Pesawat.
"Nona apa butuh sesuatu?" tanya Pramugari dengan seragam berwarna merah yang sangat sopan pada seorang wanita yang memakai pakaian serba tertutup dan juga memakai cadar yang tidak memperlihatkan wajahnya, tetapi dari tatapan matanya dia terlihat begitu sangat cantik.
Wanita yang sejak tadi membaca Alquran itu mengangkat kepala.
"Saya tidak membutuhkan apa-apa. Nanti jika saya membutuhkan sesuatu, saya akan memanggil kamu," ucap wanita itu dengan suara yang sangat lembut.
Dari suaranya sudah dapat dipastikan bahwa dia wanita yang sangat anggun dan memiliki kepribadian yang sangat baik.
"Baiklah Nona, silakan dinikmati perjalanannya. Saya permisi!" ucap Pramugari cantik itu yang menundukkan kepala dan langsung berlalu.
"Alhamdulillah akhirnya setelah 3 tahun menempuh pendidikan di Mekah. Aku bisa kembali ke Jakarta. Sudah sangat merindukan Abi. Abi pasti senang dengan kepulanganku. Aku sudah terlalu sering merantau di negara orang dan sampai tidak memiliki waktu yang banyak bersama dengan Abi," ucapnya di dalam hati.
Kepalanya menoleh ke arah jendela pesawat, dari tatapan matanya begitu indah sudah dapat dipastikan gadis itu tersenyum yang mungkin sangat mengagumi dengan ciptaan tuhan yang begitu indah.
**
Jakarta.
Taxi berhenti di pagar rumah dua lantai berwarna putih dengan pagar berwarna coklat yang terbuka. Di dalam Taxi tersebut terlihat wanita yang tadi berada di pesawat.
"Alhamdulillah sampai juga. Abi pasti terkejut melihat kepulanganku secara tiba-tiba tanpa memberi kabar," batinnya yang terlihat tidak sabaran.
Wanita cantik itu langsung menuruni Taksi setelah membayar ongkosnya, supir Taxi sudah membantunya mengeluarkan koper dari dalam bagasi dan akhirnya wanita itu melangkah memasuki rumah tersebut.
Namun dari tatapan matanya terlihat penuh kebingungan. Bagaimana tidak pintu pagar yang terbuka begitu saja tanpa ada penjaga. Kepalanya berkeliling melihat jalan menuju pintu utama terlihat sangat berantakan, pot bunga yang besar tampak jatuh.
Seperti ada angin puting beliung yang menerpa rumahnya sehingga semua berjatuhan dan sangat berantakan sekali.
"Apa aku tidak salah rumah," batinnya yang merasa tiba-tiba ada yang aneh. Langkahnya semakin cepat dan melihat pintu rumah terbuka yang membuatnya semakin cemas.
Saat wanita itu berdiri di depan pintu rumah dan sangat begitu mengejutkan sekali melihat rumah itu ternyata sangat berantakan yang membuatnya istighfar di dalam hati.
Matanya yang langsung melihat ke arah sofa dan terlihat ada beberapa orang yang tampak mengerumuni.
"Assalamualaikum!" sapa wanita itu dengan suara yang terdengar cemas.
"Nona Anindya," sahut seorang wanita 60 tahunan dengan ekspresi wajah yang panik.
Uhuk-uhuk-uhuk-uhuk.
Wanita yang bernama Anindya tersebut mendengar suara batuk tersebut dan mata indah itu berusaha untuk melihat dan dia sungguh terkejut tampak seorang pria yang melihat terbaring yang sepertinya sedang diperiksa oleh Dokter wanita
"Abi!" Anindya yang langsung meninggalkan kopernya di depan pintu dan berlari menuju ruang tamu.
Beberapa orang yang ada di sana langsung memberi ruang untuk Anindya duduk di sofa tepat di samping Abi yang terlihat begitu lemas.
"Astagfirullah! Abi ada apa ini?" tanyanya yang memegang tangan pria tua yang sudah mulai keriput itu.
"Anindya. Kamu pulang tidak mengabari Abi?" pria tua itu tampak sulit sekali berbicara, tetapi dari tatapan matanya dia begitu sangat senang sekali melihat kedatangan putri cantiknya.
