NovelToon NovelToon

Ternyata Aku Tidak Mandul

TATM BAB 1

"Nye, risol nya udah mateng belum?" tanya Bu Dini yang baru masuk dapur. Wanita tersebut adalah mertua Anyelir, dan saat ini, sedang ada acara pertunangan di rumah mertuanya tersebut. Raisa, anak terakhir Bu Dini, hari ini dilamar oleh kekasihnya.

"Tinggal satu gorengan lagi," sahut Anye yang berada di depan kompor, sibuk menggoreng risoles.

"Cepetan ya, pihak laki-laki sudah dekat katanya. Oh iya, cake pisangnya sudah dipotong?"

"Belum, Bu, aku masih repot. Kalau ditinggal motong kue, takut risolesnya gosong. Mending ibu aja yang potong."

Bu Dini seketika membulatkan mata. "Kamu ini, disuruh malah ganti nyuruh. Buruan potong!" titahnya ketus.

"Ya udah, nanti Anye potong setelah selesai goreng risoles." Disaat bersamaan, Ririn, anak sulung Bi Dini masuk ke dapur. "Mbak Rin, tolong potongin cake pisangnya."

"Enak aja nyuruh-nyuruh, aku sibuk, mau dandanin Arka. Emang situ, gak punya anak, gak repot ngurusin anak," Ririn tersenyum simpul.

Anye mengelus dada. Selalu seperti ini, apapun topik pembicaraaannya, statusnya sebagai wanita mandul selalu dibawa-bawa. Mau sakit hati, udah capek, udah kebal, karena sudah setahun ini, dia selalu direndahkan hanya karena mandul. Memang salah dia dimana? Bukankah anak itu adalah amanah dari Allah? Jika memang Allah tidak mengizinkan dia memiliki anak, dia bisa apa.

Satu tahun yang lalu, dunianya bagai runtuh saat Robby, suaminya memberikan hasil tes kesuburan mereka. Dia mengalami unovulasi kronis, dimana tidak terjadi ovulasi sama sekali saat menstruasi. Ia sudah merubah gaya hidup untuk mengobati, juga mengkonsumsi obat yang diberi dokter, namun sampai sekarang tak kunjung ada hasil. Beruntung, Robby tidak mempermasalahkan itu, laki-laki tersebut bahkan selalu menolak saat ibunya memintanya menikah lagi, padahal jika Robby memang ingin menikah lagi, dia siap mundur.

"Bu, tamunya sudah datang," ujar Robby yang menyusul ke dapur. Sejak tadi, laki-laki itu bersama beberapa saudara dan tetangga, ada di ruang tamu.

Bu Dini dan Ririn tergopoh-gopoh meningalkan dapur. Robby sempat melihat Anye sebelum kemudian mengikuti langkah ibu dan kakaknya.

Ada perasaan kecewa di hati Anye. Kenapa Robby tidak memanggilnya untuk ikut keluar juga, bagaimana pun, dia juga anggota keluarga ini kan? Ah dia lupa, dia kan cuma dianggap pembantu disini.

"Mbak Anye gak ikut ke depan?" tanya Bi Siti, ART di rumah Bu Dini. "Biar risolnya saya yang goreng, Mbak. Cuma tinggal satu gorengan sajakan?"

Sayangnya, Anye sudah tak berminat untuk keluar. Dia masih kecewa pada suaminya yang tak memintanya ikut keluar. "Gak usah Bi, saya disini aja. Lagian Bibi kan masih bikin soto."

"Udah selesai sotonya. Perintilan lainnya juga sudah siap."

"Ya udah, Bibi potong cake pisang saja."

Bi Siti mengangguk, lalu melakukan apa yang diperintah Anye.

Bulek Fatma ke dapur, bukan untuk membantu, tapi hanya mengambil kue untuk dibawa ke depan, juga memerintah agar makanan segera di susun di tempat prasmanan.

Sampai acara selesai, Anye sama sekali tidak menampakkan batang hidungnya pada keluarga calon suami Raisa, dia hanya sibuk di dapur meski sebelum kesini tadi, sudah dandan.

