Tenang... Harus tenang.....

Aruna merapalkan kalimat tersebut, hingga dadanya yang tadinya terhimpit sakit akhirnya sudah membaik kembali.

Mengusap pipinya yang sudah terbanjir air mata, menatap pantulan wajahnya di kaca kamar mandi kos-nya dengan sendu, mata memerah, hidung memerah dan rambut berantakan seperti tak terurus.

Meremas kuat tespack di genggamannya yang kemudian di simpan asal didalam tempat sabun, Membasuh wajahnya terlebih dahulu yang begitu berantakan. Aruna keluar dari kamar mandi, waktu sudah menunjukkan pukul setengah 4. Waktunya untuk bekerja, kejadian tadi mari kita lupakan sejenak.

Urusan pekerjaan harus Aruna utamakan, memikirkan soal kehamilannya yang ada dirinya akan gila nanti.

•••••

"Maaf, kak. Aku telat datang, tadi ada urusan mendadak. " dengan napas yang tersendat-sendat, Aruna membungkuk badannya meminta maaf pada salah-satu pekerja cafe. Kak Kinan namanya, kerjanya pada bagian menjaga kasir.

"Udah, gapapa. Kamu kebelakang sana, ada pesanan yang harus kamu antar. Mas Arjun di belakang kayaknya udah selesai siapin pesanannya tinggal kamu antar saja. " pinta Kinan yang langsung di angguki mengerti Aruna, kakinya melangkah cepat kebelakang menghampiri Arjun, si juru masak.

"Ah, Aruna? Kamu sudah datang? Kebetulan, ini ada pesanan yang harus antarkan ke meja nomor dua belas. " imbuh Arjun saat melihat kedatangan Aruna, dia memberikan nampan yang yang sudah disusunnya berbagai macam pesanan para pelanggan.

"Maaf, mas. Aruna datang telat hari ini." ujar Aruna menyesal, karena urusan mendesaknya tadi. Aruna jadinya datang sedikit terlambat dari biasanya.

"Gapapa, mas ngerti kok. Ini kamu bawa pesanan didepan meja nomor dua belas ya, nanti balik lagi bawa pesanan yang lain. "

Aruna mengangguk mengerti, mengambil alih nampan diberikan Arjun secara hati-hati. Kakinya melangkah cepat namun penuh kehatian menuju kedepan. Cafe sore hari ini tampaknya terlihat begitu ramai ya dari biasanya, apalagi di hari rabu seperti ini.

Biasanya cafe akan ramai sekali pada hari sabtu malam minggu, pada hari itu cafe akan tutup lebih lama dari biasanya. Jam 12 malam perkiraan, biasanya Arjun akan mengantarkan Aruna pulang ke kos-nya. Takut terjadi sesuatu pada gadis SMA itu, apalagi di pekerja cafe hanya Aruna yang tidak memiliki kendaraan.

"Permisi, kak. Ini pesanannya. " Aruna menata pesanan tesebut pada meja nomor dua belas, terdapat dua perempuan cantik yang tengah sibuk mengerjakan tugas, terlihat dari salah satu mereka yang sibuk mengetik sesuatu di laptop.

"Selamat menikmati. " membungkuk sedikit badannya, Aruna tersenyum manis pada pelanggan sebelum kembali kebelakang.

"Iyaa. Makasih... " kedua perempuan itu balik mengucap, dengan kepala yang sedikit tertunduk membuat Aruna lagi-lagi membungkukkan badannya.

Dan kita biarkan Aruna dengan kesibukannya, yang sedari tadi terus bolak-balik membawa pesanan. Hari ini cafe benar-benar begitu ramai.

••••••

Waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam, cafe sudah tidak begitu ramai seperti tadi. Hanya ada 5 meja yang terisi, Aruna bisa beristirahat sebentar, duduk selonjoran di bawah lantai dengan satu tangan yang sibuk memijat pelipisnya pelan, entah kenapa kepalanya tiba-tiba saja terasa begitu sakit.

Apa karena sedari tadi Aruna tak henti terus bolak-balik membawa pesanan? Ya, mungkin seperti itu, tapi rasa mual tiba-tiba saja mendatangi.