"Abi. Apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa Abi sampai seperti ini?" tanyanya dengan kebingungan dan wajah juga berubah menjadi panik.
"Nona Anindya tadi...." Bibi tidak melanjutkan kalimatnya saat pria tua itu mengangkat tangan yang memberi isyarat untuk tidak membicarakan apapun.
"Ada apa Bi? kenapa sampai seperti ini?" Anindya terus aja panik dan menunggu penjelasan. Bibi sudah tidak mampu berbicara dan hanya menunduk.
"Abi! Katakan ada apa? kenapa rumah terlihat berantakan seperti terjadi keributan dan Abi juga kenapa bisa seperti ini. Abi selalu menghubungi Anindya dan mengatakan baik-baik saja dan apa ini. Kondisi Abi sudah jelas terlihat tidak baik-baik saja. Abi apa yang terjadi?" tanyanya yang terus saja mendesak abinya.
"Jangan cerewet seperti itu. Sini peluk Abi. Abi sangat merindukan kamu," pria tua itu merentangkan kedua tangannya. Anindya meneteskan air mata dan langsung memeluk Abinya itu.
"Jangan menyembunyikan apapun dari Anindya. Anindya tidak ingin Abi kenapa-napa. Anindya tidak mau terjadi sesuatu kepada Abi," ucapnya dengan suara terisak yang sudah menangis.
Abi hanya mengusap-usap pundak Anindya untuk menenangkan yang mengisyaratkan bahwa dirinya baik-baik saja yang padahal sudah jelas kondisinya terlihat sangat memburuk dan bahkan tidak ada yang memberitahu kepadanya.
**
Anindya yang sekarang sudah berada di dalam kamar Abi dan menyelimuti Abi yang sudah tertidur.
"Maafkan Anindya yang sudah meninggalkan Abi. Anindya seharusnya berada di sisi Abi dan menjaga Abi dengan baik," ucapnya dengan merasa bersalah.
"Nona! Bibi sudah membersihkan kamar Nona," ucap Bibi yang tiba-tiba memasuki kamar.
"Saya ingin bicara dengan Bibi dan saya sangat berharap Bibi jujur kepada saya," ucap Anindya.
Bibi tampak ragu dan hanya menunduk yang tidak berani menatap majikannya itu sepertinya memang ada yang dia sembunyikan. Mungkin saja tadi sudah mendapatkan teguran dari Abi yang akhirnya membuat dia tidak berani berkata jujur.
"Ayo ikut saya. Abi harus beristirahat," Anindya yang langsung berdiri dan keluar dari kamar terlebih dahulu.
Anindya yang sekarang sudah berada di kamarnya yang duduk di depan cermin dan membuka cadarnya. Betapa cantiknya gadis yang berusia 24 tahun itu. Kulitnya yang putih dengan matanya yang begitu sangat indah, sangat meneduhkan jika terus menatapnya. Mata yang seolah bercahaya yang memberi ketenangan.
"Bibi sudah lebih 15 menit berdiri di sana. Saya masih menunggu semua penjelasan dari Bibi atas apa yang terjadi," ucapnya dengan sangat lembut sembari membuka peniti satu persatu yang berada jilbabnya.
"Katakanlah, Bi. Jika Abi marah makan nanti saya yang akan bertanggung jawab," ucap Anindya lagi.
"Abi seperti itu karena mendapatkan perlakuan yang kurang baik dari orang-orang yang berurusan dengan beliau," ucap Bibi dengan suara bergetar yang akhirnya jujur.
Hal tersebut membuat Anindya terkejut dan langsung membalikkan tubuh.
"Apa maksud Bibi?" tanya Anindya.
" 2 jam sebelum kepulangan Nona. Tiba-tiba ada dua mobil yang datang ke rumah ini. Mereka berpakaian rapi yang memakai jas seperti bodyguard dan juga seorang pria yang sepertinya bos mereka. Pertama hanya tamu biasa dan mengobrol dengan pak Abram dan setelah beberapa lama terjadi percekcokan. Mereka terlihat begitu marah dan mencoba membuat rumah berantakan. Kami tidak bisa melakukan apapun dan apa yang terjadi membuat kesehatan tuan Adi menurun," jelas Bibi.