"Saya pulang dulu ya, Bi," pamit Anye. "Maaf, gak bisa bantu nyuci piring," dia sudah lelah karena sejak pagi terus menerus melakukan pekerjaan dapur. Disuruh ini itu sampai tak sempat istirahat.

"Iya, gak papa, Mbak. Mbak Anye sudah ngebantu sekali hari ini. Makasih banyak."

Anye hanya menjawab dengan anggukan. Setelah mencuci tangan, di berjalan menuju pintu belakang. Rumahnya bersebelahan dengan rumah mertuanya, jadi dia tak perlu menunggu Robby jika mau pulang.

"Mau kemana kamu, Nye?"

Panggilan dari Ririn, membuat Anye kembali membalikkan badan. "Mau pulang, Mbak."

"Ini, si Arka pup, buruan kamu bersihin." Dia mendorong bahu Arka ke arah Anye. Balita 4 tahun itu menurut saja, dia memang sangat dekat dengan Anye, sering dititipkan oleh Ririn untuk diasuh Anye.

Anye menghela nafas panjang. "Mbak, Arka itu anak kamu, ya kamu dong yang bersihin." Sebenarnya Anye tak masalah harus nyebokin Arka, tapi hari ini, dia kesal sekali pada mertua dan kakak iparnya yang menganggap dia seperti pembantu.

"Haduh Nye, dia minta sama kamu." Tentu saja, itu hanya alasan Ririn, sesungguhnya dia malas mau membersihkan kotoran anaknya.

Melihat Arka yang tampak tak nyaman, beberapa kali menggaruk pantat, Anye jadi tak tega untuk mengabaikannya. Pantatnya pasti terasa gatal saat ini. "Ya udah, ayo Arka, kita ke toilet," dia menuntun Arka menuju toilet yang ada di dekat dapur. Dia bisa saja egois dengan tidak mau melakukan ini, tapi rasa sayangnya pada Arka, mengalahkan ego dalam dirinya. Perasaan ingin punya anaklah yang membuat dia amat sangat menyayangi balita tersebut.

"Maacih, Tante," ucap Arka sambil tersenyum setelah dia dicebokin dan ganti celana.

Anye tersenyum sambil mengusap kepala Arka. Senyum dan ucapan terimakasih tulus dari Arka, membuat dongkol di hatinya seketika lenyap. "Arka kan udah diajari sama Tante, kalau mau pup, bilang, gak boleh pup di celana."

"Alka udah bilang, tapi Mama gak mau antal ke toilet, Alka malah dibentak."

Anye mengucap istighfar dalam hati sambil mengelus dada. Bagaimana bisa seorang ibu malah membentak anaknya yang sedang kebelet pup, bukan mengantar ke toilet. Lebih mementingkan foto-foto bersama keluarga daripada mengantar anaknya ke toilet yang jelas-jelas lebih urgent.

"Ya udah, kita keluar yuk!" Anye menggandeng tangan balita tampan tersebut keluar dari kamar mandi lalu kembali ke dapur.

"Cantik kan, Rob, saudara sepupunya Aiman? Cocok banget loh sama kamu."

Anye yang baru keluar dari kamar mandi, terkejut mendengar ucapan ibu mertuanya. Aiman adalah calon suami Raisa.

"Dia kayaknya juga naksir sama kamu," lanjut Bu Dini.

"Mama, udah," suara Arka membuat tiga orang yang ada di meja makan langsung menoleh. Robby kaget melihat ada Anyelir disana. Mungkinkah istrinya itu mendengar ucapan ibunya?

"Sera itu cantik, cocok jadi istri kedua kamu," Ririn malah sengaja memperjelas pembahasan mereka saat tahu ada Anyelir. Dia tersenyum miring, puas melihat ekspresi geram di wajah adik iparnya tersebut.

"Permisi, saya pulang dulu," Anye buru-buru pamit dan berjalan menuju pintu belakang.

"Mbak, kamu kenapa ngomong kayak gitu pas ada Anye?" Robby terlihat marah pada kakaknya tersebut.