Menutup mulutnya, Aruna melangkah cepat pada wastafel untuk mengeluarkan rasa mual yang tiba-tiba menderanya.

"Hoek."

"Hoek."

"Uhuk,, uhuk,, hoek... "

Aruna memukul dadanya yang tiba-tiba saja terasa begitu sakit saat muntahan hebat dirasakannya.

"Yaampun, Aruna! Kamu kenapa? " kaget Arjun, dia mendekat pada Aruna dan memijat leher belakang perempuan itu. "Astaga, kamu kenapa, hey? Sakit atau bagaimana, kok tiba-tiba bisa muntah begini? " tanya Arjun khawatir, setelah Aruna sudah selesai dengan muntahannya, dia memilas mulutnya yang tampak sedikit kotor.

"Eunghh, gak tau mas kepala ku tadi sakit terus tiba-tiba aja muntah kayak begini. " jawab Aruna dengan lemas, wajahnya tampak begitu pucat.

"Kamu udah makan apa belum? Lambung kamu kayaknya lagi kambuh itu. " omel Arjun, mengambil minyak kayu putih untuk diberikan pada Aruna.

"Iya kayaknya, mas. Tadi aku cuman sarapan pagi, disekolah juga tadi cuman makan roti aja. " Arjun mendengus kesal, kebiasaan sekali anak ini. Sudah tau punya riwayat sakit lambung, masih saja suka terlambat makan, 'nyari penyakit emang nih anak.' dumelnya dalam hati.

"Kamu duduk dulu dikursi sana. " tunjuknya pada kursi plastik di pojokan dekat jendela. "Mas buatin kamu nasi goreng dulu, tunggu sebentar." pinta Arjun, dia melangkah menuju kitchen set untuk membuat nasi goreng.

"Eh? Gak usah mas, ini aku udah mulai baikan kok setelah di kasih minyak kayu putih tadi. " tolak Aruna tidak enak pada Arjun, yang sudah menyiapkan peralatan untuk memasak.

"Udah kamu duduk diam disitu aja, mas gak mau ya kamu tiba-tiba jatuh pingsan disini. Gak bakal mas angkat kamu, biarin tidur selonjoran di bawah lantai. " cibir Arjun, tangannya dengan teletan memainkan alat-alat penggoreng, mengambil sebutir telur lalu di pecahkannya diatas wajan panas yang terdapat berbagai macam bumbu nasi goreng.

"Tapi aku gak enak sama, mas Arjun. " imbuh Aruna pelan, wajahnya tampak tertekuk.

"Ya dikasih enak aja, gitu aja kok dipikirin. Kamu buat teh hangat sana, sekalian buatkan dengan mas juga, yaaa? " Arjun menaik-turunkan alisnya menggoda Aruna, membuat gadis itu terkekeh lucu akan tingkah random Arjun.

"Siap, chef. " Aruna membuat gerakan hormat, bangun dari duduknya untuk membuat teh hangat untuknya juga Arjun.

"Eh, mas punya dibuatkan es teh ya. Mas, kan gak lagi sakit. "

"Oke, segelas es teh manis untuk mas chef Arjun." setelahnya, keduanya tertawa dengan lontaran Aruna. Arjun sampai menggelengkan kepalanya.

"Mas, Arjun. Gak ikut makan juga? " tanya Aruna, melihat hanya seporsi nasi goreng saja yang Arjun buat untuknya. Laki-laki itu tidak ikut makan juga?

"Mas udah makan tadi, mas kan bukan kayak kamu yang suka telat makan! Udah tau punya sakit lambung malah nyepelein soal makan. " cibir Arjun, laki-laki itu ikut duduk di samping Aruna. Menyesap segelas es teh nya dengan nikmat, cuaca malam ini terasa sedikit panas, padahal waktu sudah menunjukkan pukul delapan, mungkin karena cafe tengah rame. Arjun juga sibuk di dapur, berhadapan langsung dengan kompor yang begitu panas.

"Iihh, mas Arjun. Senang banget nyindir-nyindir begitu. " bibirnya di majukan, kesal dengan Arjun yang senang sekali menyindir nya terus.