"Kenapa mereka harus melakukan semua itu? Apa yang sebenarnya mereka inginkan?" tanya Anindya.
"Saya kurang mengerti Nona. Tetapi sebelum mereka pergi, bos mereka mengatakan jika pak Abram Abram tidak segera melunasi hutang-hutangnya maka dia akan menyita rumah ini dan akan memenjarakan pak Abram," jawab Bibi yang semakin mengejutkan Anindya.
"Abi memiliki hutang?" tanyanya dengan cukup terkejut.
"Kemungkinan besar iya dan mungkin saja mereka memang rentenir yang sangat menyeramkan," jawab Bibi.
"Kamu mengenal siapa mereka?" tanya Anindya.
"Tuan Kavindra Hardian, pemilik Perusahaan tambang," jawab Bibi.
Anindya mengerutkan dahinya yang benar-benar sangat schok yang tanpa dia duga ternyata selama ini sang Abi memiliki masalah yang sangat besar.
Bersambung........
...Hay Para readers. Aku kembali membuat karya baru. Kesucian Istri Tuan Arrogant. Aku sangat berharap kalian semua para pembaca setiaku selama ini menyukai karya dariku. Jangan lupa untuk memberikan dukungan, like, koment, subscribe, dan, vote yang banyak agar aku semakin semangat menulis karya-karya berikutnya. ...
...Para pembaca yang berbaik hati jangan lupa terus membaca dari bab 1 sampai terakhir ya, jangan bolong-bolong dan suka menabung. Soalnya semua itu akan menjadi patokan untuk saya lebih semangat lagi lanjutkan cerita-cerita berikutnya. Terus ikuti ya....🌹🌹🌹🌹🌹🌹...
"Kenapa Abi tidak menceritakan semua kepada Anindya? kenapa harus memendam semua ini dan Anindya tidak akan pernah tahu jika ternyata selama ini Abi memiliki hutang puluhan miliar kepada orang itu," ucap Anindya yang kembali ke kamar Abinya setelah mendengarkan semua cerita dari Bibi dan mereka berdua berbicara dari hati ke hati dengan posisi Abinya yang duduk bersandar di kepala ranjang.
"Maafkan Abi. Abi hanya tidak ingin mengganggu konsentrasi pendidikan S2 kamu. Seharusnya kamu memberitahu Abi jika kamu ingin pulang. Jadi Abi bisa memberikan alasan dan akhirnya kamu tetap berada di sana dan tidak perlu kembali ke Jakarta," ucap Abi.
"Maksud Abi akan terus menutupi semua ini dari Anindya dan akan menanggung semuanya. Anindya sangat kecewa jika Abi berpikiran seperti ini Anindya tidak tahu kenapa Abi bisa terlilit hutang seperti ini?" tanyanya yang masih saja begitu cemas.
"Abi tiga tahun yang lalu tertipu oleh kolega bisnis Abi dan uang Perusahaan sedikit demi sedikit habis, Abi harus mempertahankan Perusahaan yang Abi kelola bersama dengan almarhum Umi kamu dan Abi melakukan kerjasama dengan melakukan pinjaman dana ke Perusahaan terbesar di Asia dan Abi tidak tahu jika sekarang bisa jadi seperti ini," ucap Abi.
"Maafkan Abi baru bisa menceritakan semua ini kepada kamu," ucapnya dengan penuh rasa penyesalan.
"Abi tahu kamu marah karena tindakan Abi. Abi bukan hanya ingin menyelamatkan apa yang sudah Abi bangun bersama Umi kamu. Tetapi banyak karyawan yang memiliki keluarga dan juga membutuhkan pekerjaan. Abi hanya tidak ingat mereka juga mendapatkan resiko dari apa yang terjadi," lanjut Abi.
"Anindya akan membantu untuk menyelesaikan semua ini. Mereka tidak punya kuasa memberikan ancaman begitu saja. Anindya akan mencoba meminta keringanan dari mereka agar memberikan waktu lagi untuk Abi bisa mencicil hutang-hutang Abi," ucap Anindya
"Anindya sebaiknya kamu jangan ikut campur. Biar Abi yang menyelesaikan semua ini," ucap Abi.