"Loh, salah kakak dimana? Kamu berhak loh nikah lagi. Istri kamu itu mandul, Rob. Sudah jelas di surat hasil pemeriksaan kesuburan jika Anye itu infertil, tidak subur alias mandul."

Robby berdecak kesal, beranjak dari duduknya lalu pulang, menyusul Anye.

"Heran deh Ibu sama adik kamu itu," Bi Dini menatap pintu yang baru saja dilewati Robby dengan perasaan jengkel. "Cinta banget sama si Anye. Sudah tahu istrinya mandul, tapi gak mau nikah lagi apalagi nyeraiin. Kayaknya dia dipelet sama Anye, kalau enggak, gak mungkin dia seperti ini."

TATM BAB 2

Robby menghela nafas berat melihat Anye meringkuk di atas ranjang. Bahunya tampak berguncang, jadi meski tanpa melihat wajahnya, dia tahu jika istrinya tersebut sedang menangis. Ia berjalan ke arah Anye, duduk di sisi ranjang, mengalus kepala sang istri. "Gak usah dengerin ucapan Mbak Ririn."

"Gimana mau gak didengerin, Mas, ngomongnya di depan aku," sahut Anye di sela-sela isakannya. "Dia itu kayak sengaja."

"Ya maksud Mas, jangan dimasukin hati. Mas gak akan nikah lagi kok. Mas bakalan setia sama kamu."

Anye sudah sangat sering mendengar kalimat seperti itu dari mulut suaminya, tapi tetap saja, kalimat tersebut tidak bisa membuat hatinya tenang. Ia takut suaminya itu tidak akan bisa terus bertahan dengan kesetiaan jika ibu dan kedua saudara perempuannya terus mendorongnya untuk menikah lagi. Ya Allah, sebenarnya dosa besar apa yang telah ia lakukan hingga diberi ketetapan seperti ini, tanya Anye dalam hati.

"Sayang, gimana kalau kita adopsi anak?" ujar Robby.

"A-adopsi?" Anye ingin memastikan suaminya tak salah ucap.

"Iya, benar, adopsi. Kita bisa mengadopsi bayi dari panti asuhan."

Ucapan Robby membawa angin segar untuk Anye, dia menyeka air mata lalu bangun. "Kamu yakin, Mas, mau mengadopsi anak?"

Robby mengangguk sambil tersenyum. "Salah satu orang di kantor, ada yang sudah menikah 8 tahun tapi belum diberi keturunan, mereka lalu mengadopsi anak dari panti asuhan. Prosedurnya emang sedikit lebih ribet ketimbang langsung ngambil anak dari seseorang untuk diasuh, tapi status hukumnya jelas kalau dari panti."

Anye mengangguk cepat. "Aku setuju, Mas." Setidaknya meski mandul, dia bisa merasakan menjadi seorang ibu dengan mengadopsi anak. Tahun ini, pernikahannya dengan Robby sudah menginjak tahun ke 4, sepertinya memang sudah saatnya mereka mengadopsi anak.

"Ya udah, tidur yuk, Mas capek banget," Robby memijat pundaknya yang terasa pegal karena seharian ini banyak sekali yang harus dia urus. Ayahnya sudah meninggal, menjadikan dia yang merupakan anak laki-laki satu-satunya, menggantikan peran alm. ayahnya.

"Mau aku pijatin?"

"Gak usah. Mas tahu kamu capek juga seharian ini."

Ngomongin capek seharian, Anye jadi keingat kejadian saat dia diabaikan tadi, tidak diajak untuk keluar menyambut tamu. Seketika, senyum di wajahnya musnah, berganti dengan ekspresi kesal.

"Maaf ya, tadi kamu gak Mas ajak keluar. Kata Ibu pekerjaan di dapur belum selesai, jadi kamu gak bisa pergi begitu aja, takut malah hidangan buat tamu gak siap. Tenang aja, nanti pas nikahan Raisa, di gedung kok, semua sudah terima beres, WO yang menangani, jadi gak akan merepotkan kamu kayak tadi."