"Yaa ka–

–Udah ah, kalau mas masih terus ngomel juga gak nafsu makan aku jadinya. " Aruna dengan cepat memotong ucapan Arjun, takut malah nyerempet ke yang lain ucapannya. Ya emang gak sopan sih kesannya, tapi Arjun fine-fine saja, Aruna juga bukan setiap saat menyelah omongan Arjun.

"Iya-iya mas diam ini, awas aja gak di makan nasi goreng nya. Mas bakal ngelempar kamu di gedung depan sana. " Arjun melototin matanya saat mendengar Aruna yang tidak nafsu makan kembali.

"Iihhh, jahat banget. Mas udah kayak ibu tiri bawang merah aja. " cibir Aruna, kembali memasukkan nasi goreng ke mulutnya.

Arjun gak ngejawab cuman ngedengus jengkel aja, Aruna ini udah dia anggap adiknya sendiri. Maklum anak tunggal, jadi ngeliat Aruna, Arjun ngerasa punya adik.

Hahaha, kalau dilihat dari percakapan diatas. Dibanding kayak adik-kakak, Arjun ini malah kayak ibu Aruna saja. Ngomelnya udah kayak ibu-ibu yang ngeliat anak gadisnya malas-malasan.

"Gimana sekolah mu tadi, aman-aman aja kan?" Arjun balik ke topik yang lain, percakapan ini udah yang ke seribu kali Aruna dengar, tapi gak buat dia jengkel kayak tadi, malah Aruna sangat senang.

Selain Arjun, gak ada lagi yang tanya-tanya soal bagaimana keseharian Aruna di sekolah. Ada sih, Kak Sarah dan ibu kos yang kadang suka menanyai bagaimana sekolahnya, tapi tidak sesering kayak Arjun.

"Ya gitu-gitu aja, mas. Kayak biasanya, tapi tadi ada di kasih tau sama guru buat belajar lebih giat lagi karena udah mau dekat-dekat ujian kelulusan sekarang. " Aruna menjawab dengan sesekali menyuapkan nasi goreng ke dalam mulutnya.

"Eh? Kamu sekarang udah kelas dua belas, ya? Gak kerasa banget, mas masih ingat banget kamu datang pertama kali di cafe ini buat ngelamar kerja, pas itu umur kamu berapa, ya?" Arjun menengadahkan kepalanya ke atas, tengah mengingat-ingat bagaimana pertemuan pertamanya dengan Aruna yang datang melamar kerja di cafe ini.

"Enam belas tahun, mas. Mas Arjun masih ingat aja masa-masa dulu. " terkekeh geli mengingat awal pertama dirinya masuk melamar kerja di sini, masih sebagai tukang cuci piring dulu kerjanya hingga kini naik menjadi pelayan.

"Ingatlah, mas kan masih muda, masa lupa sama kejadian awal kamu datang ke sini. Eh, kalau kamu udah dekat mau ujian, kamu libur kerja aja dulu untuk fokus buat belajar. Mas gak mau ya kalau nanti nilai kamu jelek. " titah Arjun, menyimpan gelas kosong bekas teh diminumnya tadi dibawah lantai dekat kursi di dudukinya.

"Gak mau ah, aku gak enak sama kak Kinan." tolak Aruna mentah-mentah, dia gak mau di istimewakan seperti ini. Dia tau kalau cafe ini punya Arjun. Jadi laki-laki itu suka asal saja memutuskan sesuatu.

"Aku kerja sampai jam setengah 8 malam aja deh serius gapapa, aku beneran gak enak sama kak Kinan, mas. " Aruna lagi-lagi memotong ucapan Arjun yang hendak berbicara, tidak menyetujui keinginan Aruna untuk tetap bekerja walau jam kerjanya potong hingga jam delapan malam.