"Tidak Abi. Kesehatan Abi akan semakin memburuk jika memikirkan semua ini. Jadi Anindya mohon untuk memberikan kepercayaan kepada Anindya agar bisa menyelesaikan semua ini," ucapnya yang berusaha meyakinkan Abinya
Adi tidak bisa mengatakan apa-apa, dia memang sudah tidak mampu lagi mengatasi para rentenir yang datang ke rumahnya yang terus memberikan tekanan yang justru lama-lama dia bisa mati berdiri.
***
Anindya yang turun dari Taxi berhenti di depan Perusahaan besar. Anindya melihat kartu nama yang ada di tangannya dan menyamakan dengan tulisan di atas gedung tersebut.
"Bismillah!" ucapnya yang tidak lupa melibatkan Tuhan untuk memulai sesuatu.
Anindya yang langsung keluar dari Taxi tersebut dan Anindya menghampiri resepsionis yang berkomunikasi dengan wanita yang di sana. Wanita itu terlihat menelpon Setelah itu terlihat wanita itu mempersilahkan Anindya untuk ikut bersamanya dan Anindya terlihat menurut saja. Sampai akhirnya mereka berdua berada di depan salah satu ruangan.
"Sebentar Nona!" ucap wanita itu yang sudah berdiri di depan pintu ruang atasannya yang membuat Anindya menganggukkan kepala.
Tok-tok-tok-tok.
"Tuan. Tamunya ingin masuk," ucap karyawan itu.
"Masuklah!" terdengar suara berat dari dalam.
Anindya yang terlihat begitu gugup dan bahkan jantungnya berdebar dengan kencang.
"Silahkan Nona!" wanita tersebut dengan ramah mempersilahkan yang membuat Anindya menganggukkan kepala.
Wanita itu langsung membuka pintu. Dari depan pintu Anindya melihat seorang pria yang duduk tampak miring dengan satu kaki yang diangkat di atas paha.
"Silahkan masuk Nona!" wanita itu kembali mempersilahkan. Anindya yang berusaha untuk tenang menganggukkan kepala dan melangkah masuk. Anindya menoleh ke belakang yang melihat pintu itu ditutup.
Dia tampak begitu sangat gugup dan mungkin baru pertama kali berada di dalam ruangan dengan pria yang bukan muhrimnya.
Anindya menarik nafas panjang dan membuang perlahan ke depan, kemudian melangkahkan kaki yang beberapa langkah akhirnya tepat di hadapan pria tersebut yang masih sangat fokus pada dokumen yang sejak tadi dia periksa.
"Selamat pagi tuan!" sapanya dengan sangat ramah namun suara itu terdengar sangat bergetar.
Pria itu akhirnya menggeser arah kursinya dan tepat menghadap Anindya. Anindya menelan salivanya tatapan mata langsung beralih dengan menunduk yang tidak ingin melihat pria yang bukan muhrimnya.
Pria tampan dengan wajah yang sangat dingin itu melihat wanita yang dihadapannya tampil begitu tertutup, wajah itu juga tidak diizinkan untuk dilihat dan hanya bisa melihat dari mata yang juga menunduk.
"Suatu kehormatan saya mendapatkan tamu yang ternyata putri dari tuan Abram," ucapnya dengan nada datar yang memang sebelumnya Anindya sudah memberitahu kepada wanita yang sejak tadi mengantarnya bahwa dia dia.
"Maaf jika kedatangan saya mengganggu tuan," ucap Anindya.
"Sedikit mengganggu," jawabnya
"Katakan ada keperluan apa kau menemuiku?" tanya pria itu
"Saya mendapatkan penjelasan dari Abi saya. Bahwa tuan Kavindra memiliki urusan masalah hutang piutang dengan Abi saya. Jadi kedatangan saya kemarin yang pasti berurusan dengan hal itu," jawabnya terdengar begitu tenang.
"Baiklah! saya akan memanggil sekretaris saya untuk melakukan pembayaran hutang tersebut," ucapnya.
"Maaf tuan! kedatangan saya bukan untuk membayar hutang," sahut Anindya yang membuat Kavindra menautkan kedua alisnya.