"Halah alasan kamu aja, Mas. Bilang aja biar kamu bisa bebas PDKT dengan yang namanya Sera itu."

"Apaan sih, Nye, jangan mulai deh. Kalau emang Mas mau nikah lagi, udah sejak setahun yang lalu, saat keluar hasil tes yang menyatakan kamu tidak subur, Mas langsung nyari calon istri. Buktinya apa, Mas tetap setia sama kamu. Mas itu cinta banget sama kamu, Nye."

Wanita mana yang gak baper mendengar ucapan cinta dari suaminya, begitu pun dengan Anye. Dia luluh setiap kali Robby menyatakan cinta. Ia langsung memeluk suaminya tersebut dan mengecup pipinya, lupa akan rasa marahnya.

...----------------...

Pagi hari, Bu Dini yang baru kembali dari pasar, mengerutkan kening saat melihat putranya tengah bersiul sambil mengelap mobil. Bukan karena mengelap mobil apalagi bersiul yang membuat dia merasa aneh, melainkan melihat putranya tersebut sudah rapi pagi-pagi begini di saat hari libur kerja.

"Tumben pagi-pagi sudah rapi," Bu Dini tak bisa menahan diri untuk bertanya. Dia melipir dulu ke rumah Robby sebelum pulang untuk meletakkan barang belanjaan. "Mau jalan-jalan ya, ibu ikut dong?"

"Em... " Robby menggaruk kepala yang sejatinya tidak gatal.

"Kamu ini kenapa sih, Rob, gak boleh ibu ikut?" wanita paruh baya tersebut merengut. "Pasti gak dibolehin sama Anye ya?" dia bicara lumayan kencang agar Anye yang ada di dalam rumah bisa mendengar.

"Apaan sih, Bu, gak seperti itu," sanggah Robby.

"Lalu?"

Robby ragu untuk mengatakan, takut ibunya tidak setuju.

"Mas, sarapan dulu," disaat bersamaan, Anye keluar dari rumah. Mood yang tadinya bagus, mendadak buruk melihat ibu mertua ada di halaman bersama suaminya. Beban banget memang, punya rumah bersebelahan dengan mertua. Tapi mau bagaimana lagi, Robby sudah terlanjur membangun rumah di tanah warisan ayahnya tersebut bahkan sebelum mereka menikah.

Bu Dini memperhatikan Anyelir yang juga sudah berpakaian rapi. "Ibu gak ditawari sarapan?" ucapnya dengan nada menyindir.

"Ayo, Bu, masuk, kita sarapan bareng." Sebenarnya dengan agak berat juga Anye mengatakan itu. Dia masuk terlebih dulu untuk menyiapkan satu piring lagi karena mertuanya ikut sarapan, tak lama kemudian, Robby dan Bu Dini menyusul ke meja makan.

"Kalian mau kemana sih, pagi-pagi sudah rapi?" Bu Dini kembali bertanya.

Anye yang sedang mengambilkan makanan untuk Robby, menatap suaminya itu.

"Dih, malah sama-sama diam," Bu Dini jadi curiga karena tak ada satu pun dari keduanya yang mau menjawab pertanyaan gampang tersebut.

"Em.... kami mau ke panti asuhan, Bu," sahut Robby.

"Ya elah, sok kaya banget mau nyumbang panti asuhan," Bu Dini memutar kedua bola matanya malas. "Baru juga beberapa bulan kamu naik jabatan jadi manager, Rob, udah mau sok sok jadi donatur. Noh, Raisa butuh dana banyak buat nikah, mending kamu nyumbang dia aja."

Anye menghela nafas panjang, kemudian duduk setelah meletakkan piring berisi makanan ke depan Robby.

"Kami mau mengadopsi anak, Bu."

Ucapan Robby membuat mata Bu Dini langsung terbeliak lebar dan mulutnya menganga.