Menghela nafas panjang, Arjun mau tak mau ya menyetujui permintaan Aruna. "Yaudah, tapi sampai jam setengah delapan, yaaa. Awas aja kamu kebablasan kerja sampai jam 10 nanti, mas jitak kepalamu nanti sampai bolong. "

"Iihhh, sadis banget ancamannya, emang aku sundel bolong apa dibuat bolong gitu kepalanya. " bibirnya mencabik kesal. "Mas ini udah kayak ibu tiri aku aja, kalau marah-marah mulu awas cepat tua loh... " godanya, membuat Arjun mendengus jengkel.

"Aruna! Dasar anak nakal. " cibir Arjun, kesal.

"Hahahaha, jangan marah-marah dong ibu tiri. "

Bahagia memang sesederhana ini, tapi setelah kejadian tadi apakah kebahagiaan akan terus berlanjut di kemudian hari nanti?

dua

'Ceklek'

'Klakk'

Aruna membuang napas panjang saat dirinya telah tiba di kos miliknya, menyalakan lampu kos-nya yang gelap dan menutup pintu kembali. Aruna melangkah menuju kasur tipisnya sambil membuka kancing kemeja putih di kenakannya.

'Hhuuhhh'

Lagi-lagi helaan napas begitu panjang kembali di keluarkannya dengan begitu berat, satu tangannya merogoh saku kemeja guna mengambil minyak kayu putih yang diberikan Arjun padanya. Sebelum menutup cafe tadi, Aruna lagi-lagi kembali muntah namun kali ini tak ada apapun yang keluar selain air bening. Karena itulah kenapa minyak kayu putih ini bisa beralih pemilik padanya.

Aruna yang tengah duduk di diatas kasur sambil menghirup dalam aroma kayu putih, segera bangkit sambil melepaskan kemeja putih dari tubuhnya menuju kamar mandi. Aruna akan membersihkan diri sambil mencuci kemeja putihnya, kemeja ini setiap hari selalu digunakan di cafe.

Lagi-lagi helaan napas Aruna keluarkan, bisa kalian hitung sudah berapa kali Aruna membuang napas panjang putus asanya. Menatap dirinya di pantulan kaca, Aruna tak sengaja bersitatap dengan tespack yang disimpan asal tadi di tempat sabun.

Terdiam sejenak, Aruna tiba-tiba saja mengelus kaku perutnya.

"Sehat-sehat ya, nak. Di perut ibu. " terdiam sejenak, saat kedua matanya kembali mengembun. "Kamu gapapa kan cuma punya ibu di dunia ini, ibu gak tega pisahan ayahmu sama pacarnya. "

Tangisannya tiba-tiba pecah, tangannya dengan cepat menutup mulutnya sambil menyalakan keran air agar suara tangisannya tidak sampai terdengar luar penghuni kos lainnya.

"Maafin ibu, nak. Ibu gak mau mengambil yang bukan hak ibu, ibu gak mau di cap sebagai perebut sama orang-orang di luar sana, ibu takut... "

Semoga saja tangisan penuh kepedihan ini tak didengar orang lain diluar sana, Aruna semakin mengeraskan tangisannya. Hatinya hancur, bagaimana masa depan anaknya kelak nanti tanpa sosok ayah sebagai pelindungnya? Bagaimana bila nanti anaknya di cemooh orang-orang luaran sana karena memiliki orang tua yang tidak lengkap? Dan bagaimana...

Semua pertanyaan itu tertumpuk memenuhi pikirannya, Aruna tidak bisa membayangkan semua hal yang ada di otaknya terjadi di kelak hari nanti.

"Apa aku gugurkan saja kandungan ini? " pikiran itu tiba-tiba saja terbesit. Namun, secepat mungkin Aruna menggeleng kuat kepalanya membuang pikiran jelek yang tiba-tiba saja terlintas muncul di otaknya.

"Maafin ibu ya udah mikirin hal jelek tadi, ibu minta maaf. Kamu baik-baik saja ya di dalam sini. " Aruna berusaha menguatkan, tangannya kembali mengelus perutnya dengan lembut.

Daripada termenung terus menerus, yang ada Aruna akan gila lama-lama. Mematikan keran air yang sudah tertampung penuh di bak, Aruna lebih baik membersihkan diri saja lalu beristirahat karena besok dia harus bangun pagi untuk bersekolah.