"Tuan! kondisi Abi saya sangat tidak baik-baik saja. Apa yang terjadi kemarin membuat kesehatan beliau menurun. Saya sangat memohon kepada tuan untuk tidak datang ke rumah saya lagi dan menagih hutang dengan cara berlebihan seperti itu," ucap Anindya.
"Jadi kedatanganmu menemuiku hanya ingin diminta belas kasihan dengan sandiwara dan tutur kata yang sangat manis agar aku bersimpatik dan merelakan hutang itu?" tanya Kavindra dengan sinis.
"Anda salah paham tuan. Hutang tetaplah hutang dan pasti akan dibayar. Saya akan membayar hutang Abi saya. Tetapi jumlahnya sungguh begitu banyak dan saya tidak sanggup membayar secara keseluruhan. Saya meminta waktu dan juga toleransi," ucapnya yang sejak tadi memberanikan diri untuk berbicara.
"Toleransi apa yang kamu inginkan?" tanyanya.
"Tuan. Jumlah hutang Abi saya yang sebenarnya hanya berjumlah 17 Miliar. Tetapi tuan terlalu tinggi memberikan bunga dan yang sudah mencapai 21 Miliar. Hal itu sangat tidak masuk akal dan juga sudah melampaui batas yang sangat diharamkan oleh Allah," ucap Anindya.
Kavindra menyergah nafas dengan mengendus kasar mendengar Anindya berkata-kata seperti itu.
"Jadi sekarang kau ingin menceramahiku. Hey Nona. Kalian telah berhutang begitu lama dan salah sendiri kenapa tidak membayar tepat waktu dan akhirnya bunganya semakin meninggi. Jadi jangan sok menasehati saya. Orang yang berhutang memang memiliki banyak kata-kata dan alasan agar tidak membayar," sinis Kavindra.
"Saya sudah mengatakan akan membayar hutang Abi saya dengan mencicil kepada tuan. Bahkan kedatangan saya saat ini akan membayar satu miliar terlebih dahulu. Karena hanya itu uang yang saya miliki dan saya meminta kepada tuan untuk menghapus bunganya dan memberikan saya keringanan untuk melakukan pencicilan sampai lunas. Saya berjanji akan berusaha semampu mungkin agar hutang-hutang itu lunas tidak sampai 1 tahun," ucapnya dengan harapan besar bahwa segala permohonannya didengarkan oleh pria yang sejak tadi tampaknya tidak peduli dengan alasannya.
"Kau ingin aku menghilangkan bunganya?" tanya Kavindra.
Anindya menganggukkan kepala.
"Baiklah!" Kavindra dengan mudah menyetujui yang membuat Anindya cukup kaget dan bahkan mengangkat kepala.
"Tetapi dengan satu syarat," Anindya mengerutkan dahi yang ternyata semua itu tidak mudah dan harus ada persyaratan.
"Apa syaratnya?" tanya Anindya.
"4 miliyar harus dihilangkan begitu saja dan bukankah sangat tidak etis jika tidak menggunakan syarat," ucapnya.
"Katakan apa syaratnya, Insyaallah saya bisa memenuhi," jawab Anindya.
"Buka cadarmu," jawab Kavindra
Bersambung.........
Anindya menelan salivanya ketika mendengar kata-kata itu. Jantung yang seketika berdebar dengan kencang dan sangat tidak mungkin dia melakukan hal itu.
Kavindra terus memperhatikan Anindya yang melihat kebimbangan dari sorot mata wanita lemah itu.
"Bagaimana? kau setuju. Hanya membuka cadar maka hutang orang tuamu 4 miliar akan dihapuskan," ucapnya yang sekarang bernegosiasi.
"Tuan! Syarat ini sangat konyol dan sudah menyangkut masalah privasi saya. Apa yang saya pakai sekarang adalah atribut keagamaan dan sangat tidak pantas tuan meminta hal itu. Karena Saya seorang wanita muslimah. Tolong untuk menghargai saya!" tegas Anindya yang bersikeras dengan keteguhannya dan keimanannya.
"Cih!" Kavindra yang kembali menyergah nafas.
"Kau terlalu pintar berbicara sama saja seperti ayahmu. Sekarang kamu bawa-bawa agama dan aku ingin bertanya dulu kepadaku. Apa menurutmu berhutang dengan menerima bunga yang sudah diberikan syarat apakah tidak suatu dosa lalu kenapa ayahmu menerima hutang tersebut walau dia sudah tahu akan ada bunganya," sindir Kavindra.