TATM BAB 3

"Ngadopsi!" ulang Bu Dini dengan suara tinggi. Melihat Robby mengangguk, emosinya langsung naik. "Enggak, Ibu gak setuju," dia langsung berdiri. "Kenapa harus adopsi anak jika kamu bisa punya anak sendiri? Yang mandul itu dia," telunjuknya menunjuk muka Anyelir.

Anye meremat blouse yang dia pakai sambil menunduk. Dia dan Robby sudah tahu jika akan seperti ini jika Bu Dini tahu, makanya berniat tak memberi tahu dan ingin langsung membawa bayi. Jika sudah seperti itu, ibunya itu tidak akan bisa menolak, tapi... sepertinya rencana tak berjalan sesuai rencana. Dan rencana sarapan pun, juga mungkin tak akan terealisasi.

"Ini sudah menjadi kesepakatan kami berdua, Bu," ujar Robby.

Bu Dini menatap Anye dengan mata penuh kebencian. "Ini pasti rencana kamu kan? Kamu yang maksa Robby untuk mengadopsi anak."

"Sumpah demi Allah, Bu, Mas Robby sendiri yang mengusulkan untuk mengadopsi anak, bukan Anye."

Bu Dini tersenyum simpul. "Kamu itu jadi wanita gak tahu diri banget ya," ia menatap Anye nyalang. "Kamu tahu kenapa dalam agama Islam diperbolehkan poligami? Ya untuk kasus seperti ini. Saat istri mandul, suami boleh menikah lagi untuk mendapatkan keturunan. Hasil tes kesehatan sudah jelas menunjukkan jika kamu itu mandul, tapi kamu masih saja egois, tak tahu diri, melarang Robby menikah lagi."

"Bu, sudah!" Robby mencoba menghentikan keributan tersebut. "Ini meja makan, lebih baik kita sarapan."

"Kali ini, jangan suruh ibu diam, Rob," bentak Bu Dini, menatap anak laki-lakinya tersebut. "Sudah cukup harga diri kamu sebagai laki-laki diinjak-injak oleh wanita itu," ia menunjuk Anye. "Mandul tapi banyak maunya, pakai ngelarang kamu poligami."

Anye tak kuasa menahan air matanya. Mungkin benar jika dia memang egois, tapi wanita mana yang mau dipoligami. Dia tak melarang Robby menikah lagi, tapi konsekuensinya, dia akan mundur.

"Kalau dia benar-benar wanita sholehah, harusnya mengizinkan kamu menikah lagi, bukan ngancem minta cerai kalau kamu nikah lagi."

"Bu, menikah itu adalah ibadah, yang tujuan utamanya, adalah untuk mencapai surganya Allah," ujar Anye yang lelah terus menerus dipojokkan. "Anak adalah bonus yang beri Allah, bukan sesuatu yang wajib ada dalam sebuah hubungan pernikahan. Allah pasti punya alasan kenapa kami tidak diberi keturunan."

"Kami?" Bu Dini tertawa sumbang. "Kamu aja kali, bukan Robby. Robby mah subur, sudah jelas dari hasil pemeriksaan. Kamu bilang, menikah untuk mencapai surga kan? Ya udah, biarkan Robby poligami, biar kamu bisa masuk surga. Imbalan wanita yang mau dipoligami itu, adalah surga."

Anye tersenyum getir mendengar itu. "Masih banyak cara lain untuk mendapatkan surga selain poligami. Poligami itu berat, Bu, harus adil. Dan jika sampai Mas Robby gak bisa adil, jatuhnya dia dzolim, dan bukan surga yang akan diperoleh dalam pernikahan ini, melainkan neraka."

"Halah, gak usah sok ngomong agama kamu, kalau belum bisa ikhlas mengizinkan suami untuk poligami aja, sok-sok an ceramah."

"Ibu juga wanita, bagaimana jika Ibu yang berada di posisi saya, apa ibu masih bisa bilang ikhlas dipoligami?"

"Halah, banyak omong kamu. Mending kamu ceraikan dia saja, Rob."

"Ibu!" Robby menatap ibunya, tak suka dengan kalimat barusan. "Berapa kali Robby harus bilang, Robby gak akan menceraikan Anye."