••••••

keesokan harinya, Aruna bangun dengan keadaan lemas luar biasa, ia terkulai dihadapan pintu kamar mandi. Aruna baru saja selesai muntah, tapi anehnya muntahannya ini tidak mengeluarkan apapun dari dalam perutnya yang sedari tadi terasa teraduk.

Tok.. Tok.. Tok...

"Aruna."

Tok.. Tok.. Tok..

"Ini aku, Na. Sarah. Kamu udah bangun apa belum?"

Ketukan pintu diluar membuat Aruna yang masih lemas, terpaksa harus bangkit dari duduknya dibawah lantai. Melangkah ke depan pintu kos-nya sambil memperbaiki tatanan rambutnya yang terlihat begitu berantakan, belum lagi wajahnya tampak kacau begitu pucat pasih.

'Ceklek'

"Kak Sarah? Maaf ya lama aku buka pintunya, aku tadi ada panggilan alam sebentar di kamar mandi." Aruna menyengir tak enak sambil menggaruk punggung tangannya refleks. "Mari masuk, kak. " Aruna semakin membuka lebar pintu kos-nya, mempersilahkan Sarah untuk masuk kedalam kos-nya.

"Eh, gak usah. Aku ke sini cuman mau kasih ini sama kamu." Sarah menyerahkan sebungkus bubur ayam pada Aruna, "Dari ibu. " sambungnya.

"Astaga, aku jadinya gak enak sama kak Sarah dan ibu. Tiap hari selalu kasih aku makanan terus." Aruna menerima pemberian tersebut, ibu yang dimaksud adalah pemilik kos yang di tempati Aruna sekarang. Dan Sarah adalah anak keduanya, tengah menempuh pendidikan kuliah semester lima.

"Gapapa, kamu kan udah kita anggap keluarga sendiri. Juga udah aku anggap sebagai adik, apalagi disini cuman kamu yang paling kecil dari penghuni kos lainnya."

Ya, emang benar. Dari sepuluh pintu kamar kos disini cuman Aruna yang yang masih berstatus anak SMA, yang lain rata-rata para pekerja dan anak kuliahan, makanya gak salah kalau Aruna sering kali mendapatkan makanan gratis dari penghuni kamar kos lainnya.

Sebenernya enak juga sih dikasih makan terus, bisa menghemat pengeluarannya juga. Tapi, Aruna juga tidak enak hati kalau selalu di kasih makanan terus-menerus.

"Udahlah gak usah kamu pikirin, udah mau jam setengah tujuh, kamu gak berangkat ke sekolah? Belum mandi juga kan kamu? Sana siap-siap, bubur ayamnya di makan di sekolah aja, aku balik dulu ya." anggukan kepala yang Aruna berikan sebagai respon jawabannya, menatap punggung Sarah yang mulai menjauh dan hilang dari pandangnya.

Sudah pukul 06:26 Aruna sepertinya akan terlambat bila sarapan terlebih dahulu, mengikuti apa yang dikatakan Sarah tadi. Sebaiknya bubur ayam tersebut dirinya makan saat tiba di sekolah nanti, sepertinya pagi ini Aruna harus mandi secepat mungkin.

Gara-gara muntahan di pagi hari, membuat waktunya terbuang sia-sia dan sepertinya uangnya harus direlakan untuk membayar ojek online untuk berangkat ke sekolah nanti. Dua belas ribunya hangus sudah di pagi ini, karena biasanya Aruna menggunakan angkutan umum untuk berangkat ke sekolah, tapi di jam setengah tujuh angkot biasanya sudah tidak bermunculan lagi di sekitaran halte.

Bayi. Aruna mohon, baik-baik lah didalam perutnya. Jangan susahkan Aruna dengan muntahan, kalau bisa tolong larikan penderitaan ini pada ayah bayinya.

Ya, kalau bisa.

••••••

Hahahaha, permintaan Aruna tadi pagi kayaknya langsung di iyakan sama sang penguasa dan bayinya deh. Jam istirahat pertama, lagi enaknya menikmati sarapannya di kantin bersama sang pacar, entah mengapa Tama tiba-tiba saja muntah-muntah.