Anindya terdiam yang dia juga tidak menyangka. Mungkin saja saat itu Abi sedang kepepet yang tidak mempunyai pilihan. Dia juga sudah mendapatkan semua ceritanya dari sang Abi. Terkadang manusia memang harus dihadapkan dengan pilihan yang sangat berat.
"Nona dalam keadaan seperti ini gunakanlah logika anda uang 4 miliar bukan bisa dicari dalam waktu 1 menit dan aku memberikan kemudahan untuk menghapuskan bunganya sesuai dengan permintaan dan kau hanya melakukan satu yang aku minta," ucapnya.
"Jadi jangan sok jual mahal. Membuka cadar dibayar 4 miliar sama saja dengan orang yang berhutang dengan menerima bunga yang tinggi dan artinya kau hanya berbicara dan sok suci di hadapanku," ucap Kavindra. Anindya tetap saja diam tanpa memberikan respon apapun.
Kavindra yang tiba-tiba membuka laci pada mejanya dan Anindya melihat pergerakan pria tersebut yang mengeluarkan kuitansi.
"Aku menandatangani kuitansi pelunasan hutang 4 miliar sebagai buktinya jika hutang Abi mu 4 miliar sudah dihapuskan," ucapnya yang benar-benar menandatangani kuitansi tersebut dan menggeserkan ke dekat Anindya.
"Kau bisa memiliki ini jika kamu membuka cadarmu," ucapnya lagi.
Anindya melihat ke arah cek tersebut. Tetapi dia belum memberikan keputusan apapun.
"Jangan terlalu banyak berpikir yang membuatku menjadi berubah pikiran. Kesempatan tidak datang dua kali," ucap Kavindra v memberikan ingat.
"Ya Allah, engkau maha mengetahui apa yang sekarang hamba alami. Maafkan hamba jika harus melakukan ini," batinnya yang sepertinya sekarang tidak memiliki pilihan lain.
Dengan tangan bergetar perlahan Anindya membuka pengikat cadarnya. Kavindra yang tersenyum miring melihat kelemahan seseorang di hadapannya yang tidak memiliki pilihan lain yang harus menuruti kemauannya.
Sampai akhirnya perlahan tangan Anindya melepas tali pengikat cadar tersebut dan detik-detik langsung terlepasnya cadar itu yang memperlihatkan wajah cantiknya.
Kavindra yang sangat menunggu dan akhirnya sesuai yang dia inginkan. Wanita yang dimanfaatkan kelemahannya itu telah memperlihatkan wajah yang begitu cantik yang tampak sangat teduh dan semua itu harus diakui Kavindra terlihat dari ekspresi wajahnya dengan tatapan mata yang tidak berkedip sama sekali.
Kavindra bahkan kesulitan menelan ludah dan sementara Anindya yang langsung menunduk yang seakan tidak rela wajahnya dilihat oleh siapapun.
Kavindra yang tampak menyergah nafas, bisanya dia keringat dingin hanya melihat wajah cantik itu yang sepertinya tidak pernah dia lihat. Kavindra mendadak mengusap wajahnya dan kemudian menenangkan diri yang mengalihkan rasa gugupnya.
"Aku tidak percaya jika wanita-wanita yang menutup wajahnya ternyata menyimpan suatu keindahan," ucapnya yang tidak tahan jika tidak mengeluarkan pujian.
Kavindra berdiri dari tempat duduknya.
"Tetapi tetap saja kau masih menyembunyikannya seolah orang yang berbicara padamu ada di bawahmu," ucapnya.
Dengan perlahan Anindya mengangkat kepalanya, kecantikan itu semakin jelas terlihat. Kembali lagi Kavindra yang seolah disuguhkan bidadari di depan matanya.
Terlihat senyum di ujung bibir Kavindra dan keluar dari area kursinya. Anindya yang tampak begitu panik dan dengan cepat tangannya mengambil kuitansi tersebut yang sampai membuat Kavindra mengerutkan alisnya.
"Saya ingin tuan menepati janji tuan," ucapnya yang memegang erat kuitansi tersebut sebagai bukti bahwa hutang 4 miliar sudah dihapuskan.