"Fix, kena pelet kamu Rob. Bisa-bisanya masih cinta mati sama wanita mandul itu. Kamu itu masih muda, tampan, mapan, wanita mana yang gak mau sama kamu. Harusnya dia yang mikir kalau sampai bercerai sama kamu," Bi Dini menatap Anye, nafasnya memburu akibat ledakan emosi. "Siapa yang mau menikahi wanita yang jelas-jelas mandul seperti dia?"

Anye yang tak tahan dengan semua ucapan mertuanya, memilih meninggalkan meja makan, masuk ke kamar lalu membanting pintu.

Brakkk

"Lihat kelakuannya! Gak punya sopan santun seperti itu," Bu Dini menatap pintu kamar yang sudah tertutup akibat dibanting oleh Anye. Namun karena jaraknya dekat dari meja makan, dia yakin Anye bisa mendengar suaranya. "Sudah mandul, masih ditambah gak punya attitude. Apa yang kamu harapkan dari wanita seperti itu?"

"Sudahlah, Bu, mending Ibu pulang," Robby berdiri, sudah tak ada nafsu untuk sarapan. "Ibu teriak-teriak kayak gini, yang ada malah bikin malu, kedengaran tetangga."

"Emangnya kenapa kalau kedengeran, semua tetangga juga tahu kalau istri kamu itu mandul."

Anye yang meringkuk di atas ranjang, meremat bantal. Hatinya sakit sekali setiap kali dikatakan mandul, meski itu memang kenyataannya. Semua tetangga tahu soal ini, juga karena Bu Dini dan kedua anak perempuannya yang menyebarkan.

"Pokoknya Ibu tidak setuju ya, Rob, kalau kamu sampai ngadopsi anak."

Robby tak menggubris ucapan ibunya, menyusul Anye masuk ke dalam kamar. Ia menghela nafas berat melihat pemandangan yang akhir-akhir ini, sering sekali dia lihat, istrinya meringkuk di atas ranjang sambil menangis. Menutup kembali pintu, lalu menghampiri Anye.

"Silakan kamu menikah lagi, Mas," ujar Anye saat Robby baru saja mendudukkan bokongnya di sisi ranjang. "Sepertinya benar apa kata ibumu, aku wanita egois, wanita tak tahu diri. Sudah mandul, tapi tak mau dipoligami," ia menangis sekaligus tertawa, menertawakan nasibnya.

"Mas gak akan nikah lagi," Robby mengusap kepala Anye.

"Menikahlah lagi, aku sudah memberi izin. Mungkin memang sudah jalan takdirku seperti ini," Anye dihinggapi keputus asaan.

"Meskipun izin itu ada, aku tidak akan menikah lagi. Seperti yang kamu bilang, kita menikah bukan demi anak, tapi demi bahagia. Bahagiaku ada sama kamu, dan aku gak akan pernah menikah lagi," Robby menggenggam tangan Anye. "Gimana, jadi ke panti asuhan?"

Anye bangun, menyeka air mata, menatap Robby. Dia menggelengkan kepala. "Untuk apa mengadopsi jika nantinya, keluarga kamu tidak bisa menerima anak tersebut. Kasihan anak itu berada disini hanya untuk dibenci semua orang. Cukup aku saja yang merasakan dibenci seluruh keluarga kamu."

"Sayang, jangan bilang seperti itu," Robby menggenggam tangan Anyelir. "Mereka hanya masih belum bisa menerima kenyataan saja. Nanti saat kita sudah bisa membuktikan pada mereka jika kita baik-baik saja dan bahagia tanpa anak, mereka akan kembali sayang sama kamu seperti awal mula kita menikah dulu."

Anye tersenyum kecut. "Aku gak yakin, tapi semoga saja saat itu benar-benar datang."

"Aku bersumpah, aku gak akan menikah lagi," sebelah tangan Robby menyeka air mata di pipi Anye. "Sampai kapanpun, kamulah satu-satunya istriku. Jangan berfikir macam-macam, tidak ada poligami dalam kamus hidupku," ia mengecup kening Anye.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!