Padahal cuman sarapan nasi goreng ditemani dengan teh hangat, semua makanan nasi goreng tadi langsung keluar kembali bahkan roti panggang selai coklat dimakan tadi di rumah juga ikut keluar.

Alana diluar udah panik banget, mau bantu Tama mijat lehernya gak bisa karena Tama sekarang ada di kamar mandi laki-laki, gak mungkin kan Alana nyelonong ikutan masuk juga ke dalam? Yang ada mereka digerebek satu sekolah nanti.

'Ceklek'

"Yaampun, Tama. Kamu gapapa? Kok tiba-tiba bisa muntah begini sih? " panik Alana saat pintu kamar mandi sudah di buka oleh Tama.

"Gak tau, tiba-tiba aja perutku kayak di aduk gitu terus muntah-muntah. " keluhnya, mengelus perutnya yang masih terasa perih.

"Tadi sebelum berangkat ke sekolah kamu gak makan yang aneh-aneh kan? Atau kamu ada minum kopi tadi pagi? " tanya Alana kembali, keduanya melangkah menuju kelas. Dengan Alana yang memapah tubuh Tama yang begitu lemas sehabis muntah tadi.

Btw, mereka berdua sekelas ya.

"Gak ada, tadi dirumah cuman makan roti aja, gak ada minum kopi atau apapun." jawabnya, memejamkan matanya saat Alana dengan inisiatif memijat leher belakangnya. "Mungkin udah mau sakit aja kayaknya, aku kan emang gak gampang sakit orangnya tapi kalau sekalinya sakit ya gini, kesiksa banget sampai muntah-muntah kayak tadi. "

Si calon ayah masih berpikir positif, mungkin karena Tama juga belum tau kalau ada si calon ibu yang lagi ngandung darah dagingnya.

"Kamu tiduran aja sambil aku pijit lehernya, nanti kalau ada guru masuk aku bangunin." pinta Alana, keduanya sudah tiba di kelas IPA¹. Duduk paling depan dekat meja guru, ya namanya juga anak pintar, pasti duduknya di depan lah.

Tama ngikut aja apa yang di bilang Alana. Seriusan, badannya gak enak banget setelah muntah-muntah tadi, belakang lehernya juga gak tau kenapa kayak sakit gitu belum lagi sama perutnya sakit dan perih kayak dililit.

Tama menidurkan kepalanya diatas meja dengan kedua tangannya dijadikan sebagai bantalan, disebelahnya Alana masih senantiasa memijat leher belakang Tama.

Ciri-ciri pacar baik dan berbakti ya, tapi gak tau juga sih hubungan selucu dan segemes ini bakal bertahan lama apa tidak, apalagi dengan kejadian yang telah Tama lakukan pada perempuan lain.

Dan telah membuahkan hasil, kini.

selamat datang di cerita kedua aku, semoga kalian suka.

tiga

Sudah satu minggu berlalu sejak kejadian tau dirinya tengah berbadan dua, sejak itu pula Aruna menjadi agak pendiam-Aruna emang pendiam sih kepribadiannya, maksudnya. Perempuan itu tidak seperti biasanyalp. Aruna yang sekarang adalah Aruna yang banyak diamnya, banyak melamun, Aruna juga terlihat selalu termenung memikirkan hal berat.

Hal itu tentu saja tidak lepas dari pandangan Rara, teman baik sekaligus sahabat satu-satu di milikinya. Setelah lonceng istirahat pertama berbunyi nyaring, Rara mencolek bahu Aruna yang duduk sebangku dengannya yang membuat Aruna yang tengah melamun sontak tersadar dan menoleh. Mengangkat sebelah alisnya sebagai gestur bertanya.

"Lo kenapa sih? Seminggu ini gua perhatiin keliatan murung terus." tanya Rara langsung, sudah tidak bisa menahan segala pertanyaan atas keanehan Aruna beberapa hari ini.

Aruna menghembuskan nafasnya, kelihatan seperti memikul banyak beban. Kemudian dia melirik pada Rara yang masih menatapnya, menunggu jawabannya.