"Hah!" Kavindra menyergah nafas yang merasa lucu dengan tingkah wanita yang tampak berani tetapi terlihat begitu ketakutan.
"Kau sangat buru-buru sekali Nona mengambilnya. Uang seperti itu bagiku hanya receh dan aku tidak akan mengingkari janjiku. Itu sudah menjadi milikmu karena kau memenuhi syarat yang aku inginkan," ucap Kavindra yang sekarang sudah berdiri di hadapan Anindya yang membuat Anindya mundur satu langkah.
Dia benar-benar sangat menjaga jarak. Kavindra bersandar di pinggir meja dengan setengah duduk dan kedua tangannya dilipat di dadanya yang terus memperhatikan wajah Anindya dan membuat Anindya mengalihkan pandangannya.
"Aku tidak percaya ternyata tuan Adi selama ini menyembunyikan putrinya yang sangat cantik," pujinya.
Anindya bukanlah wanita yang kegeeran dan bahkan tidak memberikan reaksi apapun ketika mendapat pujian itu.
"Jika aku menghapuskan bunga 4 miliar dengan kamu membuka cadarmu. Maka aku akan menghapuskan seluruh utang ayahmu tetapi dengan syarat....."
Kavindra tidak melanjutkan kalimatnya yang ingin melihat reaksi Anindya yang memang langsung melihatnya.
"Saya hanya meminta tuan untuk memberikan kesempatan melunasi hutang-hutang itu dalam waktu jangka yang saya ajukan," ucap Anindya.
"Tapi saya tidak menuruti permintaan kamu. Jika kamu ingin melunasi hutang-hutang ayahmu. Maka lunasi saat ini juga dan jika tidak sesuai ketentuan yang sudah kamu dengarkan. Saya akan menyita ke seluruh aset keluarga kalian dan memenjarakan ayahmu. Walau apa yang saya lakukan belum bisa mengurusi seluruh hutang-hutang itu," ucap Kavindra yang membuat Anindya menelan salivanya.
"Tuan saya mohon berikan saya keringanan. Ayah saya sedang sakit," Anindya memohon dengan suara yang sangat lirih.
"Saya bukan hanya akan memberikan kamu keringanan, tetapi akan menghapuskan seluruh hutang- hutang itu jika kamu mau tidur dengan saya," ucap Kavindra yang langsung to the point yang membuat Anindya kaget dengan matanya yang terbuka lebar.
"Bagaimana dengan penawaran saya?" tanyanya.
"Maaf tuan. Tuan sepertinya salah paham. Saya bukan seorang pelacur yang bisa memenuhi hasrat dan nafsu tuan. Kedatangan saya menemui tuan hanya ingin bernegosiasi untuk memberikan keringanan atas hutang-hutang dari Abi saya. Kami tidak akan lari dari hutang, karena itu juga akan dipertanggungjawabkan di akhirat nanti. Tetapi jika saya menuruti semua keinginan tuan. Maka dosa yang saya lakukan lebih besar daripada seluruh dosa yang pernah ada," ucapnya dengan sangat tegas yang harus menjaga kehormatannya.
"Cih!"
"Sekarang ceramah dan menasehatiku. Apa kamu lupa kejadian beberapa menit yang lalu, itu hanya demi uang kamu membuka cadarmu yang selama ini wajahmu kau sembunyikan. Nona jangan terlalu suci jadi manusia, kau saja terlihat naif dan sangat munafik," ucapnya dengan tersenyum mengejek Anindya.
"Memakai cadar adalah sunnah dan walau seperti itu saya tidak seharusnya melakukan hal itu. Tetapi tuan telah memanfaatkan kelemahan saya dan ketidakberdayaan seorang anak yang hanya meminta bantuan. Saya tidak memiliki pilihan lain selain melakukan itu. Saya juga mengetahui jika apa yang saya lakukan salah. Tetapi syarat yang tuan ajukan, Saya tidak akan melaksanakannya. Mohon maaf," ucapnya dengan menundukkan kepala.
"Dalam keadaan terdesak seperti ini dan kamu masih tetap menyombongkan diri. Hah!" Kavindra yang terlihat tersenyum miring.
Bersambung......
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!