"Gapapa, aku cuman kecapean kerja sama kepikiran buat ujian nanti. " alibinya.

Rara terkekeh, yang kepikiran soal ujian bukan cuman Aruna aja, dia juga dan pastinya teman-teman sekelas lainnya. Tapi Aruna tampak seperti memikirkan hal berat lainnya hingga seminggu ini terlihat sering melamun.

"Otak lo kan udah pintar, encer. Masalah ujian nanti gak usah di bebani banget lah, di bawah santai aja. Gua yang kapasitas otaknya cuman separuh aja bodoamatan banget, yang penting lulus, amanlah. "

Lalu, hanya helaan nafas yang kembali Aruna keluarkan yang mana membuat Rara jadi lelah sendiri melihatnya. "Kayak capek banget lo, Na. Helaan nafas lo keliatan kayak banyak beban banget yang di pikirin."

"Ya emang banyak beban banget aku pikul sekarang, Ra– gak tau deh, emang akhir-akhir ini aku lagi capek banget. Tugas sekolah lagi numpuk banget harus di kerjain, belum lagi di cafe beberapa hari ini lagi rame banget. Duh, gila capek banget aku. " keluhnya, menyender setengah badannya disamping tembok tempat duduknya.

Lagi, hanya kekehan Rara menanggapi. "Jangan terlalu di pikirin, mending sekarang kita ke kantin aja, hari ini gua teraktir lo deh, terserah mau pesan apa aja. " Rara berdiri dan di ikuti Aruna, lumayan juga dapat teraktiran.

Tadi pagi di kos Aruna belum sarapan. Eh, bukannya belum sih, Aruna tadi udah sempat makan bubur ayam di kelas tadi sebelum bel masuk bunyi. Tapi, baru juga tiga suapan bubur ayam masuk kedalam mulutnya, lagi-lagi mentahan kembali dirasakannya membuat bubur ayam yang tampak begitu menggiurkan itu, tidak bisa di nikmatinya dengan baik.

Mungkin tengah mengidam atau apa, tiba-tiba saja Aruna menginginkan gado-gado yang dijual ibu kantin dengan ditemani es jeruk. Ah, membayangkannya saja sudah membuat liur Aruna seperti ingin menetes keluar.

"Gua kadang iri deh sama Tama dan Alana." celetuk Rara tiba-tiba saat keduanya telah tiba di kantin, sudah duduk manis di salah satu meja kosong yang letaknya di bagian pojok dekat halaman samping sekolah.

Sontak Aruna ikut menoleh dimana tatapan Rara tertuju, menatap dua insan yang tengah menikmati makan dengan Tama yang tengah menyuapi Alana makan, tangan laki-laki itu sesekali bahkan mengelus lembut rambut panjang Alana dengan sayang. Yang mana membuat Aruna merasakan sesak di dadanya.

Ah, Aruna iri tentu saja. Rara saja yang notabenenya tidak memiliki perasaan apa-apa saja merasa iri dihatinya, apalagi dengan Aruna yang sudah jelas menaruh rasa pada Tama.

Siapa sih yang gak iri sama dua sepasang kekasih itu? Kisah percintaan keduanya begitu didambakan oleh pasangan mudah lainnya, didukung seantero sekolah. Tama yang tampan dan multitalenta yang bersanding dengan Alana yang cantik dan pintar kebanggaan sekolah, mereka memang cocok di lihat dari segi manapun.

"N-na, sorry. Gua gak bermaksud tadi bilang begitu, gua cuman greget aja lihat mereka terlalu manis." ujar Rara tidak enak, dia tau bahwa teman satu-satunya itu memiliki rasa lebih pada Tama.

"Gapapa, kamu santai aja kok. " Aruna tersenyum tipis, menunjukkan bahwa dirinya baik-baik saja, padahal hatinya menjerit sakit.

Lalu setelahnya, Aruna tiba-tiba saja terdiam saat matanya tak sengaja bertemu pandang dengan mata Tama, keduanya cukup lama bersi tatap hingga akhirnya Tama lebih dahulu mengalihkan pandangan. Dan Aruna hanya menghembuskan nafas lagi dan lagi untuk hari ini.

••••••

Aruna memasuki kamar kos-nya dengan bahu yang turun lusuh, lagi dan lagi hembusan nafas dia keluarkan. Kakinya melangkah pelas menuju kasur, duduk termenung mengingat pada kejadian yang membuat dirinya hamil darah daging Tama.

–Flashback–

Udah pernah Aruna cerita kan kalau hari sabtu malam minggu cafe bakal rame banget dan akan tutup pada pukul 12 malam. Nah, malam itu Aruna yang biasanya yang bakal pulang diantar sama Arjun, tapi malam itu dia pulang sendirian. Arjun tadi mendadak harus balik karena dapat panggilan dari tetangga sebelah rumahnya kalau mamanya masuk rumah sakit karena jatuh terpeleset di kamar mandi yang licin.

Karena Arjun anak tunggal dan bapaknya udah lama terpanggil sang kuasa. Arjun buru-buru pergi menghampiri mamanya yang udah di bawah di rumah sakit, Arjun panik seriusan. Di dunia ini dia cuman punya mama satu-satunya. Sanak keluarga? Jangan ditanya, Arjun malas jawabnya.

Kinan-teman sekerja Aruna sebenarnya udah nawarin nebengan sama Aruna. Tapi ditolak, karena Aruna tau jalur ke kos-nya sama rumah Kinan itu beda jalan. Gak mau ngerepotin dan juga kos-nya gak jauh-jauh banget jaraknya sama cafe, ya dia tolak. Kasian sama Kinan udah capek kerja ngegantiin jadi chef dadakan di cafe tadi.

Capeknya double, apalagi Kinan besoknya buka cafe dari jam sepuluh. Belum lagi beberes dan lainnya.

Aruna gak mau ngerepotin.

Dan karena itulah kejadian yang tidak diinginkan dan diharapkan Aruna tiba-tiba terjadi, gang kecil dan minim pencahayaan itu saat Aruna lewatin, tangannya tiba-tiba saja ada yang tarik kencang. Aruna yang ketakutan langsung saja ingin berteriak namun mulutnya terlebih dahulu di bungkam dengan sangat kuat.

Aruna bisa mencium bahwa orang yang membungkam mulutnya ini tengah mabok, Aruna memberontak membuat orang dibelakang tubuhnya berdecak kesal.

"Diam, si*lan! "

Suara itu, Aruna kenal. Matanya membelalak saat kepalanya menoleh ke belakang, Tama- laki-laki itulah pelakunya.

Aruna semakin memberontak, yang mana itu membuat Tama yang tengah mabuk berat sangat kesal, laki-laki itu mencekik kuat leher Aruna. Membuat tubuh Aruna melemas seketika, lehernya sakit, pasokan pernapasan nya terhenti.

"Makanya diam kalau gak mau mati kehabisan nafas. " sentak Tama di depan muka Aruna, matanya yang memerah karena mabuk menatap tajam Aruna yang tengah memejamkan matanya ketakutan.

Tama mengedarkan pandangannya pada penjuru gang sempit, mencari tempat untuk menuntaskan keresahannya. Tama diberikan obat perangsang pada minuman alkoholnya hingga kini dirinya tampak begitu uring-uringan.

Daren, si*lan! Laki-laki sialan itu yang mencampurkan minumannya dengan obat perangsang, membuatnya kini tampak begitu kesetanan, butuh terpuaskan.

Melihat Aruna yang sudah tidak memberontak. Tama dengan rakus mencium kasar bibir tipis itu dengan penuh nafsu. Tama sadar, sangat-sangat sadar malah, namun nafsu menguasai membuatnya menjadi manusia tak bermoral, memperkosa perempuan dengan kasar seperti binatang buas yang menemukan mangsanya.

Menarik Aruna ke sudut tembok dengan masih terus mencium kasar Aruna. Dan hal selanjutnya sudah kalian bayangkan sendiri bagaimana terjadi selanjutnya. Raungan kesakitan Aruna di malam itu tidak membuat Tama kasian dan memberhentikan aksi bejatnya.

-Flashback end-

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!